Anda di halaman 1dari 4

Nama : Reza Madani

NPM : 5019091
Kelas : 1c (PGSD)

Analisis Cerita Rakyat Lubuklinggau


“Legenda Bujang Kurap”

Versi 1

Alkisah pada saat Bujang Kurap bertandang ke Pagar Remayu, rakyat desa tersebut tengah
menggelar pesta tujuh hari tujuh malam untuk merayakan pernikahan salah seorang putri
penguasa mereka.

Bujang Kurap yang memasuki perayaan tersebut mendapat sambutan yang tidak menyenangkan
dari penduduk dan penguasa desa tersebut. Mereka merasa jijik pada Bujang Kurap yang
berpenyakit kulit dan beranggapan bahwa ia tak pantas berada di tengah pesta tersebut, sehingga
Bujang Kurap pun diusir dengan kasar.

Bujang Kurap pun pergi dari pesta perayaan tersebut, lalu singgah di sebuah rumah di pinggir
desa. Rumah tersebut dihuni oleh seorang nenek sebatang kara yang menyambut Bujang Kurap
dengan ramah. Nenek tersebut mengizinkannya berteduh dan menginap di rumahnya. Merasa
berterima kasih, Bujang Kurap akhirnya meminjam pisau milik Sang Nenek, lalu
menggunakannya untuk merangkai aur gading menjadi sebuah rakit. Rakit tersebut diikatkannya
di tiang rumah Sang Nenek. Bujang Kurap mengucapkan terima kasih, lalu pamit. Ia ternyata
berjalan kembali menuju tempat diadakannya pesta perayaan tersebut.

Melihat Bujang Kurap kembali menghampiri tempat pesta, penduduk desa pun bersiap untuk
mengusirnya lagi. Ternyata kali ini, Bujang Kurap mengajukan sebuah tantangan kepada semua
yang hadir di pesta tersebut. Ia menancapkan tujuh batang lidi di atas tanah, lalu berujar jika ada
siapa pun di antara penduduk desa yang bisa mencabut batang-batang lidi tersebut, maka Bujang
Kurap akan pergi meninggalkan desa itu dengan sukarela. Mendengar tantangan tersebut, semua
orang pun mencemoohnya. Semua laki-laki yang hadir di pesta tersebut, termasuk petinggi desa,
turun tangan untuk menjawab tantangan Bujang Kurap.

Namun anehnya, tak ada satu orang pun yang sanggup mencabut tujuh batang lidi tersebut.
Semua orang kewalahan dan bingung. Setelah tak ada lagi yang mau mencobanya, maka Bujang
Kurap pun turun tangan. Ia membaca sebuah mantra, lalu dengan kesaktiannya, ia mampu
mencabut lidi-lidi tersebut dengan mudah sebagaimana ia menancapkannya sebelum itu. Namun
saat tujuh lidi tersebut dicabut, mata air yang deras muncul ke permukaan tanah. Air membanjiri
desa tanpa henti,.menenggelamkan penduduk dan segala harta benda mereka, mengubah Desa
Pagar Remayu menjadi sebuah danau. Hanya Sang Nenek satu-satunya penduduk desa yang
selamat dengan menumpang rakit yang dibuatkan oleh Bujang Kurap, sementara Bujang Kurap
sendiri telah raib entah kemana sebelum desa tersebut tenggelam. Wilayah di sekitar Desa Pagar
Remayu tersebut kemudian dinamai Karang Panggung (panggung yang karam), sementara danau
yang muncul tersebut dinamai Danau Rayo (Danau Besar).
Bujang Kurap akhirnya berhenti mengembara setelah ia tiba di Desa Ulak Lebar di kaki Bukit
Sulap, yang sekarang berada di Kota Lubuk Linggau. Desa Ulak Lebar adalah satu-satunya desa
rantauan Bujang Kurap dimana penduduknya menahan dia dari melanjutkan perjalanan. Bujang
Kurap pun menghabiskan waktu hidupnya disana hingga akhir hayat, mengajarkan silat dan
kuntau bagi penduduk asli dan orang-orang datangan.

Versi 2

Bujang Kurap, biasa juga dikenal dengan nama Embun Semibar, tokoh legendaris Lubuklinggau.
Bujang Kurap terkenal sakti diseantero negeri, khususnya pada beberapa negeri di sekitar Bukit
Sulap Lubuklinggau. Meskipun memiliki tubuh yang penuh dengan kurap dia tidak pernah putus
asa dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Pengembaraannya di banyak negeri selalu
meninggalkan cerita tentang kepahlawanan serta keramahannya dalam bergaul. Dia senang
menolong orang yang berada dalam kesusahan serta senantiasa menjauhkan diri dari sifat
sombong. Kesaktian yang dimiliki Bujang Kurap mendatangkan manfaat bagi banyak orang.

Bujang Kurap dilahirkan di daerah melayu Bangko, Sarolangun Jambi. Bujang Kurap berasal
dari keluarga elit tradisional menurut garis keturunan Datuk Saribijaya yang mempersunting
Putri sari Banilai. Dt. Saribijaya berasal dari Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Oleh karena
itu, tidaklah heran bila Bujang Kurap terus tumbuh menjadi remaja yang berkepribadian luhur.
Bujang Kurap sangat suka menuntut ilmu, baik ilmu kemasyarakatan dan terlebih lagi ilmu
kesaktian.

Sedari kecil penyakit kurap telah diderita Bujang Kurap. Meskipun tidak berada di sekujur
tubuhnya, namun penyakit tersebut seakan telah menjadi bagian dari takdir hidup Bujang Kurap.
Pada mulanya penyakit kulit tersebut sangat mengganggu pergaulan Bujang Kurap. Dia merasa
enggan untuk bergaul dengan masyarakat. Dia takut kehadirannya di tengah masyarakat hanya
akan membuat resah dan ketakutan.

Nama Embun Semibar lekat di diri Bujang Kurap setelah menyelesaikan pertapaan panjang guna
memeperdalam ilmu kesaktian. Nama tersebut merupakan pemberian gaib yang diterima Bujang
Kurap setelah berhasil dengan tapanya. Bujang Kurap telah memiliki kesaktian yang tinggi dan
semenjak itu penyakit Kurap betul-betul memenuhi sekujur tubuhnya.

Salah satu kesaktian Bujang Kurap adalah kemampuannya berubah rupa. Bujang Kurap bisa
berubah menjadi apapun yang dia inginkan. Meskipun demikian, ilmu berubah rupa tidak pernah
digunakannya untuk kejahatan. Di samping mampu berubah rupa, kurap di tubuh Bujang Kurap
adalah senjata ampuh yang pada saat-saat tertentu digunakannya untuk mengalahkan musuh.
Kelupas kurap Bujang Kurap akan berubah menjadi besi baja yang tajam serta sangat mumpuni
untuk membunuh-lawan-lawannya. Tidak jarang Bujang Kurap terpaksa menggunakan lempeng-
lempeng baja yang berasal dari kurap yang dia derita. Lawan sakti yang mesti dia hadapi pada
satu waktu memaksa Bujang Kurab menggunakan lempeng baja yang berasal dari kelupas
kulitnya karena penyakit kurab yang diderita.

Bujang Kurap mengembara dari satu negeri ke negeri lain, dari satu kerajaan ke kerajaan lain.
Buruk rupa, senantiasa dibrnci dan dicaci, namun tidak pernah berhenti menebar kebikan. Setiap
singgah di suatu negeri Bujang Kurap selalu meninggakan cerita baik. Orang-orang yang
ditinggalkan akan selalu mengenang pertolongan Bujang Kurap. Mereka berhutang budi karena
biasanya tidak akan sempat membalas jasa. Berterima kasih pun kadang tidak sempat. Setelah
memberikan pertolongan Bujang Kurap lebih memilih untuk pergi secara gaib sehingga tidak
diketahui oleh orang. Itulah Bujang Kurap, penebar kebaikan ampa berharap adanya balasan dari
orang-orang yang ditolong.

Dalam pengembaraan panjangnya Bujang Kurap menimba banyak pengalaman dan ilmu yang
bermanfaat. Ilmu kesaktiannya semakin mumpuni dan tidak terklahkan. Bujang Kurap pun
bertemu dengan banyak pendekar sakti dalam perjalanannya menumpas kejahatan.Diusia tuanya
kelak, segala ilmu dan pengalaman yang dimiliki dipraktikkan dalam pengabdiannya kepada
masyarakat. Di Ulak Lebar, sebuah negeri yang terletak di lembah Bukit Sulap Lubuklinggau, di
daerah inilah Bujang Kurap menghabiskan masa tunya. Masyarakat Ulak Lebar menerima
Bujang Kurap apa adanya. Buruk Rupa yang dimiliki Bujang Kurap tidaklah penting bagi
penduduk Ulak Lebar karena yang mereka butuhkan adalah pengalaman dan ilmu Bujang Kurap.
Bujang Kurap adalah tokoh pengembara rendah hati. Meskipun berilmu tinggi Bujang Kurap
tetaplah rendah hati.

Di kawasan Negeri Ulak Lebar, sebuah kawasan yang subur di kaki Bukit Sulap, Bujang Kurap
menyudahi pengembaraannya. Lingkungan alam ulak Lebar sangatlah strategis. Kawasan ini
dibentuk oleh tiga aliran sungai, yaitu Sungai Kesia, sungai Katie dan sungai Kelingi. Di
kawasan inilah sekarang terdapat menhir-menhir yang berjajar sebagai buah peradaban
megelitikum. Menhir-menhir itu adalah adalah bukti pekuburan para kaum elit tradisional
masyarakat Negeri Ulak Lebar pada zaman dahulu.

Di antara makam para pemimpin Negeri Ulak Lebar, tepatnya di tepi Sungi Kelingi dan sebelah
Selatan Benteng Kuto Ulak Lebar, terdapat sebuah kuburan yang dibri tanda berupa sepasang
megalitik. Masyarakat Lubuklinggau sekarang percaya bahwa ituah tempat persemayaman jasad
Bujang Kurap atau Embun Semibar. Hingga sekarang kuburan Bujang Kurap masih dianggap
keramat, terutama oleh keturunan penduduk asli ulak Lebar. Masih dapat ditemukan peninggalan
para peziarah setelah melakukan ritual di sekitar makam Bujang Kurap, seperti sisa sabut kelapa,
piring kaleng dan lain sebagainya. Mereka percaya bahwa lokasi makam Bujang Kurap adalah
tempat keramat yang tepat untuk dijadikan lokasi pelaksanaan ritual magis untuk tujuan kebaikan
kehidupan di masa sekarang.

Hasil Analisis:

Pada cerita versi satu maupun dua sama-sama menggambarkan sosok Bujang Kurap
sebagai pengembara dengan watak yang baik dan rendah hati. Pada versi pertama Bujang kurap
diperlakukan dengan tidak pantas oleh warga setempat dan hanya nenek sebagai tokoh
sampingan yang digambarkan baik hatinya. Pada versi kedua ia digambarkan senantiasa
memperlakukan setiap warga dan diperlakukan oleh warga dengan baik di setiap tempat yang ia
datangi. Perbedaan antara kedua versi ini adalah pada versi pertama cerita Bujang Kurap
berkaitan dengan asal-usulnya terbentuknya Danau Rayo sedangkan pada versi kedua tidak. Pada
versi kedua Bujang kurap digambarkan sebagai tokoh yang memiliki kemampuan dapat merubah
rupa dirinya dan menjelaskan julukan yang dimiliki Bujang Kurap yaitu “Embun Semibar”.
Latar tempat dan waktu yang digambarkan pada kedua versi ini juga berbeda, karena
pada versi pertama lebih dijelaskan bahwa Bujang Kurap bertandang ke Pagar Remayu pada saat
pergelaran pesta pernikahan sang putri penguasa wilayah tersebut, sedangkan pada versi kedua
tidak terlalu di jelaskan akan latar tempat dan waktu si Bujang Kurap itu berada yang disebabkan
Bujang Kurap adalah pengembara yang berkelana dari satu negri ke negri lainnya tetapi pada
awal cerita dapat diketahui bahwa ia berasal dari keluarga bangsawan dan dibesarkan di
kerajaan.
Pada akhir cerita, kedua versi sama-sama menceritakan bahwa tempat pengembaraan
terakhirnya adalah Ulak Lebar dengan perbedaannya adalah pada versi satu warga Ulak Lebar
menahan Bujang kurap untuk melanjutkan perjalanannya dan menghabiskan waktunya
membantu warga Ulak Lebar, sedangkan pada versi kedua Bujang kurap memang ingin
menyudahi perjalanan akan pengembaraannya dan ingin menghabiskan masa tuanya dengan
membantu warga Ulak Lebar.

Nilai-nilai dan amanat yang terkandung dalam cerita

1. Tabah dan sabar, dari cerita versi pertama dapat diketahui dari sikap Bujang Kurap yang
tetap tabah dan sabar menerima hinaan dan makian dari penduduk desa di sekitar keramaian
pesta.Ia tidak langsung memberikan reaksi dan emosi kemarahan atau yang lainnya dan
langsung pergi dari tempat keramaian pesta menuju ke pinggir desa. Dan dari cerita versi
kedua yang diceritakan bahwa ia selalu dicemooh dan dicaci tidak mebuatnya
menyurutkankan keinginan untuk saling membantu dan menolong warga-warga.

2. Saling tolong menolong dan berbalas budi, terlihat dari cerita kedua bahwasannya Bujang
kurap senantiasa membatu dan menolong warga-warga yang ia datangi dan selalu
meninggalkan nama dan cerita baik di setiap kepergiannya dari desa yang ia datangi. Pada
cerita versi pertama juga setelah ia mendapat bantuan dari sang nenek, Bujang Kurap pun
membalas jasa atas bantuan dari sang nenek sebagai rasa terima kasih.

3. Bergotong royong, hal ini terlihat pada cerita versi kedua yang diceritakan bahwa Bujang
Kurap senantiasa membantu dan menolong warga di setiap pengembaraannya.

Referensi

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/bujang-kurab-pengembara-sakti-yang-
budiman/

https://srivijaya.id/2018/02/22/kisah-bujang-kurap-pemuda-buruk-rupa-berhati-mulia-dari-bumi-
silampari

Anda mungkin juga menyukai