Anda di halaman 1dari 16

TUGAS FILOSOFI TENUN IKAT II

OLEH:

NAMA : ESTER YESTI LAKAPU


NIM :2006110003
JURUSAN :TEKNIK PEMBUATAN TENUN IKAT
DOSEN WALI :Ariency Kale Ada Manu, ST., M.T
MITOLOGI DAN ARTEFAK BUDAYA KABUPATEN
NAGEKEO
I. PENDAHULUAN
I.1 LETAK GEOGRAFIS
Secara geografis kabupaten nagekeo terletak pada koordinat
121º6’20”- 121º32’0” BujurTimur dan 8º26’15” - 8º64’40”Lintang Selatan.Luas
wilayah kabupaten Nagekeo secara keseluruhan adalah 1.416,96 km2.

I.2 PEREKONOMIAN MASYARAKAT NAGEKEO


Mayoritas masyarakat kabupaten nagekeo bekerja sebagai petani sawah
dan petani ladang sebagian masyarakat ada juga yang berprofesi sebagai
nelayan khususnya masyarakat di pesisir pantai, selain itu ad juga yang
berprofesi sebagai peternak.

1
1.3 SEJARAH SINGKAT NAGEKEO

Kabupaten nagekeo merupakan kabupaten baru, sebagai pemekaran


kabupaten ngada, diresmikan pembentukannya pada tanggal 22 mei 2007,
melalui uu no 02 tahun 2007. Pemerintahan dan komunitas Nagekeo
sudah ada sejak Pemerintahan Hndia-Belanda sekitar tahun 1909.
Pemerintahan Hindia Belanda diperkirakan baru terjadi di wilayah Ngada
antara tahun 1908-1909. Dalam peiode 1909-1950, afdeeling Flores
terbagi kedalam 5 onderafdeeling yang mencakup 9 keswaprajaan [self-
governing domains]. Kelima onderafdeeling yang dimaksud adalah Flores
timur [swapraja; Adonara dan Larantuka], Maumere [swapraja; sikka],
Ende[swapraja; Ende dan Lio], Ngada[swapraja; Nagekeo, Bajawa dan
Riung], Manggarai[swapraja; Manggarai]. Onderafdeeling Ngada terbagi
kedalam 6 wilayah subdistrik, yaitu; Ngada, Riung,Tado, Turing, Nage
dan Keo. Tetapi sejak tahun 1931 onderafdeeling Ngada terbagi menjadi 3
swapraja saja yaitu; Nagekeo, Ngada, Riung.

II. KAJIAN FILOSOFI TENUN NAGEKEO

2.1 Mitologi dan Kosmologi

 Lelu dan Ngole


Konon, hidulah sebuah keluarga kecil di kampun toto, sebuah kampong
tradisional di kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Toto sendiri
adalah satu daerah pegunungan, yang menurut keyakinan masyarakat
merupakan tempat pertama keberadaan suku Flores, namun tidak banyak
informasi yang digali tentang asal-usul kebudayaan dan masyarakat Toto.
Dulu sekali, di Flores hanya ada satu wilayah kecil di Toto ini. Sebagai
daerah pertama di Flores, menurut mitologi yang hidup di masyarakat,
hingga kini banyak masyarakat mengamini kalau orang-orang Toto adalah
suku pertama yang menghuni wilayah Flores.

2
Menurut cerita orang tua-tua, setelah masyarakat di Toto hilang karena
mereka berdiaspora, baru tersebarlah masyarakat di berbagai tempat di
pulau Flores. Kampung Toto tepatberada di puncak atau pundak gunung
Toto, sebuah gunung tertinggi ketiga di wilayah kabupaten Nagekeo stelah
gunung Ebulobo dan Amagelu. Toto berada persis pada sebuah dataran luas
di puncak itu. Sedangkan pada sisi lain jurang tinggi seolah menjadi
benteng perlindungan terhadap serangan musuh. Sebagian besar mata
pencarian masyarakat adalah petani ladang. Pola pikir dualistik yang
memenangkan salah satu pihak ini bukan hanya hidup di masyarakat
berpikir pola tiga (peladang). Pemikiran pola dua hidup juga pada
masyarakat dengan cara berpikir pola empat dan pola lima, hanya
kedudukannya tidak dominan.
Di ujung kampung besar itu terdapat sebuah telaga [Toto;Poma/Tiwu].
Walaupun berada persis di dekat kampung, namun masyarakat tidak pernah
mengambil air dari telaga iu untuk diminum atau untuk apapun. Sumber air
di tempat itu hanya dikhususkan sebagai tempat dilaksanakannya upacara
adat untuk mendatangkan hujan.
Keluaraga kecil itu memang amat sederhana, namun mereka cukup
terpandang dalam masyarakat dikampung itu karena memang mereka
berasal dari keluarga ‘’ kelas atas’’.keluarga itu memiliki kedua putrid
jelita.yang sulung bernama Lelu dan yang lain bernama Ngole. Sedangkan
hingga kini, nama kedua orang tua Lelu dan Ngole diahasiakan. Nama
mereka seolah begitu sakral, sehingga terlalu lazim diwariskan kepada anak
cucu.
Walau berparas cantik tidak membuat keduanya berbangga atau merasa
paling hebat. Bersama kedua orang tuanya, mereka selalu berusaha
menyenangkan hati dengan melakukan apapun pekerjaan yang diberikan.
Entah berat ataupun ringan tidak menjadi tantangan bagi mereka.
Sejak kecil mereka memang telah diajarkan untuk. Sebagaimana tata
sosial masyarakat di kampung itu, bahwa anak-anak harus berbakhti kepada
orangtua. Sejak kepergian ibu mereka kealam baka, karena keduanya masih
kecil, maka ayahnya memperistri lagi seorang perempuan muda di
kampung itu.

3
Akhirnya mereka mempunyai seorang ibu baru, seorang ibu tiri. Dari
perkawinan itu, ayah mereka dengan ibu tiri itu tidak mendapatkan seorang
anak pun. Ibu tiri mereka semakin hari semakin keras terhadap mereka. Hal
itu tentu disebabkan oleh tiadanya anak yang terlahir dari perkawinannya,
padahal sebagai ibu yang masih ibu yang masih muda, ia layak untuk
mendapatkan anak yang sehat dan baik. Dan ketika semua mimpinya itu
tidak dipenuhi, maka kedua putri tirinya menjadi bahan empuk untuk
menyalurkan emosinya yang terbungkam. Sebenarnya dianggap wajar kala
ia mengeluhkan hal itu pada suaminya. Namaun itu tidak dilakukannya hal
ini cukup mengherankan karena pada masa itu, laki-laki selalu menjadi
nomor satu, sedangkan perempuan berada di posisi terakhir. Jika laki-laki
harus makan di depan ruang tamu, maka perempuan [istri], dan juga anak-
anak secara otomatis duduk makan di dapur. Ini sebuah tradisi kebudayaan.
Bagi mereka hal itu bukanlah buruk, atau mengandung unsure diskriminasi.
Itu sangat lazim.
Pada musim kemarau, ketika musim panen usai, sang ibu tiri
menugaskan keduanya untuk menumbuk jagung solot[Toto;Yolo]. Setiap
hari selalu saja diberi tugas yang sama yaitu menubuk jagug solot itu.
Walau demikian, mereka tidak pernah mengeluh atau melawan. Perbedaan
umur keduanya tidak terlalu jauh.
Bersama ibu mereka yang terdahulu, mereka senantiasa mendapat
kebahagiaan tersendiri. Satu kebahagiaan yang tidak pernah mereka alami
setelah ibu mereka menghembuskan nafas terakhir. Begitulah mereka
menyimpulkan ketika sedang berduaan mereka saling mencurahkan isi hati
satu sama lain. Entah kepada ayah mereka ataupun ibu tiri mereka.
Semuanya disimpan di dalam hati, keduanya hanya berdoa kepada nenek
moyang agar segalanya cepat berlalu.
Suatu hari ibu mereka menumbuk jagung solot lebih banyak dari
biasanya. Sejak pagi hingga siang hari keduanya melakukan tugas itu.
Sedangkan orangtua mereka ke ladang untuk member pakan ke ternak
mereka.entah apa yang menggerakan mereka hari itu, mereka keliatan
sangat bersemangat. Berkarung-karung telah ditumbuk habis,rasa lelah pun
sirna sambil menumbuk mereka melantunkan syair pantun yang indah

4
berbunyi demikian;
‘’Dho yolo mada, dho ha dho ha;
Pi’a ke’o kedi, pi’a hei pi’a hei’’.
Artinya ira-kira mendekati pengertian seperti ini;
‘’Tumbuklah jagung solot, tumbuklah dengan sukacita; titi-lah dengan
gembira’’.
Tak terlalu banyak istirahat, sehingga tubuh mereka bergatalan dimana-
mana. Karena terlalu gatal maka mereka memutuskan untuk mandi. Entah
apa yang berbisik dalam batin mereka, bukannya mereka mandi di tempat
biasa di mana mereka sering mengambil air untuk minum atau mandi, tetapi
mereka perg mandi ke telaga TOTO [poma toto] di ujung kampung itu.
Padahal sebelumnya jarang sekali orang mengunjungi telaga tersebut.
Selain karena telaga itu dianggap mistis karena telah mereka jadikan tempat
dibuatnya upacara adat, telaga TOTO juga dipercayai oleh masyarakat
sekitar sebagai ubun-ubun laut flores. Sejak zaman itu, mereka meyakini
bahwa ada satu jalur yang menghubungkan poma toto dengan laut Flores di
pantai utara. Walaupun merupakan sebuah jalur air laut, namun air di poma
toto tetaplah tawar tidak rasa air laut.
Situasi kampung memang sangatlah mendukung dan benar-benar tenang
sehingga, apa yang akan mereka kerjakan tidak lagi mesti berada dibawah
pengawasan orang dewasa. Ketika keduanya memutuskan untuk mandi
itupun tidak dihalangi oleh siapapun. Namun sang nenek agak curiga
keduanya mandi di telaga toto, nenek mempunyai firasat kurang bagus
ketika berjalan kearah telaga itu dengan tergesa-gesa.
Sesampai di telaga,keduanya menurunkan semua pakaian dan perhiasan.
Setelah semua pakaian ditanggalkan, keduanya tidak sabar lagi untuk
merasakan hangatnya air di telaga itu. Padahal menurut keyakinan adat di
kampung itu, pada siang bolong tidak diperbolehkan untuk mandi, apalagi
mandi di tempat sakral itu karena itu akan menjadi tabu bagi mereka.
Sebelum menceburkan diri ke dalam telaga, mereka berdua berdebat soal
siapa yang duluan melompat ke telaga. Lelu memaksa ngole adiknya namun
adiknya menolak, setelah cukup lama berdebat Lelu akhirnya mengalah dan
lebih dahulu mandi. Mereka berdua adalah orang pertama yang mandi di
telaga itu. Mungkin itulah jalan bagaimana keduanya mengakhiri nasib
buruk bersama ibu tirinya.

5
Setelah lelu melompat dan menceburkan dirinya, ia tidak lagi muncul ke
permukaan. Hingga riakan air berhenti, seketika ngole pun kebingungan ia
agak ragu untuk mandi tapi tanpa berpikir panjang lagi, ngole pun
menceburkan dirinya ke dalam telaga. Ia pun juga tak muncul lagi.
Sedang mereka menghilang dalam telaga, pakaian dan perhiasan tertinggal
di pinggir telaga. Poma Toto begitu hening, seolah puas melahap dua nyawa
gadis tak berdosa.
Sore menjelang malam pulanglah kedua orang tuanya ke rumah, setibanya
di rumah didapatinya rumah dalam keadaan kosong. Tenang sekali, seolah
tak berpenghuni. Jagung solot yang sudah ditumbuk disimpan rapi di sudut
rumah. Sudah dibersihkan, dibelakang rumah api dapur padam, ibu tiri
mereka pun mulai panik mencari mereka ke setiap sudut-sudut rumah tapi
tak menemukan mereka berada, bahkan orangtuanya sambil marah-marah
dan menyumpahi mereka.
Akhirnya mereka memutuskan untuk keluar agak jauh dan mncari Lelu dan
Ngole. Hari belum terlalu malam walau cukup lelah seharian di ladang
mereka tetap mencari kedua anak mereka yang hilang. Seang mereka
sedang panic mencari kasana-sini, datanglah seorang nenek. Ia merasa perlu
menyampaikan kepada orangtua lelu dan ngole bahwa tdi siang secara tidak
sengaja ia melihat kedua anak itu melintas di depan rumah nenek tersebut,
menuju telaga Toto.
Tanpa berbicara banyak ayah mereka langsung menuju telaga Toto.
Sepajang jalan ia menyumpahi anak-anaknya. Begitu tergesa-gesa sang
ayah menuju telaga sambil memanggil-manggil, suasana kampung menjadi
amat ribut, mereka menyesalkan perbuatan kedua anak tersebut
sebagaimana kepercayaan masyarakat bahwa anak-anak perempuan di siang
hari mendi di telaga itu sama dengan mengantar nyawa kepada nenek
moyang.
Setibanya di telaga tersebut mereka mendapati pakaian dan perhiasan lelu
dan ngole tertinggal di pinggir telaga. Sang ayah tidak lagi bertanya-tanya
dan memanggil mereka lagi karena sang ayah yakin kedua putrid
tercintanya tenggelam dalam telaga. Tak lama kemudian sang ibu tiri
mengetahui bahwa keduanya tenggelam dalam telaga, ia tak bisa menahan
tangis air matanya jatuh dan pecahlah tangisannya. Sang ibu duduk
menangis tersedu-sedu sambil meremas pakaian putrinya didalam dadanya.

6
Ia benar-benar menyesali perbuatannya, selama ini ia telah bertindak kasar.
sanksi untuk menumbuk padi bukan lagi semacam hukuman fisik, tapi lebih
jauh dengan caranya untuk mengasingkan kedua putrinya dari lingkungan.
Sanksi yang diberlakukannya sebagai peluapan emosi dan naluri
keibuannya yang menginginkan anak, tetapi tak kunjung hamil.
Setelah lama menatap heningnya suasana di telaga Toto, untuk
membuktikan apakah putri mereka benar tenggelam mereka membuat satu
perjanjian. Diambilnya alu yang digunakan selama hari-hari terakhir oleh
kedua anaknya untuk menumbuk jagung solot. Sambil memegang alu,
dengan lantang sang ayah bernazar; ‘’Jika memang benar kalian berdua
tenggelam di dalam telaga ini, maka alu ini tidak akan muncul lagi di
permukaan air. Tetapi jika tidak, maka alu ini akan muncul lagi’’.
Alu telah dilempar dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan muncul.
Sampai riakan air berhenti, alu tetap dibawah sana. Telaga menjadi tenang
kembali. Dahi mereka berkerut dan mengamini bahwa kedua anak tersebut
telah tenggelam di dalamnya. Semua orang menggeleng- geleng kepala
dalam hati mereka mengutuki perbuatan sang ibu tiri. Dasar ibu jahat ibu
yang tidak tahu merawat anak ibu yang tidak punya hati. Selang beberapa
saat setelah pelemparan alu itu, mereka semua seolah terbawa halusinasi
kemistisan telaga itu, mereka melihat jauh kearah laut flores dan
mendapatkan dua patung batu berdiri kokoh disana. Mereka yakin itu
adalah lelu dan ngole, keduannya telah berubah menjadi patung batu.
Telaga Toto merupakan ubun-ubun dari laut flores di pantai utara.
Keesokan harinya, berangkatlah orangtua lelu dan ngole beserta keluarga
yang lain ke pantai dimana lokasi patung itu berada. Patung itu berdiri
tegakdi pinggir pantai Whatubaya, dekat Kotajogo, Anakoli, kecamatan
wolowae, kabupaten Nagekeo.
Wajah patung batu itu sangat mirip manusia, persis membentuk wajah
keduanya. Yang satu agak membungkuk karena lelu,sebagai anak sulung,
lebih tua, sedangkan ngole berdiri tegak karena menunjukan bahwa ia yang
lebih muda. Tinggi patung itu mencapai kurang lebih 3 meter dpl. Hati
kedua orangtuanya hancur berantakan, air mata jatuh berderai, mata mereka
tak mampu memandangi wajah putri-putri mereka yang telah membatu.
Sang ibu tak tega menepis bayangan penyesalan sambil mencakar-cakar, ia
mencium tanah dimana kedua putrinya berada.

7
Setelah cukup memandang-mandang putri mereka, pulanglah mereka ke
rumah. Setibanya di rumah sang ayah lebih memilih untuk mengurung diri,
ia tidak ingin diganggu siapapun, bahkan istrinya juga. Ia berpuasa untuk
menebus dosa-dosanya. Sementara sang ibu menjadi lebih diam. Dia diam
karena memang tidak ada lagi orang yang mau diajak bicara. Selama
beberapa hari keduanya tak pernah keluar rumah. Ladang dan hewan
dibiarkan begitu saja. Namun untung ada saudara ipar yang mengurus
semua hal di ladang. Sang istri hanya bergerak memberikan makan kepada
sang suami. Lelu dan Ngole telah hilang. Keduannya, menjadi kesepian.
Dalam batin mereka menginginkan putri-putrinya tetap ada. Sang ayah
telah kehilangan wajah yang selalu tersenyum untuknya. Bukan hanya itu,
bahkan ia telah kehilangan segalanya.
[cerita ini disaring melalui dongeng tentang Lelu dan Ngole yang
dituturkan oleh Bapak. Mateus Dengu dan Blasius Mare di kampung
Yateteyo, Desa Tendatoto, kec.Wolowae, Nagekeo, NTT.]
SUMBER; sianakaren.blogspot.com

Lelu dan ngole [ cerita rakyat Nagekeo]

Mitologi daerah Nagekeo ini adalah mitologi pola empat, hamper sama
dengan mitologi dari daerah seperti kerinci dan ternate. Pola empat
berbicara tentang kehidupan masyarakat pesisir dan kepulauan. Dalam pola
empat dikenal dengan pembagian hulu dan hilir seperti dalam budaya
peladang.

8
Mitologi tentang Lelu dan Ngole menggambarkan tentang kedua anak yang
tetap bekerja dengan gembira dan sukacita walau diasingkan oleh ibu
tirinya dari lingkungan sekitarnya. Mereka tetap menerima setiap sanksi
yang diberi dari ibu tirinya sebagai pekerjaan wajib yang harus mereka
lakukan setiap hari. Walau, pada akhirnya mereka berdua harus mengakhiri
hidup mereka secara tragis.
Mitologi kerinci dan ternate dari flores muncul dari ekologi Nusa Tenggara
yang banyak padang dan mereka juga hidup dari pertanian, peternakan, dan
kelautan.

2.2 ARTEFAK

 Rumah Adat Tutubhada

Alamat :
o Desa : Rendu Tutubhada
o kecamatan : Aesesa Selatan
o kabupaten : Nagekeo
o provinsi : NTT
Koordinat : 50 L 0305058 UTM 9045961, 359 m dpl
Luas Lahan : 200 m kali 25 m =
Batas-batas :
o Utara : Kebun
o Timur : Jalan
o Selatan : Gereja
o Barat : Kali
Pemilik : Masyarakat Desa Adat Tutubhada
9
Pengelola : Masyarakat Desa Adat Tutubhada
Deskripsi : Lokasi merupakan sebuah areal perkampungan adat yang di
dalamnya terdapat rumah adat, batu persembahan dan area/lahan untuk
melakukan tradisi adat berupa prosesi tinju adat sebagailuapan rasa
syukur atas hasil panen. Perkampungan ditata sedemikian rupa, dimana
areal perkampungan yang juga dijadikan sebagai arena tinju tradisional.
Di buat memanjang berbentuk persegi membujur dari arah utara ke
selatan. Areal ini dibatasi dengan pemasangan tumpukan batu-batu
sedemikian rupa yang berfungsi sebagai pembatas. Rumah-rumah adat
dibangun mengintari areal perkampungan dengan arah hadap ke tengah.
Rumah pokok dari perkampungan ini dibangun di sisi utara menghadap
ke pintu masuk perkampungan. Di areal perkampungan terdapat
beberapa buah makam, salah satunya makam leluhur yang dianggap
sebagai pemersatu kampung, yang dibangun tepat di depan rumah adat
pokok.

Kampung Tutubhada awalnya didirikan oleh seorang pahlawan dari Rendu bernama
jogo sela sekitar 1200tahun silam. Jogo Sela yang tergabung dalam Roga Lima Zua
kemudian menjadikan kampung ini sebagai batas tanah sekaligus kediamannya.
Ketika pertama membangun rumah kediamannya di tempat itu, Jogo Sela melihat
seekor induk kerbau dengan badan yang sangat besar tidur di halam rumahny. Atas
dasar keberadaan induk kerbau itulah Jogo Sela lalu member nama kampung itu
Tutubhada, yang dalam bahasa Indonesia artinya kerbau besar.

Saat ini kampung adat Tutubhada dikelilingi oleh rumah-rumah tradisional ( ulu
manu) dengan berbagai macam benda adat peninggalan nenek moyang, atau yang
selanjutnya disebut sebagai pusaka. Dari rumah-rumah tradisional yang ada, empat
rumah merupakan rumah adat. Empat rumah adat itu ditandai dengan dua tanduk di
atas atap rumah. Dari empat rumah adat tersebut, hanya satu yang menjadi rumah
adat induk yang dalam bahasa setempat tersebut ji vao. Ji vao terletak paling utara,
di tengah kampung. Rumah tersebut merupakan kediaman Jogo Sela, yang
merupakan tokoh pendiri kampung adat Tutbhada. Di kampung ini, peninggalan
yang tidak pernah lekang oleh waktu adalah tinju adat atau etu,potong kerbau (Para
bhada) dan sunat ( tau nuwa )

10
Atraksi tinju adat (Etu) dilaksanakan setiap tahunnya di lapangan adat, yang berada
di tengah-tengah perkampungan. Upacara para bhada (Potong kerbau) dilaksanakan
berkaitan dengan pembangunan sa’o Ji Vao.

Masyarakat kampung adat Tutubhada juga masih Menjaga tradisi yang berkaitan
dengan benda-benda warisan leluhur yang mereka simpan sampai sekarang. Benda
benda tersebut masihdisimpan di dalam rumah adat, setiap tahun, khususnya pada
bulan juni, dilakukan pembersihan keris dengan ritual pemotongan ayam.
Keberadaan tradisi tersebut kemudian mempengaruhi alur kegiatan konservasi
pusaka yang mereka miliki. Termasuk di dalamnya, memerlukan pemotongan ayam
dan babi sebelum menurunkan dan konservasi pusaka yang mereka miliki.

 2.2.2 Tinju Adat

Nama acara adat itu adalah 'Tinju Etu'. Acara dan atraksi ini biasanya
dipertunjukkan oleh para petarung etu sebagai serangkaian dari acara
adat yang memperingati hari dari menanam hingga panen kebun yang
berlangsung antara bulan Juni dan Juli setiap tahun. Lebih jauh lagi,
tinju etu juga merupakan bagian integral di dalam rangkaian adat mulai
dari menanam hingga memanen yang sudah berlangsung berabad
lamanya di tengah suku Nagekeo dan Ngada. Bagi mereka, tinju etu
merupakan bagian dari ritual adat lainnya yang wajib dilaksanakan
di kisa nata (alun-alun) rumah adat (sa'o waja) yang merupakan pusat
dari aktivitas adat dan kebudayaan masyarakat setempat.

11
Motif tinju tradisional ini adalah murni bagian dari adat, sebagai sarana
untuk merayakan kehidupan, sebagai alat untuk mempersatukan
masyarakat.
Karena itu, setiap akhir pertandingan meski para pemain etu pasti
mengalami lebam-lebam bahkan berdarah, tak boleh dendam terhadap
lawan. Maka dari itu, tiap pertandingan berakhir, para petinju ini justru
harus saling berpelukan dan melambaikan tangan kepada penonton.
Sikap ini merupakan simbol perdamaian, persaudaraan dan persatuan.
 Aturan Main
Saat pertandingan dimulai, maka akan maju para petarung terbaik
mewakili masing-masing desa di wilayah tersebut. Para petarung
ini tak asal bertinju, karena memang ada beberapa aturan dasar
yang membedakan etu dengan pertandingan tinju yang biasa kita
tonton. Pertama, olahraga ini hanya boleh dimainkan oleh kaum
pria. Para wanita bisa mengambil peran sebagai penyemangat
dengan menyanyikan lagu daerah, peran ini disebut dengan dio.
Kedua, pemain hanya boleh menggunakan satu tangan yang
dibalut dengan sarung tinju yang terbuat dari sabut kelapa yang
dalam bahasa setempat disebut dengan Keppo atau Wholet.
Sarung tinju ini dililitkan ke tangan petarung. Sedang tangan
yang satu tak dilindungi sarung tinju hanya boleh digunakan
untuk menangkis. Aturan yang tak kalah penting adalah, tidak
adanya batasan waktu untuk setiap pertandingan. Durasi
pertandingan ditentukan oleh kekuatan para petarung; seberapa
kuat dia menyerang dan mempertahankan diri dari pukulan
lawan. Pemain baru akan dinyatakan kalah ketika ia terjatuh atau
mengeluarkan darah. Pertarungan ini juga memiliki dua kelas,
yaitu anak-anak dan orang dewasa. Untuk anak-anak, disebut etu
coo atau mbela loe dan untuk dewasa adalah etu
meeze atau mbela mese. Kedua kategori ini akan dimainkan di
hari yang berbeda. Etu coo akan dimainkan pada hari pertama
sedangkan etu meeze akan dimainkan pada hari berikutnya.
Dalam pertarungan baik perwakilan dari Nagekeo maupun
Ngada, keduanya sama-sama mengirimkan wakil terbaiknya
untuk beradu cepat tangkas dalam duel di arena tinju.
12
Para penonton dari kedua kubu akan mendukung petarung terbaik
mereka dengan nyanyian dan iringan musik. Kendati bersifat
pertarungan bebas, di arena tinju ini ada tiga wasit yang
disebut seka dalam pertarungan ini. Para wasit itu dibantu oleh
2 sike, yakni orang yang bertugas untuk mengendalikan petinju
dengan memegang ujung bagian belakang sarung yang mereka
kenakan. Ketika pertandingan mulai memanas, maka sike tinggal
menarik ujung kain dan petarung akan menjauhkan dirinya dari
sang lawan. Sike harus mampu mengendalikan situasi karena
jaraknya yang selalu dekat dengan pemain. Tak heran jika
pertarungan ini terlihat sangat unik dan menarik. Selain para
petugas yang disebutkan di atas, terdapat juga para petugas (pai
etu) yang fungsinya mencari para petarung yang siap bertanding
di partai setelahnya. Selain itu ada mandor adat yang bertugas
mengawasi penonton agar tidak merangsek masuk ke arena
pertandingan.
 Menikmati Tinju Etu
Menyaksikan tinju etu membuat kita tak sekadar menyaksikan
pertarungan tinju biasa. Lebih dari itu, kita akan menikmati
pertunjukan seni musik dan tari dari berbagai sanggar seni
tradisional yang datang dari berbagai pelosok untuk merayakan
malam dero. Salah satunya adalah musik khas daerah Nagekeo
yaitu musik toda gu, yaitu musik yang alatnya terbuat dari bambu
dan dimainkan secara bersamaan oleh beberapa orang.
TemanBaik, jika kamu tertarik untuk menyaksikan tinju etu,
kamu bisa berkunjung ke Flores, Nusa Tenggara Timur pada
bulan Juni atau Juli tiap tahunnya.

 2.2.3 Tenun ( pete/ikat, wo’i/sulaman)


Kebiasaan menenun yang diyakini sudah ada sejak dahulu zaman nenek
moyang dulu. Kain Tenun Nagekeo merupakan kain tenun khas yang
berasal dari Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Kain Tenun Nagekeo
memiliki dua macam proses tenun yakni proses pete dan proses wo’i.
Proses tersebut akan menghasilkan pola pada bahan tenun.

13
Tenun ikat nagekeo dengan motif dan ragam hias geometris kecil disebut Hoba
berwarna dasar coklat atau hitam dengan motif dan ragam hias geometris yang
kontras diatasnya. Hoba dari nagekeo ini dibagian atas :

1. Hobaangi mite yaitu seluruh sarung berwarna hitam diselingi beberapa garis
berwarna biru.

Jenis tenun :Tenun sotis

Jenis motif: Naepuncatiti

Warna dasar: Hitam

Asal tenunan : Mbay

2. Hoba angi woi sa wisa yaitu seluruh sarung berwarna hitam diselingi hiasan
berwarna merah,biru dan
motif hiasan tertentu.
Jenis tenun: tenun buna
Jenis motif: Luka
Bai/wanita
Warna dasar: Hitam
Asal tenunan: Nagekeo

14
3. Angi woi toto pata yaitu seluruh sarung berwarna hitam dengan diberi hiasan
tertentu.

Jenis motif: Angi woi toto pata

Warna dasar: Hitam

Asal tenunan: Nagekeo

Anda mungkin juga menyukai