PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan salah satu kekayaan yang sangat benilai
guna ‘memantapkan’ ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari
kepribadian suatu bangsa atau daerah. Sebagai suatu hal yang merupakan
kekayaan serta ciri khas suatu daerah, menjaga, memelihara dan
melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan
kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan
dilestarikan oleh setiap suku bangsa. Di dalam masyarakat Indonesia yang
multikultural ini, telah kita pahami bahwa Indonesia memiliki banyak
kebudayaan yang beraneka ragam dan bermacam-macam perbedaan yang
menjadi tantangan bagi negara Indonesia. Begitu juga dengan dalam
konteks masyarakat, salah satunya terdapat adanya masyarakat hukum
adat. Sebagai salah satu aspek kebudayaan bangsa, eksistensi hukum adat
ditinjau dari sudut pandang norma-norma sosial (moralitas), esensial,
paradigma, struktur sosial religius, yang dimiliki oleh seseorang individu
sebagai individu (masyarakat) hukum adat. Konsep masyarakat hukum
adat sendiri adalah kesatuan masyarakat bersifat teritorial atau geneologis
yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan
dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam atau
luar sebagai satu kesatuan hukum (subyek hukum) yang mandiri dan
memerintah diri mereka sendiri.1 Begitu juga dalam konteks hukum.
Hukum suatu bangsa merupakan refleksi dari sebuah budaya bangsa yang
berkaitan, sebab hukum inilah yang merupakan bagian dari kebudayaan.
Secara umum, hukum sendiri berfungsi sebagai pengatur dinamika
interaksi antar individu, individu dengan alam dan invidu di luar
kelompoknya (out-group). Maka dari itu, seluruh anggota masyarakat
menyepakati norma-norma sertai nilai yang menjadi pedoman
berkehidupan guna menjalankan rutinitas keseharian di lingkungan
masyarakat itu sendiri. Salah satu sistem hukum yang berlaku di
lingkungan masyarakat adalah sistim hukum adat. Hukum adat inilah yang
mempunyai fungsi guna menempatkan eksistensinya agar berjalan
beriringan dengan perkembangan zaman sehingga dapat mencerminkan
pola dan perilaku masyarakat daerah adat itu sendiri. Butuh waktu yang
cukup lama, agar norma serta nilai yang disepakati masyarakat itu
kemudian menjadi sebuah hukum adat yang sifatnya dapat mengikat
semua kalangan masyarakat yang ada dalam satu kelompok masyarakat
adat itu sendiri. Kebudayaan yang dikristalisasi dalam bentuk norma-
norma tak tertulis dari suatu hukum adat, berfungsi sebagai pedoman
tingkah laku masyarakat dalam melakukan segala aktivitas setiap hari.
Sehingga, hukum adat merupakan suatu aspek vital dalam kehidupan
masyarakat dalam lingkaran kebudayaan bangsa Indonesia. Namun,
seiring perkembangan zaman, sistem hukum adat ‘tergeser’ oleh sistem
hukum yang relevan dengan kondisi politik hukum saat ini, seperti
1
Husein Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Hukum Adat atas Tanah, Yogyakarta, 2010, hal. 31.
common law atau civil law. Akan tetapi, di Jawa Timur ternyata terdapat
suatu wilayah yang masih menerapkan sistem hukum adat sebagai tolak
ukur tingkah laku masyarakat. Wilayah tersebut tepatnya berada di Desa
‘adat’ Sendi, Kecamatan Pacet, Mojokerto. Permberlakuan sistem hukum
adat di Desa Sendi yakni sebagai guardian of culture and moral identity
guna menciptakan lingkungan desa yang tertib, aman, dan nyaman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebudayaan
Kebudayaan atau Peradaban... adalah satuan kompleks yang meliputi
ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, akhlak, hukum, adat, dan banyak
kemampuan - kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat (Tylor, 1871: 1)
B. Hukum Adat
Istilah hukum adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh
Snouck Hurgronje, dalam bukunya yang berjudul De Atjehers menyebutkan
istilah hukum adat sebagai ‘adat Rechtz’ yaitu untuk memberi nama pada
satu sistem pengendalian sosial yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Soekanto mengatakan bahwa hukum adat itu merupakan kompleks adat-
adat yang kebanyakan tidak dibukukan /tidak dikodifikasikan dan bersifat
paksaan mempunyai sanksi atau akibat hukum.
C. Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum merupakan faktor penting untuk menentukan
struktur hukum adat. Ada dua penggolongan struktur masyarakat hukum
adat, yaitu Masyarakat hukum adat yang strukturnya berdasarkan azas
keturunan ialah masyarakat hukum adat yang anggota - anggotanya merasa
terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka
semua berasal satu keturunan yang sama. Dan yang kedua, Masyarakat
hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial yaitu masyarakat hukum adat
yang disusun berazaskan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat
yang para anggotanya merasa bersatu dan bersamasama merupakan
kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
D. Moralitas
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk.Senada dengan pengertian tersebut,
W.Poespoprodjo mendefinisikan moralitas sebagai kualitas dalam perbuatan
manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau
buruk. Moralitas mencakup tentang baik buruknya perbuatan manusia.
E. Identitas Moral
Aquino dan Redd mendefinisikan identitas moral sebagai konsepsi diri
yang dianugerahi oleh sifat-sifat moral tertentu (eperti peduli, adil, ramah,
dsb). Sifat-sifat ini kemudian berfungsi untuk menggerakkan identitas moral
seseorang ketika menilai arti penting diri dari sifat-sifat ini pada instrumen
identitas moral.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Desa ‘Adat’ Sendi
Pada dasarnya, Desa Sendi sebenarnya telah ‘berdiri’ sejak tahun
1918. Kala itu, jumlah masyarakatnya hanya sebatas empat puluh lima
orang yang terdiri dari seorang Ki Demang,2 lima orang Jogoboyo,3 serta
sisanya merupakan sebagai warga masyarakat biasa. Kemudian,
ditetapkanlah Ki Demang sebagai figur yang memiliki otorita untuk
mengatur warga sekitar agar selalu tercipta kedamaian dan ketentraman
desa. Hal tersebut mengakibatkan Ki Demang juga memiliki hak untuk
menindak segala pelanggaran ataupun permasalahan yang terjadi di Desa
Sendi yang dibantu oleh Jogoboyo sebagai ‘aparatur’ penunjang desa.
Lalu, bagaimana mekanisme dalam pemilihan Ki Demang? Ternyata, Ki
Demang dipilih berdasarkan keputusan bersama seluruh warga desa
(musyawarah untuk mufakat). Selanjutnya, Ki Demang memiliki hak
prerogatif untuk memilih figur yang menempati ‘posisi’ Jogoboyo. Pada
tahun 1925, Desa Sendi menjadi salah satu lokasi invansi oleh kolonial
Belanda yang mengakibatkan ‘pergeseran’ penduduk hingga seluruh
masyarakat berpindah menuju ke desa-desa lain untuk menyelamatkan
diri. Akibatnya, dengan alasan keamanan tersebutlah Desa Sendi menjadi
tidak berpenghuni.
Setelah Belanda berhasil ‘melululantahkan’ desa ini hanya dengan
waktu satu hari pada tahun yang sama, Belanda memanfaatkan tanah dari
hasil invansi untuk membangun sebuah industri perkebunan kopi yang
berjalan sampai pada tahun 1931. Perlu diketahui, bahwa jumlah total
tanah asal-usul Desa Sendi yang dikelola oleh Belanda sebesar 265 ha.
Hasil dari perkebunan inilah yang akan diperdagangkan Belanda dengan
negara lain. Pada tahun yang sama pula, telah dibangun puluhan gudang
kopi milik Belanda di sekitar wilayah ‘bekas’ Desa Sendi. Dalam
pelaksanaanya, Belanda melakukan ‘kerjasama’ dengan warga sekitar
guna mengoptimalkan industrilisasi dari perkebunan kopi tersebut. Warga
sekitar dijanjikan untuk diberi upah kerja serta akomodasi yang dapat
memenuhi kebutuhan primer masyarakat. Setelah adanya kesepakatan
antara pihak Belanda dengan perwakilan warga sekitar, ternyata Belanda
mengingkari kesepakatan dan memperlakukan mereka semua (warga
sekitar) layaknya pesuruh. Warga sekitar hanya dijadikan sebagai
“mesin” agar pengelolaan perkebunan kopi berjalan dengan lancar.
Praktisnya, masyarakat belum berani untuk melawan pihak Belanda.
Warga sekitar memiliki keterbatasan dalam hal jumlah individu, senjata,
serta strategi perang. Sehingga, selama tujuh tahun berjalannya
perkebunan kopi tersebut, warga sekitar dipaksa sebagai ‘buruh’ yang tak
diberi upah dan akomodasi sedikit-pun. Akhirnya, pada sekitar tahun
2
Ki Demang adalah ketua desa, atau kepala desa pada saat itu.
3
Jogoboyo merupakan perangkat desa yang berfungsi sebagai penjaga, tetapi tidak
diperbolehkan untuk menindak atau menyelidiki sesuatu masalah di lingkungan masyarakat
tersebut
1931-1932, kondisi perkebunan tidak lagi memungkinkan untuk diadakan
eksploitasi kembali. Hal ini didasarkan bahwa ketersediaan kopi dianggap
habis dan atau kurang untuk memenuhi kebutuhan Belanda. Untuk itu,
Belanda akhirnya melakukan ‘tukar guling’ dengan masyarakat, bahwa
perkebunan ini akan dimiliki Belanda resmi sejak tahun 1932 sampai
Belanda bertahan di Indonesia, sedangkan setiap anggota masyarakat akan
diberi uang gulden sebagai bentuk imbalannya. Perjanjian ini dinamakan
masyarakat sekitar dengan nama ‘perjanjian kopi’. Malapetaka akhirnya
diterima oleh Belanda manakala pada pertengahan tahun 1945. Belanda
secara paksa “mengorbankan” wilayah Sendi akibat di-‘pukul mundur’
oleh para pemuda pejuang (warga sekitar) yang bangkit ‘melawan’ para
penjajah. Para pemuda dan atau warga sekitar ini merupakan kelompok
masyarakat yang dulunya bekerja untuk Belanda diperkebunan kopi, serta
warga masyarakat yang berada di sekitar wilayah bekas Desa Sendi.
Akan tetapi, kemenangan para pemuda ini justru membuat wilayah
Sendi tidak berpenghuni kembali. Hal ini disebabkan karena para pemuda
pejuang dan atau kelompok masyarakat hanya ‘mengusir’ Belanda dari
wilayah Desa Sendi, sehingga tidak menetap atau me-rekonstruksi wilayah
Desa Sendi menjadi wilayah yang berpenghuni lagi. Mayoritas dari
mereka kembali menuju desa masing-masing, yakni desa-desa yang berada
disekitar Desa Sendiri. Dengan demikian, terjadi ‘kekosongan’ di wilayah
Desa Sendi dari tahun 1945 sampai pada tahun 1999, bahkan wilayah ini
berubah menjadi tanah hutan. Menurut Wariman,4 belum ada klaim dari
pihak instansi yang berwenang mengelola masalah hutan5 atas kepemilikan
tanah hutan tersebut. Akhirnya, pada tahun 1999 muncul kembali
kelompok masyarakat mantan penghuni Desa Sendi (1918-1945).
Ternyata, ketika terjadi invansi oleh Belanda para individu yang telah
memprakarsai terbentuknya Desa Sendi pada tahun 1918, menetap di desa-
desa yang wilayahnya tidak jauh dari Desa Sendi. Beberapa desa yang
jarak tempuhnya tidak jauh dari Desa Sendi antara lain; Desa Cepokolimo,
Desa Pacet, Desa Sajen, dan Desa Petak. Selanjutnya, lelompok
masyarakat ini melakukan babat alas kembali. Kemudian, terkait aparatur
desa, kelompok masyarakat tersebut menetapkan Ki Demang generasi
kedua sebagai pemimpin Desa Sendi. Menurut Toni, 6 alasan mereka
‘menghidupkan’ kembali Desa Sendi adalah guna menjaga esensi dan
hakikat desa dan tanah, jangan sampai tanah milik ‘leluhur’ ini diakui oleh
orang lain.
Perubahan mendasar desa ini terjadi bermula pada tahun 1999,
setelah Pak Toni membentuk Forum Pemuda Rakyat (FPR) pada 17
Agustus 1999. FPR memilik tujuan untuk melakukan pendataan ulang
4
Tokoh kasepuhan/sesepuh (tokoh masyarakat).
5
Instansi yang berwenang untuk mengelola tanah hutan adalah Perhutani
6
Ki Demang generasi Ketiga. Bapak Toni adalah cucu dari Ki Demang generasi pertama
atau anak dari Ki Demang generasi kedua. Meskipun Ki Demang generasi kedua tidak mempunyai
aktualisasi di lingkungan Desa Sendi, eksistensi ayah dari Bapak Toni tetap diakui oleh
masyarakat hukum adat Desa Sendi. Hal tersebut dikarenakan terjadi ‘kekosongan’ penduduk dan
‘kekosongan’ kekusaan. Akan tetapi, berdasarkan asas kepercayaan masyarakat, cucu dari Ki
Demang generasi pertama merupakan figur yang prinsipal dalam kehidupan masyarakat hukum
adat Desa Sendi.
kepada warga yang mempunyai garis keturunan Desa Sendi (baik dari
ayah maupun ibu). Pendataan ulang ini dilakukan beberapa desa yang
jarak tempuhnya tidak jauh dari Desa Sendi. Akhirnya, terkumpulah data
penduduk baru berjumlah 236 orang yang berasal dari warga yang turun
tiga generasi Desa Sendi. Selanjutnya, pada awal tahun 2000, diadakan
sebuah rembug bareng yang diinisiasi oleh FPR. Kegiatan rembug bareng
ini dihadiri oleh seluruh warga masyarakat dari tiga generasi Desa Sendi,
serta berfungsi untuk membicarakan bersama terkait arah atau orientasi
dari desa. Dari pertemuan tersebut, terjadi beberapa poin kesepakatan
antara lain: (a) menyatakan sikap setuju bahwa Desa Sendi yang sempat
tak berpenghuni iuntuk dikembalikan alias diurus kembali; (b) menyatakan
sepakat bahwa desa yang akan direkonstruksikan tersebut akan dibuat
menjadi sebuah desa adat dengan nama Desa Adat Sendi; (c) seluruh
pertemuan atau kegiatan akan berpusat pada Paseban Agung7; (d) dibentuk
aparatur desa baru, yakni cakrabuana, jaksa adat, carikan, kamituwo, serta
kasepuhan sebagai pembina dari desa adat; (e) berlaku sistem hukum adat
dengan norma-norma yang ditentukan oleh cakrabuana, jaksa adat, dan Ki
Demang; (f) seluruh warga masyarakat yang mengikuti rembug bareng ini
secara otomatis menjadi anggota FPR; (g) FPR dijadikan sebagai
‘persekutuan hukum’ masyarakat hukum adat.
21
Contohnya adalah kasus perzinahan, yang dalam hukum nasional diatur oleh Pasal 284
Burgerlijk Wetboek. Dalam hukum adat Desa Sendi, apabila terdapat suami atau istri melakukan
‘perselingkuhan’ dengan sesama anggota warga masyarakat hukum adat Desa Sendi ataupun
dengan warga masyarakat diluar lingkungan desa adat Sendi, maka akan dikenakan sanksi dengan
diarak memutari seluruh wilayah desa. Hal ini dilaksanakan agar menimbulkan efek jera bagi
pelaku, serta agar perbuatan demikian (perselingkuhan) tidak bakal diikuti oleh warga masyarakat
hukum adat lainnya. Apabila perbuatan diulangi kembali dengan pelaku yang sama, maka akan
diberi sanksi yaitu dikeluarkan dari desa ada ini.
22
Khusus permasalahan perkawinan, maka pihak mempelai akan dibawa Kantor Urusan
Agama. Jaksa adat beranggapan bahwa perkawinan merupakan urusan yang sakral alias sekali
sehidup semati, sehingga harus dilindungi hukum yang berlaku secara umum, bukan yang berlaku
secara satu wilayah, atau satu desa, alias hukum adat.
23
kepang dan wayang merupakan suatu upaya pelestarian tradisi saja yang
dilakukan turun-temurun sejak para pendahulu desa adat ini.
BAB IV
DAMPAK PEMIKIRAN
Adat dan kepercayaan merupakan aspek yang cukup kental terkait dengan
kehidupan masyarakat Indonesia di pedesaan dan perkotaan, terutama di
pedesaan.
Perihal Pengakuan atau Rekognisi
Pengakuan atau rekognisi dalam penelitian ini adalah adanya pengakuan terhadap
untuk bergerak. Tanpa subsidiaritas itu inisiatif lokal Desa akan sulit tumbuh, dan
Desa
BAB V
EVALUASI KRITIS
Penulis mendorong kepada pemerintah setempat, yaitu dengan
dibuatkan Peraturan Bupati (Perbup) atau Surat Keputusan (SK) yang
isinya pengakuan pemerintah untuk menjadikan Desa Sendi menjadi Desa
Adat Sendi, mengingat negara wajib mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta menghormati identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban. Di samping itu, hukum adat sebagai hukum asli
yang mencerminkan budaya bangsa Indonesia, akan mempertebal rasa
harga diri, rasa kebangsaan dan rasa kebanggaan pada setiap warga negara
Indonesia, khususnya warga masyarakat adat Desa Sendi. Rasa bangga
terhadap budaya sendiri akan tumbuh jika dengan kesadaran mengetahui
kebudayaan bangsanya, di mana hukum adat merupakan bagian dari
kebudayaan bangsa Indonesia.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum adat merupakan hukum yang tumbuh dari kesadaran
masyarakat, yang merupakan pencerminan dari cita rasa dan akal budi
budaya bangsa. Hukum adat merupakan hukum asli masyarakat Indonesia,
berakar pada adat istiadat atau merupakan pancaran nilai-nilai dasar
budaya masyarakat Indonesia, yang berarti pula mengikat dan menemukan
segala pikiran tersebut diakui oleh konstitusi, UUD 1945, yang berarti
perumusan hukum adat sebagai bagian dari hukum-hukum dasar negara
Indonesia. Hukum adat yang berlaku di Desa ‘adat’ Sendi mengandung
muatan moralitas. Maksudnya, moralitas tersebut didasarkan pada norma-
norma moral yang melampaui para individu dan masyarakat. Kaidah
Moral suatu ukuran tingkah laku baik atau buruk manusia yang dipandang
benar menurut sudut pandang umum. Nilai moral merupakan bagian
standar tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan (frame of
reference) dari hasil interaksi.
DAFTAR PUSTAKA
https://ejournal.undip.ac.id/tentang-konsep-kebudayaan
Repository.unimal.ac.id/HUKUM-ADAT
Eprints.walisongo.ac.id/4104034-bab2
Repository.ump.ac.id/Nurma-Ratri-Lestari-BabII