Anda di halaman 1dari 13

A.

   Kelahiran Joko Tole dan Agus Wedi


Pada sekitar abad ke-13, di Madura tepatnya di Sumenep ada seorang raja yang
bernama Raja Mandaraga (karena tinggal di Mandaraga) yang mempunyai putra
bernama Pangeran Bukabu dan Pangeran Baragung (tinggal di Bukabu dan Baragung).
Pangeran Baragung mempunyai putri yang bernama Endhang Kelingan yang
bersuamikan Bramakanda yang dikaruniai seorang putra yang bernama Wagungrukyat.
Wagungrukyat setelah dewasa menjadi raja di Sumeneb dengan julukan Pangeran
Saccadiningrat yang keratonnya terletak di desa Banasare (sekarang masuk Kecamatan
Rubaru).

Pangeran Saccadiningrat kawin dengan Dewi Sarini dan dikaruniai seorang putri
bernama Saini dengan julukan Raden Ayu Potre Koneng (kulitnya mengkilap serta
wajahnya sangat cantik). Setelah dewasa ibunya menghimbau agar segera kawin tapi ia
menolak, karena ia ingin berbakti pada Allah, karena itu suatu hari Raden Ayu Potre
Koneng berpamitan untuk bertapa di goa Payudan dengan 3 pengawalnya. Raden Ayu
Potre Koneng bertapa hingga pada hari ke tujuh tepatnya tanggal 14 ia tertidur dan
bermimpi. Dalam mimpinya ia tidur dengan seorang lelaki yang mengaku bernama
Adipoday ( dikisahkan ada seorang pertapa yang bernama Panembangan Balinge
mempunya putra yang bernama Adipoday dan Adirasa. Adippoday bertapa di gunung
Geger dan Adiyasa di ujung gelagah).
Raden Ayu Potre Koneng kemudian pulang tapi perutnya makin hari makin besar dan
diketahui bahwa dirinya hamil. Bapak dan ibunya marah dan bahkan pada suatu hari ia
hendak dihukum mati oleh Bapaknya, karena Raja malu jikalau hal ini diketahui oleh
orang dan raja-raja lain. Permaisuri, patih dan para mentri merasa kasihan pada Raden
Ayu Potre Koneng sehingga mengadakan perundingan dan akhirnya baginda raja
berkenan merubah keputusannya, dengan syarat supaya putrinya itu tidak terlihat oleh
beliau. Dengan demikian Raden Ayu Potre Koneng disembunyikan agar tidak terlihat
oleh baginda raja.

Tiba saatnya Raden Ayu Potre Koneng melahirkan, tepat pada tanggal 14 ia melahirkan
bayi laki-laki yang elok, besih dan berseri-seri seperti wajah orang yang menghamilinya
dalam mimpinya. Anehnya Raden Ayu Potre Konengmelahirkan tanpa mencucurkan
darah setetespun dan tanpa ari-ari. Kelahiran bayinya justru membuat Raden Ayu Potre
Koneng takut disangka berbuat tidak baik oleh kedua orang tua, maka dengan deraian
air mata ia menyuruh dayang untuk membuang bayinya tadi.

Keesokan harinya simbok pergi ke alas gunung selatan untuk membuang bayi Raden
Ayu Potre Koneng. Bayinya ia taruh di bawah pohon untuk menjamin kamanan bayi itu
dan ditutup dedaunan.

Disisi lain yaitu di desa Pakandangan (sekarang bagian kecamatan Bluto) hidup lelaki
bernama Empo Kelleng yang hidup berumah tangga tapi belum dikaruniai keturunan. Ia
bekerja sebagai pandai besi dan juga ia memelihara kerbau. Setiap hari kerbaunya
diumbar ke hutan dan pada sore hari akan pulang sendiri. Salah satu kerbaunya ada
kerbau yang paling bagus berwarna putih mulus yang sedang menyusui anaknya.
Dengan kekuasaan Allah kerbau tadipun juga ikut menyusui bayi Raden Ayu Potre
Koneng serta menjaganya setiap hari, bahkan kalau pulang pasti terlambat. Empo
Kelleng mulai curiga dengan kerbau putihnya yang selalu pulang terlambat dan
badannya bertambah kurus, ia pun menyelidiki hal itu.
Keesokan harinnya Empo Kelleng mengikuti kerbau putihnya, ia terkejut karena didapati
kerbaunya menyusui seorang bayi laki-laki yang tampan. Ello kelleng pun membawa
bayi itu pulang, sesampainya dirumah Nyai Empo sangat senang karena mereka tidak
punya anak dan bayi itu diberi nama “Jokotole”. Sejak saat Empo kelleng mempunyai
anak, banyak tamu yang berdatangan dan member mereka oleh-oleh sehingga
membuat mereka makin kaya.

Lain halnya Raden Ayu Potre Koneng, ia bermimpi lagi tidur dengan Adipoday di keratin
Sumeneb. Iapun bangun dan terkejut serta gelisah, ia menangis takut peristiwa yang
dulu terjadi lagi. Mendengar tangisan Raden Ayu Potre Koneng simbok terbangun dan
menangkan Raden Ayu Potre Koneng. Benar saja ternyata didapati bahwa Raden Ayu
Potre Koneng hamil, akan tetapi bapak dan ibunya tidak marah karena disangka
penyakit Raden Ayu Potre Koneng yang dulu kambuh lagi.

Kelahiran bayinyapun tiba pada waktu tengah malam, bayi laki-laki yang mirip rautnya
dengan Jokotole yang tampan dan berseri-seri. Bayinya itupun juga dibuang seperti
dulu, hingga pada suatu saat ada seseorang yang bernama Kyai Pademmabu
menemukan bayi itu. Kemudian bayi itu dibawa pulang dan diberikan kepada anak
perempuannya. Anaknya sangat senang dengan kehadiran bayi itu dan bayi itupun
diberi nama “Agus Wedi” (banyak wedi).

Agus Wedi genap berusia 5 tahun, sedangkan Jokotole 6 tahun. Suatu hari Jokotole ikut
kerja Empo Kelling, awalnya tidak diizinkan karena Jokotole ini terkenal nakal tetapi
akhirnya diizinkan ikut. Ketika Empo Kelling dan para pekerja yang lain sembahyang
zuhur di masjid, Jokotole menyulut api dan membuat perkakas seperti arit, linggis, dll.
Jokotole menggunakan lututnya sebagai alas, dan tangannya sebagi palu,jari-jari
sebagai jepit dan kikir hasilnyapun lebih bagus dari buatan Empo Kelling. Para pekerja
dan Empo Kelling terkejut melihat banyak perkakas yang telah selesai tetapi tidak tahu
kalau yang membuat adalah Jokotole.

B.   Perjalanan ke Majapahit
Sultan Majapahit, Brawijaya hendak membuat pintu gerbang raksasa yang terbuat dari
besi dan memanggil seluruh pandai besi di Jawa dan Madura untuk membuat pintu itu.
Empo Keling sangat susah atas panggilan itu karena ia harus berpisah dengan
keluarganya selama satu tahun bahkan lebih untuk mengerjakan panggilan itu.

Awalnya Jokotole ingin ikut tapi dilarang, Jokotole pun tetap dirumah dan ia banyak
disururh oleh para tetangganya untuk membuat perkakas yang konon perkakasnya
mempunyai kelebihan. Misalnya perkakas pertanian yang membuat tanaman subur dan
keris yang sakti yang dibuat dengan tangan, lutut dan jarinya sendiri.

Setelah hsatu tahun lebih, pembangunan pintu gerbang raksasa di Majapahit mengalami
kendala, yaitu saat pengelasan tidak mau menyatu. Disana banyak pandai besi sakit
dan bahkan meninggal. Empo Kelling pun juga sakit.

Nyai Empo mendengar kabar bahwa suaminya sakit, maka ia menyuruh Jokotole untuk
membantu pekerjaan ayahnya itu agar cepat selesai. Jokotole berangkat, akan tetapi ia
tidak tahu jalan ke Majapahit. Di tengah perjalan tepatnya di tengah hutan Jokotole
bertemu dengan seorang pertapa yaitu Adirasa, yang ternyata adalah pamannya sendiri.
Setelah menceritakan kejadian yang sebenarnya, Jokotole berniat untuk ikut Adirasa
dan bertemu dengan ayah kandungnya yaitu Adipoday, akan tetapi dilarang, karena ia
seharusnya menolong Empo Kelling yang telah merawat Jokotole sampai sekarang.

Jokotole diberi ilmu batiniyah dan lahiriyah, jokotole diberi kembang sakti, yang mana
kembang tadi dapat berguna untuk membantu dalam mengelas pintu gerbang raksasa
di majapahit.

“makanlah kembang ini sekarang, nanti akan berguna di majapahit. Caranya adalah
kamu harus dibakar dulu, maka akan keluar bahan las dari pusarmu. Segeralah kamu
ambil abunya dan siram dengan air. Pintu besi supaya dibakar dan jika sudah menyala
kamu masuk dalam api dan mengelas pintu itu” kata Adirasa.

Selain itu Adirasa juga memberitahukan tentang adik Jokotole yaitu Agus Wedhi.
Adirasa mengatakan bahwa adiknya ada di sebelah barat di bawah pohon beringin,
serta menyuruh untuk memanggil nama adiknya itu. Jokotole melakukan apa yang
diperintah Adirasa, ia pun pergi dan memanggil nama adiknya itu, akhirnya Jokotole pun
bertemu dengan Agus Wedi yang keluar dari pohon beringin. Wajah mereka bagaikan
pinang dibelah dua, dan sama-sama tampannya.

Jokotole mengajak adiknya untuk ke majapahit. Setelah berpamitan dengan Kyai


Padhemmabu mereka berangkat ke Majapahit. Siang malam mereka berjalan ke barat
hingga sampailah di sebuah pantai berpasir putih . mereka beristirahat di pasar, banyak
orang yang terkesima melihat keduanya. Banyak orang member bunga, sarung, nasi
dan makanan lainnya kepada mereka berdua, karena mereka ingin melihat ketampanan
Jokotole dan Agus Wedi. Banyak yang ingin menjadikan mereka berdua suami dan
menantu.

Mereka melanjutkan perjalanan, bertemulah mereka dengan juragan perahu. Mereka


ingin menumpang menyeberangi lautan untuk ke Gresik. Awalnya juragan perahu dan
awak kapalnya menolak karena mereka takut jika membawa Jokotole dan Agus dikira
sebagai penculik anak raja (terlihat dari raut wajah dan logat Jokotole dan Agus Wedi ).

Akhirnya juragan pergi berlayar, tapi anehnya perahu itu tidak mau berlayar tapi hanya
terombang ambing dan bahkan kembali lagi ke pinggir, segala cara dilakukan tapi tidak
berhasil. Si juragan bertanya-tanya mungkin kedua pemuda yang ditolaknya tadi
keramat. Akhirnya juraganpun mau memberikan tumpangan kepada Jokotole dan Agus
Wedi. Setelah kedua pemuda itu naik ke perahu, perahu juragan mau berjalan bahkan
kecepatannya melebihi kecepatan biasanya, hingga sampailah mereka ke Gresik.
Merekapun melanjutkan perjalanan menuju Majapahit.

C. Agus Wedi Menetap di Gresik


Suatu malam Raja Gresik mendengar suara “hai Raja Gresik ketahuilah bahwa ada dua
orang pemuda yang masih jejaka, wajahnya sangat tampan. Ambil anak mereka dan
rawatlah dengan baik”. Keesokan harinya baginda raja menyuruh para patih dan menteri
nya untuk mencari kedua anak tersebut.

Lora Kaarjan berhasil menemukan Jokotole dan Agus Wedi, akan tetapi ketika hendak
ditangkap dan dibawa ke istana mereka berdua menolak. Patih Lora Kaarjan menyuruh
para pengawalnya yaitu Macanrangas, Macankembang, Macankoneng, Jayakaletteng,
Kebulaplap, dan Kalamentas untuk mengkap Jokotole dan Agus Wedi, akan tetapi
mereka berenam dikalahkan Jokotole dan Agus Wedi. Ki Patih Lora Kaarjan yang cerdik
akhirnya mendekati mereka berdua dengan cara halus, yaitu dengan pujian-pujian dan
bujukan-bujukan sehingga mereka berdua mau diajak ke istana menghadap raja.

Baginda raja memperhatikan kedua pemuda itu dan ternyata sesuai dengan apa yang
didengarnya beberapa hari sebelumnya. Mereka berdua disambut baik, dan hendak
diangkat sebagai anak oleh baginda raja. Jokotole menolak karena ingin melanjutkan ke
Majapahit, akan tetapi adiknya Agus Wedi tetap ingin tinggal dan akhirnya Agus Wedi
diangkat sebagai punakawam kerajaan Gresik, bahkan ketika Agus Wedi menginjak
dewasa ia diangkat sebagai sesepuh gambu. Dalam kegiatan sehari-hari Agus Wedi
dikenal baik, pandai mengaji, membaca dan menulis. Oleh sang Raja, Agus Wedi
dinikahkan dengan putrinya satu-satunya.

Sementara Jokotole yang dalam perjalanan, kini sudah sampai di Majapahit. Banyak
gadis-gadis dan janda yang terpesona melihat Jokotole, sehingga banyak yang
memberinya bunga, makanan dan lainnya agar mereka diperhatikan Jokotole. Bahkan
ada seorang janda kaya yang mengikutinya dari belakang kemudian memegang tangan
Jokotole dan mengajaknya pulang akantetapi Jokotole hanya tersenyum kemudian
melanjutkan perjalanannya.

D. Jokotole Tiba di Majapahit


Dalam perjalanan akhirnya Jokotole sampai di alunalun Majapahit, yaitu tempat para
pandai besi bekerja. Akhirnya Jokotole bertemu dengan Empo Kelling. Jokotole sangat
prihatin melihat keadaan bapaknya itu.

Baginda raja sangat marah kepada patihna kaena pekerjaan membuet pintu itu belum
jua selesasi. Para pekerja dan patih menundukkan kepala takut pada kemarahan raja.
Akantetapi Jokotole berani berkata kepada raja hingga akhirnya ia sangup untuk
menyelesaikan pembuatan pintu itu. Sang raja sangat senang karena ada yang berani
menyangupi untuk menyelesaikan pembangunan pintu, tapi ayahnya sangat susah
karena jika Jokoole gagal pasti diriya danJokotole akan dihikum mati.

Sebenarnya pekejan pembuatan pintu sudah selesai tapi kurang mengelasnya yang
sangat susah. Keesokan harinya Jokotole memerintah para pekerja yang lain untuk
membakarnya. Para pekerjapun setuju dan mulai mengumpulkan kayu bakar. Setelah
kayu dibakar Jokotole masuk kedalamnya. Empo kelling tidak tega melihat anaknya
dibakar, akan tetapi setelah setengah jam api mengecil dan terlihat Jokotole masih
hidup dan berubah menjadi hangus seperti arang. Keluarlah cairan putih dari pusarnya,
lalu cairan itu dicampur dengan air jambangan dan digunakan untuk mengelas pintu.
Setelah pintu dibakar dan dirapatkan oleh para pekerja, Jokotole menempelkan cairan
putih ke pintu. Setela bitu disiram dengan air, dan terlihat pintu gerbang telah jadi dan
bahkan terlihat sangat indah. Patih Gajahmadha dan para pekerja heran melihat
kejadian itu.

Setelah cairan putih keluar dari pusar Jokotole, wajahnya berubah seperti semula dan
bahkan lebih tampan dari sebelumnya.

Patih Gajahmadha segera melapor pada Raja. Raja memanggil Jokotole dan
menanyakan apakah pekerjaannya sudah selesai, Jokotole meminta tambahan orang
untuk mendirikan pintu itu, akhirnya Raja menyuruh patih untuk mencari sebanyak lima
ribu orang untuk mendirikan pintu gerbang yang megah itu, akan tetapi lima ribu orang
itu tidak bisa mengangkat pintu itu. Akhirnya Jokotole teingat pesan dari pamannya yaitu
Adirasa. Jokotolepun berdoa kepada Allah dan akhirnya Adirasa datang kesana dengan
membawa ribuan bala tentara jin untuk mengangkat pintu gerbang itu. Orang-orang
yang melihat heran karena yang terlihat hanyalah Jokotole yang mengangkat pintu
gerbang sendirian.

Sang Raja menepati janjinya dan memberikan hadiah berupa emas seberat badan
Jokotole, akantetapi setelah mencapi lima karung belum mencukupi berat badan
Jokotole akhirnya sampai ke karung sepuluh dan raja menyuruh untuk menghentikan
timbangannya itu. Akhirnya Jokotole diberikansepuluh karung emas.

Sepuluh karung emas itu diberikan pada Empo kelling dan dipersembahkan pada ibunya
dirumah. Jokotole menyuruh bapaknya untuk pulang, akan tetapi Empo kelling menolak
kalau Jokotole juga tidak pulang, akhirnya setelah dirayu bapaknya mau pulang.

E. Agus Wedi Menjadi Raja Gresik


Dikisahkan bahwa Agus Wedi setelah menginjak dewasa wajahnya bertambah tampan,
dan banyak wanita yang cinta padanya, namun ia telah dijidohkan dengan putri tunggal
baginda raja yaitu Raden Ajeng Sekar Kadatum yang parasnya sangat cantik. Setelah
cukup lama mereka bertunangan akhirnya tiba saatnya pernikahan mereka. Pesta
penikahannya diadaka selama empat puluh hari empat pluh malam. Para undangan
sangat kagum melihat kedua pasangan yang sangat cantik dan tampan itu. Kehidupan
rumah tangga mereka sangat rukun.

Baginda raja sudah sangat tua sehingga memutuskan untuk menjalani hari tuanya
daengan bersemedi dan menyerahkan pemerintahan kepada Agus Wedi untuk menjadi
raja disana. Masa pemerintahan nya bertambah aman dan tentram. Selain itu beliau
terkenal dengan raja yangs angat dermawan dan bijaksana. Meskipun menjadi raja ia
tidak melupakan orang yang telah merawatnya, ia selalu mengirimkan barang dan uang
kepada Kyai Padhemmamu dan anaknya yang telah merawat Agus Wedi dari kecil.

F. Pulang dari Majapahit


Setelah pintu gerbang selesai dibangun, raja mempuyai hajat untuk mengadakan
perlombaan gulat. Sang raja mengajukan Jokotole tetapi dengan menyamar, melawan
asuhan sang patih yang lebih besar, awalnya semua orang menganggap bahwa yang
menang adalah dari pihat Patih Gajah Mada akantetapi hal itu di menangkan ileh
asuhan baginda rajayang tidak lain adalah Jokotole. Melihat bahwa itu adalah Jokotole
Patih kecewa karena Jokotole itu orangnya sangat kuat, pitu gerbang saja bisa
diangkatnya sendiri

Akhirnya Jokotole mendapat penghargaan dari sang baginda raja yang kemudian
dipersembahkan kepadaEmpo Kelling. Setelah pertandingan Empo Keling dibantu
dengan 3 orang kawannya pulang membwa karung-karung emas yang telah diberikan
kepada nya. Mereka sama-sama pulang ke Madura.

Setibanya di pinggir pantai mereka menumpang perahu menuju pantai Cangkrama’an


(sebelah timur desa pakandangn Kabupaten Sumeneb). Akhirnya ia samppai di rumah
dengan keadaan selamat. Ia sangat bahagia bisa bertemu dengan istrinya dan
menceritakan semua yang dialamunya di Majapahit. Banyak tamu-tamu
yangberdatangan untuk mendengar cerita entang keadaan Jokotole dan Empo Kellingpu
tidak henti-hentinya menceitakan semua hal yang berkaitan dengan anaknya itu.

Sepulangnya Empo Kelling ke Madura, Jokotole tetap tinggal di Majapahit dan ia


membuat perkakas tani, keris dan tombak yang diberi nama “Jennengan Majapahit”
yang mana karyanya ini sanga disukai oleh banyak orang.

G. Menangkap kuda liar


Baginda raja mempunyai 7 orang putra dan 3 orang putri, akan tetapi ada salah seorang
putrinya yang bernama Dewi Ratnadi mempunyai penyakit cacar yang sangat parah
sampai kedua matanya buta. Sudah berbagai cara untuk menyembuhkan Dewi Ratnadi
akantetapi tidak berhasil. Suatu hari ada seorang kakek yang memberikan sebuah
tongkat pada Dewi Ratnadi yang mungkin akan bermanfaat dikemudian hari.

Disisi lain sang raja juga mempunyai kuda yang sering digunakan untuk berkendara
yang bernama “Sambrane”. Suatu hari kuda tersebut mengamuk dan lepas sampai ke
alun-alun kota. Jika kuda itu sedah ngamuk semuanya pasti diserang, sehingga banyak
penduduk yang ketakutan.

Baginda raja teringat akan keampuhan Jokotole, untuk itu beliau meminta Jokotole
untuk menagkap kuda kesangan sang Raja itu. Jokotole bersedia asalkan diberikan
kaos dan pakaian kuda.

Ketika kuda itu melihat Jokotole dari kejauhan, kuda itu langsing jinak dan
membungkukkan badannya tatkala Jokotole mendekat. Akhirny kuda itu berhasil
dijinakkan oleh Jokotole. Baginda raja sangat berterimakasih pada Jokotole serta
diberikan hadiah berupa pakaian dan Jokotole diangkat sebagai Patih dengan julukan
“Kodapole” yang mempunyai wewenang di dalam keratin, sedangkan Patih Gajahmada
berada diluar keratin.

H. Perang Blambangan
Pada suatu hari raja berkeinginan untuk membangun pagar di dalam kota yang
dikerjakan oleh para tumenggung, Patih Gajahmada dan Jokotole. Setelah selesai
pembangunan pagar itu, ada seorang raja yang tidak mau berkunjung dan tidak mau
membayar upeti pada baginda raja Majapahit yaitu Raja Minakjayengpati yang
merupakan Raja di Blambangan. Akhirnya baginda raja Majapahit mengutus orang
untuk mengirimkan surat ke Blambangan akantetapi sesampainya diBlambangan surat
tadi disobek-sobek dan tidak mau tunduk pada Majapahit.

Baginda sangat marah, oleh karenanya beliau mengirimkan Patih Gajahmada Dan
Jokotole untuk menyerang Blambangan. Jika ada yang berhasil membawa putri Raja
Blambangan maka akan dinikahkan dengan putrinya.

Pada waktu tengah malam yang gelap gulita Jokotole dan pasukannya melakukan
serangan ke Blambangan, berbeda dengan Gajahmada yang hanya bersembunyi.
Sesampainya di kraton Jokotole bertemu dengan seorang putri yang tertinggal yaitu
Puteri Asmarawati, sedangkan sang Raja dan yang lainnya telah melarikan diri ke
gunung.
Patih Gajahmada datang dan member alasan tidak berperang, kemudian mengusulkan
agar Jokotole mengejar rombongan raja ke gunung sedang sang patih sendi akan
menjaga keratin dan membawa puteri Asmarawati pada baginda raja. Jokotolepun
menyetujuinya.

Patih Gajahmada membawa puteri itu menghadap baginda raja dan menceritakan
bahwa dirinya telah berjuang keras untuk melawan pasukan Blambangan dan dikatakan
bahwa yang menemukan puteri Asmarawati adalah dirinya. Ia juga menceritakan bahwa
Jokotole mungkin sekarang kabur karena malu tidak bisa menjalankan tugasnya.
Baginda raja pun heran mendengar perkataan sang patih. Sang rajapun menepati
janjinya untuk memberikan putrinya, akhirnya Pati Gajahmada memilih Dewi Lintang
Asmara.

Sedangkan Jokotole didalam mengejar pasukan Raja Blambangan akhirnya berhasil


menemukan pasukan Blambangan dan terjadilah pertempuran sengit antara Jokotole
dan Raja Blambangan yang terkenal sangat sakti itu, tapi akhirnya peperangan bisa
dimenangkan Jokotole dan Raja Blambangan menyerah serta menyerahkan kedua
putrinya untuk diberikan pada raja Majapahit.

Jokotole sampai di Majapahit dengan membawa dua putrid Blambangan, hal ini
membuat takut Patih Gajahmada atas kebohongannya. Jokotole menceritakan seperti
apa kejadian yang sebenarnya kepada raja. Untuk menunjukkan siapa yang benar sang
raja menyuruh pasukan Patih Gajahmada dan pasukan Patih Kodapole untuk berkumpul
di alun-alun. Tujuannya baginda raja ingin melihat pada peralatan perang Gajahmada
yang ternyata masih bagus dan tajam, berbeda dengan senjata milik pasukan Jokotole
yang rusak, patah, dan tumpul yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar
berperang. Bagindapun menyuruh untuk jujur, dan akhirnya ada pasukan Patih
Gajahmada yang berkata bahwa mereka semua disuruh untuk bersembunyi saja begitu
perang usai disuruh untuk keratin dan menceritakan berita bohong. Patih Gajah mada
dipanggil oleh naginda raja serta dimarai, ia sangat malu dan kesal kepada Jokotole.

Keesokan harinya baginda raja menyuruh Patih Gajahmada untuk mengundang para
Tumenggung untuk menghadiri pernikahan Jokotole dan Ratna Dewi Maskumambang
putri sang Raja yang mana ini sebagai hadiah Jokotole. Mendengar hal itu Patih
Gajahmada membujuk kepada baginda raja, karena Jokotole tidak jelas asal-usulnya
dan jika nanti menikah pasti pamor baginda raja bisa turun. Sang rajapun terbujuk, akan
tetapi raja tidak bisa mengingkari janjinya untuk menikahkan Jokotole dengan putrinya,
dan akhirnya Jokotole dinikahkan dengan Dewi Ratnadi yang buruk, buta dan
penyakitan atas bujukan Patih Gajahmada.

Jokotole dan Dewi Ratnadi sudah resmi menikah, Jokotole sangat bahagia dikaruniai
seoarng istri dari keturunan raja. Akan tetapi hal itu membuat hancur hati Ratna Dewi
Maskumambang.

I. Pulang ke Kampung Halaman


Setelah menikah dengan Dewi Ratnadi, Jokotole mengajak untuk pulang ke Sumeneb.
Karena Jokotole takut jika dirinya tetap disana akan mengakibatkan konflik dengan Patih
Gajahmada yang sangat menbencinya. Setelah meminta restu pada raja Jokotole pergi
dengan menggendong istrinya.

Disini Patih Gajahmada menjelek-jelekan Jokotole yang dianggap jelek akhlaknya


karena telah membawa anak raja dengan terburu-buru tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu, sang patihpun meminta izin untuk menghabisi Jokotole. Baginda raja menjawab
“terserah kamu, aku tidak akan menghalang-halangimu” karena baginda tahu
bagaimana sikap dan kemampuan Jokotole yang hebat.

Patih Gajahmada dan bala tentaranya melakukan penyerangan pada Jokotole ketika
dalam perjalan. Patih Gajahmada menyuruh pasukannya untuk menyerang Jokotole
sedangkan ia sendiri sembunyi.

Kabar peperangan ini sampai ke telinga raja Gresik yaitu Ario Banyak Wedi, saudara
Jokotole. Sang Raja tidak terima jika saudaranya diserang. Setelah sampai di batas
Majapahit, Ario Banyak Wedi melihat Jokotole berperang sambil menggendong istrinya.
Oleh sebab itu akhirnya Ario Banyak Wedi membantu Jokotole sehingga bisa
mengalahkan pasukan Patih Gajahmada, dan Patih Gajahmada pun melarikan diri.

Jokotole dan istrinya diajak menginap ke keratin Gresik. Disana Jokotole ditawari untuk
tinggal bersama dengan Ario Banyak Wedi, adiknya. Dan nanti jika Jokotole berkenan
akan dijadikan raja pula yaitu dengan membagi Gresik menjadi dua wilayah, akan tetapi
Jokotole menolak tawaran adiknya itu, karena Jokotole belum berkeinginan untuk
menjadi raja dan berkeinginan untuk pulang ke Sumeneb. Jokotole sangat
berterimakasih kepada adiknya , dan Jokotole mendoakan kebaikan pada adiknya serta
supaya semua cita-cita adiknya dapat tercapai.

Setelah satu minggu, Jokotole pun berpamitan pada adiknya untuk melanjutkan perjalan
ke Sumenep. Perjalanan sampai ke pesisir diantar oleh adiknya dengan iring-iringan
gamelan, kemudian sambil menggendong istrinya Jokotole melanjutkan perjalanan
dengan menumpang pada sebuah perahu. Keesokan harinya sampailah mereka di
pelabuhan Soca.

Sesampainya di daratan Dewi Ratnadi ingin mandi karena semalaman berada di


perahu. Tidak ditemui air untuk mandi, kemudian Jokotole menancapkan tongkat “Bulu
Gaddhing” milik istrinya yang merupakan pemberian seorang kakek. Ketika tongkat itu
dicabut keluar air yang muncrat mengenai mata Dewi Ratnadi. Akantetapi muncratan air
itu membuat kebutaannya sembuh, sehingga Dewi Ratnadi bisa melihat. Tanah yang
ditancapi tongkat tadi berubah menjadi taman. Dewi Ratnadi dan Jokotole mandi
bersama, keajaiban muncul yaitu penyakit cacar Dewi Ratnadi sembuh sehingga
menjadikan ia sangat cantik dan berseri-seri. (pemamdian itu masih ada sampai
sekarang dan bernama Desa Soca). Jokotole dan Dewi Ratnadi sangat bahagia, ia
bersyukur kepada Allah atas segala yang telah diberikan.

Mereka melanjutkan perjalanan, ditengah perjalan istrinya kehausan dan Jokotole


berusaha meminta air didaerah itu, tapi didapi airnya sangat dingin sehingga tempat itu
dinamai “Desa Banyocellep” yang berada di timur Desa Soca.
Mereka melanjutkan perjalanan ke timur dan terlihat ada sebuah jambu yang menguning
lalu jambu itu diambil oleh Jokotole dan rasanya manis, sehingga tempat itu disebut
“Desa Jambu”. Siang malam mereka tetap berjalan hingga sampailah pada suatu desa,
istrinya kehausan dan Jokotole meminta air pada perempuan yang member makan pada
anaknya. Perempuan itu bilang tidak punya air dan Jokotole diberi air sisa minum
anaknya. Kemudian air itu diberikan pada istrinya untuk cuci muka bukan untuk minum,
kemudian isrinya berkencing dan disitu ditancapkan tongkatnya kemudian dicabut dan
keluarlah air yang baunya tidak enak sehingga tempat itu dinamakan “Banyobanger”.

Jokotole dan istrinya melanjutkan perjalanan hingga sampailah dihutan. Disana istrinya
ingin mandi dan membersihkan diri karena saat itu sedang haid, maka ditancapkanlah
tongkanya ke tanah dan memancarkan air hingga terciptalah taman dengan mata air.
Disana Dewi Ratnadi mandi, akan tetapi didapati istrinya itu menangis, setelah ditanya
oleh Jokotole ternyata ikat pinggang istrinya hanyut. Jokotole berdoa agar sumber mata
air itu tidak mengalir terlalu jauh dan doanya pun dikabulkan, meskipun sumber mata air
itu besar tapi tidak mengalir jauh sehingga tempat itu dinamakan “Omben” (timur kota
Sampang). Kemudian mereka melanjutkan perjalanan lagi dan ditengah perjalanan
istrinya haus serta ingin mandi, ditancapkanlah tongkatnya dan keluarlah air membentuk
sendang, sehingga tempat itu disebut “Desa Sendang”.

Adaun keadaan keratin Sumeneb saat itu sedang ditinggal pergi oleh Raja
Saccadiningrat yang berkunjung ke Majapahit. Pada suatu malam Raden Ayu Potre
Koneng bermimpi kejatuhan dua buah kembang yang harum baunya, kemudian ia
terbangun dan menceritakan mimpinya pada si Mbok.

Jokotole dan istrinya sudah sampai di Sumenep, mereka berhenti di pasar. Orang-orang
banyak yang kagum melihat ketampanan dan kecantikan Jokotole dan istrinya, sehingga
banyak yang memberikan bedak, makanan dan sebagainya kepada mereka.

Jokotole bertanya kepada oaring di pasar yang kebetulan adalah pegawai kraton.
Jokotole menanyakan bagaimana caranya bisa bertemu dengan raja, akan tetapi saat
itu raja sedang tidak ada yang ada hanyalah seorang putri raja yang dijaga sangat ketat,
yang bernama Raden Ayu Potre Koneng.

Mereka sampai di depan pintu keratin dan dilarang masuk, akantetapi mereka mendapat
izin dari Putri Koneng dan mereka ditanyai identitas serta keperluan mereka. Ketiak
menceritakan hal yang sebenarnya terjadi Raden Ayu Potre Koneng langsung pinsan,
kemudian setelah siuman Potre Koneng langsung mencium Jokotole dan mengatakan
bahwa Jokotole adalah putranya dulu. Bersamaan dengan hal itu pula Adipoday tiba-tiba
muncul dan menegaskan bahwa Jokotole adalah putranya serta mengatakan bahwa
Adipoday ada di gunung Geger.

Raden Ayu Potre Koneng juga menanyakan tentang adik Jokotole, Jokotole
mengatakan bahwa Banyan Wedi telah menjadi Raja Gresik. Betapa bahagianya hati
Raden Ayu Potre Koneng akan tetapi ia juga masih was-was bagaimana bila nanti
baginda raja tahu. Apakah akan bahagia dengan adanya cucu yang tampan dan cantik
ataukah malah akan membunuh Jokotole.

J. Penobatan Ratu Japan


Diceritakan bahwa putrid baginda Raja Majapahit yaitu Ratna Dewi Maskumambang
yang patah hati karena tidak jadi dijodohkan dengan Jokotole selalu menangis dan
mengurung diri di kamar. Badannya bertambah kurus. Hingga pada suatu hari baginda
Raja menengok keadaan putrinya itu dan berjanji member apa saja asalkan putrinya
bisa senang kembali.

Putri Ratna Dewi Maskumambang, meminta agar dirinya dijadikan pemimpin di Japan.
Baginda Raja menyanggupi dan mengangkat putrinya sebagai ratu didaerah Japan.
Dalam pemerintahannya Japan bertambah aman.

K. Jokotole, Raja Sumeneb


Setelah tiga hari di keratin Sumenep, Jokotole memutuskan untuk mencari ayahnya di
gunung Gegger sendirian meninggalkan ibu dan istrinya. Sesampainya di gunung
gegger ia melihat cahaya kemilauan yang sangat terang. Ternyata disana ada seorang
lelaki yang sedang bersemedi dan dililit oleh akar beringin dan ternyata itu adalah
Adipoday ayahnya, awalnya Adipoday tidak mengaku tapi karena Jokotole benar-benar
berniat untuk bertemu ayahnya maka ia kasihan dan akhirnya mengaku.

Dalam pertemuannya itu Jokotole diberikan kuda milik ayahnya yang mana kuda itu bisa
menghilang dan akan datang bila dibutuhkan, serta JOkotole juga diberikancemeti sakti
yang mana cemeti ini bila dipukulkan pada gunung, maka gunung itu akan hancur, bila
dipukulkan pada air laut maka akan habis, bila dipukulkan pada angin, maka angin akan
berhenti dan bila dipukulkan pada musuh maka musuh akan mati semua. Jokotole
sangat berterimakasih atas pemberian ayahnya ini, kemudian Adpoday menghilang dan
Jokotolepun pulang. Sesampainya di keratin ia menceritakan kejadian yang dialaminya
itu pada ibu dan istrinya. Mendengar hal itu Raden Ayu Potre Koneng sangat bangga
pada suami dan putranya itu.

Raden Ayu Potre Koneng mengutus Patih Jayasenga untuk menyusul baginda Raja
Saccadiningrat ke Majapahit. Sesampainya di Majapahit Raja Saccadiningrat sedang
duduk bersama baginda Raja Majapahit, pangeran dan patih. Disana patih masih saja
boercerita bohong mengenahi pertempurannya melawan Jokotole yang akhirnya dibantu
oleh Raja Gresik.

Ketika baginda raja memarahi Patih Gajahmada, datanglah utusan dari Sumenep yang
membawakan surat yang berisi perkataan Jokotole, bahwa ia adalah cucu dari Raja
Saccadiningrat yang menikahi Dewi Ratnadi, serta memberitahu bahwa Dewi Ratnadi
telah sembuh dan wajahnya sangat cantik, mendengar hal itu Baginda raja Mataram
sangat senang karena putrinya telah sembuh dan ternyata menikah dengan cucu Raja
Saccadingrat. Tapi Raja Saccadiningrat tidak tahu kalau Jokotole itu cucunya. Patih
Jayasenga membisikkan pada Raja Saccadiningrat bahwa Jokotole adalah putra dari
Raden Ayu Potre Koneng dari mimpi, Raja Saccadiningrat bisa paham dan mengerti
serta akhirnya menceritakan kejadian yang terjadi secara penjang lebar. Raja
Saccadiningrat ingin segera pulang karena tidak sabar untuk bertemu dengan cucunya
itu.

Baginda raja titip baju untuk Dewi Ratnadi kepada Raja Saccadiningrat, karena sewaktu
pergi mereka tidak membawa baju kecuali hanya yang ia kenakan. Mendengar hal itu
Patih Gajahmada iri, sebab ia sudah lama bekerja pada baginda raja tetapi tidak pernah
diberi baju.
Sesampainya di keratin Sumeneb baginda raja saccadiningrat sangat senang, tidak
henti-hentinya ia bercakap-cakap pada Jokotole.

Jojotole dikaruniai dua orang anak yang pertama adalah Ario Wigananda dan yang
kedua perempuan. Raja Saccadiningrat sudah semakin tua dan memutuskan untuk
bersemedi, sehingga kekuasaan diserahkan pada Jokotole. Jokotole dinobatkan
sebagai Pangeran Saccadiningrat II, akantetapi orang –orang lebih banyak memanggil
Ario Kodapole atau Jokotole.

Pada suatu hari Jokotole megirim surat kepada adiknya untuk datang Ke Sumeneb
bertemu dengan ibu mereka yaitu Raden Ayu Potre Koneng. Sesampainya di sana
Banyak Wedi langsung dirangkul oleh Raden Ayu Potre Koneng yang sangat rindu dan
bangga pada anaknya itu. Disana Banyak Wedi membawa istri dan dua anaknya yaitu
yang laki-laki bernama Ario Banyak Modang dan yang satunya perempuan, sebenarnya
masih ada putra satu lagi yaitu Aio Susuli tetapi tidak diajak. Suasana keratin menjadi
sangat ramai, karena diadakannya banyak hiburan disana.

Usai hiburan, baginda Raja Gresik berpamitan pada ibu, embah dan saudaranya. Akan
tetapi ibu dan embahnya meminta agar anaknya ditinggal di Sumeneb. Banyak Wedi
dan istrinya setuju untuk meninggalkan kedua anaknya di Sumeneb yang mana nantinya
setelah dewasa putranya yang bernama Ario Banyak modang ditunangkan dengan Putri
Patih Jayasenga, sedangkan yang perempuan ditunangkan dengan Ario Wigananda.

L. Perang Melawan Dempo Awang


Di negeri Kelleng ada seorang raja bernama Bermana yang mana sangat diberani
sampai-sampai tidak mempunyai musuh karena keberaniannya itu, ia mempunyai putra
bernama Dempo Awang. Baginda Raja menyuruh putranya itu untuk segera mencari
istri tapi Dempo Awang menolak karena ia meminta untuk tidur dengan gadis perawan
tanpa harus menikahinya, akhirnya permintaan Dempo Awang dipenuhi oleh baginda
raja. Dempo Awang juga meminta untuk dibuatkan perahu terbang. Permintaan itu juga
dikabulkan karena ia adalah putra kesayangan raja.

Dempo Awang pun terbang ke negri Cina, disana ia juga berniat untuk merenggut
semua perawan. Raja China menolak dan akhirnya terjadilah peperangan yang hebat,
akan tetapi Cina bisa dikalahkan dan keperawanan gadis cina bisa direnggutnya.

Dempo Awang melanjutkan perjalanan dan sampailah di Jawa. Sebagian kerajaan


berhasil dikuasai, hingga sampailah di Majapahit. Ia menyuruh pengawalnya untuk
mengirim surat pada raja Sumenep. Dengan adanya surat itu Jokotole marah dan
menyatakan perang.

Mendengar hal itu Dempo Awang sangat marah dan bergegas ke Sumenep. Melihat
kedatangan Dempo Awang, Jokotole memenggil Megaremeng, kuda pemberian
Adipoday. Diangkasa Jokotole dan Dempo Awang berperang dengan sangat dahsyat.
Dalam peperangan itu Adirasa dan Adipoday datang untuk membantu Jokotole tetapi
dalam keadaan tidak terlihat. Jokotole mengejar Dempo Awang hingga berada di
lauatan, disana ia melemparkan cemeti dan hancurlah perahu Dempo Awang.
Mendengar kekalahan putranya Raja Bermana datanng dengan pasukannya untuk
melawan Jokotole. Peperangan bertambah ramai, sekali lagi Jokotole melemparkan
cemetinya hingga terlemparlah Dempo Awang ke lautan dan kemenangan di pihak
Jokotole. Mendengar kemenangan ini banyak kerajaan yang bangga pada Jokotole
karena bisa mengalahkan musuh yang sangat berat.

 
 
M. Datangnya Sang Arjuna
Setelah perang melawan Dempo Awang, Adipoday berjalan perlahan ke Keraton
Sumenep. Melihat ayahnya it u Jokotole dan istrinya langsung mneghormat pada
Adipoday. Si Mbok yang melihat kejadian itu langsung memberitahukan kepada Raden
Ayu Potre Koneng. Raden Ayu Potre Koneng langsung b ergegas menghampiri
Adipoday dengan berlinangan air mata.

Setelah beberapa hari disana Adipoday mengajak Raden Ayu Potre Koneng untuk pergi
ke Pulau Sepudi, disana mereka bertemu dengan orng tua Adipoday, tetapi tidak lama
keduanya meninggal sehingga Adipoday menjadi Raja Sepudi. Kedua orang tua
Adipoday dimakamkan di Desa Balinge dan disebut sebakai Panembangan Balinge.

Setelah menjadi raja cukup lama, Adipoday menduduki jabatan Panembangan dengan
julukan Wirakrama. Akan tetapi tidak lama kemudian ia meninggal dan dimakamkan di
Desa Nyamplong.

Sekarang keratin Sepudi hanya tinggal bekasnya saja yang terletak di Kampung
Padaleman.

N. Wafatnya Jokotole
Jokotole memasuki masa tuanya dan memperbanyak bersemedi, sehingga
pemerintahan diserahkan pada putranya yaitu Ario Wigananda ,sedangkan Patihnya
adalah Ario Banyak Modang putra dari Banyak Wedi.

Jokotole tinggal disebuah rumah yang lengkap dengan tamannya yang terletak di desa
lapataman, kecamatan dungklek kabupaten sumeneb. Selama menempati rumahnya itu
dikabarkan Jokotole sakit, maka Ario Wigananda berniat mengajaknnya pulang ke kota
Sumenep, awalnya menolak tetapi akhirnya mau juga. Jokotole berpesan bila nanti ia
mati namanya ingin diabadikan sebagai nama Desa dan dimana pikulannya patah maka
ia ingin dimakamkan disana. Diperjalanan Jokotole meninggal dan tempat itu dinamakan
Batang-batang hingga sekarang. Kemudian jenazah dibawa kea rah gunung dan disana
pikulannya patah. Maka disanalah ia dimakamkan.

Sebelumnya tidak ditemukan air untuk mensucikan jenazah, tapi Ario Wigananda
teringat dengan tongkat pemberian ayahnya, ia menancapkan tongakt itu maka
munculah sumber mata air dan hingga sekarang yang terdapat di Desa Lanjuk
Kampung Saasa.

Sepeninggal Jokotole kraton Banasare di pindah ke Gapura. Maka munculah desa


Gapura.

O. Pangeran Sedinglanggar Wafat


Ario Wigananda raja sumeneb mempunyai seorang putri, sedangkan Patih Banyak
Modang punya dua orang putri dan dua orang putra. Tidak lama Patih Banyak Modang
wafat. Dan digantikan putranya yaituTumenggung Tankodur.

Sementara putri Jokotole kawin dengan Sunan Padusan. Dan punya dua orang anak
yaitu Nyai Malaka istri raden Fatah. Dan si bungsu menjadi istri pangeran sedinglanggar
dan dijauniai seorang putra, tapi ketika sedang balajar merangkak ibunya meninggal
karena sakit keras. Hati Pangeran Sedinglanggar sangat sedih. Suatu hari saat
mengimami sholat dan dalam keadaan bersujud Pangeran Sedinglanggar meninggal
dunia, anaknya diasuh oleh Sunan Padusan.

Konon nama Padusan diambil karena disana terdapat sungai yang digunakan mandi
para raja yang mana banyak mata airnya disana. Sekarang sungai Paduasan dibuat
dam untuk kegiatan irigasi sawah yang pembangunannya pada tahun 1912.

Anda mungkin juga menyukai