Anda di halaman 1dari 4

PESAN AYAH

Karya zyxzjs

Sewaktu kecil aku selalu mendengar cerita tentang tokoh superhero. Sosok
fiksi tidak nyata dan selalu kulihat di televisi atau buku cerita. Aku ingin bercerita
tentang apa itu superhero yang aku yakini kepadamu.

Aku melihat kakak tertidur diatas meja belajarnya. Aku dengan nakalnya
diam diam membaca buku harian kakak yang terbuka. Kubaca perlahan, perlahan
aku berpikir jika waktu berjalan begitu cepat. Dewasa, kami tumbuh dengan
semakin kompak dalam hal apapun berkat bimbingan orang tua kami. Sekali lagi
waktu berlalu sangat cepat.
“Arya, tangkap bola itu. Ayo! Cepat lempar kembali bolanya!” aku dengan
cepat menangkap bola dari Ayah, tawa Ayah terdengar, namun bola mengenai
bahuku dan membuatku limbung karena tidak siap. Aku tertawa keras.
Dengan cepat aku kembali berdiri lalu lantas melempar kembali kepada
Ayah dengan bertenaga. Ayah nyaris saja tidak sampai meraih bola lemparanku,
Ayah, sambil berseru.
“Kalau ingin menjadi tentara harus selalu siap, loh!” Ayah bersuara dalam
tawanya saat berhasil mengambil bolanya. Ucapan Ayah terdengar sangat tegas
namun, Ayah sangat mengahrgai keluarga sepenuh kasih juga pada sesama.
“Lapor! Komandan! Makanan suadah siap di meja,” seru Ibu kepada kami,
pandangan Bunda seakan akan memberi perintah pada Ayah. Jika Bunda suadah
beruara, Ayah, akan selalu mematuhi. Biasanya ada kalimat gembira begini.
“Siap Komandan Ibu. Hamba prajurit yang selalu patuh, loh,” tak lama
tawa mereka terdengar ketiganya masuk rumah menuju meja makan.
“Kakak! Ayo, letakkan dulu penamu! Makan dulu!” seru Ibu pada kakak,
yang tengah nangkring diatas pohon mangga, melintang diatas ayunan dari ban
bekas yang Ayah buat tadi pagi. Bersama, kami telah sampai di meja makan.
“Mau jadi jurnalis kerjanya keliling cari berita, harus selalu sehat. Tetap
tidak boleh telat makan,” ucap Ayah setelah memimpin doa makan. Kakak hanya
tersenyum, tanda gembira bahwa setuju dengan uacpan Ayah. Kakak adalah tipe
sedikit bicara banyak membaca.
***
Kami tinggal di asrama Korp-Komando. Rumah terasa sepi. Ayah sangat
sederhana dalam ketegasan edukasi disiplin, beliau lahir dari keluarga militer.
“Hahahahha. Arya kau benar benar akan jadi tentara? Samaan dong,”
suara Gabi, anak perempuan Bude satu satunya. Pembicaraan melantur kemana
mana seperti biasa, hingga berbicara tentang kuliner paling enak, namun tetap
terjangkau, anak kolong (istilah umum, sebagai anak tentara, tinggal di
asrama/kompleks militer.)
Orang tua Ayahku, Kakek menikahi Nenek dan mempertahankan iman
mereka melalui catatan sipil. Dari keduanya, hanya ada dua anak, seorang Ayah,
anak pertama, seorang Muslim yang sangat taat, Bude Tia, anak kedua. Bude Tia,
satu tahun dua bulan lebih tua dari Ayahku. Lima tahun setelah Bude Tia lahir,
Ayah memberi tahu kami bahwa rahim Nenek telah diangkat dan ada masalah
kesehatan dengan rahim Nenek.
Bude Tia, memiliki hobi merias pengantin, singkatnya MUA sekarang
profesinya. Sedangkan Ayah masuk akademi militer dengan kemauanya sendiri,
setelah menyelesaikan pendidikan kedokterannya. Ayah memiliki banyak prestasi
yang luar biasa, Pada saat yang sama, Ayah menerima bintang-bintang
penghargaan, Ayah ditugaskan untuk mengelola divisi khusus untuk penelitian
kedokteran nuklir. Saat ini, Ayah juga bertanggung jawab atas pemimpin Korps-
Komando ini, sekarang.
Keluarga kami adalah keluarga sederhana dan seperti sebagaimana
mestinya. Ayah bertemu Ibu sewaktu masih menempuh pendidikan dokternya. Ibu
keturunan Tionghoa, dari keluarga muslim. Kakek-Nenek dari orang tua Ibu
muslim, selama, dalam perjalanannya atas kemauannya sendiri, Nenek memeluk
Islam, sebelum menikah dengan Kakek.
Ibu menenruskan karier sebagai dokter anak danmasih setia hingga
sekarang. Certita Ayah sangat sulit untuk menaklukan hati Ibu.
“Hahaha,” aku ngakak saat mendengar cerita Ayah, yang saat itu kalah
cepat dalam menjemput ibu sepulang kuliah, kalah cepat dengan pesaing Fakultas
Ekonomi.
"Gondok sih, sungguh. Tapi Ayah tidak menyerah. Ayah sangat rajin
menabung untuk semakin berprestasi di perguruan tinggi, dan Ayah pasti akan
menang." cerita Ayah berakhir. Kisah sederhana itu, memacu aku dan juga Kakak
untuk semakin bersemangat memacu prestasi di sektor pendidikan pilihan kami
masing-masing. Kami, keluarga militer, wajib menghargai fasilitas apapun dari
negara. Cukup, senantiasa mensyukuri bersama, dalam doa bahagia.
Aku, satu atau dua tahun lagi, pendidikan di Akademi Militer akan segera
selesai. Kakak menempuh pendidikan S3, di Universitas Kedokteran di Jakarta,
tetap penjadi penulis sastra.
Kakak gila akan buku, menguasai beberapa bahasa asing, Tionghia,
Inggris-Prancis, juga Jepang. Kutu buku, penilaian ku terhadap Kakak.
***
Rambur Ibu terkasih telah memutih. Berkerudung warna pastel agak sepia
kearah putih kuning gading, warna kesukaan Ayah, warna yang mulai langka.
Kami dan sanak saudara bersiap ke Taman Makam Pahlawan, ziarah kemakan
Ayah. Sekali lagi waktu terlalu cepat melintasi kami.
Gabi telah menjadi perwira menengah, nyaris setara dengan pangkat kami
di kemiliteran. Gabi tidak berubah tetap tomboy, tetap ngakak saat mengingat aku
terjungkan dari ayunan ban bekas.
“Siap! Calon Komandan. Ayo! Berangkat. Ayah menunggu kedatangan
kita dengan setia,” suara Ibu tetap terdengar optimis, seperti dulu. Ayah, bagi Ibu,
pemimpin sejati, setia, sayang keluarga, juga sebagai abdi negara.
“Kisah hidup tidak ada habisnya. Ketika pengabdian kepada masyarakat
dilakukan dengan tulus. Salah satu anak Ayah nanti akan menjadi Profesor
kedokteran nuklir. Satu lagi anak Ayah yang akan menjadi panglima tentara.
Harus tetap dilatih agar sapta marga merah putih itu tetap ada di dalam jiwa dan
raga anaknya. Lakukan pekerjaan apapun dengan imanmu,” kata Ayah. Beberapa
hari sebelum wafat. Ayah kami, Guru kami.
"Ayah adalah seseorang yang selalu percaya pada kemampuanmu, orang
pertama yang selalu yakin bahwa kamu bisa dan tak akan membiarkan anaknya
sendirian. Dia akan selalu menjaga, dan membimbing jalan hidupmu." - WP

Anda mungkin juga menyukai