Anda di halaman 1dari 5

TUGAS PRAKTEK KERJA LAPANGAN

AGAMA
(SUMATERA UTARA)

DISUSUN OLEH :
NADINE LINDAWATI
XII MIPA 7

SMA NEGERI 5 PEKANBARU


TAHUN PELAJARAN 2022/2023
A. Sejarah Huta Siallagan “Orang Batak Makan Orang”

Huta Siallagan adalah kampung adat Suku Batak Toba yang masih bertahan di Ambarita,
Kabupaten Samosir. Terdiri dari 8 rumah adat Suku Batak Toba, kemudian batu kursi
persidangan - tempat raja dan para pejabat memutuskan hukuman untuk seorang yang melakukan
kejahatan. Kemudian, ada juga makam Raja Siallagan dan turunannya. 

Yang paling menarik tentunya adalah batu kursi persidangan. Dan inilah yang menjadi
ciri khas dari Huta Siallagan atau Kampung Sialagan ini. Berada di sebuah benteng yang tidak
terlalu tinggi, wisatawan akan masuk ke pintu gerbang yang hanya muat untuk satu orang. Di
depan mata, langsung terlihat deretan rumah adat Batak Toba yang tiap ukirannya penuh makna.
Rumah bolon namanya, hanya ada sekitar 8 rumah di sana.

Tak jauh dari deretan rumah, ada sebuah pohon, di bawahnya ada meja dan kursi-kursi
dari batu. Nah, itulah batu kursi persidangan. Tempat ini, raja dan para petinggi memutuskan
suatu perkara. Yang bikin merinding, adalah hukuman yang dijatuhkan. Ada hukum pasung dan
hukum pancung. Untuk tindak kejahatan yang berat tentunya hukum pancung. Menurut pemandu
yang menemani saya, hukuman pancung menjadi ciri dari hukuman di Huta Siallagan, dan inilah
yang membuat saya langsung merinding. Ada lokasi khusus untuk pemancungan, dan ada algojo
khusus juga. 

Sebelumnya dipancung ada prosesi khusus bagi pelaku kejahatan yang bisa membuat
kuduk langsung merinding. Karena di masa lalu, orang banyak mempunyai "ilmu", maka perlu
langkah untuk menghilangkan kemampuan khusus itu. Kulit pelaku kejahatan pun disayat lantas
lukanya diberi air jeruk nipis. Inilah ramuan yang dipercaya menghapuskan ilmunya dan
hukuman pancung pun bisa dilaksanakan dengan sekali tebas.

B. Sejarah Patung Sigale-Gale

Daerah asal mula munculnya Sigale gale ialah daerah Toba-Holbung (Tapanuli Utara),
kemudian menyebar ke Pulau Samosir (di tengah-tengah Danau Toba). Di pulau Samosir
penduduk menyebutnya dengan sebutan Raja Manggale. Sigale gale dipergunakan pada upacara-
upacara kematian. Upacara untuk orang-orang yang meninggal tanpa mempunyai anak maupun
yang meninggal tanpa meninggalkan keturunan karena semua anaknya telah tiada. Upacara ini
diadakan terutama apabila orang yang meninggal itu mempunyai kedudukan tinggi dalam
masyarakat,seperti raja-raja, dan para tokoh masyarakat. Hal itu dilakukan dengan maksud
menyambung keturunan mereka kelak di alam baka. Pada masyarakat Batak Toba, apabila
seseorang yang mempunyai kedudukan meninggal dunia dan ia tidak mempunyai keturunan
maka dipandang rendah dan tidak membawa kebaikan. Oleh karena itu, kekayaan yang
ditinggalkannya akan dihabiskan untuk mengadakan upacara Sigale gale untuk orang yang
meninggal tersebut. Orang lain tidak akan berani mengambil harta benda milik orang tersebut,
karena takut tertular atau meninggal seperti pemiliknya.
Pada masa sekarang, yakni setelah agama Kristen semakin mendalam dan meresap dalam
kehidupan masyarakat Batak di Tapanuli utara, upacara-upacara Sigale gale mulai ditinggalkan.
Menurut pandangan mereka, upacara ini dianggap sebagai upacara keagamaan parbegu, suatu
upacara yang didasarkan pada kepercayaan terhadap begu (roh dari orang yang sudah
meninggal). Walaupun upacara Sigale gale sudah ditinggalkan, tidak demikian pada patung yang
digunakan dalam upacara itu, yang kita sebut sebagai patung Sigale gale.
Suku Batak Toba memuliakan roh nenek moyang dan keturunan orang yang meninggal
melakukan upacara pemakaman. Jika seseorang meninggal tanpa keturunan, Sigale gale
kemudian dibuat sebagai penggantinya. Sigale gale yang kompleks dapat seukuran manusia dan
memperlihatkan aktuasi memakai lumut basah atau spons yang bisa diperas untuk membuatnya
tampak seperti menangis.
Patung kayu Sigale gale memiliki anggota badan bersendi yang dipasang di atas podium
beroda, sambil meratap, mereka menari-nari selama upacara pemakaman yang disebut papurpur
sepata. Upacara tersebut dilakukan dalam rangka mengusir petaka meninggal tanpa memiliki
keturunan, dan untuk menenangkan roh mendiang agar arwahnya tidak penasaran.

C. Sejarah Batu Gantung –Parapat

Batu Gantung adalah salah satu panorama berupa pahatan bebatuan bagi para wisatawan
yang berkunjung ke Danau Toba. Letak Batu Gantung berada di Parapat, Sumatera Utara,
tepatnya di tepi Danau Toba dan tidak jauh dari Pulau Samosir. Di balik keindahannya, Batu
Gantung ternyata memiliki cerita yang diyakini masyarakat sekitar sebagai sebuah legenda.
Menurut sejarah, konon, Batu Gantung bermula dari kisah seorang gadis yang hendak
dijodohkan oleh orang tuanya. Kendati demikian, ada dua versi cerita yang berkembang di
masyarakat. Versi pertama menyebut bahwa pada zaman dulu, ada sebuah desa di tepi Danau
Toba yang ditinggali oleh sepasang suami istri. Mereka dikaruniai anak gadis yang cantik dan
berbakti bernama Seruni. Ketika berusia remaja, Seruni memiliki kekasih bernama Sidoli.

Suatu ketika, mereka terpaksa harus berpisah, karena Sidoli pergi merantau untuk
memenuhi biaya pernikahannya bersama Seruni. Di tepi Danau Toba, Seruni meminta Sidoli
berjanji bahwa ia akan kembali lagi. Seruni pun terus menunggu sang kekasih hati. Sementara
itu, ayah Seruni adalah seorang petani sekaligus nelayan. Akan tetapi, hasil dari nelayan
digunakan untuk berpesta hingga sang ayah terlilit utang yang sangat banyak. Karena tidak
sanggup membayar, ayahnya diminta menjodohkan Seruni dengan anak temannya. Tidak punya
pilihan lain, ayah Seruni menyetujuinya. Saat ayahnya sedang berbincang dengan sang ibu
mengenai perjodohan itu, Seruni tidak sengaja mendengarnya. Ia pun menangis dan teringat akan
janjinya kepada Sidoli.

Keesokan harinya, Seruni pergi ke ladang seperti biasa, tetapi dalam keadaan hati yang
sangat sedih. Seruni hanya berdiam sembari melamun, karena teringat akan rencana
perjodohannya. Tanpa disadari, ia menangis tersedu-sedu sambil berjalan ke Danau Toba. Ketika
sampai di tepi Danau Toba, Seruni terperosok ke dalam lubang batu yang besar dan sangat gelap.
Seruni merasa ketakutan dan berteriak meminta tolong, tetapi tidak ada yang mendengarnya.

Saat itu, ada anjing Seruni bernama Toki yang melihatnya, tetapi tidak bisa berbuat apa-
apa. Dalam kondisi yang sudah sangat putus asa, Seruni berteriak, "parapat, parapat batu", yang
membuat dinding batu tersebut mulai merapat dan mengimpit tubuhnya. Melihat kondisi
majikannya, Toki langsung berlari ke rumah dan memberi isyarat kepada orang tua Seruni. Sadar
akan isyarat tersebut, kedua orang tua Seruni bergegas mengikuti Toki dan sampai ke tepi lubang
batu tempat putrinya terjatuh. Ayah Seruni berusaha menyelamatkan dan berniat untuk turun,
tetapi mengurungkan niatnya setelah mengetahui bahwa lubang tersebut sangat dalam dan gelap.
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dan guncangan besar yang membuat lubang tersebut
perlahan-lahan kian menutup. Seruni pun tidak terselamatkan, dan setelah guncangan berakhir,
muncul batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis. Konon, batu itu dipercaya sebagai
penjelmaan dari Seruni. Masyarakat sekitar kemudian menamainya sebagai Batu Gantung.

Anda mungkin juga menyukai