kini hanya ditampilkan di beberapa kesempatan saja, di Cirebon sendiri beberapa kali saya
melihat acara pernikahan yang menampilkan Tari Topeng sebagai pembuka seremonialnya,
sisanya sulit rasanya melihat penampilan Tari Topeng, alasannya? Itu masih menjadi
pertanyaan.
Menurut pendapat salah seorang seniman dari ujung gebang-Susukan-Cirebon,
Marsita, kata topeng berasal dari kata Taweng yang berarti tertutup a t a u m e n u t u p i .
S e d a n g k a n m e n u r u t p e n d a p a t u m u m , i s t i l a h k a t a t o p e n g mengandung
pengertian sebagai penutup muka / kedok. Berdasarkan asal katanya tersebut, maka
tari topeng pada dasarnya m e r u p a k a n s e n i t a r i t r a d i s i o n a l m a s y a r a k a t
C i r e b o n y a n g s e c a r a s p e s i f i k menonjolkan penggunaan penutup muka berupa topeng
atau kedok oleh para penari pada waktu pementasannya. Seperti yang telah diutarakan diatas,
bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam seni tari topeng Cirebon mempunyai arti
simbolik dan penuh pesan- pesan terselubung, baik dari jumlah kedok, warna
kedok, jumlah gamelan pengiring dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan upaya para
Wali dalam m e n y e b a r k a n a g a m a I s l a m d e n g a n m e n g g u n a k a n n k e s e n i a n Tar i
Top e n g setelah media dakwah kurang mendapat respon dari masyarakat.
Tari Topeg Cirebonan ternyata salah satu seni yang berisi hiburan juga mengandung
simbol-simbol yang melambangkan berbagai aspek kehidupan seperti nilai kepemimpinan,
kebijaksanaan, cinta bahkan angkara murka serta menggambarkan perjalanan hidup manusia
sejak dilahirkan hingga menginjak dewasa. Dalam hubungan ini maka seni Tari Topeng ini
dapat digunakan sebagai media komunikasi yang sangat positif sekali.
Sebenarnya Tari Topeng ini sudah ada jauh sejak abad 10-11M yaitu pada masa pemerintahan
Raja Jenggala di Jawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui seniman jalanan Seni Tari
Topeng ini masuk ke Cirebon dan mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat.
Pada masa Kerajaan Majapahit dimana Cirebon sebagai pusat penyebaran agama
islam, Sunan Gunung Jati bekerja sama dengan Sunan Kalijaga menggunakn Tari Topeng ini
sebagai salah satu upaya untuk menyebarkan agama islam dan sebagai hiburan di lingkungan
Keraton.
Tari topeng cirebon sendiri dapat digolongkan ke dalam lima karakter pokok topeng
yang berbeda yaitu :
Topeng Panji. Digambarkan sebagai sosok manusia yang baru lahir, penuh dengan
kesucian, gerakannya halus dan lembut. Tarian ini bagi beberapa pengamat tarian
merupakan gabungan dari hakiki gerak dan hakiki diam dalam sebuah filosofi tarian.
Topeng Samba, menggambarkan fase ketika manusia mulai memasuki dunia kanakkanak, digambarkan dengan gerakan yang luwes, lincah dan lucu.
Topeng Rumyang merupakan gambaran dari fase kehidupan remaja pada masa akhil
balig
Topeng Panji merupakan akronim dari kata MAPAN ning kang SIJI, artinya tetap
kepada satu yang Esa atau dengan kata lain Tiada Tuhan selain Allah SWT.
Topeng Samba Berasal dari kata SAMBANG atau SABAN yang artinya setiap.
Maknanya bahwa setiap waktu kita diwajibkan mengerjakan segala Perintah- NYA.
Topeng Rumyang. Berasal dari kata Arum / Harum dan Yang / Hyang (Tuhan).
Maknanya bahwa kita senantiasa mengharumkan nama Tuhan yaitu dengan Doa dan
dzikir
Topeng Klana. Kelana artinya Kembara atau Mencari. Bahwa dalam hidup ini kita
wajib berikhtiar.
Merak.
Warna kostum yang dipakai oleh para penari biasanya sesuai dengan corak bulu
burung merak. Selain itu, kostum penari juga dilengkapi dengan sepasang sayap yang
mengimpletasikan bentuk dari bulu merak jantan yang sedang dikembangkan.
Dalam perjalanan waktu, Tari Merak Jawa Barat telah mengalami perubahan dari gerakan asli
yang diciptakan oleh Raden Tjetjep Somantri. Adalah Dra. Irawati Durban Arjon yang berjasa
menambahkan beberapa koreografi ke dalam Tari Merak versi asli. Sejarah Tari Merak tidak
hanya sampai disitu karena pada tahun 1985 gerakan Tari Merak kembali direvisi.
Dalam pertunjukannya Sejarah Tari Merak Jawa Barat biasanya ditampilkan secara
berpasangan dengan masing masing penari memerankan sebagai merak jantan atau betina.
Dengan iringan lagu gending Macan Ucul para penari mulai menggerakan tubuhnya dengan
gemulai
layaknya
gerakan
merak
jantan
yang
sedang
tebar
pesona.
sebenarnya sama dengan tari Bedhaya Sanga. Tarian ini menggambarkan pertentangan antara
dua hal yaitu antara benar dan salah, nafsu dan akal, dan benar dan salah.
Tari Serimpi diperagakan oleh empat putri yang masing-masing mewakili unsur
kehidupan dan arah mata angin. Selain itu, penari ini juga memiliki nama peranannya
masing-masing yakni Buncit, Dhada, Gulu, dan Batak. Saat menarikan Serimpi, komposisi
penari membentuk segi empat. Bentuk ini bukan tanpa arti, tetapi melambangkan tiang
Pendopo yang berbentuk segi empat.
Kemunculan tarian ini konon berasal dari masa Kerajaan Mataram ketika masa
pemerintahan Sultan Agung. Tari ini dianggap sangat sakral karena hanya dilakukan di
lingkungan Kraton untuk upacara kenegaraan dan peringatan naik tahta sultan. Tahun 1775,
Mataram pecah menjadi dua yakni Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Hal ini
juga berdampak pada tarian ini. Walaupun inti tariannya masih sama, namun Serimpi di
Yogyakarta menjadi Serimpi Dhempel, Genjung, dan Babul Layar. Sementara di Surakarta
menjadi Serimpi Bondan dan Anglir Mendung. Walaupun tarian ini sudah ada sejak lama,
namun tarian tersebut baru diketahui oleh publik sekitar tahun 70an karena begitu sakralnya
tarian ini Kraton.
Tema perang dalam tarian ini sebenarnya adalah falsafah kehidupan budaya
ketimuran. Perang dalam tarian ini adalah simbolik peperangan yang tidak pernah habis yaitu
antara kejahatan dan kebaikan. Bahkan dalam mengekspresikan gerakan tari perang, tari ini
terlihat lebih jelas karena dua pasanga prajurit melawan prajurit lain dengan gerakan yang
sama dibandu dengan dengan perlengkapan tari yang berupa senjata. Properti tari yang
digunakan di antaranya adalah jebeng, cundrik atau keris kecil, pistol, jemparing, dan tombak
pendek.
Dari segi pakaian, pakaian yang dikenakan oleh penari juga mengalami
perkembangan dari sebelumnya. Jika awalnya pakaian yang dikenakan seperti pakaian
pengantin putri Kraton dengan gelung bokor sebagai hiasan kepala dan dodotan, saat ini
kostum penari beralih menjadi pakaian tanpa lengan, gelung dengan hiasan bunga ceplok, dan
hiasan kepala bulu burung kasuari. Karakteristik dari penari Serimpi adalah mengenakan
keris kecil yang diselipkan di bagian depan menyilang ke kiri.
Selain keris, para penari Serimpi juga kadang menggunakan jembreng yaitu semacam
perisak. Pada jaman pemerintahan Sri Sultan HB VII yaitu pada abad ke-19, ada pula Tari
Serimpi yang alat perangnya berupa pistol yang ditembakkan ke bawah. Pola iringan tarian
ini menggunakan gending sabrangan untuk keluar dan masuknya para penari diiringi bunyi
genderang dan musik tiup. Pada saat menari diiringi dengan gendhing ageng atau tengahan
yang kemudian masuk gending ladrang. Selanjutnya ayak-ayak dan srebengannya diguanakn
untuk mengiringi adegan peperangan.
ucapan selamat datang bagi para hadirin yang menyaksikan. Begitu lekatnya Ludruk dengan
Tari Remo, sehingga kedua produk seni tersebut menyatu menjadi sebuah paket pertunjukan
yang masing-masing tidak bisa dipisahkan. Setelah Indonesia merdeka, lambat laun fungsi
dan posisi Tari Remo semakin berkembang. Tari Remo kini sering digunakan sebagai tarian
penyambutan tamu-tamu istimewa, seperti pejabat, delegasi asing, dan lain sebagainya.
Awalnya, Tari Remo adalah tarian yang khusus dibawakan oleh kaum pria. Hal ini
berkaitan dengan cerita atau tema dari Tari Remo itu sendiri. Tari Remo bercerita tentang
kepahlawanan seorang pangeran yang berjuang dalam medan pertempuran. Untuk itu, sisi
maskulin dalam Tari Remo sangat ditonjolkan. Namun dalam perkembangannya, banyak
kaum perempuan yang tertarik untuk belajar dan membawakan Tari Remo, bahkan kini Tari
Remo banyak ditarikan oleh perempuan. Walaupun demikian, busana ala pria yang digunakan
sebagai kostum Tari Remo tidak banyak diubah, meski yang menarikannya seorang
perempuan.
Karakteristik yang paling utama dari tata gerak Tari Remo adalah gerakan kaki yang
rancak dan dinamis. Gerakan ini didukung dengan adanya bandul-bandul (binggel) yang
dipasang di pergelangan kaki. Bandul lonceng ini berbunyi saat penari melangkah atau
menghentakkan kakinya di panggung. Selain itu, ciri khas yang lain adalah gerakan
melempar selendang atau sampur secara cepat dan dinamis, gerakan anggukan dan gelengan
kepala, ekspresi wajah, serta kuda-kuda penari membuat tarian ini menjadi semakin atraktif.
Tata busana Tari Remo sendiri bermacam-macam menurut wilayah kebudayaan dan
siapa yang menarikannya. Gaya-gaya busana Tari Remo adalah gaya Surabayan, Malangan,
Jombangan, Sawunggaling, dan Remo Putri. Dalam gaya busana Surabayan, aksesori yang
dikenakan terdiri atas ikat kepala merah (udheng), gelang kaki berbandul (binggel), baju
tanpa kancing yang berwarna hitam dengan gaya kerajaan pada abad ke 18, celana sebatas
pertengahan betis yang dikait dengan benang emas, kain batik (jarik) gaya Pasisiran yang
menjuntai hingga ke lutut, setagen yang diikat di pinggang, serta keris yang diselipkan di
belakang. Penari juga memakai dua selendang, yang mana satu dipakai di pinggang dan yang
lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari memegang tiap ujung
selendang.
Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang
menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan
reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kimpoi. Demi memenuhi permintaan sang putri,
Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak).
Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari
Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun
sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan
tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan
para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta. Versi lain
dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu
Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang
setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit,
sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia
menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reog
mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa
kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung
kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan
nafas pada kesenian Reog Ponorogo.
PEMENTASAN SENI REOG
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan,
khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2
sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani
dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini
menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh
6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh
penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus
dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada
biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya
bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka
yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya
cerita pendekar, Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun
rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan)
dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat
digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam
pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk
kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa
mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan
untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya
diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
DISUSUN OLEH
1.MUTIARA
2.CICI SAFITRI
3.JULIANI
4.YUNITA
5.MESI ARISKA
KELAS : XII PEMASARAN 1