Anda di halaman 1dari 5

Cerita Rakyat NTB – Legenda Pulau Lombok

Pulau Lombok termasuk pulau kecil di kepulauan Nusantara, namun bagi propinsi Nusa Tenggara
Barat merupakan salah satu pulau yang besar. Pulau Lombok luasnya sepertiga dari luas Pulau
Sumbawa. Namun, penduduk Nusa Tenggara Barat yang berjumlah lebih dari tiga juta, dua
pertiganya tinggal di Pulau Lombok. Hal ini terjadi karena Pulau Lombok lebih subur dari Pulau
Sumbawa. Penduduk Pulau Lombok adalah orang Sasak. Mereka sebahagian besar pemeluk agama
Islam.
Lombok dan Sasak adalah dua nama yang tidak bisa dipisahkan. Nama Lombok untuk sebutan
pulaunya, nama Sasak untuk sebutan suku bangsanya.
Lombok berasal dari bahasa Sasak; “lomboq,” artinya “lurus”.
Sasak sebenarnya berasal dari “sak-sak” yang artinya “perahu bercadik”.
Namun, banyak orang yang salah mengerti. Lombok diartikan “cabe” sehingga ada yang
mengartikan pulau Lombok sebagai “pulau pedas”, padahal cabe dalam bahasa Sasak adalah
“sebia” (dibaca “sebie”)
Nama Lombok dalam berbagai cerita lisan maupun tertulis dalam takepan lontar adalah salah satu
nama dari Pulau Lombok. Nama lain yang sering disebut adalah pulau “Meneng” yang berarti
“sepi”. Ada yang menyebut “Gumi Sasak”, ada yang menyebut “Gumi (bumi) Selaparang”, sesuai
dengan nama salah satu kerajaan yang terkenal di Lombok pada zaman dulu, yaitu kerajaan
Selaparang.
Pulau Lombok sejak zaman kerajaan Majapahit sudah terkenal. Hal ini terbukti dengan disebutnya
dalam buku Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca. Negarakertagama ditemukan juga
di Lombok.
Legenda masyarakat Sasak menceritakan bahwa pada zaman dahulu kala, kerajaan Mataram Lama
di Jawa Tengah dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Pramudawardhani yang kawin dengan
Rakai Pikatan. Konon sang Permaisuri adalah seorang ahli pemerintahan, sedangkan sang suami
ahli peperangan. Kekuasaannya ke barat sampai ke Pulau Sumatra, ke timur sampai ke Pulau
Flores. Ketika itulah banyak rakyat Mataram pergi berlayar ke arah timur melalui Laut Jawa
menggunakan perahu bercadik.
Tujuan mereka berlayar tidak diketahui secara pasti. Apakah untuk memperluas kekuasaan atau
menghindari kerja berat, karena pada saat itu Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi
Kalasan sedang dibangun oleh sang raja. Demikianlah mereka berlayar lurus ke timur dan mendarat
di sebuah pelabuhan. Pelabuhan itu diberi nama Lomboq (lurus), untuk mengenang perjalanan
panjang.
Mereka lurus ke timur tersebut. Selanjutnya, Lomboq kini tidak hanya menjadi nama pelabuhan
tempat perahu itu mendarat, tetapi juga menjadi nama pulau Lomboq yang kemudian berubah
menjadi Lombok. Mereka berlayar menggunakan perahu bercadik yang disebut “sak-sak”, dan
jadilah mereka dinamakan orang Sak-Sak Yang berarti orang yang datang menggunakan perahu.
Kemudian, mereka membaur dengan penduduk asli. Pada waktu itu, di Pulau Lombok telah ada
kerajaan yang disebut kerajaan Kedarao (mungkin sekarang Sembalun dan Sambelia). Mereka
kemudian mendirikan kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok sekarang. Kerajaan
Lombok menjadi besar, berkembang dalam lima abad, hingga dikenal di seluruh Nusantara, sebagai
pelabuhan yang dikunjungi oleh para pedagang dari Tuban, Gresik, Makasar, Banjarmasin, Ternate,
Tidore, bahkan Malaka. Jika datang ke Lombok, orang Malaka membeli beras, tarum, dan kayu
sepang.
Kerajaan Lombok kemudian dikalahkan oleh kerajaan Majapahit. Raja dan permaisurinya lari ke
gunung dan mendirikan kerajaan baru Yang diberi nama Watuparang yang kemudian terkenal
dengan nama kerajaan Selaparang. Kapan nama Lomboq berubah menjadi Lombok, dan nama Sak-
Sak berubah menjadi Sasak tidak diketahui secara pasti. Yang jelas sekarang pulaunya terkenal
dengan nama Pulau Lombok dan suku bangsanya terkenal dengan nama suku Sasak. Nama
Selaparang kini diabadikan menjadi nama sebuah jalan protokol dan nama sebuah lapangan terbang
di Mataram dengan nama Lapangan Udara/LANUD SELAPARANG, dulu Bandara Selaparang
adalah satu-satunya Bandara di Pulau Lombok, baru kemudian pada 20 Oktober 2011 Bandara
Praya sebutan lain BIL (Bandar udara International Lombok) diresmikan untuk menggantikan
fungsi bandara Selaprang yang saat ini lebih banyak digunakan oleh TNI-AU sebagai pangkalan
udaranya di indonesia bagian tengah dan timur).
Cerita Rakyat NTT – Kisah Skolong Dan Cue

Alkisah, di Kampung Manggarai, di daerah Nusa Tenggara Timur, ada seorang laki-laki tampan
yang bernama Skolong Rebo Todo. Orang-orang di sekitarnya memanggilnya Skolong. Selain
tampan, ia juga anak yang rajin. Setiap hari ia selalu membantu kedua orang tuanya bekerja di
ladang. Bagi masyarakat setempat, para orang tua memiliki kebiasaan menjodohkan anak-anak
mereka dari keluarga terdekat. Begitu pula yang terjadi dalam keluarga Skolong. Kedua orang
tuanya berencana akan menjodohkannya dengan anak bibinya, meskipun anak bibinya itu masih
dalam kandungan atau belum lahir.
Pada suatu hari, Skolong disuruh oleh kedua orang tuanya untuk tinggal di rumah bibinya yang
sedang hamil tua.
“Skolong, Anakku! Pergilah ke rumah bibimu dan tinggallah di sana! Saat ini bibimu sedang hamil
tua. Kelak jika bibimu melahirkan seorang anak perempuan, kamu boleh menikahi putrinya. Aku
dan ibumu bersama bibimu telah sepakat untuk menjodohkan kalian,” ujar ayah Skolong.
Skolong pun menuruti permintaan ayahnya. Setelah berpamitan, berangkatlah ia ke rumah bibinya.
Setibanya di sana, ia pun disambut baik oleh paman dan bibinya. Sejak kehadirannya di rumah itu,
segala pekerjaan paman dan bibinya menjadi ringan. Skolong sangat rajin membantu bibinya
mencari kayu bakar di hutan dan membantu pamannya bekerja di ladang. Tak heran, jika paman
dan bibinya sangat sayang kepadanya. Bibinya sangat berharap bayi yang ada di dalam
kandungannya adalah anak perempuan, sehingga ia dapat menikahkannya dengan Skolong.
Tak terasa, sudah sebulan lebih Skolong tinggal di rumah bibinya. Usia kandungan bibinya pun
memasuki bulan kesembilan. Skolong berharap bibinya melahirkan seorang putri yang cantik.
Beberapa minggu kemudian, bibinya pun melahirkan seorang bayi. Namun, bayi yang dilahirkan
bukanlah seorang putri yang cantik, melainkan sebuah Cue (ubi hutan yang berbulu), yaitu sejenis
tanaman umbi-umbian yang sering tumbuh liar di tengah hutan. Anehnya, bayi yang berwujud cue
itu bisa menangis layaknya bayi manusia.
Paman dan bibinya merasa sangat sedih atas nasib yang menimpa bayi mereka. Meski demikian,
mereka tetap menerima Cue sebagai anak. Mereka akan merawat dan membesarkannya dengan
penuh kasih sayang. Lain halnya dengan Skolong, ia sangat kecewa atas kejadian itu. Kini
harapannya untuk memperistri putri bibinya telah pupus. Namun, ia tidak ingin mengecewakan hati
paman dan bibinya. Ia memutuskan untuk membantu mereka merawat dan membesarkan Cue.
Setelah Cue dewasa, barulah ia akan memohon diri untuk kembali ke rumah orang tuanya.
Waktu terus berjalan. Cue pun tumbuh menjadi besar dan seluruh tubuhnya dipenuhi oleh bulu yang
panjang. Meski demikian, ia dapat berbicara dan berjalan dengan cara menggulingkan tubuhnya.
Kondisi Cue tersebut semakin membuat Skolong tidak mau menikahinya.
Pada suatu hari, Skolong berpamitan untuk kembali ke rumah orang tuanya. Paman dan bibinya
berusaha untuk mencegahnya. Mereka berharap agar Skolong bersedia menikah dengan Cue.
Namun, Skolong tetap menolak.
“Maafkan saya, Paman, Bibi! Saya belum dapat menerima Cue menjadi istri saya. Saya harus
kembali ke rumah orang tua saya,” ucap Skolong seraya memohon diri.
Ketika Skolong akan meninggalkan halaman rumah bibinya, tiba-tiba Cue menghadangnya.
“Kakak! Adik mau ikut bersama Kakak,” rengek Cue.
“Kamu jangan ikut, Adik! Kamu di sini saja menemani ayah dan ibumu! Mereka sangat
menyayangimu,” ujar Skolong.
“Tidak, Kakak! Adik tetap akan ikut bersama Kakak. Adik mencintai Kakak,” kata Cue dengan
tegas.
Berkali-kali Skolong membujuknya, dan bahkan mengancam akan membunuhnya, namun Cue tetap
bersikeras ingin ikut bersamanya. Lama-kelamaan, Skolong pun semakin kesal.
“Hai, makhluk aneh! Ibuku tidak suka padamu karena kamu sebuah cue. Bentuk badanmu jelek
sekali, tidak berkaki dan tidak bertangan. Bagaimana kamu bisa membantu ibuku? Lagi pula,
badanmu kotor dan penuh dengan bulu,” hardik Skolong.
Usai menghardik Cue, Skolong pun melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah orang tuanya. Cue
pun membuntutinya. Di tengah perjalanan, Cue terkadang mendahuluinya tanpa sepengetahuannya.
Ia mengira Cue masih berada di belakangnya. Ketika akan melewati sebuah kampung, Skolong
bertemu dengan sebuah rombongan manusia yang berjalan dari arah berlawanan. Rombongan
tersebut dipimpin oleh seorang gadis yang cantik jelita, yang tak lain adalah Cue yang menjelma
menjadi manusia, namun Skolong tidak mengetahui hal itu. Ia memerintahkan ketua rombongan itu
agar membunuh sebuah cue yang sedang mengikutinya.
“Wahai, Tuan-tuan! Ada sebuah cue besar yang mengikuti saya. Jika Tuan-tuan melihatnya, bunuh
saja atau lemparkan cue itu ke jurang!” pinta Skolong kepada rombongan tersebut.
Pemimpin rombongan itu hanya tersenyum sambil meliriknya. Begitu rombongan tersebut berlalu,
tiba-tiba Skolong mendengar seorang gadis sedang menegurnya.
“Wahai, Skolong yang tampan! Di antara rombongan itu, ada seorang gadis cantik melirikmu. Ia
begitu mencintamu dan sangat merindukan belaianmu,” demikian suara gadis itu.
Skolong tersentak kaget mendengar suara itu. Ia pun menghentikan langkahnya, lalu terdiam
sejenak. Ia mengira suara itu adalah suara si Cue. Namun, ketika menoleh ke belakang, ia tidak
melihat Cue.
Akhirnya, ia pun melanjutkan perjalanannya. Tak berapa lama kemudian, Cue pun kembali muncul
dan berguling di belakangnya. Skolong pun tetap membiarkan makhluk aneh itu membuntutinya.
Ketika Skolong tiba di kampungnya, kedua orang tua dan para warga menyambutnya dengan
meriah. Mereka mengira Skolong datang bersama istrinya. Namun, mereka tidak melihat seorang
wanita berjalan dengan Skolong. Mereka hanya melihat sebuah cue yang berguling-guling
mengikutinya.
“Hai, Skolong! Benda apa yang sedang mengikutimu itu?” tanya ayah Skolong.
Skolong pun menceritakan semua siapa sebenarnya si Cue kepada kedua orang tuanya dan seluruh
penduduk. Mendengar cerita itu, kedua orang tua Skolong pun mengerti bahwa Cue adalah
kemenakan mereka. Mereka turut bersedih atas kejadian yang menimpa Cue yang dilahirkan dalam
kondisi demikian. Mereka pun memutuskan menerima kehadiran Cue di rumah itu dengan senang
hati. Sejak itu, Cue tinggal di rumah orang tua Skolong.
Pada suatu hari, di kampung itu diadakan Pesta Wagal, yaitu sebuah pesta adat dalam tata cara
perkawinan orang Manggarai. Pesta itu akan dilangsungkan selama dua hari. Dalam pesta itu
diadakan pula Perlombaan Caci, sebuah permainan khas orang Manggarai yang pesertanya terdiri
kaum laki-laki. Perlombaan tersebut biasanya diiringi oleh pukulan gendang oleh kaum ibu-ibu,
serta tarian khas Manggarai oleh para gadis.
Mengetahui adanya pesta wagal dan perlombaan caci itu, Cue pun segera menyiapkan
rombongannya. Ia bersama rombongannya pergi ke sebuah pancuran air, tempat para penduduk
mengambil air. Di pancuran air itu, Cue menanggalkan dan menyembunyikan kulitnya di bawah
batu lempeng. Seketika itu pula, ia pun berubah menjelma menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
Kemudian ia bersama rombongannya yang juga telah berubah menjadi manusia segera menuju ke
tempat pesta itu berlangsung. Setibanya mereka di sana, para warga yang hadir, termasuk Skolong,
sangat heran melihat kedatangan mereka.
“Hei, sepertinya aku mengenal mereka. Bukankah mereka yang bertemu denganku beberapa hari
yang lalu?” gumam Skolong tersentak kaget.
Setelah mengamati pemimpin rombongan itu, maka Skolong pun semakin yakin bahwa ia pernah
bertemu dengan mereka di tengah jalan. Ia mengenal wajah gadis cantik yang memimpin
rombongan itu.
Setelah mempertunjukkan tariannya, rombongan tersebut segera meninggalkan pesta. Skolong dan
beberapa warga lainnya berusaha mengikuti rombongan tersebut, namun mereka kehilangan jejak.
Rombongan tersebut tiba-tiba menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
Pada malam harinya, Skolong bermimpi didatangi seorang kakek. Kakek itu berpesan kepadanya
agar pergi ke pancuran air untuk mengambil kulit cue yang disimpan di bawah batu lempeng.
Keesokan harinya, saat rombongan Cue sedang berada di tempat pesta, Skolong segera mengambil
kulit Cue itu lalu membawanya ke tempat pesta gawal.
Saat ia tiba di pesta itu, Cue yang telah berubah menjadi gadis cantik itu sedang menari dengan
gemulai. Tanpa berpikir panjang, Skolong segera meletakkan kulit cue itu di atas api. Seketika itu
pula, Cue yang sedang asyik menari tiba-tiba pingsan. Skolong pun segera menolongnya dengan
mencelupkan kulit cue yang terkena asap api, lalu membalutkan di kepala Cue. Beberapa saat
kemudian, gadis itu pun sadar. Betapa senang hati gadis itu saat ia menyadari dirinya berada di
pangkuan Skolong yang sangat dicintainya.
“Siapa sebenarnya kamu ini, hai gadis cantik?” tanya Skolong.
“Maaf, Kakak! Saya adalah Cue anak bibimu,” jawab Cue dengan nada pelan.
Betapa terkejutnya Skolong mendengar jawaban itu. Ia baru menyadari bahwa cue yang dilahirkan
bibinya beberapa tahun yang lalu ternyata seorang gadis cantik. Dengan perasaan malu, ia pun
segera meminta maaf kepada Cue. Ia sangat menyesal, karena telah menghina dan
mempelakukannya dengan kasar. Namun, Cue adalah seorang gadis pemaaf dan tidak pendendam.
Ia pun memaafkan semua kesalahan Skolong. Akhirnya, mereka pun menikah dan hidup bahagia.
Cerita Rakyat Bali – Kisah Pan Kasim Dan Ular Sakti

Pada dahulu kala, di sebuah desa di Bali, hiduplah sepasang suami istri yang bernama Pan Kasim
dan Men Kasim (Pan = Pak ; Men = Ibu , dalam bahasa Bali). Pasangan suami istri yang tidak
mempunyai anak itu hidup serba kekurangan alias miskin. Mereka hanya tinggal di sebuah gubuk
reyot di pinggir hutan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Pan Kasim setiap hari
mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar atau ditukar dengan kebutuhan hidup sehari-hari
lainnya.
Suatu hari, pagi-pagi sekali Pan Kasim sudah berangkat ke hutan karena mendapat banyak pesanan
kayu bakar dari beberapa pedagang. Ia berangkat seorang diri dengan berbekal sebilah parang yang
tajam dan seutas tali rotan. Sementara itu, istrinya Men Kasim tinggal di rumah sambil mengurus
pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Setiba di hutan, Pan
Kasim segera mengumpulkan ranting-ranting kayu kering dengan penuh semangat. Tak terasa, hari
telah menjelang siang. Kayu bakar yang telah dikumpulkannya pun sudah cukup banyak. Sebelum
membawa pulang kayu bakar, ia beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon yang rindang karena
kecapaian. Angin semilir yang menerpa wajahnya membuat laki-laki separuh baya itu tertidur.
Namun, baru saja matanya terpenjam tiba-tiba ia mendengar suara teriakan yang meminta tolong.

“Tolong… tolong… tolong singkirkan kayu yang menutupi lubangku!” teriak suara itu.
Pan Kasim pun langsung terbangun seraya celingukan mencari sumber suara itu. Beberapa saat
kemudian, ia melihat sebuah batang kayu besar yang sudah rapuh tumbang di depan sebuah lubang
besar. Ia pun beranjak dari tempatnya lalu berjalan mendekati kayu yang menutupi lubang itu.
Alangkah terkejutnya ia saat berada di dekat kayu. Ia melihat seekor ular raksasa yang sedang
menjulur-julurkan kepala di mulut lubang yang tertutupi kayu besar. Begitu melihat ular itu, Pan
Kasim pun ketakutan dan bermaksud melarikan diri. Namun, ular raksasa itu justru berkata kepada
Pan Kasim.
“Jangan takut!” seru ular raksasa itu, “Tolong keluarkan aku dari lubang ini!” Pan Kasim amat
heran karena ular itu dapat berbicara layaknya manusia.
“Hai, ular raksasa! Apakah kamu tadi yang berteriak meminta tolong?” tanya Pan Kasim.
“Benar. Meskipun wujudku seperti ular, tapi aku bisa berbicara seperti kamu,” jawab ular raksasa
itu,
“Jika kamu menolongku menyingkirkan kayu ini, apa pun yang kamu minta akan kukabulkan.”
Mendengar imbalan yang menggiurkan itu, Pan Kasim pun segera menolong ular raksasa dengan
menyingkirkan batang kayu besar tersebut. Ular raksasa itu pun akhirnya dapat keluar dari
lubangnya.
“Terima kasih,,” ucap ular itu, “Sesuai dengan janjiku tadi, sekarang katakan apa yang kamu
inginkan dariku, aku pasti mengabulkannya.” Pan Kasim tidak langsung menjawab. Sejenak ia
berpikir bahwa selama ini dirinya selalu hidup menderita karena didera kemiskinan. Oleh karena
itu, ia menginginkan agar dijadikan orang kaya.
“Jadikanlah aku dan istriku orang kaya!” pintanya,
“Kami sudah bosan terus hidup menderita seperti ini.”
“Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Pulanglah karena semua keinginanmu sudah terwujud saat
kamu sampai di rumah!” ujar ular raksasa itu.
Mendengar perkataan ular itu, Pan Kasim pun cepat-cepat pulang. Saking gembiranya, sampai-
sampai ia lupa membawa kayu bakar yang telah dikumpulkannya. Di sepanjang perjalanan, raut
wajahnya tampak berseri-seri dan selalu tersenyum gembira. Begitu tiba di rumahnya, ia amat
terkejut dan terheran-heran. Gubuk reyotnya telah berubah menjadi rumah megah bagai istana raja
yang dikelilingi oleh taman yang luas dengan dihiasi berbagai macam kembang warna-warni.
Hatinya pun tiba-tiba menjadi berbunga-bunga saat melihat istri tercintanya sedang menunggu di
depan rumah mewah itu dengan mengenakan pakaian yang bagus dan perhiasan yang indah.
“Oh, istriku. Kamu cantik sekali dan mempesona,” puji Pan Kasim dengan kagum. Men Kasim
hanya tersenyum malu-malu bercampur rasa heran.
“Bagaimana semua keajaiban ini bisa terjadi, Pak?” tanya istrinya dengan heran. Pan Kasim pun
menceritakan perihal pertemuannya dengan ular raksasa yang sakti itu.
“Semua ini berkat bantuan seekor ular raksasa yang aku tolong di hutan tadi,” jelas Pan Kasim.
Setelah mendengar penjelasan itu, Men Kasim pun mengajak suaminya masuk ke dalam rumah
untuk menikmati berbagai makanan lezat yang telah ia hidangkan. Sejak itulah Pan Kasim dan Men
Kasim hidup serba mewah. Namun, kemewahan yang mereka rasakan secara tiba-tiba tersebut
membuat para tetangga mereka bertanya-tanya dan merasa iri. Men Kasim yang merasa risi
terhadap bisik-bisik para tetangga tersebut kemudian mengadu kepada suaminya.
“Pak, para tetangga sudah mulai berbisik-bisik mengenai diri kita. Mereka mengira harta kekayaan
yang kita miliki adalah hasil rampokan,” keluh Men Kasim.
“Sudahlah, Bu. Tidak usah kamu risaukan tuduhan para tetangga itu. Mereka itu iri melihat kita,”
ujar Pan Kasim. Men Kasim pun berusaha menepis perasaan risi itu.
Namun, semakin hari iri hati para tetangga semakin menjadi-jadi. Ia pun tidak tahan setiap hari
menjadi buah bibir para tetangganya.
“Pak, walaupun kita kaya raya, tapi hidupku terasa tidak tenang karena bisikan para tetangga.
Bahkan mereka kerap menghina kita,” keluh Men Kasim,
“Mintalah kepada ular itu agar orang-orang menghormati kita!” Pan Kasim yang sangat
menyayangi istrinya segera berangkat ke hutan untuk menemui ular itu. Di hadapan ular itu, ia pun
menyampaikan keinginan istrinya.
“Baiklah, akan kujadikan kalian raja dan permaisuri. Pulanglah, saat kamu tiba di rumah kamu akan
berubah menjadi seorang raja,” ujar ular itu,
“Tapi, ingat! Kamu harus menjadi raja yang adil dan bijaksana.” Setelah mendengar pesan itu, Pan
Kasim segera pulang. Sebelum tiba di rumah, ia sudah dijemput oleh beberapa orang pengawal dan
langsung diantar ke istana. Rupanya, raja di negeri itu mengundurkan diri karena ingin bertapa di
puncak gunung. Pan Kasim pun diminta untuk menggantikan kedudukannya. Maka, pada hari itu
juga, Pan Kasim dinobatkan sebagai raja dan Men Kasim menjadi permasuri.
Sebagai seorang raja, Pan Kasim memiliki kekuasaan penuh di dalam istana. Mereka sangat
dihormati sehingga apa pun yang perintah mereka pasti dituruti oleh para pengawal dan seluruh
rakyatnya.
Suatu hari, Permaisuri Men Kasim ingin memakai kebaya kesayangannya. Ketika ia meminta
kepada dayang untuk menyiapkan, kebaya itu ternyata belum kering karena hari sering hujan.
Selang beberapa hari kemudian, cuaca kembali terang. Sang Permaisuri pun merasa gerah walaupun
beberapa dayang telah mengipasinya.
“Aduh, kenapa seluruh badanku terasa gerah begini?” keluh Men Kasim.
“Ampun, Permaisuri! Hari ini matahari bersinar dengan amat terik,” jawab seorang dayang.
Permaisuri Men Kasim yang sudah tidak tahan menahan rasa gerah tersebut kemudian mengajak
para dayangnya untuk mandi di taman. Saat sedang mandi, terik matahari yang begitu panas
membakar kulit sang Permaisuri sehingga menjadi hitam. Dengan geram, Permaisuri Pan Kasim itu
memurkai matahari yang telah membakar kulitnya.
“Dasar, matahari sialan! Beberapa hari yang lalu ia tidak muncul-muncul hingga kebaya
kesayanganku tidak kering-kering. Setelah muncul, teriknya malah membakar kulitku,” gerutu Men
Kasim. Tidak terima kulitnya terbakar terik matahari, Permaisuri Men Kasim meminta kepada
suaminya agar pergi menemui ular itu.
“Kanda, lihat kulitku jadi hitam begini gara-gara terik matahari!” hardik Permaisuri Men Kasim,
“Temuilah ular itu, Kanda! Mintalah kepadanya agar kita diubah menjadi matahari yang lebih
berkuasa!” Raja Pan Kasim pun memenuhi permintaan permaisurinya. Ia segera menemui ular itu di
hutan. Setelah menyampaikan permintaanya, ular raksasa itu menolak untuk mengambulkannya
karena menganggap bahwa permintaan mereka terlalu berlebihan.
“Hai, kamu seorang yang serakah. Pulanglah, ada ganjaran yang menunggumu di rumah!” ujar ular
itu. Dengan perasaan kecewa, Pan Kasim bergegas pulang. Setiba di istana, ia melihat raja negeri
itu telah kembali dari bertapa. Pada saat itu pula, kedudukan Pan Kasim sebagai raja pun langsung
dicopot. Ia dan istrinya kemudian diantar kembali ke rumahnya di desa. Mereka amat terkejut saat
melihat rumah mereka yang megah kembali berubah menjadi gubur reyot. Akhirnya, Raja Pan
Kasim dan Permaisuri Men Kasim yang serakah itu kembali menjadi rakyat biasa dan hidup miskin.
Itulah upah dari keserakahan dan tak tahu bersyukur, manusia memang dicipta memiliki ambisi
untuk hidup lebih baik/layak, tetapi bukan dicipta untuk menjadi ambisius yang menghalalkan
segala cara untuk mencapai ambisinya dengan lupa bersyukur.

Anda mungkin juga menyukai