Kabupaten Seram Bagian Timur adalah salah satu kabupaten di provinsi Maluku,
Indonesia. Ibukota kabupaten ini menurut UU tersebut terletak di Dataran Hunimoa, akan
tetapi pusat kegiatan termasuk pemerintahan sementara berlangsung di Bula.
Secara geografis luas wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur seluruhnya kurang
lebih 15.887,92 Km2 yang terdiri luas laut 11.935,84 Km2 dan luas daratan 3.952,08 Km2.
Karena secara geografis Kabupaten Seram Bagian Timur terletak di antara Benua Australia
dan Benua Asia serta masih dalam kawasan lintang tropis dan dikelilingi oleh laut yang
cukup luas, maka iklim yang terdapat di kabupaten ini adalah iklim musim dan iklim taut
tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi sepanjang tahun. Berdasarkan hasil pemantauan
di Stasiun Meteorologi Geser Kabupaten SBT pada tahun 2005, ditemui temperatur
maksimum 31,7 °C, minimum 22,2°, dengan temperature rata-rata 27,8 °C. Curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan April, yaitu rata-rata sebesar 456,3 mm, dan menyusul pada bulan
Desember yaitu sebesar 360,6 mm. Jumlah hari hujan terbanyak juga terjadi pada bulan
April, dengan rata-rata sebanyak 22 hari, menyusul pada bulan Januari sebesar 20 hari. Rata-
rata jumlah hari hujan perbulan dalam tahun 2005 adalah sebesar 14,1 hari.
Kabupaten ini berasal dari hasil pemekaran kabupaten Maluku Tengah yang terdiri
dari:
1. Kecamatan Siwalalat
2. Kecamatan Bula
3. Kecamatan Pulau Gorom
4. Kecamatan Seram Timur
5. Kecamatan Werinama
6. Kecamatan Wakate
7. Kecamatan Tutuk Tolu
8. Kecamatan Teor
9. Kecamatan Pulau Panjang
10. Kecamatan Bula Barat
11. Kecamatan Kilmury
12. Kecamatan Gorom Timur
13. Kecamatan Teluk Waru
14. Kecamatan Siritaun Wida Timur
15. Kecamatan Kian Darat
16. Kecamatan Ukar Sengan
Daerah ini terpisah atas tiga bagian utama yaitu Pulau Seram (Bagian Timur), Kepulauan
Gorom dan Kepulauan Watubela.
Sarana dan parasara pendidikan di Kab. SBT masih terbatas sehingga menyebabkan
rendahnya kualitas sumberdaya manusia serta rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan, jumlah SD/MI teridentifikasi sebanyak 143 buah dengan
jumlah murid sebanyak 19.739 orang dan tenaga guru sebanyak 821 orang (Rasio Guru dan
Murid 1 : 24). Jumlah MTs/SMP sebanyak 35 buah dengan jumlah murid 5657 orang dan
jumlah guru 222 orang (Rasio Guru dan Murid 1 : 24). Jumlah SMA/SMK sebanyak 15 unit
dengan jumlah guru 138 orang dan jumlah siswa 3463 orang (Rasio Guru dan Murid 1 : 25).
Persoalan lain yang ikut mempengaruhi kondisi pendidikan di SBT adalah kurang lebih 40%
bangunan (gedung) sekolah dalam keadaan rusak berat, kurangnya sarana dan prasaran
pendidikan serta sebaran guru dan ruang belajar yang tidak merata. Sesuai program
Pembangunan Nasional bahwa setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya memiliki satu
Perguruan Tinggi maka Kab. SBT terdapat satu Perguruan Tinggi Islam Swasta yang
berkedudukan di Geser Ibukota Kecamatan Seram Timur.
Data jumlah penduduk miskin di Kab. SBT, berdasarkan data survey Pemkab SBT
tahun 2006 tercatat sebanyak 20.766 Rumah Tangga Miskin (62%). Jumlah RTM yang
memperoleh bantuan langsung tunai (BLT) sebanyak 6719RTM dengan nilai bantuan per
RTM per triwulan sebesar Rp.300.000. Sedangkan jumlah Komunitas Adat Terpencil
(th.2006) sebanyak 190 KK yang tersebar pada Kecamatan Bula dan Tutuktolu.
Kondisi Sosial. Hasil assesmen diketahui jumlah penduduk Kab. SBT tahun 2006
adalah 117.133 jiwa. Golongan terbesar pada penduduk berusia 21-30 tahun. Kemudian,
penduduk dalam golongan usia 31 – 40 tahun sebanyak 27.377 jiwa. Kedua kategori usia ini
adalah usia produktif yang secara kuantitatif berjumlah 56.272 jiwa dari total penduduk yang
ada di Kab. SBT. Komposisi penduduk usia 20 – 20 tahun yakni sebanyak 23,104 jiwa
kemudian kelompok usia 0 – 10 tahun sebanyak 22.508 jiwa, usia 41 – 50 tahun 7.710 jiwa,
51 – 60 tahun 3.334 jiwa, dan diatas 60 tahun 1.969 jiwa.
SBT memiliki sumber daya Alam yang memadai diantaranya ada di Sektor
Perikanan dan kelautan Potensi lestari sektor perikanan meliputi ikan permukaan (pelagis)
dan ikan dasar (demershal) diperkirakan 128.692,2 ton/tahun di mana sampai tahun 2005
baru dapat dikelola 9.340,6 ton (7,79%) dengan nilai produksi 13.561.250.000. Disamping itu
masih terdapat berbagai potensi kelautan bernilai ekonomis tinggi seperti teripang, lola,
cumi-cumi, kepting, udang penaide, dll. Sektor Pertanian Luas lahan potensial 131.364 Ha.
Rincian peruntukan dan pengelolaannya sbb: Tanaman Pangan dan Hortikultura 27.096Ha
(20,62%). Sampai saat ini beru dikelola seluas 9.500Ha (35,06%) dengan jenis komoditas
padi, palawija, jagung, kacang tanah, sayur dan buah-buahan. Sektor Perkebunan Luas
lahan potensial 99.212Ha (75,51%), sampai saat ini baru dikelola 340,13Ha (6,69%) dengan
jenis ternak yakni sapi, kambing, ayam ras dan itik. Sektor Pertambangan Meliputi
pertambangan umum dan pertambangan migas. Potensi pertambangan umum meliputi batu
bara, emas, tembaga, nikel, krom, kobalt, basi, magnesium, mangan dan zirconium.
Pertambangan Migas meliputi minyak bumi dan nafta.
Transportasi pada tahun 2006, teridentifikasi panjang jaringan jalan yang berhasil
dibangun 532,20KM (Rincian: Jalan Aspal 29,50KM, Jalan Kerikil 178,20KM, Jalan Tanah
298,50KM, Jalan Semen 6KM, jalan yang belum terbuka 46,5KM. Jembatan Darat
teridentifikasi 188 buah dengan total panjang bentangan kurang lebih 8.562 meter.
Sedangkan jembatan darat yang terdapat pada jalan antar wilayah dan lingkar pulau sebanyak
143 unit dengan total panjang bentangan kurang lebih 4127 meter. Pelayanan transportasi laut
terdiri atas pelayaran nasional dan pelayaran swasta. Frekuensi kedatangan dan
keberangkatan untuk rute Ambon – Bula – Geser – Gorom adalah 3 kali dalam sebulan
dilayani oleh swasta. Sedangkan frekuensi pelayaran nasional dari Geser ke Bula sementara
ini masih satu kali dalam seminggu. Upaya perwujudan pelayanan transportasi udara sampai
2012 belum terlaksana. Sarana transportasi udara yang ada hanya bersifat khusus pelayanan
perusahaan minyak di Bula. Untuk umum diberikan 3 seat setiap penerbangan dengan
frekuensi 3 kali seminggu. Untuk itu Pemkab SBT merencanakan membangun bandara baru
dengan panjang landasan pacu sekitar 2000 meter di mana pada tahun ini dilakukan studi
infestigatif terkait penyiapan pelaksanaan pembangunannya.
Sarana jaringan listrik masyarakat berasal dari PT. PLN (persero) melalui unit-unit
pembangikit tenaga Diesel yang terdapat di Werinama, Bula, Geser, Gorom, Tutuktolu, dan
Wakate. Pelayanan penerangannya baru sebatas pada mala hari sedangkan di Kota Bula
pelayanan penerangannya sejak pertengahan 2007 sudah 24 jam. Sarana pelayanan Pos dan
Giro sebelumnya sebanyak 3 kantor. Sampai saat ini hanya 2 kantor saja yang beroperasi
yakni di Kecamatan Bula dan Kecamatan Seram Timur. Jaringan informasi dirasakan perlu
oleh masyarakat, terbukti dengan adanya stasiun telepon seluler yang saat ini telah eksis di
empat kecamatan yakni Bula, Werinama, Seram Timur, dan Pulau Gorom. Sejak 2007 dan
2008 diupayakan kemampuan peyebaran informasi melalui media massa, baik cetak maupun
elektronik dapat dinikmati masyarakat yang berada di enam kecamatan. Sarana perdagangan
berupa pasar sebanyak 4 unit, terdiri dari Pasar Inpres 1 unit yang berlokasi di Bula dan Pasar
Tradisional 3 unit yang masing-masing berlokasi di Kecamatan Seram Timur, Pulau Gorom
dan Werinama. Koperasi, sejak tahun 2006 berjumlah 82 unit yang keanggotannya
kebanyakan terdiri dari masyarakat petani dan nelayan.1
Upacara Adat yaitu; Upacara pelantikan raja pada Desa-desa di Kabupaten Seram
Bagian Timur pada umumnya hampir sama. Berbagai macam acara ritual seperti berziarah ke
makam leluhur, proses pemandian, sampai dengan proses pelantikan yang dihiasi dengan
tarian adat dan upacara adat lainnya, seperti pengambilan sumpah dan lain-lain. Ada juga
upacara penaikan qubah Mesjid yang disertai dengan prosesi adat dan keagamaan. Upacara
penaikan qubah Mesjid, mulai dari pemilihan hari yang tepat, pemberian sesajen yang sesuai,
sampai prosesi utamanya yang menyertakan segenap warga masyarakat maupun masyarakat
tetangga.
Menunaikan ibadah haji merupakan salah satu rukun dalam Islam bagi masyarakat
Seram Bagian Timur adalah suatu momentum yang sakral bagi orang yang menunaikannya
maupun bagi keluarga dan masyarakat pada umumnya. Proses ibadah haji juga dihiasi dengan
upacara adat seperti mengantar dan menjemput jamaah haji dengan tarian adat dan iring-
iringan perahu yang dihiasi sebagai perlambang kebesaran dan kejayaan agama Islam.
Tarian Adat yaitu; Tarian Cakalele adalah tarian adat yang menggambarkan
keperkasaan pasukan adat yang siap melawan semua musuh yang datang mengganggu
kedaulatan dan wilayah adat di Seram Bagian Timur. Tari Lusi adalah tarian yang
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Seram_Bagian_Timur. Diakses tanggal 24 Mei 2016
ditampilkan pada acara pelantikan raja maupun penyambutan tamu-tamu istimewa.Tarian ini
menceritakan awal mula kejadian Pulau Gorom, Amar sekaru dan Pulau Pajang. Tari Lidi
adalah tarian yang ditampilkan untuk menyambut kedatangan raja. Tarian ini menceritakan
tentang awal mula terbentuknya Gunung Batik dan perkampungannya. Tarian Dabus adalah
salah satu tarian yang diadopsi dari budaya Iran.Tarian ini menggambarkan keperkasaan dan
kesiapan pejuang muslim untuk membela agama Islam. Tarian ini ditampilkan ketika
perayaan keagamaan seperti; Maulid Nabi Muhammad SAW dan ketika hari ketujuh dari hari
Raya Idul Fitri atau pada acara-acara khusus tertentu yang bernuansa Islam. Tarian Woli-
Wosa adalah tarian yang menceritakan perjuangan pasukan kora-kora (angkatan laut)
Kesultanan Tidore yang pernah Berjaya melawan penjajah Portugis di sepanjang wilayah
perairan Seram Bagian Timur. Tarian ini juga menggambarkan kehidupan masyarakat Seram
Bagian Timur yang sebagian besar kehidupannnya sebagai nelayan. Tarian Sawat adalah
tarian khas Seram Bagian Timur yang ditampilkan dihampir semua upacara adat. Tarian ini
diiringi oleh hentakan rebana dan tiupan suling yang khas.Tarian ini menggambarkan suka
cita masyarakat Seram Bagian Timur dalam merayakan hari-hari besar agama maupun
upacara-upacara adat. Tari selamat datang hanya dipentaskan untuk menyambut tamu-tamu
istimewa yang dating ke Desa-desa di Seram Bagian Timur. Tarian ini menggambarkan
keramahan masyarakat Seram Bagian Timur dalam menyambut tamu-tamu istimewa
tersebut.2
Makanan tradisional masyarakat di Seram Bagian Timur sama dengan makanan orang
Maluku pada umumnya. Dalama cara makan patita (makan bersama) misalnya yang menjadi
menu utama adalah kasbi rebus/singkong rebus, papeda, sagu kering, sagu lombo, ubi-ubian
rebus, pisang rebus, colo-colo bawang balabu, bakasang, ikan bakar, ikan asar/ikan asap,
koho-koho/sejenis sasimi dan lain-lain. Ada juga makanan tradisional masyarakat di Seram
Bagian Timur antara lain; Geba yang bahan dasarnya dari sagu. Kebi sebagai lauk dengan
bahan dasar dari perut teripang, Sate Lak atau disebut sate ulat sagu, Latar yaitu sejenis
rumput laut yang dijadikan lauk dimakan mentah, Kapur Nasi dengan bahan dasar dari sagu,
Gurita Bakar Bambu dan Gurita Garu Nenas, Saulukil Goreng dengan bahan dasar dari
ujung rotan muda yang digoreng, Dendeng Rusa yang terbuat dari daging rusa yang sudah
dikeringkan dengan cara diasap baru dijemur di matahari. Sinoli yang terbuat dari sagu
2
http://infotimurseram.blogspot.co.id/2016/01/wista-budaya-di-sbt.html. Diakses tanggal 24 Mei
2016
mantah dan dicampur dengan kelapa mentah dan gula merah, dan disangrai sampai matang,
ada juga sinoli yang tidak memakai gula merah, biasanya dimakan dengan lauk ikan dan
sayur. Taga-taga adalah lauk berupa sayuran yang terbuat dari daun papaya dan daun
kasbi/singkong yang ditumis dengan bumbu yang dihaluskan antara lain; bawang merah,
bawang putih, cabe, jahe dan laos.
Desa Waru masuk dalam gugus pulau I ini dan masuk dalam wilayah administrasi
Kecamatan Bula. Gugus pulau II meliputi Kepulauan Wakate (Watubela, Kesui, dan Teor)
dengan jumlah penduduk 13.216 jiwa. Gugus pulau yang berada dalam wilayah Kabupaten
Seram Bagian Timur ini beriklim tropis cenderung panas dengan curah hujan berkisar >
1.500 mm/tahun dan memiliki pertumbuhan penduduknya sebesar 2%. Topografi dan tata
letak wilayah Seram Bagian Timur yang berupa kepulauan ini, khususnya wilayah Waru,
membuat pola pikir orang dan cara hidupnya sangat erat hubungannya dengan segala hal
yang berkaitan dengan laut dan pantai.
Kampung Waru demikian orang setempat menyebut desa tempat mereka tinggal.
Kampung ini, jika dilihat secara geografis merupakan suatu perkampungan yang berada di
daerah pesisir pantai di ujung timur sebelah atas Pulau Seram yang terletak di sebuah teluk.
Kampung atau Desa Waru ini berjarak sekitar 60 kilometer (km) arah selatan Kota Bula.
Memang tidak terlalu jauh, namun untuk mencapai desa ini dibutuhkan perjuangan dan
perjalanan yang cukup memacu adrenalin. Jalanan aspal hanya sekitar 10 km selepas Kota
Bula, selanjutnya menembus hutan dengan jalan berupa hamparan pasir dan batu sepanjang
40 km. Kendaraan dengan fasilitas gardan ganda pun masih kesulitan melalui jalan seperti
ini. Karena belum selesainya pembangunan infrastruktur jembatan, saat menuju ke Kampung
Waru kami harus melewati tiga sungai besar di daerah Salas dan Dawang. Masing-masing
sungai yang kami lalui mempunyai lebar antara 200-300 meter (m) dengan kedalaman sekitar
50-60 cm atau sebatas lutut dan setengah paha orang dewasa pada umumnya.
Ketika musim penghujan, jangan berharap bisa melintasi sungai karena air akan
meluap dan arus sangat kuat. Perjalanan menuju Kampung Waru harus berakhir di daerah
Kampung Baru, Dawang. Berakhirnya perjalanan darat di Kampung Baru ini disebabkan
jalan tidak dapat ditembus dan memiliki tingkat kesulitan yang memungkinkan terjadinya
kecelakaan fatal bagi kendaraan darat. Mau tidak mau, perjalanan harus dilanjutkan dengan
menggunakan sampan berukuran lebar 1-1,5 m dan panjang sekitar 5-6 m. Sebagai
penggeraknya digunakan mesin tempel seukuran mesin potong rumput dan berkecepatan
maksimal 1 knot. Orang-orang sekitar menyebut sarana transportasi ini dengan sebutan
ketingting. Perjalanan dengan ketingting ini memerlukan waktu selama 30-45 menit.
Ada dua Bahasa yang biasa digunakan oleh orang-orang Waru. Bahasa yang pertama
dan yang utama adalah bahasa Indonesia dengan dialek Maluku. Penggunaan bahasa ini
biasanya dilakukan oleh kaum muda dan anak anak yang sudah pernah mengenyam
pendidikan karena bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam setiap pelajaran.
Penggunaan bahasa dialek Maluku ini juga biasa dilakukan oleh orang orang yang sudah
pernah menetap agak lama di luar daerah Waru. Selain bahasa Indonesia dengan dialek
Maluku, bahasa lain yang digunakan oleh orang-orang di Kampung Waru untuk
berkomunikasi adalah bahasa Seram asli yang mereka sebut sebagai bahasa tanah. Bahasa ini
biasanya digunakan oleh para kaum tua yang mendapatkan bahasa itu secara turun-temurun.
Bahasa tanah mula-mula dikenal dan digunakan oleh orang-orang dari Kepulauan Gorom
sehingga dikenal juga sebagai bahasa Gorom. Bahasa tanah atau bahasa Seram ini sering
terdengar manakala ada perayaan-perayaan adat seperti pengangkatan raja baru atau sewaktu
ada tamu penting datang ke Waru, misalnya pejabat pemerintahan. Bahasa Seram ini
biasanya juga digunakaan pada saat tertentu, seperti halnya acara lamaran dan pembagian
warisan.
Jika kita mendengar kata Maluku, maka yang tersirat di benak kita adalah orang
dengan ciri-ciri fisik berkulit hitam, rambut agak ikal, postur tegap dan bentuk rahang agak
oval 3 dan menempati suatu daerah kepulauan di wilayah Timur Indonesia. Mengenai asal
usul Kampung Waru, nenek moyang orang Waru lebih memilih menempati wilayah
pegunungan/perbukitan, atau mereka menyebutnya daerah atas atau daerah tinggi. Mereka
tinggal di daerah tinggi untuk mempertahankan kelangsungan hidup namun karena mereka
kurang mengenal cara bertahan hidup di daerah pesisir pantai. Selain itu, alasan lain para
nenek moyang orang Waru menetap di perbukitan adalah karena mereka menilai daerah
tersebut berada di atas sehingga cocok untuk mengintai atau memantau pergerakan musuh
atau suku lain sebab pada waktu itu sering terjadi bentrokan antarsuku. Perkampungan di
gunung atau di daerah atas yang ditempati nenek moyang orang Waru pada waktu itu disebut
keldukun. Kata keldukun terdiri atas dua suku kata, yaitu kata keli yang berarti gunung dan
kata dukun yang berarti kampung. Jadi, kata keldukun bermakna kampung yang berada di
atas gunung atau bukit. Kampung Keldukun tersebut pada awalnya didiami nenek moyang
dari marga atau famili Fesan atau Fesanrey dan hingga kini nama itu masih menjadi nama
marga beberapa orang Waru.
1. Soa Fesan yang terdiri atas marga/famili Fesanrey, Fesanlau, dan Rumfot.
2. Soa Kelbarin yang terdiri atas marga/famili Kelbarin, Boynau, dan Rumbaremata.
3. Soa Rumeon yang terdiri atas marga/famili Rumeon dan Kelderak.
4. Soa Rumbarifar yang terdiri atas marga/famili Rumbarifar, Sukonora, Sainus, dan
Rumalutur.
Bapak Raja Waru mengatakan bahwa saat ini Kampung Waru ditempati oleh
mayoritas marga/famili Kelbarin, Fesanrey, Rumbarifar, dan Rumeon walaupun ada juga
marga minoritas yang tinggal di Kampung Waru. Orang-orang Waru di Kabupaten Seram
Bagian Timur dipimpin oleh seorang raja yang mempunyai kekuasaan dan wewenang
mencakup daerah Salas sampai daerah Karai, yaitu daerah paling ujung timur Pulau Seram
yang berbatasan langsung dengan Laut Seram dan Pulau Geser. Kekuasaan raja diperoleh
secara turun-temurun. Selama ini raja menurunkan kekuasaannya secara langsung kepada
anak laki-laki. Apabila seorang raja tidak mempunyai anak laki-laki, maka diadakan
musyawarah adat untuk menentukan penerus takhta, biasanya yang dipilih adalah anak laki-
laki kerabat raja yang masih mempunyai hubungan darah dengan raja yang berkuasa.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi serta Sistem Mata pencaharian. Alam
sebagai Sumber Mata Pencaharian Secara umum bila ditanya mengenai mata pencaharian,
kaum laki-laki menjawab bahwa pekerjaan mereka adalah nelayan tradisional. Dikatakan
tradisional karena mereka menggunakan peralatan dan teknologi sederhana yang sifatnya
masih manual. Penduduk Kampung Waru juga dikenal sebagai peladang atau pekebun yang
membuka ladang atau lahan perkebunan seukuran kira-kira 500 m 2 di dalam hutan. Cara
mereka berkebun dan berladang di hutan persis sama seperti cara nenek moyang mereka
dahulu, yaitu dengan menggunakan peralatan sederhana dan bahan-bahan yang sederhana.
Untuk mendapatkan bibit tanaman yang akan ditanam pun mereka mencarinya di hutan yang
ada di sekitar tempat mereka berkebun atau berladang. Mereka biasanya menanam umbi-
umbian seperti ubi, talas, dan singkong untuk dikonsumsi sendiri, terutama untuk memenuhi
kebutuhan bila hasil tangkapan ikan kurang atau pada saat mereka tidak bisa melaut karena
cuaca buruk. Mereka mendapatkan hasil laut berupa ikan, udang, kepiting, dan lain-lain
dengan menggunakan perahu sederhana berukuran sekitar 1x3 m atau 1x4 m yang mereka
sebut ketingting. Jaring yang mereka gunakan berukuran sekitar 4-5 m. Selain jaring, mereka
juga menggunakan pancing. Saat mencari hasil laut, kaum lelaki umumnya tidak pernah
terlalu jauh dari pantai. Mereka mencari hasil laut hanya sekitar 1-2 mil laut (sekitar 3-4 km)
dari bibir pantai. Alasan mereka mencari ikan di dekat pantai karena laut sering kali tidak
bersahabat.
Bapak Raja bercerita bahwa dahulu Waru adalah daerah penghasil sagu karena
memang di daerah Waru ini tumbuh banyak pohon sagu dengan kualitas baik. Kualitas sagu
yang baik dicari banyak orang karena dianggap dapat menghasilkan hasil yang pasti
dibandingkan dengan pergi mencari ikan di laut.
Benda-benda elektronik seperti televisi, DVD player, dan antena parabola sudah
dimiliki oleh beberapa keluarga, akan tetapi untuk menghidupkan alat-alat tersebut mereka
harus memiliki genset. Selain harus memiliki genset sebagai penghasil listrik, mereka juga
harus menyediakan solar atau bensin (premium) sebagai bahan bakar atau sumber energi
untuk menggerakkan mesin genset tersebut. Hal ini juga menjadi salah satu penghalang bagi
masyarakat Waru untuk menikmati segala peralatan elektronik yang mereka punya dan inilah
yang menjadi salah satu alasan mereka hidup dalam kesederhanaan dan menggunakan
peralatan sederhana secara manual. Penggunaan teknologi sederhana juga terlihat saat mereka
memasak makanan yang masih menggunakan tungku berbahan kayu bakar. Peralatan
memasak pun sederhana. Mereka hanya menggunakan penggorengan dan panci untuk
memasak, cobek dari batu untuk menghaluskan bumbu, wadah plastik untuk menaruh bahan
makanan yang sudah dimasak, bahkan beberapa rumah tidak mempunyai spatula (sodet) yang
digunakan untuk memasak. Mereka menggunakan centong nasi atau sendok yang terbuat dari
logam untuk mengaduk, mengangkat, atau membalik makanan yang sedang digoreng.
Sistem Religi. Kampung Waru kampung yang didiami oleh komunitas agama Muslim
mereka mempunyai tiga buah masjid. Dua masjid terletak di Dusun Kelbarin yang letaknya
berjarak sekitar 100 m dan dipisahkan oleh sungai, sedangkan masjid ketiga terletak di Dusun
Fesan. Masjid di Dusun Fesan hanya berjarak sekitar 75 m dari masjid di Dusun Kelbarin.
Karena letaknya yang berdekatan ini membuat masjid di Dusun Fesan tidak pernah
digunakan untuk sholat Jumat. Sholat Jumat hanya dilakukan di masjid yang ada di Dusun
Kelbarin. Penggunaan masjid Kelbarin sebagai pusat peribadahan tidak lain karena masjid ini
terletak persis di samping kanan rumah Bapak Raja Waru. Orang-orang Waru bisa dibilang
kurang religius dan ini terefleksikan dalam perilaku sehari-hari. Masjid digunakan hanya
pada saat sholat Jumat. Selebihnya, masjid berada dalam keadaan kosong dan tidak terawat.
Bahkan, pada hari-hari biasa tidak ada satu pun orang mengumandangkan adzan sebagai
tanda waktu mengerjakan sholat. Bunyi bedug hanya sesekali terdengar, biasanya pada waktu
maghrib, itu pun hanya 2-3 pukulan. Jarang sekali terlihat orang mengerjakan sholat, baik di
masjid maupun di rumah masing-masing. Masjid terlihat kumuh dengan warna putih kusam
serta banyak sarang laba-laba tersebar di setiap penjuru masjid. Masjid-masjid di Kampung
Waru tidak mempunyai lampu penerangan karena tidak adanya aliran listrik. Beberapa orang
yang tinggal berdekatan dengan masjid berusaha membuat lampu sederhana dengan
menggunakan botol kecil bekas minuman suplemen yang diisi dengan minyak tanah dan
diberi sumbu. Namun, itu hanya bersifat sementara karena lampu sederhana itu hanya mampu
bertahan selama kurang lebih dua jam. Sebagai tempat suci, orang yang masuk ke dalam
masjid pun harus dalam keadaan suci. Di masjid terdapat tempat untuk mengambil air wudhu
yang terbuat dari keramik. Namun, fasilitas itu tidak bisa digunakan karena tidak ada pipa air
yang tersambung ke sumber air. Kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan adalah pengajian
ayat suci Alquran. Kegiatan pengajian hanya dilakukan oleh kaum ibu dan anak-anak.
Kegiatan pengajian dilaksanakan sekali sebulan serta hanya diikuti oleh beberapa orang.
Kaum laki-laki tidak mengikuti pengajian karena mereka merasa sudah mendapat
pembekalan agama secara rutin setiap hari Jumat ketika mereka melaksanakan sholat Jumat
di masjid. Sholat bersama dan pengajian merupakan kegiatan keagamaan yang melibatkan
banyak orang.
1. Tari Kabata. Dilaksanakan pada saat prosesi perkawinan anak anak raja sebagai
bentuk penghormatan.
2. Tari Sawat / Tarian Pergaulan. Tari yang dilakukan untuk menghormati atau
menyambut tamu pada saat acara acara adat, pelantikan raja dan bahkan
dipentaskan pada acara acara lokal atau daerah setempat. Tari ini pun biasanya
dipertunjukkan dengan iringan Tipa Sawat dan Seruling dan bernuansa.
2. Desa Lahema, Kecamatan Wakate, Kabupaten Seram Bagian Timur
Sistem Religi. Mengingat masyarakat Desa Lahema bahkan pulau Watubela adalah
masyarakat yang berstatus mayoritas islam maka sarana ibadah yang ada di Desa Lahema
yaitu Mesjid. Keagamaan sangat mempengaruhi pendidikan karena Pendidikan merupakan
salah satu faktor terpenting dalam kehidupan manusia, guna mencerdaskan kehidupan bangsa
pada umumnya, dan karena dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas sehingga
dapat berperan serta dalam pembangunan daerah dan bangsa.
Menyangkut sarana pendidikan di atas maka dapat dijelaskan bahwa di Desa Lahema
terdapat 3 sarana pengajian (belum status TPA), 2 unit Sekolah Dasar (SD), 1 unit Sekolah
Menengah Pertama (SMP).
Terkait dengan sarana pengajian yang belum resmi dikatakan Taman Pengajian
Al_Quran (TPA) tetapi masih berstatus tempat mengaji biasa, maka pengajian dapat
dilakukan di rumah warga. Masyarakat rela mengajar baik itu dengan tenaga pengajar hanya
satu orang atau orang yang memiliki rumah yang dijadikan sebagai tempat pengajian tersebut
saja yang mengajar. Masyarakat Desa Lahema bahkan masyarakat Wakate secara universal
lebih mengenal guru mengaji dengan sebutan nama “Nyira”.
Hal mengenai pengajian yang ada ini disebabkan karena minimnya perhatian
pemerintah setempat baik itu pemerintah Kabupaten Seram Bagian Timur maupun
pemerintah Kecamatan Wakate sendiri terhadap hal-hal yang berurusan dengan keagamaan.
3. Desa Geser, Kabupaten Seram Timur
Pulau Geser
Desa ini didiami oleh dua suku dan budayanya, yaitu Suku Siritaun dan Suku Erisiun.
Kedua suku ini telah mendiami pulau ini selama tujuh abad, dan mereka hidup
berdampingan. walaupun kedua suku ini memiliki wilayah kekuasaan sendiri-sendiri. Suku
Siritaun menguasai lautan sedangkan Suku Erisun memiliki kekuasaan di darat. Kedua suku
ini juga memakai satu bahasa yang sama yaitu bahasa Panuku. keduanya dapat dibedakan
dari lambang kekuaasaan dan baju adat mereka.4
Masyarakat sangalah mengerti tentang sistem pengetahuan. Mereka membangunnya
berdasarkan alam yang mereka tempati, di sana terdapat infrastruktur peradaban dengan nilai
luhur cerita dan tingkah laku terhadap maha semesta alam. Kehidupan Alam mempengaruhi
pola pikir serta tutura kata dalam kehidupan sosial, membentuk kesadan dan menciptakan
perspektif kelas. Demikian perbedaan perspektif menjadi sebuah suku serta hukum adat.
Pusat adat terletak di Weaurtafela dan merupakan arena ritual para raja dan pengikut adat
setia dalam memahami esensialitas hidup.
3
http://sejarahgeser.blogspot.com/. Diakses tanggal 24 Mei 2016
4
Http://trevellersindo.blogspot.in/2014/08/pulau-geser-sensasi-pulau-terapung.html Diakses tanggal 26 mei
2016
Nilai Budaya
Nilai – nilai sosial budaya yang telah mengakar masih dipertahankan dan merupakan
modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan dalam mendukung pembangunan di
Desa tersebut. Walaupun masyarakatnya masih mencerminkan karakteristik masyarakat yang
multikultur tetapi mempunyai nilai – nilai budaya sendiri - sendiri sebagai representasi
kolektif. Sistem Pemerintahan Adat masih dipertahankan demikian pula Upacara Adat yang
masih di gunakan pada ritual adat tertentu.
Sistem Mata Pencaharian Hidup. Dengan bentuk topografi pulau seperti diatas
tanpa perbukitan ataupun gunung maka dapat dikatakan bahwa mata pencaharian mereka
umumnya hanya melaut. Masyarakat membuat keramba-keramba untuk penangkapan ikan.
Ikan asing di Kecamatan Seram Timur (Geser).
Kesenian. Kearifan lokal telah berkembang pesat di Geser. Sebut saja Lalangtagi,
Perahu belang, Tarian Lili, Bungkure (Tarian adat seperti ritual penghormatan suku atas alam
tempat berpijak manusia serta tarian lain dengan tradisi Islam seperti Hadarat, Debus, Tifa
Sawat dan Sambra. Tarian-tarian ini dahulu sering kita jumpai di gedung kesenian kota Geser
dalam sebuah kompetisi hari-hari besar keagamaan atau kenegaraan.
Sumber Bacaan :
Bartels Dieter. IN DE SCHADUW VAN DE BERG NUNUSAKU (di Bawah Bayang-bayang
Gunung Nunusaku).
Http://sejarahgeser.blogspot.com/. Diakses tanggal 24 Mei 2016
Http://trevellersindo.blogspot.in/2014/08/pulau-geser-sensasi-pulau-terapung.html Diakses
tanggal 26 mei 2016
Http://infotimurseram.blogspot.co.id/2016/01/wista-budaya-di-sbt.html. Diakses tanggal 24
Mei 2016
Https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Seram_Bagian_Timur. Diakses tanggal 24 Mei
2016
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Naryo. 2010. Bagaimana Dampak Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Seram Bagian
Timur Terhadap Solidaritas Masyarakat di Desa Lahema Kecamatan Wakate?. Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Ambon : Universitas Patimura
Pattinama. Weldemina. Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 5.Edisi November 2013. Pakaian
Tradisional Masyarakat Di Seram Bagian Timur. Ambon : Balai Pelestarian Nilai
Budaya Ambon.
Taurn. Odo. Deodatius. 1918. Patasiwa dan Patalima : Tentang Pulai Seram di Maluku dan
Penduduknya Sebuah Sumbangan untuk Ilmu Bangsa-bangsa. Leipzig.
.