PERDESAAN
Rogers dkk dalam Bahrein (1996), melihat sosiologi pedesaan sebagai ilmu
yang mempelajari prilaku spasial (fenomena) masyarakat dalam setting
pedesaan yang berhubungan dengan kelompoknya.
Galeski (1972), sosiologi pedesaan disebutnya sebagai studi yang
cenderung deskriptif, karena pedesaan merupakan daerah pertanian,
terdapat pola-pola pertanian dan bertani, kehidupan keluarga di desa,
tingkat kehidupan dan perkembangan penduduknya, struktur sosial yang
berhubungan dengan pekerjaan, lembaga-lembaga pedesaan, adat dan
kebiasaan penduduk dan sebagainya.
Bintarto (1989) mengemukakan bahwa desa adalah suatu hasil perpaduan antara kegiatan
sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu dapat dilihat pada unsur-unsur
fisiografi, sosial dan ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi antara unsur tersebut dan
juga dalam hubunganya dengan daerah-daerah
lain.
Sutardjo Kartohadikusumo menyatakan bahwa desa
adalah satu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat
yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri
Istilah desa berkembang dengan nama lain sejak berlakunya otonomi daerah seperti
di Sumbar dengan sebutan Nagari, Gampong dari Aceh, dan dikenal dengan sebutan
kampung di Papua, Kutai Barat. Semua institusi lain di desa juga bisa mengalami
perbedaan istilah tergantung kepada karakteristik adat istiadat dari desa tersebut.
Perbedaan istilah tersebut merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan dari
pemerintah terhadap asal usul adat setempat yang berlaku. Walaupun begitu, dasar
hukum desa tetap sama yakni didasarkan pada adat, kebiasaan dan hukum adat.
Desa sebagai unit paling rendah tingkatannya dalam struktur pemerintahan Indonesia telah ada sejak dulu
dan bukan terbentuk oleh Belanda. Awal sejarah terbentuknya desa diawali dengan terbentuknya
kelompok masyarakat akibat sifat manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan kodrat atau
kepentingan yang sama dari bahaya luar. Kapan awal pembentukan desa hingga sekarang sulit diketahui
secara pasti. Tetapi ada bukti dalam prasasti Kawali di Jawa Barat pada akhir tahun 1350 M serta
ditemukannya prasasti Walandit di Tengger, Jatim pada 1381 M. Desa sudah ada jauh sebelum penjajahan
Belanda di Indonesia dimana penyelenggaraannya didasarkan pada hukum adat.
Setelah Belanda menjajah Indonesia dan membentuk undang–undang pemerintahan di Hindia Belanda
(Regeling Reglemen), maka desa juga diberi kedudukan hukum. Untuk menjabarkan maksud dari
peraturan perundangan tersebut, Belanda kemudian mengeluarkan Indlandsche Gemeente Ordonnantie
(IGO) yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Pada tahun 1924 Regeling Reglemen diubah dengan
Indische Staatsregeling tetapi dalam prinsipnya tidak ada perubahan berarti, maka IGO masih berlaku.
Untuk daerah di luar Jawa pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda mengeluarkan peraturan
Indlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) tahun 1938 no.490.
Menurut IGO ada tiga unsur penting dari sejarah terbentuknya desa yaitu kepala desa, pamong desa, dan
rapat desa. Kepala desa adalah penguasa tunggal pemerintahan desa, menyelenggarakan urusan rumah
tangga desa, dan urusan yang berhubungan dengan pemerintah dan harus memperhatikan pendapat desa
dalam melaksanakan tugasnya. Kepala desa dibantu oleh Pamong Desa yang berbeda sebutannya antara
satu daerah dengan daerah yang lain. Kepala desa perlu tunduk pada rapat desa untuk hal–hal yang
penting.
Masa penjajahan Jepang di Indonesia yang singkat tidak membawa banyak perubahan dalam
struktur dan sistem pemerintahan Indonesia termasuk untuk struktur dalam sejarah terbentuknya
desa. Secara umum pemerintahan Jepang menghapuskan demokrasi dalam pemerintahan
daerah. Pada prinsipnya IGO serta peraturan lainnya tetap berlaku dan tidak ada perubahan,
sehingga desa tetap ada dan tetap berjalan sesuai peraturan yang ada sebelumnya. Hanya ada
sedikit perubahan pada Osamo Seirei 1942 yang mengganti beberapa sebutan kepala daerah
dengan bahasa Jepang seperti Syuco, Kenco, Si-Co, Tokubetu–si, Tokubetu Sico, Gunco, Sonco
dan Kuco, juga ada Osamu Seirei 7 tahun 1944 yang sedikit merubah tata cara pemilihan Kepala
Desa.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 mengenai Desa bahwa Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, didasarkan pada asal usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan RI. Sedangkan menurut UU No.6 Tahun 2014
tentang desa, disebutkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan RI.