Anda di halaman 1dari 6

ANAK MAMI

“Kau pernah memikirkannya?”


“Memikirkan apa?” tanyaku.
“Itu,” untuk Salma ke sebuah amplop besar yang ada di tanganku. Aku
memandangi amplop yang kupegang. “Nggak,” jawabku.
“Kok, bisa? Kenapa?” tanya Salma.
Aku menghela napas sambil berjalan menyusuri taman. “Karena aku
menyukai diriku, karena aku tidak akan pernah menyesali apa yang telah kulakukan,”
kawabku.
“Walaupun nilaimu jelek sekalipun?” tanya Salma.
Aku berhenti di depan sebuah rumah yang dipenuhi bunga di halamannya.
“Tentu. Kau banyak bertanya, sudah ya,” jawabku sambil masuk rumah.
Salam kenal. Namaku Irene Balims, umurku tiga belas tahun. Sahabat
terbaikku Dewi dan Gisya. Biasanya, aku pulang bersama dua temanku itu. Tapi hari
ini Gisya sedang berlibur ke Bandung.
“Hai,” sapa Rahma, kakakku.
“Hai,” balasku sambil tersenyum.
“Kok, tumben di rumah?” tanyaku sambil mengambil keripik dari dalam
toples yang dipegang Rahma.
“Kamu tahu, nggak?” tanya kakakku sambil tersenyum, senyum yang
mencurigakan.
“Apa?” tanyaku balik.
“Ibu dan Ayah pergiu ke Hawaii, mengajak Resya, lagi,” jawab Rahma.
“Bohong!” seruku.
“Coba saja periksa ke ruang kerja Ayah, ada nggak laptopnya?” jawab Rahma
sambil mengganti saluran televisi.
Aku segera menuju ruang yang ada di ujung lorong, ruang kerja Ayah. Benar.
Laptopnya yang biasanya ada di meja Ayah, sekarang tidak ada!
Aku menghentakkan kaki. Uh! Aku sudah meminta selama….um….kurang
lebih tiga tahun untuk mengajak Ibu dan Ayah pergi ke Hawaii. Tapi, kenapa yang
diajak Resya?
Ah, sudahlah. Mereka pasti sudah berangkat. Nggak ada gunanya aku
menangis atau merusak sesuatu sampai hancur (itu kebiasaanku saat kesal). Mereka
nggak bisa balik untuk menjemputku, kan?
Aku menuruni tangga dan duduk di sebelah Rahma. Dia menatapku aneh.
Seperti menata buronan polisi. Serius!
“Kok, kamu nggak meraung-raung seperti seseorang yang mau dimasukkan
ke penjara, sih?” tanya Rahma heran.
Aku tertawa. Tertawa kecil. Tertawa sedang. Lalu, tertawa terbahak-bahak.
Aku tidak dapat menahan tawaku yang meledak seperti pesawat yang menabrak
gedung WTC di New York.
“Rahma! Yang benar saja, masa umurku sudah tiga belas tahun aku masih
menangis seperti itu?”
“Tapi, kau masih melakukan itu seminggu yang lalu saat Ibu membelikan
Resya mainan yang mahal. Sementara kau yang meminta komik saja nggak boleh,”
kata Rahma.
“Aku sadar, masa di umurku yang sudah tiga belas tahun ini masih membaca
komik,” jawabku.
“Rahma terdiam. Dia terus mengunyah keripiknya yang belakangan baru aku
tahu, rendah kolesterol. Dia sedang menjalankan diet, makanya aku heran, kok dia
ngemil terus?
Rahma mematikan televisi. Dia menguap dan mengangkat tangannya ke atas.
“Aku mau tidur. Kalau mau pergi, pergilah. Aku nggak sprotektif Ibu, kok,” kata
Rahma sebelum meninggalkanku.
Ini pertanda baik. Aku langsung banti baju dan pergi ke luar rumah. Aku mau
ke rumah Gisya. Dia pulang hari ini. Aku hrap, dia memberiku tanda tangan, artis
yang berasal dari Ceko.
Sebelumnya, aku menjemput Dewi. Rumahnya hanya berjarak sepuluh rumah
dari rumahku. Dia terkejut ketika melihatku. Dia senang karena bisa melihatku tidak
dikekang oleh Ibu.
Ketika sampai di rumah Gisya, aku segera memencet bel. Ibunya yang
membukakan pintu.
“Wow, Irene! Salma! Masuklah,”
Aku dan Salma segera menuju kamar Gisya.
“Ini untukmu,” kata Gisya sambil memberiku sebuah tas katun.
“Kok, katun?” tanyaku.
“Kalau pakai plastik, aku yakin itu akan kau buang ke tong sampah. Itu baru
akan terurai seratus tahun lagi! Dan kalau pakai tas kertas, selain gampang robek dan
rusak, sama saja menebang pohon yang masih muda,” jawab Gisya. Sungguh
pencinta lingkungan!
Aku membuka tas katunku. Ada baju, sandal, rok, dan topi lebar. Tapi, tunggu
dulu, ada sebuah kertas foto. Apalagi kalau bukan foto Gisya? Anak ini, benar-benar,
deh.
“Senang ya, punya fotoku?” tanya Gisya ketika memergokiku sedang melihat
fotonya.
“Gisya, please, aku saja nggak punya fotoku sebanyak aku punya fotomu,”
jawabku.
“Menyenangkan mendengarnya,” katanya sambil mengerlingkan mata,
“Salma, kau suka?” tanya Gisya.
Salma mengangguk riang.
“Kita pergi ke Wendis mau?” tanya Gisya.
Kami semua setuju. Lalu, kami naik bus yang berhenti tepat di depan rumah
makan itu. Jarang sekali aku bisa makan di sini bersama teman-temanku. Ingat kan,
Ibuku yang superprotektif? Well, lupakan itu sekarang juga.
“Calgorlie cheese steak, minumnya golden shake,” pesan Gisya. “Kau mau
pesan apa?” tanyanya kemudian.
“Vanilla-chocolate ice cream,” pesan Salma.
“Black papper chicken steak dan fruit blast shake,” pesanku.
Setelah pelayan mencatat pesanan kami, dia pergi.
Sambil menunggu pesanan datang, kami mendengarkan celotehan Gisya
tentang liburannya ke Bandung.
“Kalian tahu, nggak? Aku dibelikan Ibu kalung ini,” kata Gisya sambil
memperlihatkan kalung yang menggantung di lehernya. Karena kami duduk di dekat
jendela, bandulnya yang berwarna biru bersinar diterpa sinar matahari.
Aku dan Salma hanya berdecak kagum saat Gisya mengatakan kalau dia
bertemu dengan Vidi Aldiano, seorang penyanyi dari Jakarta. Tapi, kata Gisya, ketika
bertemu dengan Vidi, dia sedang menangis karena tidak dibelikan es krim potong.
“Aku malu sekali,” kata Gisya.
Pesanan kami datang! Cassie hanya makan es krim yang disusun seperti
menara kembar WTC rasa vanila dan cokelat. Gisya sangat menyukai dan mencintai
warna emas. Makanya, dia memesan calgorlie cheese steak yang sausnya berwarna
emas. Kalgoorlie-tambang emas di Australia dan golden shake yang juga berwarna
emas.
Kami memakan makanan kami. Hari ini, Gisya yang tanggung, alias kami
ditraktir! Yang repot hanya Salma. Dia harus cepat-cepat menahan agar es krimnya
tidak mencair dan …BRUK! Jatuh.
Saat aku pulang ke rumah, Rahma sedang masak popcorn. Terdengar bunyi
khasnya, POP-POP.
“Hai, Iren!” sapa Rahma sambil mematikan kompor.
“Hai! Tumben masak popcorn?” tanyaku.
“Retno dan Nurul mau datang,” jawab Rahma.
Tak lama, terdengar suara bel dari luar pintu. Aku segera membukakan pintu.
Ternyata benar, Retno dan Nurul, dua teman kakakku.
“Iren…,” sapa Retno.
“Hai, masuklah!” kataku mempersilahkan mereka masuk.
“Mana orangtua kalian?” tanya Nurul.
“Mereka sedang ke Hawaii bersama Resya,” jawabku agak jengkel.
“Menyenangkan, dong? Kapan mereka pulang?” tanya Nurul lagi.
“Besok,” jawab Rahma sambil membawa mangkuk besar berisi popcorn.
Kemudian, Retno dan Nurul mengikuti Rahma ke kamarnya di lantai dua.
Kamar Rahma di sebelah perpustakaan pribadi kami.
Rahma GILA membaca. Tapi aku heran, matanya masih sehat-sehat saja.
Biasanya kan, kutu buku itu memakai kacamata. Nah, kakakku yang satu ini malah
pergaulannya luas, cantik, nggak pakai kacamata, apalagi contact lens!
Aku menuju kamarku. Kebiasaanku adalah mengakses internet. Aku sangat
menyukai teknologi, apalagi komputer dan dunia maya. Aku punya banyak teman di
luar negeri, seperti di Jepang, Selandia Baru, India, Argentina, Jerman, Paris dan
Cina.
Saat akses internetku tersambung, langsung ada wajah Suzu, temanku dari
Jepang. Aku dan teman-temanku mengobrol dengan memakai webcam. Ternyata,
teman-temanku sedang online. Kami membuat sebuah konferensi.
“Hai Iren!” sapa Suzu.
“Hai, Suzu, Iren, Amanda, Bryan, Craig, Sawant, Munto! Aku senang kalian
sedang avaible,” kata Xi-Fu, temanku dari Cina. Matanya sipit dan kulitnya putih
banget.
Amanda berasal dari Belgia, Craig dari Herman, Bryan dari Selandia Baru,
Sawant dari India, dan Munto dari Argentina. Hari ini, Nancy, teman kami dari paris
sedang ujian. Jadi, dia tidak bisa mengakses internet hari ini.
“Aku rindu kau, Sawant!” seru Bryan.
“Hei….berhentilah berbuat aneh, Bryan!” balas Sawant sambil tertawa keras.
“Hei Munto, bagaimana pertandingan sepakbolanya?” tanya Suzu.
“Baik. Tim kami menang,” jawab Munto.
“Aku rindu Nancy. Kalian merindukannya? Dia kan, sudah hampir seminggu
tak tampak,” kata Craig sedih.
“Cieee….Craig sedih…!” seruku
“Tapi, aku kangen Nancy, sih….” Kata Sawant
“Semoga ujiannya lancar!” harap Xi-Fu
“Aku sedang bermasalah. Bisa membantuku?” tanya Suzu.
“Tentu saja! Kita ini kan, teman,” jawabku.
Suzu menceritakan masalahnya. Dia mengatakan bahwa dia tidak boleh lagi
datang ke klub sepak bola perempuannya. Semua temannya menjadi salah paham.
Mereka menganggap Suzu seorang anak yang sombong. Teman-teman di klub
sepakbolanya sering mengerjainya.
“Ayah dan Ibu bilang, itu tidak normal. Itu kerjaan laki-laki!” kata Suzu yang
agak tomboi.
Kami semua mulai mengeluarkan pendapat.
“Jelaskan kepada orangtuamu kalau sekarang ini sudah zaman modern. Tidak
ada perbedaan perempuan dan laki-laki,” kata Amanda.
“Tidak! Pertama-tama, hajar saja teman-teman yang mengganggumu,” usul
Bryan berapi-api.
“Tapi, memang bukannya sepak bola hanya untuk laki-laki?” tanya Xi-Fu.
“Sudah bukan zamannya, Xi-Fu,” jawabku.
“Aku tahu!” seru Sawant. “Aku pikir base ball menyenangkan daripada
sepakbola! Cobalah,” kata Sawant.
Suzu menggeleng.
“Aha! Lebih baik, kau jelaskan kepada teman-temanmu itu apa yang terjadi
sebenarnya. Lalu…,” kata Craig sambil berpikir.
“Katakan saja kepada orangtuamu kalau kau mencintai sepakbola!” seru
Bryan.
“Dan katakan itu saat orangtuamu sedang mood untuk membicarakannya,”
sambung Amanda.
“Kasus ditutup!” kataku sambil memukul meja layaknya seorang hakim.
“Thanks all….I love you all!” seru Suzu sambil tersenyum riang.
“I love you too, Suzu!” balas kami semua. Suzu keluar dari konferensi.
Keesokan harinya, tepatnya hari Minggu yang cerah, aku bangun pukul
sebelas. Aku nggak tahu apa yang aku lakukan semalam. Yang aku ingat….aku
menonton home drama bersama Rahma, dan tidur.
Setelah “mengumpulkan ruh”, aku mandi. Karena Ibu, Ayah dan Resya akan
datang siang ini.
Benar, selesai aku mandi, mereka datang. Resya terlihat sebagai anak yang
bahagia. Ya, iyalah….diajak ke Hawaii tanpa dua kakaknya. Dan dia dijadikan anak
emas! Hal itu sangat membuat Resya bahagia. Pasti!
“Sweetie, bagaimana kabarmu?” taya Ibu.
“Baik ,” jawabku
Lalu, Ibu memberikan aku tas katun, persis yang diberi Gisya. Hanya, baunya
seperti bau pasir di pantai.
“Rahma, ini untukmu,” kata Ibu sambil memberikan Rahma sebuah tas katun
berwarna ungu muda.
“Trims, Ibu,” jawab Rahma.
Aku kembali ke kamar. Memasang fotoku di pigura yang diberikan Ibu.

Saat jam makan siang, kami sekeluarga makan di Sears. Aku memesan choco
latto ico creamo. Ayah bercerita tentang para peselancar yang mengajari Resya
berselancar secara Cuma-Cuma. Lagi-lagi, Resya!
Pesanan kami datang. Resya tidak makan apa-apa. Dia hanya makan es krim;
greeney soda sparkle ice cream. Tapi…., saat aku ingin memakan es krimku….Resya
merebut es krimku!
“Resya! Kembalikan!” bentakku
“Aku nggak mau! Aku mau makan dua! Aku belum pernah merasakan choco
latto ico creamo. Ini buatku,” kata Resya.
“Resya ! kembalikan atau…” kataku sambil bersiap mencubit tangan Resya.
“Stop, Iren! Buat apa makan es krim? Kamu punya amandel! Nanti kalau
bengkak, sakit…” kata Ibu membela Resya.
“Stop, Ibu! Setiap kali aku meminta operasi amandel, Ibu bilang, amandel itu
antibodiku. Sekarang Ibu bilang aku nggak boleh makan es krim. Ibu sengaja agar
jatah es krimku selalu dinikmati oleh Resya? Aku pulang duluan!” kataku dengan
emosional.
Sebelum beranjak, aku bertanya kepada Ibu. “Ibu, kenapa sih, selalu membela
Resya?!” tanyaku sambil beranjak pergi.
Sedetik kemudian, aku mendengar suara lengkingan Resya yang tertawa.
Lalu, aku melihat Rahma sedih dan memandangi es krimku yang direbut Resya. Aku
sudah cukup kesal oleh Resya.
Saat di kamar, aku berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Aku baru
menyadari, aku kan lebih dewasa daripada Resya. Jadi, aku seharusnya bisa
membedakan, dong, di mana aku harus emosi dan di mana aku harus tidak emosi?

Anda mungkin juga menyukai