lanjutan
BAB I
PROFIL DESA
A. PENDAHULUAN
Dalam sejarahnya, desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan
pemerintahan jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Sejarah perkembangan desa-desa di
Indonesia telah mengalami perjalanan yang sangat panjang, bahkan lebih tua dari Negara
Republik Indonesia. Sebelum masa kolonial Belanda, di berbagai daerah telah dikenal kelompok
masyarakat yang bermukim pada suatu wilayah atau daerah tertentu dengan ikatan kekerabatan
atau keturunan. Pola pemukiman berdasarkan keturunan atau ikatan emosional kekerabatan
berkembang terus, baik dalam ukuran maupun jumlah yang membentuk gugus atau kesatuan
pemukiman.
B. PENGERTIAN DESA
Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai “a groups of houses or shops in a
country area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat
istiadat yang diakui dalam pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Berdasarkan beberapa pengertian desa tersebut, jelas bahwa pengertian desa menurut para
tokoh dan UU nomor 32 tahun 2004, merupakan self community, yaitu komunitas yang
mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa desa memiliki kewenangan untuk
mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya
setempat, posisi desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan
perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Hal tersebut dengan
otonomi desa yang kuat akan memengaruhi secara signifikan perwujudan otonomi daerah.
C. SEJARAH DESA
Terbentuknya suatu desa tidak terlepas dari insting manusia, yang secara naluriah ingin hidup
bersama keluarga suami/istri dan anak, serta sanak familinya, yang lazimnya memilih tempat
kediaman bersama. Tempat kediaman dapat berupa wilayah dengan berpindah-pindah, terutama
pada kawasan tertentu hutan atau areal lahan yang masih memungkinkan keluarga tersebut
berpindah-pindah. Hal ini masih dapat ditemukan pada beberapa suku asli di Sumatra, seperti
kubu, suku anak dalam, beberapa warga Melayu asli, juga di pulau lainnya di Nusa Tenggara,
Kalimantan, dan Papua.
Berdirinya suatu desa didasarkan oleh hukum yang mengatur tentang desa tersebut. Beberapa
dasar hukum berdirinya desa adalah sebagai berikut.
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1979 menyebutkan bahwa desa adalah
suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah
langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa “menyebutkan desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Berkaitan dengan perubahan serta pembentukan status desa, desa dibentuk atas prakarsa
masyarakat dengan memerhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Pembentukan desa harus memenuhi syarat:
1. jumlah penduduk;
2. luas wilayah;
3. bagian wilayah kerja;
4. perangkat desa; dan
5. sarana dan prasarana pemerintahan
D. KOMPONEN DESA
Desa merupakan subsistem dari keseluruhan yang lebih luas yang dinamakan negara. Desa
sebagai suatu sistem memiliki komponen baik fisik, manusia, maupun kelembagaan sosial.
Sifat dan karakteristik desa secara umum dapat dilihat dari keadaan alam dan lingkungan
hidupnya. Suasana dan cuaca alamnya yang cerah, hamparan sawah yang menghijau jika musim
tandur dimulai dan menguning jika musim panen tiba, dari kejauhan tampak gunung menjulang
tinggi di langit biru.
BAB II
POLA EKOLOGI DESA
1. Letak desa. Letak suatu desa berpengaruh terhadap pola persebaran desanya.
2. Keadaan iklim. Unsur iklim berkaitan dengan suhu dan curah hujan.
3. Kesuburan tanah. Tempat dengan kesuburan tanah yang merata akan membentuk pola
desa yang memusat atau mengelompok (kompak). Sebaliknya, tempat dengan kesuburan
tanah yang buruk akan membentuk pola desa tersebar tidak beraturan.
Tipologi desa dapat dilihat dari beberapa aspek dominan seperti mata pencaharian dan pola
interaksi sosial yang terjalin.
1. Pradesa
2. Desa swadaya
3. Desa suwakarsa
4. Desa suasembada
Berdasarkan mata pencahariannya, desa dibagi menjadi beberapa tipe sebagai berikut :
1. Desa persawaan
2. Desa perladangan
3. Desa perkebunan
4. Desa peternakan
5. Desa nelayan
6. Desa industry kecil
7. Desa industry sedang dan besar
8. Desa jasa dan perdagangan
BAB III
STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DESA
A. Pendahuluan
Masyarakat dipandang sebagai sistem sosial, yaitu pola interaksi sosial yang terdiri atas
komponen sosial yang teratur dan melembaga. Karakteristik sebuah sistem sosial, yaitu struktur
sosial yang mencakup susunan status dan peran yang ada di satuan sosial yang memunculkan
nilai-nilai dan norma yang akan mengatur interaksi antarstatus dan peran sosial tersebut.
C. Stratifikasi social
1. Apa itu stratifikasi social ?
Esensi dari stratifikasi sosial, yaitu setiap individu memiliki beberapa posisi sosial dan tiap-
tiap orang memerankan beberapa peran, sehingga memungkinkan terjadinya klasifikasi
individuindividu tersebut ke dalam kategori status-peran. Klasifikasi tersebut, didasarkan atas
posisi relatif dari peran yang mereka mainkan secara keseluruhan. Stratifikasi sosial
didefinisikan secara eksplisit atau implisit sebagai sistem fungsional yang diakui dalam
diferensiasi dan posisi ranking dalam kelompok, asosiasi, komunitas, dan masyarakat. Dari
definisi tersebut terdapat tiga elemen stratifikasi, yaitu:
D. Perubahan social
Secara etimologi, perubahan sosial berasal dari dua kata, yaitu kata perubahan (change), yang
berarti peristiwa yang berkaitan dengan perubahan posisi unsur suatu sistem hingga terjadi
perubahan pada struktur sistem tersebut. Adapun kata sosial yang menunjukkan hubungan
seorang individu dengan yang lainnya dari jenis yang sama. Dengan demikian, perubahan sosial
adalah perubahan dalam struktur sosial serta bentuk cara sosial.
E. Kelembagaann social
F. Kebudayaan (norma dan nilai)
BAB IV
STRUKTUR PEMERINTAHAN DESA DAN KELURAHAN
Sejak tahun 1906 hingga 1 Desember 1979, pemerintahan desa di Indonesia diatur oleh
perundang-undangan yang dibuat oleh penjajah Belanda.
Kewenangan Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2005
tentang Desa, pada Bab III Pasal 7 disebutkan bahwa urusan Pemerintah yang menjadi
kewenangan desa mencakup:
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa;
3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/kota; dan
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada
desa.
Salah satu kekhasan bangsa Indonesia terletak pada keanekaragaman adat-istiadat, bahasa,
pakaian, budaya, dan sebagainya. Itulah sebabnya, terdapat keragaman dalam kesatuan
masyarakat yang terendah. Kesatuan masyarakat dimaksud adalah desa di Jawa dan Madura,
gampong di Aceh, Huta di Batak, nagari di Minangkabau, dusun/marga di Sumatra Selatan, suku
di beberapa daerah Kalimantan, dan sebagainya
1. Kepala desa
2. Sekretaris desa
3. Bendahara desa
4. Kepala urusan (KWUR) dan kepala dusun
5. Badan usaha milik desa(BUMD)
6. Badan permusyaratan desa (BPD)
7. Lembaga pemberdayaan masyarakat desa
8. Pemberdayaan kesejahteraan desa
9. Perlindungan masyarakat
10. Koperasi unit desa
11. Organisasi kemasyarakatan
12. Karang taruna
13. Keuangan desa
BAB V
OTONOMI DESA
A. Pendahuluan
Kewenangan desa merupakan elemen penting dalam kajian otonomi desa. Kewenangan desa
merupakan hak yang dimiliki desa untuk mengatur secara penuh urusan rumah tangga sendiri.
Berdasarkan sejarahnya, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
memosisikan desa berada di bawah kecamatan dan kedudukan desa diseragamkan di seluruh
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menghambat tumbuhnya kreativitas dan partisipasi
masyarakat desa setempat karena mereka tidak dapat mengelola desa sesuai dengan kondisi
budaya dan adat dari desa tersebut.
Widjaja menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan
merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya, pemerintah berkewajiban menghormati
otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum,
baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut
dan menuntut di pengadilan.
Otonomi desa merupakan pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan prakarsa desa
termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan budaya lokal yang dimiliki desa. Pasal 1
ayat (6) Undang-Undang No.32 tahun 2004 menjelaskan bahwa daerah otonom adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB VI
POTENSI DAN SISTEM PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA
A. Pendahuluan
Potensi yang dapat dikembangkan dari sebuah desa bergantung pada kondisi geografis,
sosiologis, dan antropologis daerahnya. Ditinjau dari segi geografis, kondisi setiap desa berbeda-
beda.
Indonesia adalah negara yang subur dan makmur. Bahkan, keadaan tanah Indonesia tersebut
digambarkan dalam lirik lagu berikut.
1. Pengertian pertanian
2. Macam-macam pertanian
B. Model pembanguana
1. Model pembanguan
2. Model pembanguan II(pemerataan dan pemenuhan kebutuhan pokok/kebutuhan desa)
3. Model pembanguan III (pembanguan kualitas sumber daya manusia )
4. Model pembanguan IV (peningkatan daya saing)
C. Pembanguana desa
1. Pengertian pembangunan
2. Strategi (pelaksanaan) pembanguna desa
3. Tujuan pembangunan desa
BAB VIII
PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA
Persoalan kemiskinan dan kesenjangan masih menjadi masalah krusial di pedesaan. Sejumlah
studi menunjukkan bahwa penduduk miskin dan termiskin di pedesaan masih cukup banyak.
Mereka menjadi bagian dari komunitas dengan struktur dan kultur pedesaan. Selama periode
Maret 2010-Maret 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 0,05 juta orang
(dari 11,10 juta orang pada Maret 2010 menjadi 11,05 juta orang pada Maret 2011), sementara di
daerah perdesaan berkurang sekitar 0,95 juta orang (dari 19,93 juta orang pada Maret 2010
menjadi 18,97 juta orang pada Maret 2011).
BAB VIIII
ASPEK-ASPEK TRADISIONAL MASYARAKAT DESA
Tradisional erat kaitannya dengan kata “tradisi”, yang berasal dari bahasa Latin, yaitu traditio
yang artinya “diteruskan”. Tradisi merupakan tindakan dan perilaku sekelompok orang dengan
wujud suatu benda atau tindak laku sebagai unsur kebudayaan yang dituangkan melalui pikiran
dan imajinasi serta diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang di dalamnya
memuat suatu norma, nilai, harapan, dan cita-cita tanpa ada batas waktu yang membatasi.
B. Aspek-aspek Tradisional
Kehidupan tradisional cenderung memegang teguh tradisi yang ada dalam masyarakat sebagai
transformasi terhadap nilai-nilai yang dianggap sesuai. Proses tranformasi terhadap nilai-nilai
yang ada dapat diwujudkan dalam segala aspek atau bidang yang meliputi bidang ekonomi, mata
pencaharian, budaya, politik, sosial, dan teknologi.
C. Masyarakat tradisional
1. Pengertian
a. Ikatan perasaan yang erat dalam bentuk kasih sayang, kesetiaan, dan kemesraan dalam
melakukan interaksi sosial yang diwujudkan dalam bentuk saling menolong tanpa pamrih.
b. Orientasi yang bersifat kebersamaan (kolektivitas) sehingga jarang terdapat perbedaan
pendapat.
c. Partikularisme, yaitu berkaitan dengan perasaan subjektif dan perasaan kebersamaan.
Dengan demikian, dalam masyarakat pedesaan terdapat ukuran (standar) nilai yang bersifat
subjektif, yang didasarkan pada sikap senang atau tidak senang, baik atau tidak baik, pantas
atau tidak pantas, diterima atau tidak diterima, dan sebagainya.
d. Askripsi yang berkaitan dengan suatu sifat khusus tidak diperoleh secara sengaja, tetapi
diperoleh berdasarkan kebiasaan atau bahkan karena suatu keharusan. Itulah sebabnya,
masyarakat pedesaan sulit berubah, cenderung bersifat tradisional dan konservatif, yang
disebabkan oleh adanya sikap menerima segala sesuatu sebagaimana apa adanya. e.
Ketidakjelasan (diffuseness) terutama dalam hal hubungan antarpribadi sehingga
masyarakat pedesaan sering menggunakan bahasa secara tidak langsung dalam
menyampaikan suatu maksud.