Anda di halaman 1dari 16

REVIEW MATERI MATA KULIAH SOSIOLOGI

PEDESAAN MENGENAI TEMA HUBUNGAN


ANTARMASYARAKAT DAN POTENSI PEDESAAN
(Analisis Hubungan Antarmasyarakat Dan Potensi
Pedesaan pada Desa Margomulyo di Kabupaten
Bojonegoro)

Disusun Oleh:
ILHAM SHOLIHIN
NIM. F1A019062

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara etimologi, kata “desa” berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu deshi,
yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Oleh karena itu, kata
“desa” sering dipahami sebagai tempat atau daerah (sebagai tanah asalnya)
tempat penduduk berkumpul dan hidup bersama, menggunakan lingkungan
setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan
kehidupan mereka.1 Definisi desa juga dijelaskan oleh salah satu sosiolog
Indonesia yaitu Koentjaraningrat yang mendefinisikan desa sebagai tempat
menetap komunitas kecil. Namun yang terpenting dari definisi tersebut bahwa
desa tidak semata-mata terikat pada pertanian, tetapi sebagai suatu kumpulan
komunitas yang memiliki ikatan warganya terhadap wilayah yang didiaminya. 2
Kemudian, dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa
juga diartikan sebagai “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.3 Dari beberapa konsep
desa yang sudah dituliskan tersebut, maka jelaslah bahwa desa merupakan
sebuah komunitas mandiri atau self-community yaitu komunitas yang mengatur
dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa desa memiliki kewenangan untuk
mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan
sosial budaya setempat.
Kemudian lebih dari pendefinisian tentang desa yang sudah dijabarkan
tersebut, kawasan pedesaan sekaligus juga masyarakat pedesaan secara
umum memiliki beberapa karakteristik atau ciri khas tersendiri yang tentunya
berbeda dengan kawasan lainnya seperti halnya perkotaan. Karakteristik atau
ciri khas yang dimaksud di sini adalah tentang proses sosial atau hubungan
1
Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Perdesaan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hal. 4.
2
Eko Murdiyanto, Sosiologi Perdesaan: Pengantar Untuk Memahami Masyarakat Desa (Yogyakarta:
Wimaya Press, 2008), hal. 39-40.
3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 1 (1).
antar masyarakatnya dan juga tentang potensi atau sumber daya yang dapat
menghidupi kebutuhan desa.
Dalam kehidupan sosial, hubungan antar masyarakat di desa bisa dikatakan
lebih homogen apabila dibandingan dengan masyarakat di kota. Secara umum,
struktur sosial pada masyarakat pedesaan terbagi menjadi dua, yaitu: pertama,
struktur sosial statis yang menyangkut cara masyarakat tersebut terbentuk
secara vertikal dan horizontal. Vertikal berupa stratifikasi sosial kepemilikan
tanah, kepemilikan hewan ternak, kesalehan beragama, dan barang. Adapun
horizontal berbentuk kelompok sosial tertentu (kelompok ternak), community of
feeling; kedua, struktur sosial dinamis, yaitu pola hubungan yang terorganisasi
(pattern).4
Pada dasarnya, proses sosial yang terjadi pada masyarakat desa dapat
diketahui dengan terlebih dahulu melihat jenis terjadinya proses sosial tersebut.
Jenis yang dimaksud tersebut terdiri dari asosiatif atau interaksi yang berkaitan
dengan kerja sama, akomodasi, dan asimilasi, serta disosiatif yang dapat
berbentuk persaingan, kontraversi, dan konflik. Keduanya selalu muncul pada
setiap hubungan atau proses sosial masyarakat pedesaan dalam berbagai
bentuk.
Secara asosiatif, interaksi sosial pada masyarakat pedesaan dapat dilihat
dari kegiatan kerja atau mata pencaharian mereka, sistem tolong-menolong,
kegiatan gotong royong, dan bermusyawarah. Serta secara disosiatif, interaksi
sosial masyarakat pedesaan yang menimbulkan perpecahan biasa timbul
karena adanya kabar burung atau berita yang belum pasti kebenarannya yang
tersebar dalam lingkungan masyarakat pedesaan. Selain itu, kemunculan
perpecahan pada masyarakat desa juga dapat disebabkan karena adanya
perbedaan status ekonomi antara satu warga dengan warga lainnya.
Kemudian lebih daripada itu, setidaknya juga terdapat empat faktor yang
turut memengaruhi proses interaksi pada masyarakat desa. Yang pertama
adalah faktor imitasi yang akan mendorong seseorang untuk selalu mematuhi
segala peraturan dan nilai yang ada. Hal itu bisa terjadi karena imitasi memiliki
pengertian bahwa seseorang akan cenderung meniru perilaku dan tindakan dari
yang lain. Jadi dalam konteks imitasi, variabel lingkungan sosial di sekitar
individu sangat berpengaruh. Lalu yang kedua adalah faktor sugesti yang
4
Adon Nasrullah, op. cit., hal. 54.
didefinisikan sebagai proses bagaimana seseorang mengikuti yang rangsangan,
pengaruh, atau stimulus yang diberikan oleh seseorang yang lain secara
emosional dan tidak mempertimbangkannya secara rasional. Biasanya, sugesti
berlangsung ketika pihak yang menerima sedang dilanda oleh emosi sehingga
daya pikirnya yang rasional terpinggirkan. Kemudian yang ketiga adalah adalah
identifikasi yang merupakan kencenderungan dari seseorang untuk mempunyai
perilaku yang sama dengan orang lain yang digemari. Proses identifikasi dapat
berlangsung dengan sendirinya secara tidak sadar ataupun sengaja karena
seseorang memberikan contoh-contoh ideal dalam kehidupannya. Segala sikap,
pandangan ataupun cara-cara berperilaku seseorang sangat menjiwai orang
yang mengidentifikasi untuk kemudian diikutinya. 5 Terakhir yang keempat adalah
simpati yang merupakan keikutsertaan dari perasaan seseorang untuk
merasakan perasaan yang dimiliki oleh orang lain. Biasanya, simpati timbul tidak
didasari oleh rasio, akan tetapi lebih didasari oleh penilaian perasaan orang
yang tiba-tiba merasa bahwa dirinya ikut merasakan perasaan seseorang.
Selanjutnya mengenai potensi atau sumber daya desa, dapat dipahami
bahwa potensi yang ada di pedesaan ternyata lebih bervariasi apabila
dibandingkan dengan di kota. Antara satu desa dengan desa yang lainnya
biasanya memiliki potensi atau sumber daya yang berbeda tergantung dari letak
geografisnya. Tentu hal ini berkebalikan dengan perkotaan yang secara umum
potensinya lebih cenderung ke arah industri. Antara kota yang satu dengan kota
lainnya pasti sama-sama menempatkan peran industri sebagai sumber daya
kehidupannya, tak peduli dengan letak geografis seperti yang terjadi di
pedesaan.
Potensi yang ada dan dapat dikembangkan dari sebuah desa sangat
bergantung pada kondisi geografis, sosiologis, dan antropologis. Dilihat dari segi
geografis, ada desa yang mempunyai kondisi tanah subur, tetapi tidak dapat
diolah dengan tepat karena penduduknya sedikit dan hidup berpindah-pindah.
Sebaliknya, ada juga desa yang tanahnya kurang subur, namun jumlah
masyarakatnya sangat padat. Kemudian, secara geografis pula, desa dapat
dikelompokkan ke dalam empat jenis, yaitu desa pegunungan, desa pantai, desa
dataran rendah, dan desa pinggiran (suburban).

5
Adon Nasrullah, ibid., hal. 57.
Secara umum, sumber daya atau potensi yang terkandung dalam kawasan
pedesaan dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu sumber daya
pertanian, sumber daya peternakan, sumber daya industri, dan sumber daya
manusia:
1. Sumber daya pertanian
Dalam kawasan desa, bisa dibilang bahwa pertanian merupakan sektor yang
banyak dikembangkan dibanding dengan sektor lainnya. Hal itu terjadi karena
sektor pertanian merupakan sektor yang berimplikasi langsung dengan
pemenuhan kebutuhan pokok berupa kebutuhan pangan. Pengutamaan
sektor pertanian dalam kawasan desa sejatinya juga dibuktikan dengan
munculnya konsep tentang agropolitan yang dalam Undang-Undang Nomor
26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan sebagai “kawasan yang
terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai
sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan
satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis”.6 Kemudian, ada berbagai
macam bentuk pertanian yang dapat dikembangkan di desa, antara lain ialah:
a. Sawah
Bertani di sawah menjadi mata pencaharian pokok bagi para petani
khususnya di pedesaan. Ada beberapa jenis sistem pertanian sawah:
pertama, sawah Irigasi yang merupakan jenis pertanian padi sawah yang
pola penanamannya mengandalkan irigasi. Pola pengaturan air sistem ini
sudah ditata dengan baik. Jika air irigasi kering, tidak ditanami padi, tetapi
diganti dengan tanaman lain yang tahan dengan kekeringan, seperti ketela
pohon; kedua, sawah tadah hujan yang pengairannya hanya
mengandalkan air hujan; ketiga, sawah lebak yang didefinisikan sebagai
jenis pertanian sawah yang memanfaatkan lahan sekitar sungai yang tidak
tergenang saat volume air sungai meninggi; keempat, sawah pasang surut
yang merupakan jenis sawah yang memanfaatkan gerakan pasang surut
air laut; dan kelima, sawah gogorancah yang mengupayakan tanaman padi
berdasarkan ketersediaan air air. Apabila persediaan air cukup, jenis padi
yang ditanam adalah padi sawah biasa. Sebaliknya, apabila persediaan air

6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 1 (24).
tidak ada atau sangat kurang, jenis padi yang ditanam merupakan jenis
padi yang ditanam di huma.
b. Ladang
Usaha perladangan di desa biasanya dilakukan pada daerah-daerah yang
persediaan airnya sangat kurang seperti daerah perbukitan atau dataran
tinggi. Selain tanaman padi, tanaman palawija seperti dari golongan umbi-
umbian, jagung, dan kacang-kacangan juga dapat diusahakan di ladang.
c. Kebun
Selain potensi pertanian lahan basah (sawah) dan lahan kering (ladang),
potensi lainnya yang dapat dikembangkan di pedesaan adalah usaha
perkebunan. Usaha ini cocok dilakukan untuk jenis desa perkebunan. Ada
berbagai macam jenis tanaman kebun yang didasarkan atas ketinggian
tempat. Bila di daerah pantai, tanaman yang cocok untuk dikembangkan
adalah berupa kelapa dan kelapa sawit. Kemudian, di dataran rendah atau
daerah yang memiliki ketinggian 700 meter di atas permukaan laut sangat
tepat untuk perkebunan tebu dan karet. Dan untuk daerah dataran tinggi
yang memiliki ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan laut
memiliki potensi sebagai perkebunan teh. Jadi, sebelum mengembangkan
perkebunan di pedesaan ada baiknya untuk mengetahui ketinggian tempat
agar tanaman yang diusahakan bisa cocok dan memiliki potensi yang lebih
untuk dikembangkan.

2. Sumber daya peternakan


Peternakan merupakan salah satu pemanfaatan sumber daya alam hewani.
Usaha peternakan yang dilakukan di desa setidaknya harus didukung oleh
beberapa faktor pendorong, seperti: adanya padang rumput yang luas;
permintaan daging dan produk ternak lainnya, seperti kulit, bulu, dan
kotorannya cenderung meningkat; dan jumlah penduduk yang banyak dan
sebagian besar bermukim di wilayah perdesaan, yang merupakan modal
dasar bagi perkembangan usaha peternakan. 7 Kemudian, apabila dilihat dari
skala kepengusahaannya, usaha peternakan dapat digolongkan menjadi tiga
macam, yaitu: peternakan hewan besar seperti hewan sapi, kerbau, dan
kuda; lalu, peternakan hewan kecil seperti hewan kambing dan domba; dan
7
Adon Nasrullah, op. cit., hal. 205.
terakhir, peternakan unggas yang terdiri dari hewan berkaki dua dan
berkembang biak dengan cara bertelur seperti ayam, itik, dan angsa.

3. Sumber daya Perikanan


Sebagai negara yang dua per tiga wilayahnya lautan, tak jarang desa-desa di
Indonesia juga menggantungkan sumber dayanya pada sektor perikanan.
Berdasarkan jenis perairannya, sektor perikanan dapat di klasifikasikan
menjadi tiga macam, yaitu: Perikanan air tawar, yang dapat dilakukan di
kolam, danau, sawah, dan sungai. Jenis ikan yang sesuai untuk perikanan air
tawar biasanya adalah ikan mas, mujair, lele, dan guram; Perikanan air laut,
yang sejatinya merupakan sumber ikan alami yang paling besar di dunia.
Dengan berbagai jenis ikan yang terkandung di dalamnya, laut merupakan
sumber daya alam potensial yang perlu dimanfaatkan secara optimal.
Biasanya yang menjadikan sektor perikanan sebagai sumber daya yang
utama adalah masyarakat-masyarakat pesisir atau desa yang letaknya dekat
dengan bibir pantai; Perikanan air payau, Jenis ikan yang dapat
dibudidayakan di air payau adalah ikan bandeng dan udang. Perikanan air
payau sering disebut pula dengan perikanan tambak. Usaha perikanan
tambak hanya dapat dilakukan oleh penduduk yang tinggal di daerah pantai.
Meskipun demikian, tidak semua daerah pantai dapat dijadikan areal tambak.

4. Sumber daya industri


Industri secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan memproses atau
mengolah barang dengan menggunakan sarana atau peralatan seperti mesin
yang sifatnya produktif komersial. Setiap pengolahan atau kegiatan dalam
industri adalah untuk memberikan nilai tambah terhadap bahan bakunya.
Misalnya, tanaman gandum dapat diolah menjadi tepung, lalu diolah kembali
menjadi roti. Dengan pengolahan tersebut, roti memiliki nilai yang lebih tinggi
dibanding dengan tanaman gandum dan tepung. 8 Industri yang baik adalah
industri yang didukung oleh ketersediaan modal serta bahan baku yang
cukup, pengelolaan yang baik, sarana dan prasarana yang baik, dan kondisi
sosial politik negara yang mendukung. Di pedesaan sendiri, jenis industri
yang cocok untuk diterapkan adalah industri kecil. Jenis ini tepat karena tidak
8
Adon Nasrullah, ibid., hal. 209-210.
banyak menyerap tenaga kerja (bisa sekitar 5-15 orang) dan kebutuhannya
terhadap modal pun tidak terlalu besar. Contoh industri kecil adalah seperti
industri pemotongan hewan, pengawetan daging, pengawetan buah-buahan
dan sayuran, pengolahan dan pengawetan ikan, serta industri kulit.

5. Sumber daya manusia


Tentunya tidak dapat diragukan lagi bahwasanya masyarakat desa
merupakan potensi sumber daya manusia yang utama dalam membangun
desa. Tanpa partisipasi dan peran mereka, pelaksanaan pembangunan desa
sudah pasti tidak mungkin untuk dilakukan atau setidaknya tidak akan
berjalan dengan baik. Setidaknya, ada beberapa karakter masyarakat desa
yang perlu dipertimbangkan dalam upaya pembangunan desa:
a. Pengupayaan agar nilai budaya gotong royong masih bisa tetap mengakar
pada masyarakat desa. Hal ini dilakukan agar tatanan budaya seperti itu
tidak hilang bersama kemajuan zaman.
b. Pengetahuan akan norma atau adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat
desa. Seperti yang diketahui, struktur sosial masyarakat desa masih sangat
terikat dengan aturan-aturan seperti itu yang berlangsung secara turun-
menurun. Mereka tentunya tidak mentolerir segala aktivitas yang
bertentangan dengan norma atau adat mereka yang berlakuk, baik itu
dimengerti ataupun tidak.
c. Taraf hidup dan tingkat pendapatan rata-rata masyarakat desa masih
rendah karena struktur mata pencaharian penduduk masih dominan di
sektor pertanian.
d. Adanya sifat keterbukaan dari masyarakat desa, terutama untuk menerima
ide-ide baru. Sifat terbuka ini sangat berperan dalam menentukan srategi
dan arah pembangunan desa yang dilakukan.
e. Pandangan masyarakat desa yang masih berorientasi kepada tokoh yang
mereka tuakan. Apa pun yang dikatakan oleh tokoh masyarakat yang
disegani akan mereka ikuti dengan suka rela.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana hubungan antarmasyarakat di Desa Margomulyo, Kabupaten
Bojonegoro?
2. Bagaimana potensi pedesaan di Desa Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antarmasyarakat di Desa
Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro.
2. Untuk mengetahui bagaimana potensi pedesaan di Desa Margomulyo,
Kabupaten Bojonegoro.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Antarmasyarakat di Desa Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro


Sebagai pengenalan, Desa Margomulyo merupakan satu dari enam desa
yang berada di kawasan Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro,
Provinsi Jawa Timur. Luas wilayah Desa Margomulyo dari data profi l desa
tahun 2014, tercatat 1.332,27 ha yang tersebar di delapan dusun. Secara rinci,
luas tersebut terdiri dari tanah sawah yakni tanah tadah hujan atau sawah
rendengan seluas 121,55 ha (9,1%), sawah pasang surut 183,27 ha (13,8%),
dan untuk pekarangan dan bangunan 251,55 ha (18,9%). Tanah untuk hutan
konservasi 50,00 ha (3,8%), hutan produksi 666,03 ha (50,0%), perkebunan
rakyat 55,00 ha (4,1%), fasilitas umum (lapangan dan pemakaman 1,80 ha atau
0,1%), dan tanah untuk fasilitas sosial (masjid, sarana pendidikan, kesehatan,
dan sarana sosial seluas 3,07 ha atau 0,2%). 9 Meski desa ini secara
administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bojonegoro, namun secara
geografis nyatanya letak dari desa ini lebih dekat dengan Kota Kabupaten Ngawi
(kira-kira 10 km) arah selatan bila dibandingkan dengan Kabupaten Bojonegoro.
Oleh karena itu, umumnya masyarakat di Desa Margomulyo lebih sering menuju
ke Ngawi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Demikian juga untuk
menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (setingkat SMA atau
Perguruan Tinggi) Kemudian, akhirnya pun Perekonomian masyarakat Desa
Margomulyo secara umum sangat bergantung kepada jalur perekonomian di
kota Ngawi.
Pada umumnya, masyarakat di Desa Margomulyo memiliki mata pencaharian
sebagai petani mandiri (yang memiliki lahan) dan buruh tani (yang menggarap
sawah milik perhutani). Hanya sebagian kecil saja masyarakat desa yang
memiliki sawah sendiri karena umumnya kepemilikan lahan hanya bisa untuk
pemukiman. Kondisi tersebut akhirnya berpengaruh terhadap struktur sosial
masyarakat desa yag dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok sosial, yakni
kelompok bawah, menengah, dan tinggi. Pengelompokan tersebut didasari atas
tingkat pendidikan dan perekonomian yang dimiliki sekaligus silsilah keluarga
dari tiap-tiap warga di desa tersebut.
9
Siti Munawaroh dkk, Etnografi Masyarakat Samin di Bojonegoro, (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai
Budaya (BPNB), 2015), hal. 18.
Kelompok sosial bawah adalah kelompok sosial yang terdiri dari masyarakat
yang tidak berpendidikan hingga jenjang pendidikannya hanya sampai tamat
SD. Pekerjaannya sebagai petani dan buruh tani di sawah orang lain yang
tingkat perekonomiannya masih lemah atau di bawah rata-rata masyarakat
sekitar. Kelompok sosial menengah, terdiri dari masyarakat yang jenjang
pendidikannya tamat SD hingga SMU. Pekerjaannya di samping sebagai petani
juga sebagai wiraswata seperti penjual sayur, makanan, dan pedagang kecil
yang tingkat perekonomiannya cukup bagus. Kelompok sosial atas atau tinggi
terdiri dari masyarakat yang jenjang pendidikannya hingga jenjang sarjana, PNS,
pamong, dan sebagainya yang tingkat perekonomiannya di atas rata-rata
masyarakat sekitarnya.10 Namun demikian, dari berbagai kolompok sosial
tersebut, kekayaan tidak mendasari adanya pelapisan sosial masyarakat.
Beberapa hal memang ada tetapi tidak begitu menonjol, yaitu adanya kelompok
pegawai pemerintah atau PNS, mereka yang berpendidikan tingggi, dan orang
yang mempunyai “kelebihan”. Mereka ini dianggap orang yang mempunyai
kelebihan, baik pengetahuan maupun pengalaman. Sehingga pada berbagai
kegiatan, maupun pengurus organisasi sosial atau kedudukan yang ada di
Dusun Jepang dipegang oleh kelompok tersebut.
Kemudian, jika berbicara mengenai hubungan antarmasyarakat, warga di
Desa Margomulyo secara umum memiliki hubungan sosial yang cenderung
asosiatif. Hal itu bisa terwujud dari keberadaan organisasi-organisasi sosial di
desa baik itu formal maupun non formal. Di Desa Margomulyo, organisasi sosial
formal didasarkan pada instruksi pemerintah yang terdiri dari PKK,
Karangtaruna, dan kelompok tani “Panggih Mulyo”. Selanjutnya, keberadaan
organisasi sosial non formal di desa didasari oleh keinginan dari masyarakat itu
sendiri, sehingga dalam kegiatan dan manfaatnya bisa dirasakan oleh
masyarakat dengan lebih nyata. Organisasi sosial non formal yang ada pada
desa umumnya berkaitan erat dengan kehidupan warga, seperti perkumpulan
arisan, perkumpulan ternak (Jumat Kliwonan, Jumat Legi, Jumat Paing),
perkumpulan sinoman, musyawarah desa, dan sanggar budaya seni karawitan
“Dewi Laras”.
Adanya berbagai macam organisasi sosial tersebut, menunjukkan bahwa
masyarakat di Desa Margomulyo menyadari bahwa manusia sebagai mahluk
10
Siti Munawaroh dkk, ibid. hal. 36.
sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan memerlukan orang lain dalam
berbagai hal. Kekeluargaan dan kebersamaan di antara warga masyarakat di
Desa Margomulyo cukup baik. Gotong-royong untuk kebutuhan umum dinilai
lebih tinggi daripada kebutuhan pribadi, dan kerja bakti merupakan hal yang
terpuji. Ini ditunjukkan dalam kegiatan gotong royong yang dilakukan oleh
masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, baik untuk acara hajat
perseorangan maupun sosial. Untuk perseorangan meliputi kegiatan mendirikan
rumah, memindahkan bangunan rumah, mengolah tanah pertanian, kematian,
dan saat masyarakat mempunyai acara seperti hajatan nyadran, sunatan
maupun perkawinan. Gotong royong ini dikenal oleh masyarakat desa sebagai
sambatan atau rukunan. Di Desa Margomulyo, saat ada masyarakat yang
mempunyai hajatan, generasi muda sering melakukan kegiatan kerjasama atau
gotong royong di antara warga, yang disebut dengan istilah sinoman atau
peladen. Mereka ini bertanggungjawab untuk membantu pelaksanaan hajatan.
Sinoman merupakan organisasi non formal yang menjadi wadah pemuda desa,
dan tradisi ini berjalan secara turun temurun hingga saat ini masih berjalan.
Berbagai budaya, adat, nilai, norma, ataupun organisasi yang eksis di Desa
Margomulyo, sedikit-banyak telah membuat hubungan atau interaksi sosial di
antara masyarakat desa secara umum cenderung lebih bersifat asosiatif. Sifat
umum dari hubungan sosial di antara masyarakat desa, tentu tidak begitu saja
muncul. Dalam review yang sudah tertulis sebelumnya, diketahui bahwasanya
ada empat macam faktor yang menyebabkan interaksi sosial, yaitu imitasi,
sugesti, identifikasi, dan simpati. Jika merujuk pada pemahaman tersebut, dalam
kasus di Desa Margomulyo, mungkin dapat dikatakan apabila faktor yang paling
berpengaruh dalam hubungan antara masyarakat desa adalah imitasi. Hal itu
karena imitasi merupakan konidisi di mana seseorang meniru perilaku dan
Tindakan seseorang atau orang lain. Ada semacam proses
pengeksternalisasian nilai terhadap individu sejak bayi yang terus berkembang
dalam keluarga, lingkungan tetannga, hingga pada pergaulan sosial yang
jangkauannya lebih luas. Dalam konteks pada proses sosial di desa
Margomulyo, keberadaan aturan atau tradisi, serta berbagai macam organisasi
sosial telah turut menanamkan nilai kepada masyarakat desa bahwa sejatinya
hubungan-hubungan bercorak asosiatif itu sangatlah penting. Secara konkret
mungkin hal itu sudah terlihat dengan tradisi atau organisasi non formal yaitu
sinoman yang di mana dalam tradisi tersebut, para pemuda desa diarahkan
untuk saling bergotong royong dan bekerja sama, sekaligus bertanggungjawab
untuk membantu mempersiapkan acara hajatan yang hendak dilakukan oleh
salah satu masyarakat desa.

2.2 Potensi Pedesaan di Desa Margomulyo Kabupaten Bojonegoro


Secara umum, masyarakat di Desa Margomulyo memiliki potensi atau
sumber daya pertanian. Bertani bagi masyarakat Desa Margomulyo merupakan
mata pencaharian pokok. Kondisi geografis desa (dan juga Kabupaten
Bojonegoro) yang banyak dikelilingi oleh pohon jati membuat masyarakatnya
menjadi pohon jati sebagai tanaman utama untuk dikelola. Aktivitas bertani
dilakukan oleh masyarakat Desa Margomulyo dengan menggarap lahan milik
Perhutani. Menurut salah satu warga desa, dalam mengelola lahan perhutani ini
ada persyaratan tertentu,di antaranya adalah harus ikut menjaga pohon jati
sejak ditanam, masa
perawatan dan pemeliharaan, hingga disaat penebangan. Keikutsertaanwarga
dalam pengeloaan hutan Perhutani dengan harapan bisa menjaga dan
menghindari terjadinya penebangan/pembalakan liar. 11 Kemudian, selama
proses pengelolaan, warga mendapat imbalan yang dinamakan mbawon atau
pesanggem, yang artinya adalah bahwa warga diperbolehkan untuk
menggunakan tanah di sela-sela pohon jati untuk ditanami tanaman jagung,
gandum, ketela, kacang, dan sebagainya dengan sistem tumpeng sari 12. Ketika
musim penghujan pun warga diperbolehkan atau bisa menanam padi di bagian
cekungan (di antara pohon jati) atau ledokan karena di bagian tersebut akan
tergenang oleh air.
Kemajuan ilmu teknologi tentunya juga membawa dampak yang sangat positif
terhadap sektor pertanian di Desa Margomulyo. Modernisasi di bidang pertanian
merupakan suatu angin segar untuk masyarakat desa untuk meningkatkan
kesejahteraan. Terbukti bahwa banyak warga desa sudah terbiasa dan handal
untuk menggunakan beberapa mesin pertanian modern. Bahkan sekarang, juga

11
Siti Munawaroh dkk, ibid. hal. 103.
12
tumpang sari merupakan suatu bentuk sistem pola tanam campuran yang melibatkan dua jenis
tanaman atau lebih pada satu areal dalam waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan. Lih,
http://www.swadayaonline.com/artikel/5062/Pemilihan-Tanaman-Tumpang-Sari-Sayuran/
sudah banyak petani yang memiliki mesin terutama handtractor untuk membantu
mengelola lahan. Antusiasme warga desa dalam memanfaatkan teknologi juga
datang dari keberadaan kelompok tani “Panggih Mulyo” di salah satu dusun di
Desa Margomulyo yang mempunyai empat unit mesin traktor, sembilan unit
pompa air, satu unit mesin perontok padi, dan satu unit mesin penggiling padi.
Selain teknologi modern, warga Desa Margomulyo juga menggunakan bahan-
bahan organik seperti pupuk dan peptisida untuk memelihara pertaniannya agar
mendapatkan hasil yang optimal. Namun, dalam penggunaaannya masih dalam
jumlah sedikit atau terbatas. Hal tersebut dilakukan, karena warga desa sangat
menyadari sepenuhnya jika penggunaan bahan kimia secara berlebihan juga
akan merusak lahan pertanian yakni tanah akan menjadi keras dan
pertumbuhan kurang baik. Untuk menyuburkan tanah atau mencukupi
kebutuhan unsur hara bagi tanaman, masyarakat desa lebih memilih
menggunakan pupuk kendang.
Meski sudah mengalami modernisasi yang begitu luar biasa dalam sektor
pertanian, namun tetap saja itu tidak tidak menyurutkan atau menghalangi
semangat mereka dalam melestarikan nilai-nilai sosial kemasyarakatan atau
norma yang dianut. Pelaksanaan gotong royong berupa sambatan di bidang
pertanian masih terpelihara hingga saat ini. Inti dari sambatan adalah kebutuhan
tenaga kerja dalam aktivitas pertanian diperoleh dengan cara saling membantu
antar rumah tangga petani secara bergiliran. Pola pengupahan dalam pertanian
tidak dikenal oleh warga desa. Sebagai gantinya mereka mengistilahkan dengan
pola saling meminjam tenaga kerja, sehingga pengeluaran upah tenaga kerja
tetap digantikan dengan tenaga kerja. Menurut salah satu warga, tradisi
sambatan ini telah berlangsung sejak mulai tanam hingga masa panen.
Khususnya ketika masuk masa panen, imbalan barang berupa hasil panen
diberikan oleh satu keluarga kepada keluarga lain yang telah membantu di masa
lalu. Unsur timbal balik memang berlaku jika warga melakukan sambatan, maka
yang terjadi adalah saling membagi hasil panen antar rumah tangga sebagai
‘upah’ atas kontribusi masing-masing di masa lalu. Imbalan berupa hasil panen
di disebut bawon. Model semacam ini juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk
asuransi sosial komunitas masyarakat desa.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Desa merupakan sebuah komunitas mandiri atau self-community yaitu
komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman seperti itu, desa
memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan
masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat. Desa
memiliki karakter yang beragam mulai dari hubungan sosial di antara
masyarakat hingga potensi sumber daya alam setempat. Secara sekilas,
hubungan sosial di antara masyarakat desa kadang bersifat asosiatif dan
disosiatif yang kebanyakan dilatarbelakangi oleh empat faktor, yaitu imitasi,
identifikasi, simpati, dan sugesti. Kemudian daripada itu, secara umum desa
memiliki potensi sumber daya yang bermacam-macam. Ada yang bersumber
pada bidang pertanian, peternakan, perikanan, hingga bahkan industry.
Selanjutnya, jika telusuri dengan lebih saksama, hubungan sosial antara
masyarakat di Desa Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro dalam kehidupan
sehari-hari lebih cenderung mengarah kepada hubungan yang asosiatif. Hal itu
dikarenakan adanya sistem sosial yang terwujud dalam bentuk norma, aturan,
dan sebagainya yang terus mendorong masyarakat untuk bersikap saling peduli
dan mengedepankan esensi manusia sebagai makhluk sosial. Jika mengacu
pada empat faktor yang telah disebutkan, maka akan didapati bahwa imitasi
merupakan faktor yang paling mempengaruhi terjadinya keteraturan dan
keselarasan dalam hubungan atau proses sosial masyarakatnya. Selain itu,
Desa Margomulyo yang memiliki potensi pertanian juga berhasil
mengoptimalkan sumber daya yang mereka miliki dengan bersikap terbuka
kepada teknologi yang akhirnya dapat membuat mereka hidup lebih maju
daripada sebelum-sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Nasrullah, Jamaludin Adon. 2015. Sosiologi Perdesaan. Bandung: CV Pustaka

Setia.

Murdiyanto, Eko. 2008. Sosiologi Perdesaan: Pengantar Untuk Memahami

Masyarakat Desa. Yogyakarta: Wimaya Press.

Munawaroh, Siti, Christriyati Ariani, dan Suwarno. 2015. Etnografi Masyarakat

Samin di Bojonegoro. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB).

Aturan Undang-Undang atau Dasar Hukum:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan

Ruang.

Laman Internet:

Abay, Udin. 2020. “Pemilihan Tanaman Tumpang Sari Sayuran”.

http://www.swadayaonline.com/artikel/5062/Pemilihan-Tanaman-Tumpang-

Sari-Sayuran/ (diakses pada 5 Desember 2020)

Anda mungkin juga menyukai