Anda di halaman 1dari 3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Setyamidjaja (1993) karet termasuk dalam famili Euphorbiaceae yang sistematikanya adalah
sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Euphorbiales

Family : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

Spesies : Hevea brasiliensis Muell Arg.

Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) merupakan tanaman penghasil lateks yang menjadi
sumber bahan karet. H. brasiliensis merupakan spesies terpenting dalam genus Hevea, karena 99%
karet alam dunia berasal dari spesies ini (Williams, 1982; Dolhamus, 1962). Analisis kimia terhadap
lateks dari beberapa spesies menunjukkan bahwa senyawa penyusun emulsi lateks H. Brasiliensis
umumnya lebih baik dari lateks yang dihasilkan spesies lain, karena hanya sedikit mengandung
senyawa nonrubber (Dolhamus, 1962).

Langkah pertama kegiatan pembibitan karet adalah menyiapkan batang bawah yang berasal dari biji
tanaman karet. Penyiapan batang bawah ini meliputi kegiatan seleksi biji, pengecambahan dan
penyemaian. Memastikan daya kecambah biji bisa dilihat dari kesegaran, ukuran, daya lenting, posisi
saat direndam, dan warna belahannya (Didit dan Agus, 2005)

Ukuran biji bisa berpengaruh terhadap daya kecambah dan pertumbuhan selanjutnya. Hal ini telah
diuji dan dilaporkan tahun 1986 di Pusat Penelitian Tanaman Perkebunan Getas, Salatiga. Hasil yang
diperoleh : biji ukuran sedang menunjukkan pertumbuhan paling baik, sedangkan biji dengan ukuran
besar lebih baik dari biji ukuran kecil (Tim Penulis PS, 2011).

Dormansi pada benih dapat dipatahkan dengan beberapa perlakuan yaitu pemarutan atau penggoresan
(skarifikasi, scarifiaction), melemaskan kulit benih dari sifat kerasnya yaitu dengan cara benih di
rendam kedalam air atau benih ditempatkan dalam air yang mengalir, perusakan strophiole benih yang
menyumbat tempat masuknya air kedalam benih, stratifikasi benih dengan suhu rendah ataupun suhu
yang tinggi, perubahan suhu dan menggunakan zat kimia dalam perangsang perkecambahan benih
(Kartasapoetra, 1986).

Menurut Sadjad (1994), daya kecambah adalah kemampuan benih untuk berkecambah normal dalam
kondisi serba optimum, daya kecambah yang demikian itu mensimulasikan persentase benih yang
mampu tumbuh dan berproduksi normal dalam keadaan menguntungkan, dengan perkataan lain daya
berkecambah juga merupakan tolok ukur viabilitas. Viabilitas benih dapat didefenisikan sebagai daya
hidup benih ditunjukkan oleh fenomena pertumbuhannya, gejala metabolisme, kinerja kromosom atau
garis viabilitas. Lebih lanjut ia membagi viabilitas benih kedalaman viabilitas potensial (Vp) dan
vigor (Vg) (Sadjad, 1994). Sedangkan Soetopo (1995), menyatakan bahwa vibilitas benih yang
dicerminkan oleh dua informasi masing-masing daya kecambah dan kekuatan tumbuh dapat
ditunjukkan melalui gejala metabolisme benih dan gejala pertumbuhan, dan membandingkan unsur-
unsur tumbuh penting dari suatu periode tumbuh.

Vigor benih pada umumnya dapat didefenisikan sebagai suatu ukuran kemampuan potensial benih
untuk berkecambah normal dengan variasi keadaan yang tidak menguntungkan. Vigor benih dalam
hitungan viabilitas absolut merupakan indikasi viabilitas benih yang menunjukkan benih tumbuh kuat
di lapangan dalam kondisi yang tidak ideal (Byrd, 1983). Benih bervigor tinggi dicirikan oleh
berbagai karakteristik, yaitu berkecambah cepat dan merata, bebas dari penyakit, tahan simpan, kuat
dalam keadaan lapangan yang kurang menguntungkan efesien dalam memanfaatkan cadangan
makanan, laju tumbuh atau pertumbuhan berat kering tinggi dan tidak menunjukkan perbedaan di
lapangan dan di laboratarium (Heydecker, 1977).

Selanjutnya Mc Donald dan Copeland (1985), memberi batasan vigor benih sebagai keseluruhan sifat
yang menggambarkan potensi dari aktifitas dan performasi benih selama perkecambahan. Benih yang
menunjukkan performasi baik dinyatakan benih bervigor tinggi, sedangkan benih dengan performasi
yang kurang baik dikelompokkan dalam yang bervigor rendah. Vigor dan viabilitas potensial benih
tidak selalu dapat dibedakan, terutama pada lot-lot yang mengalami kemunduran cepat. Berdasarkan
keadaan Staunbauer-Sadjad, penurunan vigor biasanya lebih cepat dari penurunan viabilitas potensial
benih (Sadjad, 1994).

Perkecambahan adalah proses pengaktifan kembali aktivitas pertumbuhan embryonic


axis di dalam biji yang terhenti untuk kemudian membentuk bibit. Selama proses
pertumbuhan dan pemasakan biji, embryonix axis secara visual dan fisiologis, suatu biji
berkecambah ditandai terlihatnya radikula atau flumula yang menonjol keluar dari biji.
Perkecambahan merupakan serangkaian peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak benih dorman
sampai ke bibit yang sedang tumbuh tergantung pada viabilitas benih. Kondisi lingkungan
yang cocok pada beberapa tanaman tergantung pada usaha perlakuan. Biji akan berkecambah
setelah mengalami masa dorman yang disebabkan berbagai faktor internal, seperti embrio
masih berbentuk rudiment atau belum masak (dari segi fisiologis), kulit biji yang tahan atau
impermeable, atau adanya penghambat tumbuh (Hidayat, 1995). Dormansi digambarkan
sebagai pristiwa benih yang berkecambah walaupun faktor lingkungan mendukung untuk
terjadinya perkecambahan (Kuswanto,1996).
Dikemukakan pula oleh (Tjirosoepomo 1994), biji akan berkecambah jika mendapat
syarat-syarat yang diperlukan yaitu air, udara, cahaya dan panas. Jika syarat - syarat yang
diperlukan itu tidak dipenuhi biji tinggal biji, tumbuhan baru yang ada di dalamnya
(lembaga), berada dalam keadaan tidur (laten) dalam keadaan ini lembaga tetap hidup
kadang-kadang sampai bertahun-tahun tanpa kehilangan daya tumbuhnya artinya jika
kemudian memperolah syarat yang diperlukan maka biji dapat berkecambah.
DAFTAR PUSTAKA

Mc Donald, M. B. and L. O. Copeland. 1985. Principle of Seed Science and Technologi. Macmilla
Publish. Co. 321 p.

Sadjad, S., 1993. Dari Benih Kepada Benih. Grasindo, Jakarta

Sutopo, L. 1995. Teknologi Benih. Rajawali, Jakarta. 188 hlm.

Tim Penulis PS. 2011. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya. Jakarta.

Didit, H. S., Agus, A. 2005. Petunjuk Lengkap Budi Daya Karet. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Kartasapoetra. A.G 1986. Teknologi Benih Pengelolaan Benih dan Tuntunan Praktikum. Rineka Cipta.
Jakarta

Williams, C.N. 1982. Rubber (Hevea brasiliensis Muell. Arg.), the Agronomy of the Mayor Tropical
Crops. London: Leonand Hill Limited.

Dolhamus, L.G. 1962. Rubber. Botany, Production, and Utilization. London: Leonand Hill Limited.

Byrd, H.W. 1983. Pedoman Teknologi Benih (terjemahan). Pembimbing Nusa, Jakarta. 79 hlm.

Heydecker. W and P. C. Bear. 1977. Seed streatmeants for improved performance survey attemted
progmesis – Seed Sci and Technol: no. Vol (5) 353-425 p.

Setyamidjaja, D. 1993. Karet Budidaya dan Pengolahan. Kanisius, Yogyakarta.

Hidayat, E.B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. ITB Bandung, Bandung

Kuswanto, H.1996. Teknologi, Produksi, dan Stratifikasi benih.

Tjitrosoepomo, G. 1994. Morfologi Tumbuhan. Gajah Mada University Press.


Jogjakarta

Anda mungkin juga menyukai