Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN ARSIP STATIS

PATUNG SIGALE-GALE

DISUSUN OLEH :

Romanna Angel Andaresta (7183344009)

Gracea Christiany Saragih (7183344016)

Ulfah Khairunnisa (7183344015)

DOSEN PENGAMPU :

Dra. Sri Mutmainnah, M. Si.

FAKULTAS EKONOMI

PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN (B)

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

02 MARET 2020
Sigale-Gale

Sigale-Gale atau Si-Gale


Gale atau Sigalegale adalah
sebuah patung kayu yang digunakan dalam
pertunjukan tari saat ritual penguburan
mayat suku Batak di Pulau Samosir, Sumatra
Utara. Sigale Gale berasal dari kata “gale”
artinya lemah, lesu, lunglai. Sigale
Gale cukup terkenal di kalangan para turis.
Selama menari-nari, patung ini dikendalikan
oleh seorang pemain dari belakang mirip
boneka marionette menggunakan tali
tersembunyi yang menghubungkan bagian-
bagian patung melalui podium kayu berukir
tempatnya berdiri. Hal ini memungkinkan
bagian lengan, kepala dan tubuhnya
digerakkan. Konon, jumlah tali yang menggerakkan Sigale gale sama dengan
jumlah urat yang ada di tangan manusia.

Daerah asal mula munculnya Sigale gale ialah daerah Toba-


Holbung (Tapanuli Utara), kemudian menyebar ke Pulau Samosir (di tengah-
tengah Danau Toba). Di pulau Samosir penduduk menyebutnya dengan sebutan
Raja Manggale. Sigale gale dipergunakan pada upacara-upacara kematian.
Upacara untuk orang-orang yang meninggal tanpa mempunyai anak maupun yang
meninggal tanpa meninggalkan keturunan karena semua anaknya telah
tiada. Upacara ini diadakan terutama apabila orang yang meninggal itu
mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat, seperti raja-raja, dan para tokoh
masyarakat. Hal itu dilakukan dengan maksud menyambung keturunan mereka
kelak di alam baka. Pada masyarakat Batak Toba, apabila seseorang yang
mempunyai kedudukan meninggal dunia dan ia tidak mempunyai keturunan maka
dipandang rendah dan tidak membawa kebaikan. Oleh karena itu, kekayaan yang
ditinggalkannya akan dihabiskan untuk mengadakan upacara Sigale gale untuk
orang yang meninggal tersebut. Orang lain tidak akan berani mengambil harta
benda milik orang tersebut, karena takut tertular atau meninggal seperti
pemiliknya.

Pada masa sekarang, yakni setelah agama Kristen semakin mendalam dan
meresap dalam kehidupan masyarakat Batak di Tapanuli utara, upacara-
upacara Sigale gale mulai ditinggalkan. Menurut pandangan mereka, upacara ini
dianggap sebagai upacara keagamaan parbegu, suatu upacara yang didasarkan
pada kepercayaan terhadap begu (roh dari orang yang sudah meninggal).

Suku Batak Toba memuliakan roh nenek moyang dan keturunan orang
yang meninggal melakukan upacara pemakaman. Jika seseorang meninggal tanpa
keturunan, si gale-gale kemudian dibuat sebagai penggantinya. Sigale gale yang
kompleks dapat seukuran manusia dan memperlihatkan aktuasi memakai lumut
basah atau spons yang bisa diperas untuk membuatnya tampak seperti menangis.

Patung kayu Sigale gale memiliki anggota badan bersendi yang dipasang di atas
podium beroda, sambil meratap, mereka menari-nari selama upacara pemakaman
yang disebut papurpur sepata. Upacara tersebut dilakukan dalam rangka mengusir
petaka meninggal tanpa memiliki keturunan, dan untuk menenangkan roh
mendiang agar arwahnya tidak penasaran.

Legenda

Patung Sigale gale di balik kisahnya memiliki beberapa versi. Penggunaan


patung Sigale gale dikatakan berawal dari legenda tentang seorang wanita yang
tidak memiliki keturunan bernama Nai Manggale.
Cerita Sigale-gale

Seorang lelaki, Datu Panggana, adalah seorang ahli patung yang sangat
terkenal di sebuah huta (desa). Begitu terkenal sampai makam raja pun dibuatnya.
Suatu hari Datu Panggana ingin membuat patung sebagai pajangan di rumahnya,
lalu ia pergi ke hutan. Di hutan, Datu Panggana melihat sebatang pohon kayu
kering yang sangat mencolok di antara pepohonan lain. Pohon itu tingginya
menyamai ukuran manusia, tidak berdaun dan tidak beranting. Kemudian Datu
Panggana memahat menjadi patung seorang perempuan.

Selang berapa waktu, Datu Panggana didatangi oleh Bao Partigatiga,


seorang pedagang keliling yang menjual
barang berupa pakaian dan perhiasan emas.
Bao Partigatiga mencoba mengenakan
pakaian dan perhiasan pada patung itu.
Patung tampak sangat cantik dan seakan-akan
hidup. Ketika hari sudah senja, Bao
Partigatiga hendak mengambil kembali
pakaian yang dikenakan pada patung tersebut.
Alangkah terkejutnya, pakaian yang
dikenakan, tidak bisa dilepas lagi, Bao
Partigatiga kecewa, lalu melanjutkan
perjalanannya.

Keesokan harinya, seorang dukun penawari, yang mempunyai keahlian


mengobati, memanggil roh, serta mempunyai obat ajaib, yang bernama Datu
Partaoar, pergi ke luar rumah seperti biasanya hendak mengobati pasien
ke huta seberang. Untuk menuju huta tersebut, Datu Partoar terbiasa melewati
jalan pintas. Di perjalanan, Datu Partoar melihat patung wanita tersebut dan
terkagum-kagum. Dalam hati Datu Partoar berkeinginan mencoba untuk membuat
patung itu hidup, dengan beberapa tetes dan mantera-mantera andalannya. Berkat
keahlian Datu Partoar, patung wanita tersebut mulai bergerak bagaikan gerakan
manusia. Kemudian Datu Partoar membawa pulang ke desanya. Istrinya
menyambut dengan gembira. Akhirnya, Datu Partoar beserta istrinya mengangkat
sebagai anak dan diberi nama Nai Manggale.

Upacara pengangkatan anak dilaksanakan oleh keluarga Datu Partaoar


dengan cara membawa Nai Manggale ke pekan. Di pekan Nai menari dengan
lemah gemulai, sehingga orang-orang yang menyaksikannya turut pula
menggerak-gerakkan badan mereka seirama dengan lenggak-lenggok Nai
Manggale.

Kabar tentang Nai Manggale itu sampai pula kepada pemahat patung Datu
Panggana dan Bao Partigatiga yang juga merasa punya andil pada patung tersebut.
Datu Panggana dan Bao Partigatiga menyambangi ke rumah Datu Partoar.
Terjadilah pertengkaran di antara mereka bertiga, memperebutkan diri Nai
Manggale. Datu Panggana yang semula membuat patung perempuan itu merasa
lebih berhak atas Nai Manggale. Bao Partigatiga yang mempercantik patung
dengan memberi pakaian dan perhiasan juga merasa lebih berhak atas Nai
Manggale, begitu juga dengan Datu Partoar, tanpanya dirinya patung itu takkan
bisa hidup. Terjadilah pertengkaran hebat yang tidak bisa mereka selesaikan.

Konflik di antara mereka bertiga akhirnya sampai ke hadapan raja, namun


raja juga tidak dapat menyelesaikannya. Raja menyarankan untuk menyelesaikan
persoalan itu kepada Si Aji Bahir-bahir. Si Aji Bahir-bahir adalah seorang tokoh
yang dituakan di huta tersebut dan dapat menyelesaikan permasalahan di antara
mereka bertiga. Adapun keputusan yang disetujui oleh masing-masing pihak,
ialah bahwa dukun Datu Partoar (dukun penawari) dianggap sebagai bapak dan
berhak memberi berkat dalam perkawinan Nai Manggale. Bao Partigatiga
(pedagang) sebagai abang (mariboto), berhak menerima bagian emas kawin
(wang mahar). Pemahat patung Datu Panggana diangkat menjadi paman (tulang)
dan akan memperoleh bagian pula sebagai paman.

Datu Partiktik yang tinggal di huta sebelah telah mendengar akan


kecantikan Nai Manggale. Datu Partiktik pun datang meminang Nai Manggale.
Akan tetapi, Nai Manggale menolak pinangan tersebut. Datu Partiktik tidak
kehabisan akal, Datu Partiktik pun menggunakan ilmu sihirnya untuk
menaklukkan hati Nai Manggale. Berkat ilmu sihir tersebut akhirnya Nai
Manggale bersedia kawin dengan Datu partiktik.

Setelah sekian lama mengarungi bahtera rumah tangga, namun tidak juga
ada tanda-tanda untuk mempunyai anak. Penantian yang panjang membuat Nai
Manggale akhirnya jatuh sakit lalu meninggal. Sewaktu Nai Manggale masih sakit
dia berpesan kepada suaminya, bahwa ia harus meminta kepada Datu Panggana
untuk membuatkan patung sebesar dirinya dan diberi nama Sigalegale. Kalau
amanah itu tidak dilaksanakan, maka roh Nai Manggale tidak akan diperkenankan
tinggal di alam baka. Ia tak akan sentosa, akibatnya Nai Manggale terpaksa
mengutuk Datu Partiktik agar tidak memperoleh putra dan putri apabila kelak dia
kembali kawin. Datu Partiktik pun segera melakukan apa yang telah dipesankan
oleh istrinya. Dengan alasan itulah patung Sigale gale dibuat untuk seseorang
yang meninggal tanpa mempunyai anak, agar begu atau arwahnya tidak terkena
siksa.

Versi Cerita Lain yang dikenal

Kisah lain adalah cerita tentang seorang raja dan putra


kesayangannya. Sigale gale merupakan boneka kayu yang dibuat untuk
membahagiakan Raja Rahat, raja dari salah satu kerajaan di Pulau Samosir.

Konon Raja Rahat memimpin negerinya dengan bijaksana. Sayangnya,


istri Raja sudah lama meninggal dunia. Raja hanya punya seorang anak lelaki,
bernama Manggale. Manggale sangat dihormati dan disegani seluruh rakyat di
negeri itu karena ketangkasannya berperang. Ia menjunjung tinggi kebenaran.
Sama seperti sang Raja, ayahnya, Manggale pun sangat mencintai rakyatnya.

Ketenteraman di negeri itu terusik ketika suatu hari prajurit membawa


berita bahwa di hutan perbatasan berkumpul prajurit negeri tetangga. Prajurit
negeri tetangga hendak menyerang, menjarah harta kekayaan yang ada di negeri
itu. Tentu saja Raja tidak tinggal diam mendengar kabar itu. Raja mengumpulkan
semua penasihat, juga Manggale selaku panglima perang. Setelah semua
dipersiapkan, maka berangkatlah Manggale bersama prajurit terbaiknya.

Selama Manggale dan prajurit pergi berperang, hati Raja tidak tenang. Ia
takut sesuatu yang buruk menimpa anak kesayangannya. Sampai kemudian,
sebagian prajurit pulang. Tidak ada Manggale di antara mereka. Manggale tewas
di medan pertempuran. Raja sangat sedih. Anak kebanggaannya, pewaris
kerajaan, telah meninggal dunia. Seluruh rakyat juga sedih dan merasa
kehilangan.

Akhirnya, Raja jatuh sakit. Para penasihat Raja sudah memanggil


banyak datu, tetapi tidak ada yang mampu menyembuhkan Raja.
Seorang datu memberi saran pada penasihat kerajaan untuk membuat patung kayu
yang wajahnya sangat mirip dengan wajah Manggale. Penasihat kerajaan
mengikuti saran itu. Dipanggilah pemahat terbaik di kerajaan untuk mengerjakan
patung itu. Pembuatan patung dilakukan jauh di dalam hutan, karena Manggale
tewas di dalam hutan. Jadi, datu meyakini roh Manggale masih berada di dalam
hutan itu. Sang pemahat menggunakan kayu pohon nangka sebagai bahan karena
kayu nangka sangat keras.

Wajah patung itu sangat mirip dengan wajah Manggale. Kemudian, datu
menggelar ritual dengan meniup sordam dan memainkan gondang
sabangunan untuk memanggil roh Manggale. Roh Manggale dimasukkan ke
dalam patung yang mirip wajahnya itu. Patung itu diangkut menuju istana dengan
iringan sordam dan gondang.

Karena patung itu sangat mirip dengan putra kesayangannya yang telah
meninggal. Kerinduan sang raja pada Manggale sedikit demi sedikit terobati.
Apalagi patung itu bisa menari sendiri karena datu sudah memasukkan roh
Manggale ke dalamnya. setiap Raja rindu dengan putranya, ia
akan manortor (melakukan tor-tor/ menari) bersama patung itu. Seluruh rakyat
ikut manortor setiap Raja melakukannya. Kemudian, Raja memberi patung ini
nama sigale-gale. Yang artinya, si Lemah-lembut, atau si lemah lunglai.

Pemahat yang berhasil membuat patung yang mirip wajah Manggale,


meninggal dunia tidak lama setelah ia menyelesaikan patung itu. Sampai
sekarang, ada kepercayaan di masyarakat Batak bahwa pembuat patung sigale-
gale harus menyerahkan jiwanya pada patung buatannya supaya patung bisa
bergerak seperti hidup. Itulah sebabnya, tidak banyak yang bersedia membuat
patung sigale-gale. Kalaupun ada, sebuah patung akan dikerjakan beberapa orang.
Ada yang memahat bagian kepala, bagian badan atau bagian kaki.

Asal mula Sigale-gale

Dahulu kala ada seorang Raja yang sangat bijaksana yang tinggal di
wilayah Toba. Raja ini hanya memiliki seorang anak, namanya Manggale. Pada
zaman tersebut masih sering terjadi peperangan antar satu kerajaan ke kerajaan
lain.

Raja ini menyuruh anaknya untuk ikut berperang melawan musuh yang
datang menyerang wilayah mereka. Pada saat peperangan tersebut anak Raja yang
semata wayang tewas pada saat pertempuran tersebut.

Sang Raja sangat terpukul hatinya mengingat anak satu-satunya sudah


tiada, lalu Raja jatuh sakit. Melihat situasi sang Raja yang semakin hari semakin
kritis , penasehat kerajaan memanggil orang pintar untuk mengobati penyakit sang
Raja, dari beberapa orang pintar (tabib) yang dipanggil mengatakan bahwa sang
Raja sakit oleh karena kerinduannya kepada anaknya yang sudah meninggal. Sang
tabib mengusulkan kepada penasehat kerajaan agar dipahat sebuah kayu menjadi
sebuah patung yang menyerupai wajah Manggale, dan saran dari tabib inipun
dilaksanakan di sebuah hutan.

Ketika Patung ini telah selesai, Penasehat kerajaan mengadakan satu


upacara untuk pengangkatan Patung Manggale ke istana kerajaan. Sang tabib
mengadakan upacara ritual, meniup Sordam dan memanggil roh anak sang Raja
untuk dimasukkan ke patung tersebut. Patung ini diangkut dari sebuah pondok di
hutan dan diiringi dengan suara Sordam dan Gondang Sabangunan.

Setelah rombongan ini tiba di istana kerajaan, Sang Raja tiba-tiba pulih
dari penyakit karena sang Raja melihat bahwa patung tersebut persis seperti wajah
anaknya.

Inilah asal mula dari patung Sigale-gale (Patung putra seorang Raja yang
bernama Manggale).
Riwayat Hidup Sigale-gale

Konon pada zama dahulu, Ada seorang Raja (Nama Raja Rahat) yang
terkenal di Samosir dan memiliki Anak satu-satunya yang menjadi kesayangan
Raja yang bernama Raja manggale. Pada saat ini, terjadi penyerangan di kawasan
perbatasan daerah kekuasaan mereka, sehingga Raja tersebut mengutus anaknya
Raja Manggale memimpin sebagai Panglima perang pada saat itu.

Namun apa yang terjadi ditengah pertempuran,Raja Manggale gugur dan


tidak kembali pulang ke rumah sang Raja Rahat. Mendegar kabar tersebut, Sang
Raja sangat sedih hingga jatuh sakit.

Terciptanya Patung Sigale-gale

Kemudian Sibaso menyarankan kepada datu untuk membuatkan patung


yang mirip dengan anak Raja Rahat tadi yaitu Manggale. Banyak ritual yang
terjadi dalam pembuatan Patung ini, hingga pada suatu saat patung ini dijadikan
menjadi media pemanggilan roh anak Raja Rahat dan dinamakan Patung Sigale-
gale. Datu Sibaso tadi kemudian melakukan ritual dengan memainkan musik
sabangunan untuk memanggil arwah Raja Manggale ke patung Sigale-gale tadi.
Melihat patung itu bergerak dan seperti anak sang Raja. Raja Rahat itu pulih dari
Sakitnya.

Patung Sigale-gale Sebagai Penghantar Kematian


Pada zaman dahulu, Patung ini digunakan sebagai simbol penghantar
kematian baik orang yang mempunyai keturunan (saor matua) untuk
menyambungkan keturunan di alam baka kelaknya maupun orang yang tidak
memiliki keturunan (mate punu). Bagi orang Batak, meninggal tanpa keturunan
adalah sebuah kesalahan. Patung ini digunakan untuk menghindari kutukan (tidak
memiliki keturunan) menyebar.

Pembuatan patung sigale-gale tidaklah muda, memerlukan orang yang


menjiwai dan dipercayai akan meninggal menjadi tumbal patung tersebut sebagai
arwah yang mengisinya. Oleh karena itu, keberadaan patung ini sangatlah sedikit.

Dahulu patung ini diyakini bisa menari sendiri karena daya mistis yang
kuat pada zaman itu. Namun seiring masuknya agama Kristen ke daerah Toba
ritual ini perlahan bergeser. Upacara Sigale-gale, kini kerap dipertunjukkan
sebagai hiburan dan daya tarik bagi wisatawan. Patung Sigale-gale ini sekarang
dapat menari karena dikontrol oleh seseorang di belakang patung dengan sebuah
benang.

Lokasi Patung Sigale-gale

Anda dapat menemukan patung Sigale-gale ini di Samosir yaitu di desa Tomok,
Garoga, Simanindo dan Siallagan.
Sigale-gale merupakan sebuah patung kayu yang diukir seperti manusia
seukuran orang dewasa, lengkap dengan baju adat dan ulos. Sigale Gale berasal
dari kata "gale" artinya lemah, lesu, lunglai. Dahulu, Sigale-gale digunakan saat
pertunjukan tari saat ritual penguburan mayat suku Batak di Pulau Samosir. Sudah
menjadi tradisi, apabila seorang batak meninggal tanpa keturunan, maka sigale-
gale dibuat sebagai penggantinya.

Upacara tersebut dilakukan untuk mengusir petaka meninggal tanpa


keturunan dan untuk menenangkan roh agar tidak penasaran. Pada masa sekarang,
setelah agama Kristen semakin mendalam di kalangan masyarakat, mereka mulai
meninggalkan upacara Sigale-gale. Menurut mereka, upacara Sigale-gale adalah
suatu upacara yang didasarkan pada kepercayaan terhadap roh dari orang yang
sudah meninggal.

Meski begitu pertunjukan Sigale-gale masih dimainkan dari dulu hingga


sekarang. Sigale-gale memiliki banyak cerita turun-temurun. Legenda bercerita
bahwa dahulu kala, ada seorang anak bernama Manggale yang pergi berperang
melawan musuh di perbatasan. Sayangnya, Manggale gugur dalam perang
tersebut dan jasadnya tidak ditemukan. Mendengar hal tersebut ayahnya, Raja
Rahat, sangat sedih hingga jatuh sakit.

Para menteri dan datu berusaha untuk menghibur sang raja. Akhirnya
mereka meminta dukun untuk membuatkan patung yang mirip dengan Manggale.
Patung tersebut dipakaikan pakaian dan ulos terbaik. Lalu mereka memasukan roh
Manggale ke dalam patung tersebut dengan meniup sordam dan
memainkan gondang sabangunan untuk memanggil roh Manggale agar boneka
tersebut terasa hidup.

Karena patung tersebut sangat mirip dengan anaknya, raja yang sakit pun
berangsur-angsur pulih. Setiap kali raja merindukan putranya, mereka akan
mengadakan ritual agar roh sang anak dapat masuk ke dalam patung tersebut dan
menari tor tor dengannya. Masyarakat pun ikut menari tor tor dengan patung
tersebut. Sejak saat itu masyarakat memberi nama patung tersebut Sigale-gale
yang diambil dari nama Manggale.

Sejak itu, pertunjukan Sigale-gale menjadi pertunjukan khas masyarakat


Samosir. Biasanya pertunjukan dilakukan selama 1 jam dengan penonton ikut
menari tor tor dengan patung tersebut. Hanya saja pertunjukan Sigale-gale pada
masa sekarang sudah tidak menggunakan roh lagi. Patung yang dipertunjukan
digerakan oleh dalang dengan menggunakan tali tersembunyi yang
menghubungkan bagian-bagian patung tersebut dengan podium kayu tempat
patung tersebut berdiri.

Salah satu syarat untuk ikut menari dengan Sigale-gale adalah kita harus
menggunakan ulos dan juga ikat kepala yang dinamakan sortali. Umumnya ulos
dan sortali sudah disediakan untuk dipinjam.Tarian akan ditutup dengan
meneriakan horas sebanyak tiga kali.

Refensi Awal

Referensi paling awal mengenai si-gale-gale di antaranya adalah


pemaparan misionaris Jerman Johannes Warneck tentang penggunaan patung
tersebut di awal abad kedua puluh. Ketika seorang pria kaya meninggal tanpa ada
putranya yang masih hidup, kerabatnya mengadakan pesta khusus untuk meratapi
kematiannya sekaligus untuk mempertontonkan kekayaannya. Dalam pertunjukan
tersebut, patung kayu dengan rupa yang mirip dengan mendiang dibuat dan diberi
pakaian tradisional, dengan syal, hiasan kepala, dan perhiasan emas. Dipasang di
atas podium beroda dan dimanipulasi dengan sistem tali yang rumit, patung itu
menari-nari sementara istri, orang tua, dan saudara lelaki mendiang menari
bersama, sambil meratap. Patung tersebut secara seremonial dibawa ke pasar, di
mana daging babi, sapi, atau kerbau dibagikan pada mereka yang berkumpul.
Selesai menari, sigale-gale ditembak dan dilempar melewati tembok desa. Orang
Batak mengatakan "Kaya sesaat seperti patung si gale-gale" hal ini mengacu pada
orang kaya tanpa adanya ahli waris yang peduli akan rohnya di akhirat.

Mengenai asal-usul patung sigale-gale sebenarnya masih ada perdebatan


di masyarakat Samosir. Ada yang mengatakan ini hanya cerita turun temurun.
Tidak pernah terjadi. Namun, ada satu daerah di Samosir, mengklaim sigale-
gale pertama dibuat oleh Raja Gayus Rumahorbo dari desa Garoga. Keturunan
Raja Gayus ini mengatakan, sigale-gale pertama dibuat pada tahun 1930. Pada
tahun 1930-an, Sigale-gale pernah dimainkan oleh dalang legendaris bernama
Raja Gayus Rumahorbo dari Kampung Garoga Tomok. Raja Gayus dikenal
mampu membuat patung Sigale-gale yang mengeluarkan air mata dan punya
kemampuan mengusapkan ulos (kain tenunan Batak) yang disandangkan
sebelumnya di bahu sang boneka kayu.

Pembuatan Sigale-gale zaman sekarang ini lebih mengarah ke seni dan


pertunjukan saja. Kesenian patung Sigale-gale masih bisa disaksikan
pertunjukannya di Tanah Batak, Samosir.
Patung Sigale-gale dari Samosir

Tari sigale-gale di Museum huta Bolon Simanindo, Pulau Samosir, Sumatera


Utara, Indonesia

Dalang yang menggerakkan dari belakang

Anda mungkin juga menyukai