Diceritakan dalam sejarah Madura bahwa cucu Bukabu mempunyai anak bernama
Dewi Saini alias Puteri Kuning (disebut Puteri Kuning karena kulitnya yang sangat
kuning) Kesenangannya bertapa. Dengan perkawinan batin dengan Adipoday
(suka juga bertapa) putera kedua dari Penembahan Blingi bergelar Ario
Pulangjiwo, lahirlah dua orang putera masing masing bernama Jokotole dan
Jokowedi.
Kedua putera tersebut ditinggalkan begitu saja dihutan, putera yang pertama
Jokotole diambil oleh seorang pandai besi bernama Empu Kelleng didesa
Pakandangan dalam keadaan sedang disusui oleh seekor kerbau putih, sedangkan
putera yang kedua Jokowedi ditemukan di pademawu juga oleh seorang Empu.
Pembuatan pintu gerbang itu harus dipergunakan alat pelekat, pelekat yang
nantinya akan dapat keluar dari pusar Jokotole sewaktu ia dibakar hangus, oleh
karena itu nantinya ia harus minta bantuan orang lain untuk membakar dirinya
dengan pengertian jika Jokotole telah hangus terbakar menjadi arang pelekat yang
keluar dari pusarnya supaya cepat cepat diambil dan jika sudah selesai supaya ia
segera disiram dengan air supaya dapat hidup seperti sediakala.
Setelah mendapat izin dari ayah angkatnya untuk menemui Raja Majapahit ia lalu
ditunjuk sebagai pembantu empu-empu, pada saat bekerja bekerja dengan empu-
empu Jokotole minta kepada empu-empu supaya dirinya dibakar menjadi arang
bila telah terbakar supay diambilanya apa yang di bakar dari pusarnya dan itulah
naninya yang dapat dijadikan sebagai alat pelekat. Apa yang diminta Jokotole
dipenuhi oleh empu-empu sehingga pintu gerbang yang tadinya belum bisa
dilekatkan, maka sesudah itu dapat dikerjakan sampai selesai. Setelah bahan
pelekatnya di ambil dari pusar Jokotole ia lalu disiram dengan air supaya dapat
hidup kembali.
Selanjutnya yang menjadi persoalan ialah pintu gerbang tadi tidak dapet didirikan
oleh empu-empu karena beratnya, dengan bantuan jokotole yang mendapat
bantuan dari pamannya Adirasa yang tidak menampakkan diri, pintu gerbang yang
tegak itu segera dapat ditegakkan sehingga perbuatan tersebut menakjubkan bagi
Raja, Pepatih, Menteri-menteri dan juga bagi empu-empu, bukan saja dibidang
tehnik Jokotole memberi jasa-jasanya pula bantuannya pula misalnya dalam
penaklukan Blambangan, atas jasa-jasanya itu Raja Majapahit berkenan
menganugerahkan Puteri mahkota yang bernama Dewi Mas Kumambang, tetapi
karena hasutan patihnya maka keputusan untuk mengawinkan Jokotole dengan
Puterinya ditarik kembali dan diganti dengan Dewi Ratnadi yang pada waktu itu
buta karena menderita penyakit cacat, sebagai seorang kesatria Jokotole menerima
saja keputusan Rajanya.
Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit Jokotole minta izin untuk pulang ke
Madura dan membawa isterinya yang buta itu, dalam perjalanan kembali ke
Sumenep sesampainya di pantai madura isterinya minta izin untuk buang air,
karena ditempat itu tidak ada air, maka tongkat Isterinya diambil oleh Jokotole dan
ditancapapkan ke tanah yang ke betulan mengenai mata isterinya yang buta itu,
akibat dari percikan air itu, maka tiba-tiba Dewi Ratnadi dapat membuka matanya
sehingga dapat melihat kembali, karena itu tempat itu dinamakan "Socah " yang
artinya mata.
Pada suatu ketika waktu Jokotole bergelar Pangeran Setyodiningrat III memegang
pemerintahan di Sumenep kurang lebih 1415 th, datanglah musuh dari negeri Cina
yang dipimpin oleh Sampo Tua Lang dengan berkendaraan kapal yang dapat
berjalan di atas Gunung di antara bumi dan langit.
Dengan kejadian inilah maka kuda terbang yang menoleh kebelakang dijadikan
lambang bagi daerah Sumenep, sebenarnya sejak Jokotole bertugas di Majapahit
sudah memperkenalkan lambang kuda terbang.
Dipintu gerbang dimana Jokotole ikut membuatnya terdapat gambar seekor kuda
yang bersayap dua kaki belakang ada ditanah sedang dua kaki muka diangkat
kebelakang, demikian pula di Asta Tinggi Sumenep disalah sati Congkop (koepel)
terdapat kuda terbang yang dipahat di atas marmer. Juga pintu gerbang rumah
kabupaten (dahulu Keraton) Sumenep ada lambang kuda terbang. Di museum
Sumenep juga terdapat lambang kerajaan yang ada kuda terbangnya, karena itu
sudah sepantasnyalah jika pemerintahan kota Sumenep memakai lambang kuda
terbang.