Anda di halaman 1dari 4

Joko Tole (Cerita Rakyat Madura)

Diceritakan dalam sejarah Madura bahwa cucu Bukabu mempunyai anak bernama
Dewi Saini alias Puteri Kuning (disebut Puteri Kuning karena kulitnya yang sangat
kuning) Kesenangannya bertapa. Dengan perkawinan batin dengan Adipoday
(suka juga bertapa) putera kedua dari Penembahan Blingi bergelar Ario
Pulangjiwo, lahirlah dua orang putera masing masing bernama Jokotole dan
Jokowedi.

Kedua putera tersebut ditinggalkan begitu saja dihutan, putera yang pertama
Jokotole diambil oleh seorang pandai besi bernama Empu Kelleng didesa
Pakandangan dalam keadaan sedang disusui oleh seekor kerbau putih, sedangkan
putera yang kedua Jokowedi ditemukan di pademawu juga oleh seorang Empu.

Kesenangan Jokotole sejak kecil ialah membuat senjata-senjata seperti, keris,


pisau dan perkakas pertanian, bahannya cukup dari tanah liat akan tetapi Jokotole
dapat merubahnya menjadi besi, demikian menurut cerita. Pada usianya yang
mencapai 6 tahun bapak angkatnya mendapat panggilan dari Raja Majapahit
(Brawijaya VII) untuk diminta bantuannnya membuat pintu gerbang.

Diceritakan selama 3 tahun keberangkatannya ke Majapahit Empu Kelleng belum


juga ada kabarnya sehingga mengkhawatirkan nyai Empu Kelleng Pakandangan
karena itu nyai menyuruh anaknya Jokotole untuk menyusul dan membantu
ayahnya, dalam perjalanannya melewati pantai selatan pulau Madura ia berjumpa
dengan seorang yang sudah tua didesa Jumijang yang tak lain adalah pamannya
sendiri saudara dari Ayahnya yaitu Pangeran Adirasa yang sedang bertapa dan
iapun memenggil Jokotole untuk menghampirinya lalu Jokotolepun menghampiri,
Adirasa lalu menceritakan permulaan sampai akhir hal ihwal hubungan keluarga
dan juga ia memperkenalkan adik Jokotole yang bernama Jokowedi, selain itu
Jokotole menerima nasihat-nasihat dari Adirasa dan ia juga diberinya bunga melati
pula, bunga melati itu disuruhnya untuk dimakannya sampai habis yang nantinya
dapat menolong bapak angkatnya itu yang mendapat kesusahan di Majapahit
dalam pembuatan pintu gerbang.

Pembuatan pintu gerbang itu harus dipergunakan alat pelekat, pelekat yang
nantinya akan dapat keluar dari pusar Jokotole sewaktu ia dibakar hangus, oleh
karena itu nantinya ia harus minta bantuan orang lain untuk membakar dirinya
dengan pengertian jika Jokotole telah hangus terbakar menjadi arang pelekat yang
keluar dari pusarnya supaya cepat cepat diambil dan jika sudah selesai supaya ia
segera disiram dengan air supaya dapat hidup seperti sediakala.

Jokotole diberi petunjuk bagaimana cara untuk memanggil pamannya (Adirasa).


Apabila ia mendapat kesukaran, selain mendapat nasihat-nasihat ia juga mendapat
kuda hitam bersayap (Si Mega) sehingga burung itu dapat terbang seperti burung
Garuda dan sebuah Cemeti dari ayahnya sendiri Adipoday.

Setelah Jokotole pamit untuk ke Majapahit sesampainya di Gresik mendapat


rintangan dari penjaga-penjaga pantai karena ia mendapat perintah untuk mencegat
dan membawa dua sesaudara itu ke istana, perintah raja itu berdasarkan mimpinya
untuk mengambil menantu yang termuda di antara dua sesaudara itu. Dua
sesaudara itu datanglah ke istana, ketika dua orang sesaudara itu diterima oleh
Raja diadakan ramah tamah dan di utarakan niatan Raja menurut mimpinya,
karena itu dengan iklas Jokotole meninggalkan adiknya dan melanjutkan
perjalanannya menuju Majapahit.

Setelah mendapat izin dari ayah angkatnya untuk menemui Raja Majapahit ia lalu
ditunjuk sebagai pembantu empu-empu, pada saat bekerja bekerja dengan empu-
empu Jokotole minta kepada empu-empu supaya dirinya dibakar menjadi arang
bila telah terbakar supay diambilanya apa yang di bakar dari pusarnya dan itulah
naninya yang dapat dijadikan sebagai alat pelekat. Apa yang diminta Jokotole
dipenuhi oleh empu-empu sehingga pintu gerbang yang tadinya belum bisa
dilekatkan, maka sesudah itu dapat dikerjakan sampai selesai. Setelah bahan
pelekatnya di ambil dari pusar Jokotole ia lalu disiram dengan air supaya dapat
hidup kembali.
Selanjutnya yang menjadi persoalan ialah pintu gerbang tadi tidak dapet didirikan
oleh empu-empu karena beratnya, dengan bantuan jokotole yang mendapat
bantuan dari pamannya Adirasa yang tidak menampakkan diri, pintu gerbang yang
tegak itu segera dapat ditegakkan sehingga perbuatan tersebut menakjubkan bagi
Raja, Pepatih, Menteri-menteri dan juga bagi empu-empu, bukan saja dibidang
tehnik Jokotole memberi jasa-jasanya pula bantuannya pula misalnya dalam
penaklukan Blambangan, atas jasa-jasanya itu Raja Majapahit berkenan
menganugerahkan Puteri mahkota yang bernama Dewi Mas Kumambang, tetapi
karena hasutan patihnya maka keputusan untuk mengawinkan Jokotole dengan
Puterinya ditarik kembali dan diganti dengan Dewi Ratnadi yang pada waktu itu
buta karena menderita penyakit cacat, sebagai seorang kesatria Jokotole menerima
saja keputusan Rajanya.

Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit Jokotole minta izin untuk pulang ke
Madura dan membawa isterinya yang buta itu, dalam perjalanan kembali ke
Sumenep sesampainya di pantai madura isterinya minta izin untuk buang air,
karena ditempat itu tidak ada air, maka tongkat Isterinya diambil oleh Jokotole dan
ditancapapkan ke tanah yang ke betulan mengenai mata isterinya yang buta itu,
akibat dari percikan air itu, maka tiba-tiba Dewi Ratnadi dapat membuka matanya
sehingga dapat melihat kembali, karena itu tempat itu dinamakan "Socah " yang
artinya mata.

Didalam perjalanannya ke Sumenep banyaklah kedua suami isteri itu menjumpai


hal-hal yang menarik dan memberi kesan yang baik, misalnya sesampainya
mereka di Sampang, Dewi Ratnadi ingin mencuci kainnya yang kotor karena ia
menstruasi, lalu kain yang di cucinya itu dihanyutkan oleh kain sehingga tidak
ditemukan. Kain dalam tersebut oleh orang Madura disebut "Amben" setelah
isterinya kehilangan Amben maka Jokotole berkata Mudah-mudahan sumber ini
tidak keluar dari desa ini untuk selama-lamanya, sejak itu desa itu disebut desa
"Omben" dan ketika Jokotole menjumpai ayahnya ditempat pertapaan di Gunung
Geger diberitahunya bahwa ia nantinya akan berperang dengan prajurit yang ulung
dan bernama Dempo Abang (Sampo Tua Lang), seorang panglima perang dari
negeri Cina yang menunjukkan kekuatannya kepada Raja-raja ditanah Jawa,
Madura dan sekitarnya.

Pada suatu ketika waktu Jokotole bergelar Pangeran Setyodiningrat III memegang
pemerintahan di Sumenep kurang lebih 1415 th, datanglah musuh dari negeri Cina
yang dipimpin oleh Sampo Tua Lang dengan berkendaraan kapal yang dapat
berjalan di atas Gunung di antara bumi dan langit.

Didalam peperangan itu Pangeran Setyoadiningrat III mengendarai kuda terbang


sesuai petunjuk dari pamannya (Adirasa), pada suatu saat ketika mendengar suara
dari pamannya yang berkata "pukul" maka Jokotole menahan kekang kudanya
dengan keras sehingga kepala dari kuda itu menoleh kebelakang dan ia sendiri
sambil memukulkan cambuknya yang mengenai Dempo Awang beserta perahunya
sehingga hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan),
Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang
menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di
Desa/Kecamatan Socah

Dengan kejadian inilah maka kuda terbang yang menoleh kebelakang dijadikan
lambang bagi daerah Sumenep, sebenarnya sejak Jokotole bertugas di Majapahit
sudah memperkenalkan lambang kuda terbang.

Dipintu gerbang dimana Jokotole ikut membuatnya terdapat gambar seekor kuda
yang bersayap dua kaki belakang ada ditanah sedang dua kaki muka diangkat
kebelakang, demikian pula di Asta Tinggi Sumenep disalah sati Congkop (koepel)
terdapat kuda terbang yang dipahat di atas marmer. Juga pintu gerbang rumah
kabupaten (dahulu Keraton) Sumenep ada lambang kuda terbang. Di museum
Sumenep juga terdapat lambang kerajaan yang ada kuda terbangnya, karena itu
sudah sepantasnyalah jika pemerintahan kota Sumenep memakai lambang kuda
terbang.

Anda mungkin juga menyukai