13010114130065 Sastra Indonesia Kelas B / Smt 4 Kesenian Masyarakat Pesisir: Sintren
Tari Sintren merupakan kesenian tradisional asli Pekalongan. Namun sebenarnya
kesenian tradisional Sintren ini tidak hanya dimiliki warga Pekalongan saja, namun juga masyarakat pesisir utara Jawa lainnya, seperti Cirebon, Brebes dan Tegal. Sintren telah tumbuh sejak puluhan tahun, namun tidak diketahui pasti kapan tepatnya, diperkirakan Sintren berkembang pada awal tahun 1940-an. Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat atau legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi. Versi pertama, berasal dari legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Bahurekso dan Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak disetujui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperitahkan ibunya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (sapu tangan) sebagai sarana untuk bertemu dengan Sulasih. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono. Tepat pada saat bulan purnama diadakan pertunjukan rakyat, saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunnyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spiritual Rantamsari sehingga mengalami trance dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat Sulasih trance/ kemasukan roh halus/ kesurupan, ini yang disebut Sintren, dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut balangan. Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat bersatu kembali. Versi kedua, berdasar pada kisah percintaan Bahurekso dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta mereka, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso untuk melawan VOC di Batavia. Saat berpisah dengan Rantamsari, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta. Suatu ketika terdengar kabar bahwa Bahurkso gugur dalam medan perang, sehingga Rantamsari begitu sedih. Karena rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari mencari tahu sebab gugurnya Bahurekso. Melalui perjalanan sepanjang pantai utara Jawa, Rantamsari menyamar menjadi penari Sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Bahurekso akhirnya Rantamsari dapat menemukan Bahurekso yang sebenarnya masih hidup. Karena kegagalan Bahurekso melawan Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram. Kemudian Bahurekso memutuskan pulang ke Pekalongan bersama Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia. Sejak saat itu Rantamsari dan Bahurekso hidup bersama hingga akhir hayatnya. Pada awal muncul kesenian Sintren, alat musik yang digunakan untuk pengiring adalah alat musik tetekan sebagi ritme dan melodi, bumbung besar (bambu yang dipotong) sebagai gong kendang. Setelah alat musik gamelan semakin berkembang, kesenian Sintren tidak lagi menggunakan alat musik tetekan dan bumbung besar, melainkan menggunakan instrumen gamelan khas laras slendro. Perlengkapan yang digunakan Sintren dalam pertunjukanya antara lain kemben (baju Sintren), celana cinde, kaos kaki hitam, kain sampur (selendang), stagen, hiasan kepala, dan kacamata hitam. Sebelum pertunjukan Sintren dimulai biasanya diawali tabuhan gamelan sebagai tanda akan dimulainya pertunjukan dan bertujuan untuk mengumpulkan penonton. Kemudian dilanjutkan dengan acara berdoa bersama-sama dengan membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan agar selama pertunjukan terhindar dari bahaya. Lalu pembentukan Sintren oleh pawang, Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci (perawan), didampingi empat orang dayang sebagai simbol bidadari. Kemudian Sintren didudukkan oleh pawang dalam keadaan berpakaian biasa dan didampingi para dayang. Pawang menjadikan penari Sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari Sintren, kemudian meletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari Sintren diikat dengan tali melilit ke seluruh tubuh. Tahap kedua, calon penari dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama pakaian ganti dan perlengkapan rias. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, Sintren telah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu Sintren ditutup dengan kurungan kembali. Tahap ketiga, setelah ada tanda-tanda Sintren sudah jadi (biasanya ditandai dengan kurungan yang bergerak/ bergetar) kurungan dibuka, Sintren telah terlepas dari ikatan tali dan siap menari. Selama pertunjukan Sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti. Yang unik di sini adalah saat Sintren sedang menari dan dari arah penonton ada yang melempar (Jawa: mbalang) uang logam atau sesuatu ke arah penari Sintren, maka penari Sintren yang terkena lemparan akan pingsan. Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu dengan kedua tangan penari Sintren diasapi kemenyan dan mengusap wajah penari dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari Sintren dapat melanjutkan menari lagi. Setelah selesai pertunjukan Sintren selesai, penari Sintren dimasukkan kembali ke dalam kurungan bersama pakaian biasa. Kemudian pawang mengelilingi kurungan sambil membaca mantra dan membawa kemenyan. Setelah itu kurungan dibuka, dan penari Sintren sudah berpakaian biasa dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya pawang memgang kedua tangan Sintren dan meletakkan di atas asap kemenyan sambil membaca mantra sampai Sintren sadar kembali. Kesenian Sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dengan penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan yaitu arena terbuka. Maksudnya berupa arena yang tidak ada batas antara penonton dengan penari Sintren. Kehidupan rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek moyang, atau bisa jadi bermula dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa yang kemudian menjadi tradisi yang luhur. Pagelaran Sintren semula dilakukan pada malam bulan purnama dan menurut kepercayaan masyarakat lebih utama jika dipentaskan malam kliwon, karena mitosnya Sintren sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menyatu dengan penari Sintren. Di Pekalongan sendiri, mitosnya Sintren berkaitan dengan roh Dewi Lanjar yang merasuk pada penari Sintren. Jika roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren terlihat lebih cantik, dan membawakan tarian dengan lincah. Kini pertunjukan Sintren dapat dilaksanakan kapan saja. Namun tradis lama rakyat pesisiran pantai utara ini, sudah menjadi sebuah pertunjukan langka, kesenian ini mungkin hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara nadran (sedekah laut), atau hajatan orang-orang besar.