PATUNG SIGALE-GALE
DISUSUN OLEH :
DOSEN PENGAMPU :
FAKULTAS EKONOMI
02 MARET 2020
Sigale-Gale
Pada masa sekarang, yakni setelah agama Kristen semakin mendalam dan
meresap dalam kehidupan masyarakat Batak di Tapanuli utara, upacara-
upacara Sigale gale mulai ditinggalkan. Menurut pandangan mereka, upacara ini
dianggap sebagai upacara keagamaan parbegu, suatu upacara yang didasarkan
pada kepercayaan terhadap begu (roh dari orang yang sudah meninggal).
Suku Batak Toba memuliakan roh nenek moyang dan keturunan orang
yang meninggal melakukan upacara pemakaman. Jika seseorang meninggal tanpa
keturunan, si gale-gale kemudian dibuat sebagai penggantinya. Sigale gale yang
kompleks dapat seukuran manusia dan memperlihatkan aktuasi memakai lumut
basah atau spons yang bisa diperas untuk membuatnya tampak seperti menangis.
Patung kayu Sigale gale memiliki anggota badan bersendi yang dipasang di atas
podium beroda, sambil meratap, mereka menari-nari selama upacara pemakaman
yang disebut papurpur sepata. Upacara tersebut dilakukan dalam rangka mengusir
petaka meninggal tanpa memiliki keturunan, dan untuk menenangkan roh
mendiang agar arwahnya tidak penasaran.
Legenda
Seorang lelaki, Datu Panggana, adalah seorang ahli patung yang sangat
terkenal di sebuah huta (desa). Begitu terkenal sampai makam raja pun dibuatnya.
Suatu hari Datu Panggana ingin membuat patung sebagai pajangan di rumahnya,
lalu ia pergi ke hutan. Di hutan, Datu Panggana melihat sebatang pohon kayu
kering yang sangat mencolok di antara pepohonan lain. Pohon itu tingginya
menyamai ukuran manusia, tidak berdaun dan tidak beranting. Kemudian Datu
Panggana memahat menjadi patung seorang perempuan.
Kabar tentang Nai Manggale itu sampai pula kepada pemahat patung Datu
Panggana dan Bao Partigatiga yang juga merasa punya andil pada patung tersebut.
Datu Panggana dan Bao Partigatiga menyambangi ke rumah Datu Partoar.
Terjadilah pertengkaran di antara mereka bertiga, memperebutkan diri Nai
Manggale. Datu Panggana yang semula membuat patung perempuan itu merasa
lebih berhak atas Nai Manggale. Bao Partigatiga yang mempercantik patung
dengan memberi pakaian dan perhiasan juga merasa lebih berhak atas Nai
Manggale, begitu juga dengan Datu Partoar, tanpanya dirinya patung itu takkan
bisa hidup. Terjadilah pertengkaran hebat yang tidak bisa mereka selesaikan.
Setelah sekian lama mengarungi bahtera rumah tangga, namun tidak juga
ada tanda-tanda untuk mempunyai anak. Penantian yang panjang membuat Nai
Manggale akhirnya jatuh sakit lalu meninggal. Sewaktu Nai Manggale masih sakit
dia berpesan kepada suaminya, bahwa ia harus meminta kepada Datu Panggana
untuk membuatkan patung sebesar dirinya dan diberi nama Sigalegale. Kalau
amanah itu tidak dilaksanakan, maka roh Nai Manggale tidak akan diperkenankan
tinggal di alam baka. Ia tak akan sentosa, akibatnya Nai Manggale terpaksa
mengutuk Datu Partiktik agar tidak memperoleh putra dan putri apabila kelak dia
kembali kawin. Datu Partiktik pun segera melakukan apa yang telah dipesankan
oleh istrinya. Dengan alasan itulah patung Sigale gale dibuat untuk seseorang
yang meninggal tanpa mempunyai anak, agar begu atau arwahnya tidak terkena
siksa.
Selama Manggale dan prajurit pergi berperang, hati Raja tidak tenang. Ia
takut sesuatu yang buruk menimpa anak kesayangannya. Sampai kemudian,
sebagian prajurit pulang. Tidak ada Manggale di antara mereka. Manggale tewas
di medan pertempuran. Raja sangat sedih. Anak kebanggaannya, pewaris
kerajaan, telah meninggal dunia. Seluruh rakyat juga sedih dan merasa
kehilangan.
Wajah patung itu sangat mirip dengan wajah Manggale. Kemudian, datu
menggelar ritual dengan meniup sordam dan memainkan gondang
sabangunan untuk memanggil roh Manggale. Roh Manggale dimasukkan ke
dalam patung yang mirip wajahnya itu. Patung itu diangkut menuju istana dengan
iringan sordam dan gondang.
Karena patung itu sangat mirip dengan putra kesayangannya yang telah
meninggal. Kerinduan sang raja pada Manggale sedikit demi sedikit terobati.
Apalagi patung itu bisa menari sendiri karena datu sudah memasukkan roh
Manggale ke dalamnya. setiap Raja rindu dengan putranya, ia
akan manortor (melakukan tor-tor/ menari) bersama patung itu. Seluruh rakyat
ikut manortor setiap Raja melakukannya. Kemudian, Raja memberi patung ini
nama sigale-gale. Yang artinya, si Lemah-lembut, atau si lemah lunglai.
Dahulu kala ada seorang Raja yang sangat bijaksana yang tinggal di
wilayah Toba. Raja ini hanya memiliki seorang anak, namanya Manggale. Pada
zaman tersebut masih sering terjadi peperangan antar satu kerajaan ke kerajaan
lain.
Raja ini menyuruh anaknya untuk ikut berperang melawan musuh yang
datang menyerang wilayah mereka. Pada saat peperangan tersebut anak Raja yang
semata wayang tewas pada saat pertempuran tersebut.
Setelah rombongan ini tiba di istana kerajaan, Sang Raja tiba-tiba pulih
dari penyakit karena sang Raja melihat bahwa patung tersebut persis seperti wajah
anaknya.
Inilah asal mula dari patung Sigale-gale (Patung putra seorang Raja yang
bernama Manggale).
Riwayat Hidup Sigale-gale
Konon pada zama dahulu, Ada seorang Raja (Nama Raja Rahat) yang
terkenal di Samosir dan memiliki Anak satu-satunya yang menjadi kesayangan
Raja yang bernama Raja manggale. Pada saat ini, terjadi penyerangan di kawasan
perbatasan daerah kekuasaan mereka, sehingga Raja tersebut mengutus anaknya
Raja Manggale memimpin sebagai Panglima perang pada saat itu.
Dahulu patung ini diyakini bisa menari sendiri karena daya mistis yang
kuat pada zaman itu. Namun seiring masuknya agama Kristen ke daerah Toba
ritual ini perlahan bergeser. Upacara Sigale-gale, kini kerap dipertunjukkan
sebagai hiburan dan daya tarik bagi wisatawan. Patung Sigale-gale ini sekarang
dapat menari karena dikontrol oleh seseorang di belakang patung dengan sebuah
benang.
Anda dapat menemukan patung Sigale-gale ini di Samosir yaitu di desa Tomok,
Garoga, Simanindo dan Siallagan.
Sigale-gale merupakan sebuah patung kayu yang diukir seperti manusia
seukuran orang dewasa, lengkap dengan baju adat dan ulos. Sigale Gale berasal
dari kata "gale" artinya lemah, lesu, lunglai. Dahulu, Sigale-gale digunakan saat
pertunjukan tari saat ritual penguburan mayat suku Batak di Pulau Samosir. Sudah
menjadi tradisi, apabila seorang batak meninggal tanpa keturunan, maka sigale-
gale dibuat sebagai penggantinya.
Para menteri dan datu berusaha untuk menghibur sang raja. Akhirnya
mereka meminta dukun untuk membuatkan patung yang mirip dengan Manggale.
Patung tersebut dipakaikan pakaian dan ulos terbaik. Lalu mereka memasukan roh
Manggale ke dalam patung tersebut dengan meniup sordam dan
memainkan gondang sabangunan untuk memanggil roh Manggale agar boneka
tersebut terasa hidup.
Karena patung tersebut sangat mirip dengan anaknya, raja yang sakit pun
berangsur-angsur pulih. Setiap kali raja merindukan putranya, mereka akan
mengadakan ritual agar roh sang anak dapat masuk ke dalam patung tersebut dan
menari tor tor dengannya. Masyarakat pun ikut menari tor tor dengan patung
tersebut. Sejak saat itu masyarakat memberi nama patung tersebut Sigale-gale
yang diambil dari nama Manggale.
Salah satu syarat untuk ikut menari dengan Sigale-gale adalah kita harus
menggunakan ulos dan juga ikat kepala yang dinamakan sortali. Umumnya ulos
dan sortali sudah disediakan untuk dipinjam.Tarian akan ditutup dengan
meneriakan horas sebanyak tiga kali.
Refensi Awal