Anda di halaman 1dari 12

TARI TRADISIONAL JAWA

1. Tari Topeng Cirebon


Indonesia sudah terkenal dengan kebudayaan yang beraneka ragam yang ada di
seluruh propinsi yang ada. Salah satu kebudayaan itu adalah seni tari. Seni tari setiap daerah
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan daerah lainnya. Salah satunya adalah tari topeng
Cirebonan.
Sebagai salah satu tarian yang termahsyur di Jawa Barat, kesenian Tari Topeng
Cirebon rasanya tak bisa dilepaskan dari karakter kuat yang melekat pada kesenian ini. Tari
Topeng Cirebon merupakan sebuah gambaran budaya yang luhur, filsafat kehidupan yang
menggambarkan sisi lain dari diri setiap manusia. Metamorfosis manusia dari waktu ke
waktu untuk menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Tari Topeng yang pada asalanya
sering dipentaskan di lingkungan keraton dan keudian mulai menyebar ke dalam lapisan
masyarakat biasa (non keraton) kini

keberadaannya mulai sulit untuk dilihat. Tari Topeng

kini hanya ditampilkan di beberapa kesempatan saja, di Cirebon sendiri beberapa kali saya
melihat acara pernikahan yang menampilkan Tari Topeng sebagai pembuka seremonialnya,
sisanya sulit rasanya melihat penampilan Tari Topeng, alasannya? Itu masih menjadi
pertanyaan.
Menurut pendapat salah seorang seniman dari ujung gebang-Susukan-Cirebon,
Marsita, kata topeng berasal dari kata Taweng yang berarti tertutup a t a u m e n u t u p i .
S e d a n g k a n m e n u r u t p e n d a p a t u m u m , i s t i l a h k a t a t o p e n g mengandung
pengertian sebagai penutup muka / kedok. Berdasarkan asal katanya tersebut, maka
tari topeng pada dasarnya m e r u p a k a n s e n i t a r i t r a d i s i o n a l m a s y a r a k a t
C i r e b o n y a n g s e c a r a s p e s i f i k menonjolkan penggunaan penutup muka berupa topeng
atau kedok oleh para penari pada waktu pementasannya. Seperti yang telah diutarakan diatas,
bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam seni tari topeng Cirebon mempunyai arti
simbolik dan penuh pesan- pesan terselubung, baik dari jumlah kedok, warna
kedok, jumlah gamelan pengiring dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan upaya para
Wali dalam m e n y e b a r k a n a g a m a I s l a m d e n g a n m e n g g u n a k a n n k e s e n i a n Tar i
Top e n g setelah media dakwah kurang mendapat respon dari masyarakat.
Tari Topeg Cirebonan ternyata salah satu seni yang berisi hiburan juga mengandung
simbol-simbol yang melambangkan berbagai aspek kehidupan seperti nilai kepemimpinan,
kebijaksanaan, cinta bahkan angkara murka serta menggambarkan perjalanan hidup manusia

sejak dilahirkan hingga menginjak dewasa. Dalam hubungan ini maka seni Tari Topeng ini
dapat digunakan sebagai media komunikasi yang sangat positif sekali.
Sebenarnya Tari Topeng ini sudah ada jauh sejak abad 10-11M yaitu pada masa pemerintahan
Raja Jenggala di Jawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui seniman jalanan Seni Tari
Topeng ini masuk ke Cirebon dan mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat.
Pada masa Kerajaan Majapahit dimana Cirebon sebagai pusat penyebaran agama
islam, Sunan Gunung Jati bekerja sama dengan Sunan Kalijaga menggunakn Tari Topeng ini
sebagai salah satu upaya untuk menyebarkan agama islam dan sebagai hiburan di lingkungan
Keraton.
Tari topeng cirebon sendiri dapat digolongkan ke dalam lima karakter pokok topeng
yang berbeda yaitu :

Topeng Panji. Digambarkan sebagai sosok manusia yang baru lahir, penuh dengan
kesucian, gerakannya halus dan lembut. Tarian ini bagi beberapa pengamat tarian
merupakan gabungan dari hakiki gerak dan hakiki diam dalam sebuah filosofi tarian.

Topeng Samba, menggambarkan fase ketika manusia mulai memasuki dunia kanakkanak, digambarkan dengan gerakan yang luwes, lincah dan lucu.

Topeng Rumyang merupakan gambaran dari fase kehidupan remaja pada masa akhil
balig

Topeng Tumenggung, gambaran dari kedewasaan seorang manusia, penuh dengan


kebijaksanaan layaknya sosok prajurit yang tegas, penuh dedikasi, dan loyalitas
seperti pahlawan

Topeng Kelana/Rahwana merupakan visualisasi dari watak manusia yang serakah,


penuh amarah, dan ambisi. Sifat inilah yang merupakan sisi lain dari diri manusia, sisi
gelap yang pasti ada dalam diri manusia. Gerakan topeng Kelana begitu tegas,
penuh dengan ambisi layaknya sosok raja yang haus ambisi duniawi.
Kelima karakter tari topeng Cirebon bila dikaitkan dengan pendekatan ajaran agama

Islam dapat dijelaskan sebagai berikut

Topeng Panji merupakan akronim dari kata MAPAN ning kang SIJI, artinya tetap
kepada satu yang Esa atau dengan kata lain Tiada Tuhan selain Allah SWT.

Topeng Samba Berasal dari kata SAMBANG atau SABAN yang artinya setiap.
Maknanya bahwa setiap waktu kita diwajibkan mengerjakan segala Perintah- NYA.

Topeng Rumyang. Berasal dari kata Arum / Harum dan Yang / Hyang (Tuhan).
Maknanya bahwa kita senantiasa mengharumkan nama Tuhan yaitu dengan Doa dan
dzikir

Topeng Temenggung. Memberikan kebaikan kapada sesama manusia, saling


menghormati dan senantiasa mengembangkan silih Asah, Silih Asih dan Silih Asuh

Topeng Klana. Kelana artinya Kembara atau Mencari. Bahwa dalam hidup ini kita
wajib berikhtiar.

2. Tari Merak - Jawa Barat


Sejarah Tari Merak sebenarnya berasal dari bumi
Pasundan ketika pada tahun 1950an seorang kareografer
bernama Raden Tjetjep Somantri menciptakan gerakan Tari
Merak. Sesuai dengan namanya, Tari Merak merupakan
implentasi dari kehidupan burung Merak. Utamanya tingkah
merak jantan ketika ingin memikat merak betina. Gerakan merak jantan yang memamerkan
keindahan bulu ekornya ketika ingin menarik perhatian merak betina tergambar jelas dalam
Tari

Merak.
Warna kostum yang dipakai oleh para penari biasanya sesuai dengan corak bulu

burung merak. Selain itu, kostum penari juga dilengkapi dengan sepasang sayap yang
mengimpletasikan bentuk dari bulu merak jantan yang sedang dikembangkan.

Dalam perjalanan waktu, Tari Merak Jawa Barat telah mengalami perubahan dari gerakan asli
yang diciptakan oleh Raden Tjetjep Somantri. Adalah Dra. Irawati Durban Arjon yang berjasa
menambahkan beberapa koreografi ke dalam Tari Merak versi asli. Sejarah Tari Merak tidak
hanya sampai disitu karena pada tahun 1985 gerakan Tari Merak kembali direvisi.
Dalam pertunjukannya Sejarah Tari Merak Jawa Barat biasanya ditampilkan secara
berpasangan dengan masing masing penari memerankan sebagai merak jantan atau betina.
Dengan iringan lagu gending Macan Ucul para penari mulai menggerakan tubuhnya dengan
gemulai

layaknya

gerakan

merak

jantan

yang

sedang

tebar

pesona.

3. Tari Serimpi D.I.Yogyakarta


Tari Serimpi merupakan sebuah tarian klasik dari Yogyakarta. Tarian ini ditampilkan
oleh empat orang penari wanita yang cantik dan anggun. Kata serimpi itu sendiri berarti
empat. Namun ada juga Serimpi yang ditarikan oleh lima penari yaitu pada Serimpi
Renggowati. Selain berarti empat, istilah serimpi juga dikaitkan dengan kata impi yang
berarti mimpi. Maksudnya, seseorang yang melihat tarian ini mungkin akan merasa seperti
berada di alam mimpi.
Pertunjukkan tarian Serimpi biasanya berlangsung selama jam sampai 1 jam.
Komposisi empat penari mewakili empat mata angin dan empat unsur dunia. Unsur dunia
meliputi grama (api), angin (udara), toya (air), dan bumi (tanah). Tari klasik ini awalnya
hanya berkembang di Kraton Yogyakarta. Menurut kepercayaan, Serimpi adalah seni yang
luhur dan merupakan pusaka Kraton. Dalam tarian ini, tema yang disuguhkan oleh penari

sebenarnya sama dengan tari Bedhaya Sanga. Tarian ini menggambarkan pertentangan antara
dua hal yaitu antara benar dan salah, nafsu dan akal, dan benar dan salah.
Tari Serimpi diperagakan oleh empat putri yang masing-masing mewakili unsur
kehidupan dan arah mata angin. Selain itu, penari ini juga memiliki nama peranannya
masing-masing yakni Buncit, Dhada, Gulu, dan Batak. Saat menarikan Serimpi, komposisi
penari membentuk segi empat. Bentuk ini bukan tanpa arti, tetapi melambangkan tiang
Pendopo yang berbentuk segi empat.
Kemunculan tarian ini konon berasal dari masa Kerajaan Mataram ketika masa
pemerintahan Sultan Agung. Tari ini dianggap sangat sakral karena hanya dilakukan di
lingkungan Kraton untuk upacara kenegaraan dan peringatan naik tahta sultan. Tahun 1775,
Mataram pecah menjadi dua yakni Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Hal ini
juga berdampak pada tarian ini. Walaupun inti tariannya masih sama, namun Serimpi di
Yogyakarta menjadi Serimpi Dhempel, Genjung, dan Babul Layar. Sementara di Surakarta
menjadi Serimpi Bondan dan Anglir Mendung. Walaupun tarian ini sudah ada sejak lama,
namun tarian tersebut baru diketahui oleh publik sekitar tahun 70an karena begitu sakralnya
tarian ini Kraton.
Tema perang dalam tarian ini sebenarnya adalah falsafah kehidupan budaya
ketimuran. Perang dalam tarian ini adalah simbolik peperangan yang tidak pernah habis yaitu
antara kejahatan dan kebaikan. Bahkan dalam mengekspresikan gerakan tari perang, tari ini
terlihat lebih jelas karena dua pasanga prajurit melawan prajurit lain dengan gerakan yang
sama dibandu dengan dengan perlengkapan tari yang berupa senjata. Properti tari yang
digunakan di antaranya adalah jebeng, cundrik atau keris kecil, pistol, jemparing, dan tombak
pendek.
Dari segi pakaian, pakaian yang dikenakan oleh penari juga mengalami
perkembangan dari sebelumnya. Jika awalnya pakaian yang dikenakan seperti pakaian
pengantin putri Kraton dengan gelung bokor sebagai hiasan kepala dan dodotan, saat ini
kostum penari beralih menjadi pakaian tanpa lengan, gelung dengan hiasan bunga ceplok, dan
hiasan kepala bulu burung kasuari. Karakteristik dari penari Serimpi adalah mengenakan
keris kecil yang diselipkan di bagian depan menyilang ke kiri.

Selain keris, para penari Serimpi juga kadang menggunakan jembreng yaitu semacam
perisak. Pada jaman pemerintahan Sri Sultan HB VII yaitu pada abad ke-19, ada pula Tari
Serimpi yang alat perangnya berupa pistol yang ditembakkan ke bawah. Pola iringan tarian
ini menggunakan gending sabrangan untuk keluar dan masuknya para penari diiringi bunyi
genderang dan musik tiup. Pada saat menari diiringi dengan gendhing ageng atau tengahan
yang kemudian masuk gending ladrang. Selanjutnya ayak-ayak dan srebengannya diguanakn
untuk mengiringi adegan peperangan.

4. Tari Remo Jawa Barat


Provinsi Jawa Timur memiliki beragam kekayaan seni dan budaya. Secara lingkup
wilayah kultural, provinsi ini terbagi menjadi beberapa wilayah gagrak (gaya) kebudayaan,
yaitu Jawa Mataraman atau Kulonan di bagian barat, Jawa Pasisiran di bagian utara dan barat
laut, Arek atau Wetanan di bagian tengah dan timur, serta kebudayaan Madura dan Osing
masing-masing di wilayah Kepulauan Madura dan Kabupaten Banyuwangi. Juga ada
kebudayaan Tengger di wilayah Dataran Tinggi Tengger, serta kebudayaan Bawean di Pulau
Bawean, Kabupaten Gresik. Berbagai bentuk kekayaan seni dan budaya tersebut bermacammacam, seperti seni drama, sastra, ritual, busana adat, seni bangunan, seni tari, dan
sebagainya.
Untuk seni tari, berbagai wilayah kebudayaan di Jawa Timur memiliki tarian daerah
khasnya masing-masing. Mungkin sebagian besar orang menganggap Reog Ponorogo adalah
tarian maskot Jawa Timur. Namun selain Reog, salah satu tarian yang sangat familiar bagi
masyarakat Jawa Timur. Tarian itu adalah Tari Remo.
Tari Remo (atau terkadang disebut juga Remong) adalah sebuah tarian yang lahir dari
kawasan budaya Arek, di bagian pusat Jawa Timur. Dalam sejarahnya, Tari Remo ini
diciptakan oleh orang-orang yang berprofesi sebagai penari keliling (tledhek) di Desa
Ceweng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Pada perkembangan selanjutnya, seiring
berkembangnya kesenian Ludruk di tengah masyarakat sekitar abad ke 19, Tari Remo
digunakan menjadi tarian pembuka dari pentas pertunjukan Ludruk. Sebelum seorang pemain
Ludruk membawakan kidungan dan parikan, Tari Remo ditampilkan sebagai pembuka dan

ucapan selamat datang bagi para hadirin yang menyaksikan. Begitu lekatnya Ludruk dengan
Tari Remo, sehingga kedua produk seni tersebut menyatu menjadi sebuah paket pertunjukan
yang masing-masing tidak bisa dipisahkan. Setelah Indonesia merdeka, lambat laun fungsi
dan posisi Tari Remo semakin berkembang. Tari Remo kini sering digunakan sebagai tarian
penyambutan tamu-tamu istimewa, seperti pejabat, delegasi asing, dan lain sebagainya.
Awalnya, Tari Remo adalah tarian yang khusus dibawakan oleh kaum pria. Hal ini
berkaitan dengan cerita atau tema dari Tari Remo itu sendiri. Tari Remo bercerita tentang
kepahlawanan seorang pangeran yang berjuang dalam medan pertempuran. Untuk itu, sisi
maskulin dalam Tari Remo sangat ditonjolkan. Namun dalam perkembangannya, banyak
kaum perempuan yang tertarik untuk belajar dan membawakan Tari Remo, bahkan kini Tari
Remo banyak ditarikan oleh perempuan. Walaupun demikian, busana ala pria yang digunakan
sebagai kostum Tari Remo tidak banyak diubah, meski yang menarikannya seorang
perempuan.
Karakteristik yang paling utama dari tata gerak Tari Remo adalah gerakan kaki yang
rancak dan dinamis. Gerakan ini didukung dengan adanya bandul-bandul (binggel) yang
dipasang di pergelangan kaki. Bandul lonceng ini berbunyi saat penari melangkah atau
menghentakkan kakinya di panggung. Selain itu, ciri khas yang lain adalah gerakan
melempar selendang atau sampur secara cepat dan dinamis, gerakan anggukan dan gelengan
kepala, ekspresi wajah, serta kuda-kuda penari membuat tarian ini menjadi semakin atraktif.
Tata busana Tari Remo sendiri bermacam-macam menurut wilayah kebudayaan dan
siapa yang menarikannya. Gaya-gaya busana Tari Remo adalah gaya Surabayan, Malangan,
Jombangan, Sawunggaling, dan Remo Putri. Dalam gaya busana Surabayan, aksesori yang
dikenakan terdiri atas ikat kepala merah (udheng), gelang kaki berbandul (binggel), baju
tanpa kancing yang berwarna hitam dengan gaya kerajaan pada abad ke 18, celana sebatas
pertengahan betis yang dikait dengan benang emas, kain batik (jarik) gaya Pasisiran yang
menjuntai hingga ke lutut, setagen yang diikat di pinggang, serta keris yang diselipkan di
belakang. Penari juga memakai dua selendang, yang mana satu dipakai di pinggang dan yang
lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari memegang tiap ujung
selendang.

5. Sejarah Kesenian Tari Reog Ponorogo


Reog merupakan kesenian terkenal asli warisan leluhur Indonesia yang berasal dari
Kabupaten Ponorogo Jawa Timur.Kesenian Reog Ponorogo sampai sekarang masih aktif dan
di kenal dari seluruh masyarakat Indonesia bahkan wisatawan mancanegara. Reog Ponorogo
yang kita kenal identik dengan kekuatan dunia hitam, preman ataupun kekerasan lainnya
serta lepas pula dari dunia mistis ketimuran dan kekuatan supranatural. Salah satu
pertunjukkan yang ada pada reog yakni mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam
mengangkat dadak merak seberat 50kg yang digigit sepanjang pertunjukan berlangsung.
Sejarah Kesenian Tari Reog Ponorogo
Tak hanya itu seni reog ponorogo diiringi oleh beberapa gamelan seperti kempul,
ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan lain sebagainya. Didalam reog ponorogo
juga ada warok tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu
Kelono Suwandono. Jumlah anggota grup reog ponorogo sekitar 20-30an, sedangkan peran
utama ada di warok dan pembarongnya. Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan
massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki
Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang
oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah.
Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk
menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang
berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun
sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada
Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang
diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu
Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada
waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan
oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan
gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai
harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu
agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang
diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati

Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang
menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan
reog untuk mengembangkan kekuasaannya.

SEJARAH REOG PONOROGO


Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu
Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada
waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan
oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan
gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai
harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu
agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang
diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati
Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang
menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan
reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran
komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat
cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat
Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga
memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan
kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul
khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila
akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian
reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur
cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad
Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah
Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah
tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh
Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong

seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kimpoi. Demi memenuhi permintaan sang putri,
Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak).
Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari
Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun
sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan
tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan
para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta. Versi lain
dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu
Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang
setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit,
sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia
menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reog
mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa
kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung
kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan
nafas pada kesenian Reog Ponorogo.
PEMENTASAN SENI REOG
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan,
khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2
sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani
dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini
menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh
6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh
penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus
dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada
biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya
bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka
yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya
cerita pendekar, Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun
rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan)
dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat

digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam
pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk
kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa
mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan
untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya
diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

TUGAS SENI BUDAYA


TARI TRADISIONAL JAWA

DISUSUN OLEH
1.MUTIARA
2.CICI SAFITRI
3.JULIANI
4.YUNITA
5.MESI ARISKA
KELAS : XII PEMASARAN 1

GURU DIKLAT: PAK IKHSAN

TAHUN AJARAN 2015-2016


SMK MUHAMMADIYAH 2 PALEMBANG

Anda mungkin juga menyukai