Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SOSIOLOGI PERTANIAN

KARAKTERISTIK SOSIAL, BUDAYA, DAN EKONOMI PERTANIAN

Disusun Oleh :
Ihda Muhammad Anshari 17/412824/PN15146
Ahmad Fathullah Afidaputra 17/412853/PN/15175
Akhmad Naufal Habib 17/412816/PN/15138
Rizki Aprelia 17/1620/PN/01620
Amelia Nur Salsabila 17/412854/PN/15176
Muhamad Eryan Ghulam 17/412827/PN/15149

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup
(atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang
berada dalam kelompok tersebut. Kata “masyarakat” sendiri berakar dari kata dalam bahasa
Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-
hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen
(saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu
sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Di wilayah Indonesia sebagian besar merupakan pedesaan dan sisanya merupakan
perkotaan. Dimana seluruh wilayah Indonesia secara administratif terbagi habis menjadi
desa-desa. Seperti yang kita ketahui, masyarakat pedesaan terkenal dengan interaksi antar
masyarakatnya yang baik dan budaya gotong royong dan sopan santun yang masih kental.
Warga suatu masyarakat pedesaan biasanya memilki hubungan yang lebih erat dan lebih
mendalam ketimbang mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan
pedesaan biasanya berkelompok dan didasarkan sistem kekeluargaan. Masyarakat desa
selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam
perilaku keseharian mereka.
Pada zaman dahulu, masyarakat pedesaan masih cenderung dengan kebudayaan
berburu dan meramu (primitif) dan hortikultura sederhana, namun seiring dengan
berjalanannya waktu, karakteristik ekonomi pedesaan berubah berdasarkan dinamika
perbahan agraris. Masyarakat pedesaan mulai mengenal revolusi pertanian dan berusaha
mencari laba dari bidang pertanian. Masyarakat berubah dari yang dulunya berpindah-pindah
(nomaden) menjadi menetap dan bercocok tanam.
Karena kenyataannya di Indonesia adalah negara pedesaan yaitu sekitar 70% wilayah
Indonesia, sehingga kita perlu memahami apa yang dimaksud desa, bagaimana keadaan desa
seperti apa perilaku orang desa dan bagaimana karakteristik ekonomi desa. Maka dari itu
perlu dibuat makalah tentang karakteristik sosial, budaya, dan ekonomi pertanian ini.

1.2. Tujuan Makalah


1. Mengetahui struktur sosial agraris pedesaan.
2. Mengetahui nilai budaya masyarakat pedesaan.
3. Mengetahui karakteristik ekonomi dan dinamika perubahan agraris.
BAB II
ISI

2.1. Struktur Sosial Agraris Pedesaan


Masyarakat pedesaan yang umumnya masih memiliki kaitan erat dengan pola
kehidupan dan ketergantungan pada bidang pertanian dan memiliki struktur sosial yang
spesifik. Dalam hal ini, struktur sosial membahas pola hak dan kewajiban para pelaku dalam
suatu sistem interaksi sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu.
Ibrahim (2003:37) menyatakan bahwa dalam struktur sosial, hak dan status para
pelaku dihubungkan dengan status dan peranannya pelaku masing-masing. Status dan
peranan itu bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan masyarakat
yang bersangkutan. Status dan peranan berlaku menurut masing-masing kesatuan sosial dan
situasi interaksi sosial.
Struktur sosial masyarakat bervariasi, mulai dari yang sederhana sampai yang
kompleks, hal ini tergantung dari keadaan dan perkembangan masyarakat. Masyarakat
primitif atau terasing umumnya mempunyai struktur sosial yang sederhana dan terutama
ditentukan oleh corak sistem kekerabatannya. Pada masyarakat yang sudah maju, struktur
sosial umumnya sangat kompleks dan tidak hanya bersumber pada sistem kekerabatannya,
tetapi juga ditentukan oleh sistem ekonomi, sistem pelapisan sosial dan sebagainya yang
merupakan kombinasi.
Rangkaian hubungan-hubungan sosial yang dilakukan para warga masyarakat satu
sama lainnya tidak sama. Tidak setiap anggota masyarakat dapat mengadakan interaksi sosial
dengan semua orang yang menjadi warga masyarakat tersebut. Warga masyarakat yang
mempunyai hubungan dengan sejumlah warga masyarakat lainnya tidaklah sama dalam
beberapa hal antara lain frekuensi (tingkat keseringan) dan eratnya hubungan sosial. Ada
sejumlah orang yang mempunyai hubungan sosial dengan keseringan yang tinggi dan erat
dengan orang luar, dan ada pula sejumlah orang yang jarang mengadakan interaksi sosial dan
hubungan sosialnya tidak erat. Setiap orang memilih dan mengembangkan hubungan-
hubungan sosial yang paling menguntungkan dan terbatas jumlahnya dibandingkan dengan
rangkaian hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakat.
Bagi masyarakat pedesaan dengan pola pemukiman yang mengumpul umumnya
interaksi sosial dengan tetangga terdekat semakin intensif, pola yang paling intensif adalah
rukun tetangga, rukun warga, dusun, dan akhirnya desa. Secara umum warga pedesaan yang
belum berkembang masih mengutamakan hubungan sosial dengan tetangga terdekat dan
kerabatnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi sehari-hari. Bagi
beberapa warga masyarakat yang memiliki mobilitas lebih tinggi karena faktor pekerjaan atau
faktor lainnya bisa membangun interaksi sosial dengan sekala yang lebih luas, sebagai contoh
seorang pedagang karena mobilitasnya tinggi dapat membangun hubungan sosial yang lebih
luas meliputi anggota masyarakat di beberapa desa sekitarnya.
Seperti dilaporkan Subejo (2004) dari studi di empat pedasaan Yogyakarta dengan
adanya fakta empiris di daerah pedesaan umumnya terjadi tumpang tindih atas status dengan
tetangga (neighborship), suadara (kinship) dan pertemanan (friendship); maka hal ini akan
semakin mengikat dan memperkuat pola interaksi sosial antar warga masyarakat pedesaan.
Dalam struktur terkecil rukun tetangga atau kelompok kerja bersama, interaksi sosial sangat
kuat, hampir setiap hari terjadi kontak langsung antara anggota kelompok, baik melalui kerja
bersama, pertemuan di pekarangan, dan kunjungan ke rumah-rumah.
Kuat dan eratnya interaksi sosial di pedesaan sampai pada taraf tertentu berpengaruh
pada penghindaran terhadap konflik-konflik sosial. Selain mengurangi konflik, interaksi dan
struktur sosisal menurut Ibrahim (2003:40) berpengaruh pada perubahan tingkah laku
manusia dan tingkah laku dalam menjawab rangsangan dari luar. Anggota masyarakat atau
kelompok sosisal akan menyikapi suatu perubahan baru melalui pembahasan bersama dan
umumnya respon yang diberikan berupa respon yang kolektif. Mungkin untuk masyarakat
yang sudah modern, respon individu akan lebih menonjol daripada respon kolektif, namun
pada masyarakat yang masih belum berkembang pesat umumnya koliktifitas masih
memegang peranan penting.
Masyarakat dengan interaksi sosisal yang luas, longgar dan luwes cenderung lebih
mudah menerima perubahan-perubahan baru, dalam hal ini termasuk inovasi di bidang
pertanian. Dengan pegaulan yang laus, anggota masyarakat dapat memperoleh informasi dari
berbagai sumber serta dapat melakukan penilaian berdasarkan referensi dari partner
interaksinya untuk menerima suatu ide atau hal-hal yang baru.
Pada masyarakat pedesaan, umumnya aktifitas sehari-hari ditandai dengan kegiatan
produksi pertanian, struktur sosial yang terbentuk berdasarkan pada struktur agraris
tertentu. Menurut Wiradi dalam Ibrahim (2003:41), struktur agraris pedesaan di Jawa dapat
dikelompokkan ke dalam ciri-ciri umum sebagai berikut:
• Pertanian di Jawa terdiri dari pertanian yang luasnya sempit
• Pemilikan lahan cenderung sempit-sempit teteapi relatif merata bila dibandingkan dengan
luar Jawa maupun negara-negara berkembang lainnya
• Status atau bentuk pemilikan tanah sangat beragam. Ada beberapa status pemilikan tanah,
apakah itu berdasarkan hukum adat, kolonial maupun tradisional
• Sebagian besar usahatani terdiri dari pertanian yang digarap oleh pemilik tanahnya sendiri
• Proporsi penggunaan tenaga kerja keluarga untuk kegiatan pra panen sangat besar dan
untuk pemanenan lebih besar lagi
• Hampir semua tenaga kerja luar keluarga terdiri dari tenaga upahan atau bayaran (Note :
Penelitian Subejo, 2004, untuk pedesaan di dataran rendah dengan sistem irigasi yang baik,
hal tersebut terbukti namun untuk daerah pegunungan dengan sistem tadah hujan dan mixed
cropping, tenaga luar upahan hanya sedikit sekali proporsinya., sebagian besar tenaga luar
keluarga merupakan tenaga dari sistem pertukaran tenaga/exchange labor)
• Terdapat jutaan keluarga tunakisma/orang yang tidak memiliki tanah
• Untuk semua lapisan masyarakat pedesaan, pendapatan yang berasal dari kegiatan non-
pertanian merupakan tambahan pendapatan yang sangat penting (Note: Penelitian Subejo,
2004 secara empiris menunujukkan bahwa untuk daerah dataran rendah memiliki gejala yang
sama namun untuk daerah dataran tinggi/pegunungan dengan keterbatasan off-farm job
opportunities, pendapatan dari pertanian masih dominan, pendapatan dari sumber non-
pertanian masih sangat terbatas)
• Hampir semua rumah tangga di pedesaan Jawa hidup atas dasar apa yang disebut “extreme
occupational multiciplicity” dengan suatu pembagian kerja yang sangat lentur di antara
anggota-anggota rumah tangga. Pendapatan keluarga didapat dari berbagai sumber
kehidupan pada saat tertentu
• Terdapat kelembagaan hubungan kerja tradisional yang beragam dan rumit (Note:
Penelitian Subejo, 2004, telah mengidentifikasi di pedesaan Yogyakarta terdapat 8 kategori
kelembagaan hubungan kerja tradisional mulai dari yang bersifat murni pertukaran tenaga
sampai dengan kombinasi antara pertukaran tenaga dan sistem upah serta murni buruh tani
atau upahan)
Implikasi dari struktur agraris yang dicirikan dengan sistem usaha tani yang berlahan
sempit antara lain terjadi inefisisensi secara ekonomi dalam usaha tani. Karena petani hanya
memiliki aset yang kecil maka proses mekanisasi pertanian di Jawa kurang begitu berhasil jika
dibandingkan dengan Thailand dan Philipina. Mekanisasi juga terbentur sistem hubungan
kerja tradisional yang kemungkinan akan tersingkir jika harus bersaing dengan teknologi
mekanisasi tersebut.
Karena kepemilikan tanah di Jawa relatif kecil maka hampir tiak ada istilah “tuan
tanah” atau “landlord”. Di pedesaan Jawa justru banyak ditemukan lembaga –lembaga yang
bersifat mendekatkan pemilik-pemilik tanah dengan penggarap-penggarap tanah, melalui
hubungan “patron-client”.
2.2. Nilai Budaya Masyarakat Pedesaan
Masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu yang
ukurannya lebih kecil dari wilayah kota. Masyarakat desa adalah bentuk persekutuan abadi
antara manusia dan institusinya dalam wilayah setempat yaitu tempat mereka tinggal di
rumah-rumah pertanian yang tersebar dan di kampung yang biasanya menjadi pusat kegiatan
bersama. Sering disebut dengan masyarakat pertanian / pedesaan.
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus
rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat yang diakui dalam
Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Didalam masyarakat pedesaan tentunya terdapat adat istiadat yang tentunya setiap
daerah memiliki adat istiadat atau kebiasaan yang berbeda-beda. Adat adalah kebiasaan-
kebiasaan yang berlangsung dan menjadi norma dalam masyarakat atau pola-pola perilaku
tertentu dari warga masyarakat di suatu daerah. Dalam adat istiadat terkandung serangkaian
nilai, pandangan hidup, cita-cita pengetahuan dan keyakinan serta aturan-aturan yang saling
berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang bulat. Fungsinya sebagai pedoman
tertinggi dalam bersikap dan berperilaku bagi seluruh warga masyarakat.
Menurut Paul H. Landis terdapat ciri-ciri kebudayaan masyarakat pedesaan, yaitu:
1. Adaptasinya pasif
2. Rendahnya tingkat invasi
3. Kebiasaan hidup yang lamban
4. Kepercayaan kepada takhayul
5. Kebutuhan material yang bersahaja
6. Rendahnya kesadaran terhadap waktu
7. Cenderung bersifat praktis
Pola kebudayaan masyarakat desa termasuk pola kebudayaan tradisional, yaitu
merupakan produk dari benarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya
tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola
kebudayaan tradisional ditentukan oleh:
1. Sejauh mana ketergantungan terhadap alam
2. Tingkat teknologi yang dimiliki
3. Sistem produksi yang diterapkan

Perkembangan desa mengikuti pola kebudayaan tradisional sebagai berikut:


1. Desa Tradisional (Pradesa)
Pada masyarakat suku terasing yang masih bergantung pada alam (cara bercocok tanam, cara
memasak makanan, cara pemeliharaan kesehatan) kondisi masyarakat relatif statis
tradisional masyarakat tergantung pada keterampilan dan kemampuan pemimpin (kepala
suku).
2. Desa Swadaya
Sudah mampu mengolah alam untuk mencukup kebutuhan sendiri sudah mengenal sistem
iritasi sehingga tidak tergantung curah hujan.
3. Desa Swakarsa (Desa peralihan)
Sudah menuju ke arah kemajuan benih-benih demokrasi sudah mulai tumbuh 9tidak lagi
tergantung pada pemimpin) mobilitas sosial sudah mulai ada baik vertikal maupun horizontal.
4. Desa Swasembada
Masyarakat sudah tergolong maju sudah mengenal mekanisasi dan teknologi ilmiah
partisipasi masyarakat dalam bidang pembangunan sudah efektif.
Berikut ini disampaikan sejumlah karakteristik masyarakat desa, yang terkait dengan etika
dan budaya mereka, yang bersifat umum yang selama ini masih sering ditemui:

 Sederhana, sebagian besar masyarakat desa hidup dalam


kesederhanaan.Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal:
 Secara ekonomi memang tidak mampu
 Secara budaya tidak senang menyombongkan diri
 Mudah Curiga, secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada hal baru
diluar dirinya yang belum dipahaminya. Terkadang seseorang/sekelompok yang baru
mereka kenal beberapa hari bagi komunitas mereka hal itu dianggap “asing”
 Menjunjung Tinggi “Unggah-Ungguh”, sudah menjadi karakteristik khas bagi
masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-
daging” dalam hati sanubari mereka.
 Lugas
“Berbicara apa adanya”, itulah cirri khas lain yang dimiliki masyarakat desa. Mereka
tidak peduli apakah ucapanya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena memang
mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang mereka
miliki.
 Menghargai (“ngajeni”) orang lain
Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah
diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesar-besarnya. Balas budi ini
tidak selalu dalam wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan social atau
dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”.
 Suka gotong-royong
Salah satu cirri khas masyarakat desa yang dimiliki dhampir seluruh kawasan Indonesa
adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah
“sambatan”. Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta merek akan
“nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan bebang tetangganya yang sedang
punya “gawe” atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materil yang
dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak, bathi sanak”.
Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan
bertambah saudara.
 Religius
Masyarakat pedesaan dikenal sangat religious. Artinya, dalam keseharan mereka taat
menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke
dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan,rajaban,Jumat
Kliwonan, dll
Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat
gradual. Kita dapat membedakan antara masyarakat desa dan masyarakat kota yang masing-
masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, struktur
serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan terkadang kebudayaan masyaraht
pedesaan dan masyarakat perkotaan dapat dikatakan “berlawanan”. Perbedaan ciri antara
kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat sebagai berikut:
Masyarakat Pedesaan

 Perilaku Homogen
 Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
 Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status
 Kesatuan dan keutuhan kultural
 Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
 Kolektivisme.
Masyarakat Kota

 Perilaku heterogen
 Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
 Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
 Kebauran dan diversifikasi kultural
 Birokrasi fungsional dan nilai-nilai sekuler
 Individualisme.
Jadi, sistem kekerabatan masih memegang peranan penting dalam kebudayaan
masyarakat pedesaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian,
walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan
tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian,
hanya merupakan pekerjaan sambilan saja, karena tujuan utama masyarakat desa bekerja
adalah mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
bukan untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.
2.3. Karakteristik Ekonomi dan Dinamika Perubahan Agraris
Ekonomi suatu usaha dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang
berhubungan dengan pengalokasian sumber daya masyarakat yang terbatas di antara
berbagai anggotanya, dengan mempertimbangkan kemampuan, usaha, dan keinginan
masing-masing (Damsar dan Indriyani, 2017: 130). Dalam ekonomi, segala kegiatan yang
berhubungan dengan jual-beli, transaksi dan juga pemenuhan segala kebutuhan dipenuhi
dengan cara mengalokasikan segala sumber daya yang dimiliki dan mengelolanya dengan
bijak dan adil. Dalam hal, ini diperlukan sistem dan juga tata cara dalam dapat menjalankan
dan memainkan peran dalam kegiatan dalam bidang ekonomi ini, sehingga memiliki ciri dan
karakteristik tersendiri pada setiap hal yang berhubungan dengan bidang ekonomi tersebut.
Di dalam bidang ekonomi memiliki karakteristik tertentu yang berbeda-beda
berdasarkan suatu paham yang didasari oleh konsep, sistem, tujuan, prinsip, nilai dan
paradigma dalam masyarakat, khususnya dalam masyarakat pedesaan yang mengacu pada
dinamika perubahan agraris. Dalam hal ini, ekonomi bisa dibagi berdasarkan dasar, ciri dan
karakteristik yang dimiliki dalam penerapan suatu ekonomi.
Seperti yang saya kutip dari Damsar dan Indriyani (2016: 131), Masyarakat Pedesaan
dapat dibagi dalam masyarakat pedesaan pra-kapitalis dan masyarakat perdesaan kapitalis.
Dalam hal itu, konsep tersebut perlu pertama kali didefinisikan lebih lanjut pada konsep
kapitalis karena adanya satu konsep yang berkaitan dengan masyarakat pra-kapitalis ini.
Menurut Berger yang dikutip dari Damsar dan Indriyani (2016: 131, 165), pengertian
kapitalis dalam hal emitologi berasal dari kata “capital” yang akar katanya berasal dari bahasa
Latin, caput, yang berarti kepala dan artinya ini dipahami secara mendalam pada abad ke-12
dan ke-13 sebagai dana, persediaan barang, sejumlah uang dan bunga uang pinjaman.
Ditambah dengan pengertian konsep usaha kapitalis menurut Max Weber yang dikutip dari
Damsar dan Indriyani (2016: 131) yang merupakan suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan
pada suatu pasar dan dipacu untuk menghasilkan keuntungan atau laba. Dari kutipan
sebelumya itu dijelaskan bahwa kehidupan masyarakat ekonomi kapitalis secara mendalam
didasari oleh kebutuhan akan sumber daya dan material yang dibutuhkan dalam penunjangan
sebuah perekonomian, terutama dalam masyarakat pertanian dalam dinamika perubahan
agraris dengan alasan mendapat keuntungan atau membuat laba. Dalam hal ini, adanya
beberapa hal yang berbeda dengan kegiatan pada kehidupan masyarakat pra-kapitalis
dengan masyarakat kapitalis.
Dari kata pra-kapitalis, menurut KBBI 2016, “pra-“ merupakan arti dari kata sebelum
atau di depan. Dari kata ini, masyarakat pra-kapitalis pada saat itu belum mengenal konsep
dari kapitalis itu sendiri. Menurut Damsar dan Indriyani (2016: 132), sebelum tersentuh
dengan revolusi pertanian, masyarakat ekonomi pra-kapitalis meliputi masyarakat pemburu
dan peramu, holtikultura sederhana, dan holtikultura intensif. Dalam hal ini pula, masyarakat
seperti ini berkembang dengan sistem komunisme primitif yang menurut Karl Marx dikutip
dari Damsar dan Andriyani (2016: 132) adalah suatu masyarakat dimana orang memenuhi
kebutuhan subsistensinya dengan berburu dan meramu atau dalam bentuk pertanian
sederhana dimiliki secara bersama.
Ketika masyarakat pra-kapitalis tersentuh pada revolusi pertanian, pola tatanan
kehidupan masyarakat berubah dari yang awalnya berkelana dan berpindah-pindah
(nomaden) menjadi hidup untuk menetap, mengembangkan pola kehidupan menetap
dengan mengembangkan lahan untuk bercocok tanam atau bertani, mengembangkan
kelompoknya dalam membuat pemukiman hingga membentuk desa atau dusun, hingga
mengembangkan gaya hidup baru yang dikembangkan menjadi budaya khas pada suatu
kelompok yang menetap itu. Dari situ, dimulailah kehidupan masyarakat dari yang
sebelumnya merupakan masyarakat yang berpindah tempat (masyarakat nomaden) menjadi
masyarakat menetap yang disebut masyarakat agraris. Masyarakat inilah yang menjadikan
mereka sebagai kelompok masyarakat yang hidup dari sistem sosial ekonomi pertanian.
Menurut Hayami dan Kikuchi yang dikutip dari Syarif dan Zainuddin (2017: 43),
menyatakan bahwa beberapa faktor ekonomi termasuk didalamnya yang dimiliki oleh
masyarakat pedesaan seperti penyediaan dalam teknologi dan penyediaan sumber daya akan
mendorong terjadinya perubahan-perubahan kelembagaan dengan mengusahakan bentuk-
bentuk yang baru yang lebih menguntungkan untuk diciptakan. Dari kutipan yang dijelaskan
di atas, berbagai karakteristik dalam masyarakat yang berubah menjadi masyarakat sosial
ekonomi pertanian, seperti :
- Berkembang sistem kepemilikan yang dahulunya bersifat komunal berubah menjadi
kepemilikan oleh pemimpin dan sebagian berlanjut kepemilikan pribadi;
- Teknologi yang relatif berkembang dan relatif canggih seperti irigasi, alat tenun bukan mesin
dan peralatan kerja pertanian yang dikerjakan oleh ahlinya seperti bajak, cangkul, parang,
pedang, pisau, tobak dan sebagainya;
- Berkembangnya hasil produksi dalam segala bidang, terutama dalam bidang pertanian;
- Beragamnya hasil produksi yang ditawarkan dalam kegiatan jual-beli di pasar.
Dalam mempengaruhi karakteristik ekonomi dalam masyarakat pedesaan, menurut Syarif
dan Zainuddin (2017: 43), Sistem ekonomi pertanian di Pedesaan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu :
1. Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil di dalam kelompok masyarakat. Keluarga memiliki
hubungan yang intim dari satu anggota dengan anggotanya dan sebagai satuan yang
memberikan kepuasan emosional dan rangsangan perasaan para anggotanya, bahkan dengan
kelompok keluarga di sekitarnya. Dalam hal ini, keluarga memiliki peran penting dan turut
andil dalam menciptakan tatanan dan penggerak kehidupan masyarakat yang dinamis.
2. Tanah
Menurut Sanderson yang dikutip dari Damsar dan Indrayani (2016: 144), pada masa
masyarakat pra-kapitalis, kelompok keluarga memiliki peran andil sebagai kepemilikan lahan
dan alat produksi pada masyarakat holtikultura sederhana, sedangkan dalam masyarakat
berholtikultura intensif, pemimpin yang kuat merupakan pemilik yang mempu mengklaim
kepemilikan atas sebidang tanah yang sangat luas dan melakukan kontrol ketat atas sebidang
tanah tersebut.
Dalam masyarakat agraris, kepemilikan suatu lahan menggunakan pola kepemilikan
seigneural. Pola kepemilikan tanah ini didominasi oleh sekelompok tuan tanah atau aparat
pemerintah yang kuat yang berfungsi untuk kepentingan tuan tanah. Dalam hal ini, tuan tanah
memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap produsen utama (buruh tani) yang menanami
tanah dan memberikan beban berat kepada mereka dalam pengolahan tanah. (Damsar dan
Indriyani, 2016: 145)
3. Pasar
Kajian sosiologi membedakan antar pasar sebagai tempat pasar (market place) dengan pasar
(market). Tempat pasar (market place) merupakan bentuk fisik dimana barang dan jasa
dibawa untuk dijual dan pembeli bersedia membeli barang dan jasa tersebut. Menurut
Sanderson yang dikutip oleh Damsar dan Indriyani (2016: 136), Di dalam masyarakat pra-
kapitalis, tempat pasar adalah tempat fisik yang terdapat di sejumlah tempat yang ditentukan
di masyarakat. Tetapi, dalam kapitalisme modern atau dalam masyarakat kapitalis, tempat
pasar adalah “tersebar”, yakni tersebar luas di seluruh masyarakat.
Sedangkan pasar (Market) merupakan suatu institusi sosial, yaitu suatu struktur sosial yang
memberikan tatanan siap pakai bagi pemecah persoalan kebutuhan dasar kemanusiaan,
khususnya kebutuhan dasar ekonomi distribusi barang dan jasa. Menurut Thompson dan
lainnya yang dikutip dari Damsar dan Indriyani (2016: 137) Pasar mengatur kehidupan sosial,
termasuk ekonomi secara otomatis karena pencapaian kepentingan pribadi dan
kesejahteraan individu akan membawa hasil yang terbaik, tidak hanya mereka sebagai pribadi
tetapi juga kepada masyarakat sebagai keseluruhan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Struktur sosial masyarakat bervariasi, mulai dari yang sederhana sampai yang
kompleks, hal ini tergantung dari keadaan dan perkembangan masyarakat.
Masyarakat primitif atau terasing umumnya mempunyai struktur sosial yang
sederhana dan terutama ditentukan oleh corak sistem kekerabatannya. Pada
masyarakat yang sudah maju, struktur sosial umumnya sangat kompleks dan tidak
hanya bersumber pada sistem kekerabatannya, tetapi juga ditentukan oleh sistem
ekonomi, sistem pelapisan sosial dan sebagainya yang merupakan kombinasi.
2. Didalam masyarakat pedesaan terdapat adat istiadat yang berbeda pada setiap
daerah. Adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung dan menjadi norma
dalam masyarakat atau pola-pola perilaku tertentu dari warga masyarakat di suatu
daerah. Dalam adat istiadat terkandung serangkaian nilai, pandangan hidup, cita-cita
pengetahuan dan keyakinan serta aturan-aturan yang saling berkaitan sehingga
membentuk satu kesatuan yang bulat. Fungsinya sebagai pedoman tertinggi dalam
bersikap dan berperilaku bagi seluruh warga masyarakat.
3. Sebelum tersentuh dengan revolusi pertanian, masyarakat ekonomi pra-kapitalis
meliputi masyarakat pemburu dan peramu, holtikultura sederhana, dan holtikultura
intensif. Ketika masyarakat pra-kapitalis tersentuh pada revolusi pertanian, pola
tatanan kehidupan masyarakat berubah dari yang awalnya berkelana dan berpindah-
pindah (nomaden) menjadi hidup untuk menetap, mengembangkan pola kehidupan
menetap dengan mengembangkan lahan untuk bercocok tanam atau bertani,
mengembangkan kelompoknya dalam membuat pemukiman hingga membentuk desa
atau dusun.

Anda mungkin juga menyukai