Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ETNOGRAFI PAPUA

WILAYAH ADAT SAIRERI (SUKU AMBAI)

Oleh : kelompok 2

Jhon H. Lopulalan
Venisia A. Bukorpioper
Rianti. Betteng
Nurul Qurrotul ‘Uyun
Femiance. Lemauk
Trimalena. Siahaan
Bernadus V S. Manong

JURUSAN ILMU MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami yang berjudul “ Wilayah Adat Saireri ” dengan
tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etnografi Papua.
selama proses penulisan makalah ini,tentunya banyak pihak yang terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam memberikan bimbingan,bantuan, dan dukungan yang sangat
berarti bagi kami. Oleh Karena itu, kami berterima kasih untuk segala pihak yang membantu
dalam penyelesaian penulisan makalah ini. kami berharap agar makalah ini berguna dalam
menambah wawasan dan ilmu pengetahuhan mengenai suku – suku yang berada diwilayah adat
khususnya wilayah adat Saereri yang berada di daerah utara, pesisir, dan pulau-pulau di sebelah
utara Papua .Tentunya makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. maka dari
itu, kami sangat menerima dengan senang hati apabila ada kritik atau saran demi kesempurnaan
makalah ini.

2
DAFATAR isi
MAKALAH....................................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFATAR isi.............................................................................................................................................3
BAB l PENDAHULUAN............................................................................................................................4
Latar belakang.........................................................................................................................................4
Tujuan dan Manfaat.................................................................................................................................5
BAB ll PEMBAHASAN.............................................................................................................................6
Wilayah Adat Saireri...............................................................................................................................6
Lokasi lingkungan alam dan demografi suku ambai................................................................................6
Sejarah dan asal mula suku ambai...........................................................................................................8
Bahasa suku ambai................................................................................................................................10
Sistem teknologi suku ambai.................................................................................................................11
Sistem mata pencaharian suku ambai....................................................................................................12
Organisasi social suku ambai.................................................................................................................13
Sistem pengetahuan suku ambai............................................................................................................14
Kesenian suku ambai.............................................................................................................................15
Sistem religi ambai................................................................................................................................16
BAB lll PENUTUP...................................................................................................................................17
Kesimpulan............................................................................................................................................17

3
BAB l PENDAHULUAN

Latar belakang
Provinsi Papua merupakan wilayah yang terletak paling timur dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan saat ini terdiri dari 28 Kabupaten dan satu kota. Wilayah Papua berbatasan secara
langsung dengan negara Papua New Guinea di sebelah Timur, sedangkan di sebelah barat
berbatasan dengan Provinsi Papua Barat. Sebelah Selatan dengan Laut Arafuru dan di sebelah
Utara berbatasan dengan Samudra Pasifik. Papua dengan luas`wilayah 421.981 km2, tertutup
hutannya yang menghijau yang dikenal dengan nama tropical rainforest wilderness area, hanya
dapat dibandingkan dengan kekayaan yang ada di hutan Congo di Afrika dan di wilayah Amazon
Amerika Selatan.

Kekayaan bioversitas yang terdapat dalam hutan-hutan Papua tersimpan dalam bentuk
keanekaragaman hewan antara lain burung cenderawasih, kupu-kupu sayap burung, landak Irian,
serta jenis-jenis lainnya. Keanekaragaman tanaman diwakili oleh melimpahnya species pohon,
spesies anggrek, serta species pandan. Keanekaragaman ini berkaitan erat dengan dengan
ekowisata yang dimiliki oleh Provinsi Papua. Sungai berair deras, danau dengan pemandangan
yang indah, pantai dengan air yang jernih dan surga bagi snorkling dan diving, maupun hutan
dan tebing-tebingnya yang menantang untuk untuk dijelajahi dan di panjat, tersebar bagaikan
mutiara di seluruh wilayah Papua.

Kekayaan biodiversitas dan ekowisata, ternyata belum cukup, Papua dikarunia juga dengan
banyaknya suku-suku dengan bahasanya masing-masing, dan itulah yang membentuk Asmat
dengan ukiran kayunya, Biak dengan barapen dan juga Jayawijaya dengan mumi-nya. Kekayaan
biodiversitas dan ekowisata serta keanekaragaman adat budaya itulah yang menyebabkan Papua
di bagi mejadi beberapa wilayah adat.

Berbicara mengenai wilayah adat di Tanah Papua, maka perlu kita ketahui sejarahnya kapan
konsep ini mulai di kenal dan digunakan serta apa indikator yang digunakan untuk
mengelompokkan suku- suku di Papua kedalam wilayah tersebut. Berdasarkan data dari Dewan
Adat Papua (DAP), Antropologi Uncen, SIL dan Dinas Kebudayaan pada tahun 2008, ketika
menyusun dan membuat Pemetaan Suku Bangsa di Tanah Papua, konsep wilayah Adat atau
culture area sudah dikenal oleh masyarakat Adat di Tanah Papua sejak tahun 1960-an, di mana
konsep ini merupakan penggabungan dari beberapa konsep yang sudah ada sebelumnya baik
oleh pemerintah Belanda maupun Antropolog Barat seperti; Pembagian 6 Wilayah Administrasi
oleh Pemerintah Belanda, Culture Provinsi oleh G.J. Held, Wilayah Gaya Seni oleh Wingert,
Rapl Linton, A. Gerbrands dan S. Koijman.

4
Gambar 1 . Gambar 7 wilayah adat di Papua dan Papua Barat

Sedangkan bagi orang Papua Sendiri telah mengenal batasan-batasan wilayah mereka secara
tradisi sejak nenek moyang mereka, sehingga indikator yang digunakan

untuk menyusun pembagian suku-suku di Tanah Papua ke dalam 7 Wilayah Adat adalah, seperti
kesamaan dalam aspek; hubungan kekerabatan, perkawinan, hak ulayat, tipe kepemimpinan, ciri-
ciri fisik, geografis, dan lainnya. Provinsi Papua terbagi dalam dari lima wilayah (sedang wilayah
Papua Barat hanya terbagi dalam dua wilayah adat yaitu wilayah Domberai dan wilayah adat
Bomberai). Ke lima wilayah adat Papua dimaksud disusun berdasarkan nama Kabupaten dengan
ibukotanya adalah: Mamta, Saereri, Anim Ha, La Pago, dan Mee Pago.

Tujuan dan Manfaat


1. Dapat mengetahui macam-macam suku dan budaya di wilayah adat Saereri.
2. Menambah wawasan kebudayaan
3. Dapat turut serta dalam melestarikan kebudayaan agar tidak luntur/punah
4. Untuk meningkatkan sikap toleransi antar sesama suku baik dibidang budaya, agama,
bahasa, dan yang lain

5
BAB ll PEMBAHASAN

Wilayah Adat Saireri


Di dalam wilayah adat saireri terdapat 31 suku dan terletak di sekitar wilayah teluk cenderawasih
meliputi biak numfor, supiori, yapen, waropen dan nabire pantai. Dan untuk materi ini lebih
focus ke salah satu suku yang ada di Kabupaten Kepulauan Yapen yaitu Suku Ambai

Lokasi lingkungan alam dan demografi suku ambai


a) Lokasi (Suku Ambai)
Lokasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini, meliputi beberapa distrik yang
dianggap sudah sejak dahulu menggunakan bahasa Ambai sebagai bahasa
perantara antara distrik yang satu dengan distrik yang lain. Distrik-distrik itu
antara lain ; distrik Dawai, distrik Randawaya, distrik Angkaisera, dan distrik
Kepulauan Ambai. Distrik-distrik ini berada di kabupaten Kepulauan Yapen-
Provinsi Papua.
b) Lingkungan dan Demografi (Suku Ambai)
Kampung Ambai pada tahun 1970-1980 memiliki wilayah yang sangat luas.
Wilayah ini meliputi beberapa desa antara lain; kampung Saweru, Wadapi,
Wawuti, Rondepi, Kawipi, Wamori, Adiwipi, dan Ambai. Kampung-kampung
ini pada tahun 1970-1980, dijadikan satu desa yaitu desa Ambai. Namun pada
tahun 1985, kampung-kampung seperti, Saweru, Wadapi, Wawuti, telah
dimekarkan menjadi desa masing-masing.

Hal yang membuat kampung-kampung ini dipisahkan dari desa induk Ambai,
karena jangkauan transportasi. Kendala dalam transportasi ini dilihat dari
beberapa jarak antara desa induk dengan kampung-kampung itu sangat jauh. Bila
dalam suatu pertemuan, mereka yang dari kampung-kampung Wadapi, Wawuti,
dan Saweru, jika hendak ke Ambai mereka harus menempuh perjalanan selama
kurang lebih 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) jam perjalanan ke desa Ambai.
Kampung Saweru, berada di pulau Ambai bagian barat, dan kampung Wawuti
dan Wadapi berada pada bagian utara pulau Ambai, atau kedua kampung ini
masih berada di dataran pulau Yapen. Sedangkan kampung-kampung di pulau
Ambai, tidak termasuk dataran pulau Yapen karena dipisahkan oleh laut.
Pada tahun 1998, dengan adanya pemerataan pengembangan pembangunan
pemerintahan di kabupaten kepulauan Yapen, maka pemerintah provinsi Papua
memekarkan salah satu distrik baru di daerah selatan pulau Yapen yang dimana
termasuk kampung-kampung kepulauan Ambai tergolong sebagai distrik
Angkaisera.

6
Distrik Angkaisera meliputi beberapa kampung seperti; Kabuaena, Rambai,
Roipi, Saweru, Umani, Konti, Yapanani, Aitiri, Ransarnoni, Wawuti, Wadapi,
Kawipi, Ambai II, Rondepi, Baisore, Adiwipi, Mambawi, Ambai I, dan Kainui.
Kemudian pada tahun 2008 tepatnya tanggal, 16 Agustus, kunjungan Bapak
Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu ke Kabupaten kepulauan Yapen
dalam rangka kunjungan Hutan Lindung dan Tambak Ikan Kerapuh yang
sekaligus membawa SK pemekaran distrik baru di kabupaten kepulauan Yapen.
Distrik yang baru dimekarkan, salah satunya adalah distrik kepulauan Ambai.
Distrik kepulauan Ambai yang baru dimekarkan ini dengan jumlah penduduk ±
6.000 jiwa, dan jumlah kampung antara lain; kampung Rondepi, kampung
Baisore, kampung Mambawi, kampung Umani, kampung Saweru, kampung
Adiwipi, kampung Kawipi, kampung Wamori, kampung Ambai I, dan kampung
Ambai II. Selain dari jumlah kampung, ada beberapa marga besar yang
mendiami distrik kepulauan Ambai yaitu Wanggai, Muabuai, Waroi, Wona,
Waromi, Imbiri, Yowei, Maniani, Marani, Karubaba, Fonataba, Woru, Oropa,
Aiwoi, Numberi, Windeai, Aruri, Ayeri, Kapisa, Warisal, Inggeni, Maniakori,
Mamani, Ayemi, Karuri, Numansra, Rerei, Prawar, dan Boseren. Marga-marga
ini merupakan nama kelompok masyarakat yang mendiami beberapa RT, dengan
jumlah yang tidak menentuh.

7
Sejarah dan asal mula suku ambai
Wilayah geografis bahasa Ambai terdiri dari pemakai bahasa Ambai yang selalu menggunakan
bahasa Ambai sebagai alat komunikasi. Bahasa Ambai mempunyai wilayah pemakai yang
meliputi beberapa kampung dan distrik. Pada kampung, dan distrik ini ada yang menggunakan
bahasa Ambai secara keseluruhan, dan ada pula yang menggunakan pada kampung tertentu saja.
Distrik yang menggunakan bahasa Ambai secara keseluruhan yaitu distrik Randawaya, dan
distrik kepulauan Ambai. Sedangkan penggunaan bahasa Ambai, pada distrik Angkaisera, dan
distrik Dawai, yaitu terdapat beberapa kampung tertentu saja yang menggunakan bahasa Ambai.
Kampung-kampung ini menggunakan bahasa Ambai karena, latar belakang kehidupan mereka
yang mirip dengan orang Ambai.

Menurut salah satu tokoh masyarakat Steven Fonataba, yang pada waktu menjabat sebagai
sekretaris kampung Ambai, pada waktu tahun 1960-1970, telah terjadi kesepakatan antara
masyarakat yang berada di pegunungan pulau Yapen dengan masyarakat Ambai yang berada di
pulau Ambai untuk mengadakan Barter. Untuk memperlancar pertukaran benda antara
masyarakat Ambai dan masyarakat yang berada di pegunungan pulau Yapen, maka masyarakat
pegunungan belajar menggunakan bahasa Ambai. Bahasa Ambai pada waktu itu sangat mudah
dipakai karena bahasa Ambai lebih cepat dipahami oleh pemakai dalam mengadakan barter.

Dalam barter ini ada sebuah pulau sebagai sarana yang berada di antara kampung-kampung di
Ambai dengan kampung di daerah pesisir pulau Yapen bagian Selatan yaitu kampung Manawi
dan Kainui, Wadapi. Pulau itu sampai sekarang diistilahkan sebagai pulau Kondirora (Pasar).
Masyarakat distrik Angkaisera yang menggunakan bahasa Ambai, yaitu kampung Menawi,
kampung Wadapi dan kampung Rambai. Kampung Manawi terdiri dari kampung Roipi, Atiri,
Ransarnoni. Kampung-kampung yang lain, juga ikut berpartisipasi dalam proses barter tersebut
namunh mereka hanya bisa mendengar dan memahami.

Kalaupun mereka dapat berkomunikasi tentunya, pada beberapa kata yang diingat pada nama
benda tertentu yang dominan dalam pertukaran barter. Misalnya; nama-nama ikan, sagu, talas,
pisang, sayur dan lain-lain. Perkembangan bahasa Ambai ini pula terjalin dengan cepat karena
adanya perkawinan antara masyarakat yang berada di pegunungan dengan masyarakat Ambai.
Buktinya, masyarakat pegunungan ini akhirnya mereka turun dari gunung dan bertempat tinggal
di dataran pesisir pantai. Dengan salah satu tujuan agar mempermudah proses barter yaitu
pertukaran ikan dari masyarakat Ambai dan talas, sagu dll. dari masyarakat Angkaisera. Melihat
sejarah terjadinya pemakai bahasa Ambai pada distrik Angkaisera ini, maka muncullah istilah
bahasa Ambai Menawi. Marga yang terlibat dalam pemakaian bahasa Ambai menawi adalah
marga Merani, Wondiwoi, Kandipi, Borai, Bonai, Nuboba, Bayoa, Waroi, Ansanai, Anderi,
Matui, Mara, Borowai, Waromi, Upuya, Nanimindei, Samai, Rontini, Arebo, Sineri, Kaiba,
Sembai, Wamea, Torobi, Mansai, dan Manori.
Demikian pula dengan pemakai bahasa Ambai-Dawai, yang mana bahasa yang digunakan

8
dalam menjalin komunikasi, masih digunakan oleh beberapa kampung. Kampung-kampung
yang menggunakan bahasa Ambai antara lain; kampung Wabo, Korombobi, Nunsembai,
Mereruni, dan Dawai. Kampung lain yang tidak menggunakan bahasa Ambai sebagai alat
penghubung dalam masyarakat di distrik Yapen Timur yaitu; kampung Awunawai, Nunsyari,
Wabompi, Wonsyupi, dan Kerenui. Bahasa Ambai digunakan oleh beberapa kampung yang
tertera namanya telah disebutkan di atas disebabkan oleh beberapa marga seperti fonataba,
Wamea, Rumpedai, Runggamusi, Woriasi, Wanggai, Muai, Numberi, Waromi, Waimuri, Reba,
Wona, dan Imbiri. Di antara marga- marga ini banyak yang berasal dari pulau Ambai seperti
Wona, Wanggai, Fonataba, Imbiri, Numberi, dan marga lain yang sudah mengganti marga
dengan menggunakan nama marga di sana. Marga-marga ini berada di distrik Yapen Timur
karena pada waktu dulu, mereka mengingat bahwa pulau Ambai terlalu kecil untuk menampung
seluruh masyarakat, maka sebahagian dari marga-marga ini mulai mencari tempat untuk
menetap dan melakukan aktifitas sebagai nelayan dan petani. Hingga kini bahasa Ambai Dawai,
Ambai Menawi, Ambai- Randawaya, dapat dilestarikan sebagai bahasa pengantar antara sesama
pemakai mulai dari kepulauan Ambai dan sebagian pulau Yapen.

9
Bahasa suku ambai
Fariasi dialek bahasa pada dasarnya diklasifikasikan pada pengaruh bahasa yang berkontak.
Kontak antarbahasa ini dapat mengakibatkan pinjaman dan serapan antarbahasa pada tataran
fonologi, morfologi, sintaksis, atau semantik (Parera 1991:93). Fariasi bahasa Ambai ini
diakibatkan oleh pengaruh bahasa yang berkontak. Kalau dilihat pada pemakai bahasa Ambai
Menawi, Randawaya, Dawai, tentunya secara jelas ada perbedaan pada intonasi dan kata serapan
bahasa lain. Disinilah muncul fariasi bahasa Ambai yang dipengaruhi oleh bahasa-bahasa yang
selalu berkonta

a) Fariase dialeg bahasa Ambai Menawi


Bahasa Ambai Menawi ini dipengaruhi oleh bahasa Onate. Bahasa Onate adalah
bahasa yang digunakan oleh suku yang berada di darat atau daerah pegunungan
pulau Yapen. Bahasa Ambai terpengaruh, dilihat dari unsur intonasi pengucapan
yang agak lambat dari penutur orang Ambai. Misalnya pada penggunaan kata
intafea, kata intafea dalam bahasa onate berkedudukan sebagai kata preposisi atau
kata depan pada suatu kalimat. Contoh : "Intafea rodoni?" artinya Saudara mau
kemana'?
Kata inta itu berasal dari kata intaye yang artinya kau, dan kata rodoni?
artinya kau mau kemana.
b) Fariase dialeg bahasa Ambai Randawaya
Bahasa Ambai Randawaya ini dipengaruhi oleh bahasa Kurudu dan
Kaipuri. Bahasa Kurudu dan Kaipuri adalah bahasa yang dipengaruhi pula oleh
bahasa biak dan bahasa Barapasi. Pengaruh yang timbul dalam pengucapan ini
terlihat pada intonasi pembicaraan yang cepat, dan pada nada akhir kalimat
c) Fariase dialeg bahasa Dawai
Bahasa Ambai Dawai ini dipengaruhi oleh Bahasa Biak dan Korombobi. Bahasa
Korombobi ini juga dipengaruhi oleh bahasa Biak dan Kurudu. Pengaruh yang
terlihat dalam pengucapan bahasa Ambai Dawai ini, terlihat pada intonasi vokal
yang diucapkan oleh penutur agak cepat atau dikategorikan sedang. Dengan arti
dia berada pada pengucapan bahasa seperti penutur asal dari orang Ambai.

10
Sistem teknologi suku ambai
Sistem peralatan dan perlengkapan hidup dimaksudkan untuk menunjukan segala benda dan alat-
alat yang digunakan oleh manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya sehari-hari. Termasuk
kedalamnya antara lain, alat-alat bercocok tanam, alat-alat berburu, alat-alat menangkap ikan,
peralatan angkutan, peralatan kesenian, pakaian, alat-alat rumah tangga, dan rumah tempat
tinggal.

Alat untuk menebang pohon sagu digunakan kapak batu, sedangkan untuk memukul sagu agar
menjadi tepung sagu digunakan pemukul dari kayu yang disebut magha, dan alat berburu adalah
lembing, tombak, dan panah. Alat untuk menangkap ikan digunakan jala, kail, dan kadang-
kadang menggunakan racun.

Alat-alat rumah tangga sebagian besar terbuat dari kayu, dan sebagian lagi dari anyam-anyaman.
Tetapi sekarang sudah banyak digunakan panci, piring, mangkuk, dan alat keramik lainnya.
Perahu suku Ambai berupa biduk yang disebut gha, bentuknya seperti lesung bercandik, biasa
digunakan untuk pelayaran jauh buat laki-laki. Alat-alat bunyi-bunyian terdiri dari genderang
berbentuk gelas minum yang disebut siwa, seruling yang berlubang dua, gong yang disebut
mauno, dan terompet dari kerang yang disebut buro, dan tifa serta atasanya yang terbuat dari
kulit soa-soa.

11
Sistem mata pencaharian suku ambai
Dengan melihat letak distrik kepulauan Ambai, kita telah mengetahui bahwa orang yang hidup di
daerah kepulauan tentunya selalu berhubungan dengan laut yang banyak. Masyarakat Ambai
adalah masyarakat yang bertempat tinggal di daerah kepulauan ini, yang sebagian besar atau
dikatakan 75% memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, dan sebahagian kecil atau 25%
bermata pencaharian sebagai petani. Nelayan-nelayan ini memiliki berbagai alat penangkap
seperti; jaring, alat mancing, lampu petromaks dan penikam (kalawai) untuk melakukan
penangkapan ikan pada malam hari.

Gambar 2 . Nelayan dikampung Ambai

Proses penangkapan ini dilakukan baik oleh para nelayan yang laki-laki, maupun yang
perempuan. Begitupun dengan melakukan aktifitas sebagai petani, yang dilakukan oleh para laki-
laki dan perempuan. Namun untuk pekerjaan sebagai petani, sebagian besar dilakukan oleh para
ibu-ibu.

12
Organisasi social suku ambai
Struktur sosial disini mengacu pada bentuk-bentuk hubungan sosial yang menatakehidupan
bermasyarakat suatu kesatuan sosial tertentu. bentuk-bentuk hubungan yang mengatur relasi
atara para warga itu bersumber pada hubungan kekerabatan dan di wujudkan dalam sistem
istilah kekerabatan maupun prinsip pewarisan keturunan. Pemahaman terhadap sistem istilah
kekerabatan suatu kelompok etnis tertentu pentingsebab istilah-istilah itu mensyaratkan hak dan
ke/a!iban yang harus diperankan oleh masing-masing anggota kerabat terhadap anggota kerabat
lain. Hak dan kewajiban itu merupakan unsur  pengikat yang menyatukan para warga kedalam
suatu kesatuan sosial. unsur-unsur pengikat tadi tidak selalu sama pada kelompok-kelompok
etnis yang berbeda.

13
Sistem pengetahuan suku ambai
Dalam peningkatan sumber daya manusia, kondisi yang sering dialami oleh pendidikan di daerah
perkotaan sangatlah berbeda dengan daerah yang masih di pinggiran kota (kampung).
Masyarakat kampong proses kinerja pendidikan banyak mengalami berbagai hambatan, karena
sarana dan prasarana seperti ruang kelas, ruang laboratorium, selain itu listrik juga belum ada.
Selain itu pula tenaga kependidikan yang belum memadai, menyebabkan proses pendidikan di
distrik kepulauan Ambai belum memberlakukan kurikulum secara baik. Baik menyangkut
seluruh mata pelajaran. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, guru di tingkat SD, dan SLT
berjumlah ± 30 tenaga pengajar. Tenaga pengajar ini terbagi pada 8 gedung SD, dan 1 gedung
SLTP.

14
Kesenian suku ambai
Kesenian suatu daerah tentunya mencerminkan budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakatnya.
Masyarakat distrik kepulauan Ambai, melihat dari letak geografisnya, sudah tentu memiliki
budaya dan kesenian yang selalu menyatu dengan keadaan alam yang dialaminya. Budaya
masyarakat Ambai, pada dasarnya sama dengan budaya lain yang ada di daerah Papua seperti pada
daerah Biak, Waropen, Jayapura, Manokwari, Sorong, dan daerah lainnya. Budaya itu dinamakan
pesta dansa (Mandohi). Pesta ini biasanya dilakukan dengan bentuk tarian dan nyayian.

Gambar 3. Gambar Alat Music Tifa

Alat-alat musik yang digunakan dalam pesta tersebut adalah tifa, dan tikar yang sudah dihiasi
dengan bentuk motif-motif daerah berupa ukiran-ukiran dan suatu perahu kecil yang didesain
dengan berbagai ukiran. Tujuan dari Pesta Dansa (Mandohi) ini adalah memberi suatu hadiah baik
itu berupa barang atau uang dari seorang saudara laki-laki kepada saudara perempuan. Barang atau
uang diberikan karena pada waktu-waktu yang lalu saudara perempuan ini telah memberi makan,
dan membantu saudaranya baik dalam melakukan aktifitas semasa ia belum memiliki seorang
istri. Jadi saudara laki-laki ini memberi hadiah ini untuk membalas kebaikan saudara perempuan
dengan mengadakan suatu pesta.

15
Sistem religi ambai
Ditengah maraknya intolerasi di belahan Indonesia lainnya, seperti persaingan personal
diberbagai lini kehidupan dan pergerakan nilai-nilai konsumtif mendorong kehidupan sosial yang
cenderung menuju ke arah sekularisasi. Masing-masing kelompok saling menyindir dan
“memaki” serta berusaha mencari pembenaran diri dengan membangun argumentasi-
argumentasi yang sangat subjektif.

Sementara pada akses religius, manusia mengalami konflik secara fragmentarian. Namun beda
halnya dengan komunitas-komunitas lokal di Papua. Sebutlah sebagian besar masyarakat di
Yapen , hampir semuanya sudah mengenal adanya agama karena yapen berada di daerah pesisir
dan pertama kali mengenal yang adanya agama dari pada masyarakat di daerah pegunungan.

Agama yang dominan di daerah di distrik Ambai adalah Kristen Protestan, Agama Kristen
protestan ini, di bagi berdasarkan aliran ibadah masing-masing : Gereja Kristen Injili, Gereja
Pentakosta Di Indonesia, GereJa Bethel Indonesia, Gereja Baptis Indonesia. Gereja–gereja d lihat
dari aliran ini, tentunya GKI berjumlah 3 gedung, Bethel berjumlah 9 gedung, Pentakosta 8
gedung.

16
BAB lll PENUTUP

Kesimpulan
Kesimpulan dari materi ini adalah masyarakat adat di wilayah adat saireri memiliki banyak
kebudayaan yang ada bukan hanya di Biak, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire Pante. Dan dari
setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai sosial dan makna tersendiri sehingga itu yang menjadi ciri
khas dari setiap suku yang ada di wilayah adat saireri dengan berbagai keragaman budaya,
bahasa, demografi, mata pencaharian, system kepemimpinan dan cerita local dan mitos yang ada
di masing-masing suku

17

Anda mungkin juga menyukai