Anda di halaman 1dari 13

Desa merupakan tempat yang cukup tenang untuk dijadikan tempat

berlibur atau beralih sejenak dari hiruk pikuk keramaian kota dan kepenatan

dalam bekerja. Lingkungan desa yang masih cukup kental akan adat istiadat

memiliki keunikan tersendiri yang membuat banyak orang tertarik ke desa.

Selain itu, udara di desa juga masih cukup bersih dan segar daripada di kota.

Banyak pula masyarakat kota yang menggantungkan produksi pertanian dari

desa karena memang di desa mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian

sebagai petani. Walaupun di desa biasanya infrastruktur, fasilitas, dan

sistem pemerintahannya tidak selengkap yang ada di kota, namun banyak

hal yang tidak dapat ditemukan di kota layaknya apa yang didapatkan dari

desa, misalnya semangat gotong royong masyarakatnya masih tinggi,

budaya dan adat istiadat yang masih kental, dan kerukunan serta solidaritas

masyarakat desa yang sangat tinggi.

Menurut Soetardjo, yang dikatakan dalam Wasistiono 2006:7, desa

yang ada di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Herman Warner

Muntinghe yang merupakan seorang warga Belanda anggota dari Rad Van

Indie pada masa kolonial Inggris, dia merupakan pembantu Gubernur

Jendral Inggris yang berkuasa pada tahun 1817 di Indonesia. Dalam

laporannya pada 14 Juli 1817 yang ditujukan kepada pemerintahannya,

disebutkan tentang adanya desa-desa di daerah pesisir pulau Jawa dan

kemudian ditemukan pula desa di luar kepulauan Jawa.[1] Mengenai sejarah

terbentuknya desa itu sendiri, tidak ditemukan sumber yang pasti yang

menjelaskan hal tersebut, namun mengacu pada prasasti Kawali di Jawa


Barat sekitar tahun 1350M, dan prasasti Walandit di daerah Tengger di Jawa

Timur pada tahun 1381 M, desa sebagai unit terendah dalam struktur

pemerintahan Indonesia telah ada sejak lama dan murni dibentuk oleh

rakyat Indonesia, bukan bentukan atau warisan Belanda. Ada pula yang

berpendapat bahwa terbentuknya desa itu diawali terlebih dahulu dengan

terbentuknya kelompok masyarakat dikarenakan sifat manusia sebagai

makhluk sosial, dorongan kodrat, atau sekeliling manusia, kepentingan yang

sama, dan adanya bahaya dari luar.

Walaupun sejarah terbentuknya desa tidak diketahui secara pasti,

namun sejarah perkembangan pemerintahan desa bisa kita pelajari. Sejarah

pemerintahan desa dapat dikelompokkan ke dalam empat periode, yaitu:

desa pada masa kerajaan, desa pada masa kolonial, desa pada pasca

kemerdekaan, desa pada masa orde baru, dan desa pasca orde baru. Pada

masa kerajaan, desa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu desa alami dan desa

perdikan. Sedangkan pada masa kolonial atau yang sering disebut dengan

Pemerintahan Hindia Belanda, desa atau pemerintahan desa diatur dalam

pasal 118 jo pasal 121 I.S. yaitu Undang-undang Dasar Hindia Belanda.

Dalam pasal ini, pada intinya menjelaskan bahwa penduduk negeri atau asli

dibiarkan menghadap langsung  kepada pimpinannya sendiri,sedangkan

untuk aturan yang lebih lengkap dan jelas diatur dalam aturan yang disebut

dengan IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten) LN 1938

No. 490. Aturan ini berlaku sejak 1 Januari 1939 LN 1938 No. 681.
Berdasarkan ketatanegaraan Hindia Belanda, sebagaimana yang

tersurat dalam Indische Staatsrwgwling, pemerintah Hindia Belanda

memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada

Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum "Pribumi" dengan sebutan

Inlandsche gementee yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja dan Desa

atau yang dipersamakan dengan desa. Kemudian untuk swapraja yang

merupakan bekas kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan, mereka

masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan

sendiri (self bestuur) berdasarkan hukum adatnya dengan pengawasan

penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-

hal tertentu, yang disebut dengan nama Landshcap. Sedangkan bagi desa-

desa atau yang disama ratakan dengan desa, yaitu mereka yang tergabung

dalam Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura, dan

Bali, mereka disebut dengan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R.

Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem

kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan

perumusan tentang sebutan Inlandsche Gemeente yaitu: suatu kesatuan

masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang

mempunyai hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri

berdasarkan hukum adat dan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda

untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah

dari susunan pemerintah kabupaten dan swapraja.


Ketika masa penjajahan Belanda, ada peraturan perundang-

undangan tentang desa, yang dinamakan dengan Inlandsche Gementee

Ordonantie (IGO), undang-undang ini berlaku untuk Jawa dan Madura dan

Inlandsche Gementee Ordonantie voor Buitengewesten untuk daerah-daerah

di luar Jawa dan Madura yang berlaku ketika tahun 1906.  Undang-undang

ini adalah lanjutan dari adanya pasal 71 REGERINGS REGLEMENT (RR)

yang dikeluarkan pada tahun 1854 sebagai bentuk pengakuan terhadap

adanya desa, demokrasi, dan otonomi desa, dan pada tahun ini, pemerintah

Kolonial Belanda juga mengeluarkan "Regeeringsreglement" yang

merupakan cikal bakal pengaturan tentag daerah dan desa. Pada tahun 1941,

Belanda mempertinggi status desa dengan mengeluarkan Desa Ordonantie.

Desa diberi keluasan untuk berkembang menurut potensi dan kondisinya

sendiri. Desa diberi wewenang untuk berkembang menurut potensi dan

kondisinya sendiri.

Sedangkan pada masa kolonial Jepang, pemerintahan desa

digunakan untuk sumber tenaga dan sumber logistik perang Jepang

melawan sekutu. Rakyat dimanfaatkan tenaganya secara paksa, dan kepala

desa dijadikan pengawas rakyat. Pada masa kolonial Jepang, hukum adat

tidak diganggu ataupun dihapuskan, selama itu tidak merugikan Jepang.

Selama penjajahan Jepang, I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku,

hanya penyebutan nama kepala desa diseragamkan menjadi Kuco, dan cara

pemilhan dan pemberhentiannya diatur oleh Osamu Seirei No.7 tahun 2604
(1944). Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital untuk

memenangkan "Perang Asia Timur Raya".

Kemudia desa pada pasca kemerdakaan, hanya terdapat satu

Undang-undang, yaitu UU No.19 tahun 1965 yang dikeluarkan pada masa

Soekarno yang berisi tentang pencabutan desa perdikan. Setelah itu pada

masa orde baru, dikeluarkan Surat Edaran Mendagri No.5/1/1969, yang

menyatakan bahwa desa dan daerah setingkat secara hirarkis langsung

dibawah camat dan dikeluarkan pula UU No. 5 tahun 1979 tentang

penyeragaman desa. Selanjutnya pada masa reformasi atau pasca orde baru,

terjadi perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintah yang membuat

dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa desa adalah

kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur kepentingan masyarakat

berdasarkan asal-usul dan diakui pemerintahan nasional dan berada di

daerah kabupaten.

Mengenai regulasi peraturan perundangan tentang desa, setau saya

setelah belajar tentang pemerintah desa, tidak banyak Undang-undang yang

khusus membahas tentang desa. Hanya ada empat Undang-undang yang

membahas yaitu UU No.19 tahun 1965, UU No.5 tahun 1979, UU No.22

tahun 1999 dan yang terbaru UU No. 6 tahun 2014. Selain itu, juga ada dua

Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang desa, yaitu PP No.76 tahun

2001 dan PP No.77 tahun 2005. Mengenai UU No.19 tahun 1965, UU ini

mngatur tentang desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat


terbentuknya daerah tingkat III di seluruh wilayah Indonesia. Terbentuknya

UU ini juga merupakan akibat dari dilakukannya dekrit presiden pada

tanggal 5 Juli 1959, sehingga segala peraturan perundangan tentang desa

yang masih mengandung sifat feodal harus diganti dengan UU ini.

Kemudian tentang UU No.5 tahun 1979, UU ini merupakan UU yang

mengganti UU No.19 tahun 1965 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan

kondisi ketatanegaraan yang ada di Indonesia. Setelah dibentuknya UU ini,

diharapkan mampu menyeragamkan kedudukan pemerintahan desa dengan

tetap mengindahkan keragaman kondisi desa dan ketentuan adat istiadat

yang masih berlaku.

Selanjutnya ada UU No.22 tahun 1999 yang mulai diberlakukan

pada era demokrasi reformasi. Dalam UU ini disebutkan bahwa jenis dan

tingkatan daerah yang berlaku yaitu daerah provinsi, kabupaten, dan kota.

Kemudian yang terbaru ada UU No.6 tahun 2014 yang ditandatangani pada

15 Januari 2014. Pembahasan yang ada dalam UU ini mengenai Asas

Pengaturan, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan

Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masayarakat Desa,

Peraturan Desa, Keuangan Desa, dan Aset Desa, Kedudukan dan Jenis

Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan

Usaha Milik Desa (Bumdesa), Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan

Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu,

UU Desa juga mengatur ketentuan khusus yang diberlakukan untuk desa

adat yang diatur dalam Bab XIII pada UU ini.


Sesuai dengan UU No.6 tahun 2014, desa memiliki beberapa

wewenang yang dituangkan dalam BAB IV. Misalnya seperti yang tertulis

dalam BAB  IV Pasal 18, kewenangan yang dimiliki desa diklasifikasikan

menjadi kewenangan di bagian penyelenggaraan pemerintahan desa,

pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan masyarakat desa, dan

pemberdayaan masyarakat desa yang didasarkan atas prakarsa masyarakat,

hak asal-usul, serta adat istiadat desa. Selanjutnya, pada pasal selanjutnya

(pasal 19) disebutkan lagi bahwa kewenangan desa meliputi: (a)

kewenangan berdasarkan hak asal-usul; (b) kewenangan lokal berskala desa;

(c) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota; dan terakhir (d) Kewenangan

lain yang ditugaskan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Keberadaan desa juga memiliki fungsi untuk Indonesia,

diantaranya yaitu: (1) desa sabagai hinterland, artinya adalah desa biasanya

akan lebih banyak memproduksi daripada mengkonsumsi; (2) desa sebagai

sumber tenaga, dikatakan sebagai sumber tenaga karena biasanya

masyarakat desa merantau untuk mencari pekerjaan di kota dan banyak

perusahaan yang mencari tenaga kerja dari pedesaan; (3) desa sebagai

bentuk pemerintahan, desa merupakan bentuk pemerintahan terkecil di

Indonesia; dan (4) desa merupakan mitra, karena tanpa disadari desa

merupakan awal dari terbentuknya kota, maka dari itu sebuah kota bisa
maju atau tidak bermula dari titik desa, oleh karena itu desa bisa disebut

sebagai mitra bagi pembangunan sebuah kota. Masyarakat desa bisa ditandai

dengan adanya ciri-ciri sebagai berikut: (a) sisi keagamaan  masyarakat desa

lebih tinggi daripada masyarakat kota, dan juga cenderung lebih rukun serta

mengenal sesama dengan baik; (b) memiliki kehidupan sosial yang sangat

tinggi; (c) pembagian kerjanya lebih sederhana; (d) pekerjaan

masyarakatnya homogen sehingga untuk mendapatkan pekerjaan lebih

susah; (e) interaksi yang terjadi lebih banyak karena faktor pribadi, bukan

kepentingan; dan (f) perubahan sosial dari masyarakat desa tidak terlalu

terlihat.

Desa juga memiliki beberapa jenis yang dapat diklasifikasikan

dalam tiga kelompok. Yaitu klasifikasi desa menurut aktivitasnya,

perkembangannya, dan menurut ikatannya. Menurut Aktivitasnya, desa

dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: (1) desa agraris yang berisikan masyarakat

yang bermata pencaharian utama sebagai petani atay pemilik dan pengelola

kebun; (2) desa industri, di desa ini masyarakatnya memilik pekerjaan

utama di bidang insdutri baik yang berukuran kecil atau besar. contohnya

seperti desa penghasil sandal cibaduyut di Bandung atau desa yang menjual

telur asin di Brebes; (3) desa nelayan, di desa ini masyarakat

menggantungkan hidupnya dari bekerja di laut, seperti menjadi nelayan,

peternak ikan atau tambak, dan mengolah hasil laut seperti ikan dan mutiara.

Menurut Perkembangannya, desa juga dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: (1)

desa swadaya, desa ini merupakan desa yang memiliki potensi khusus yang
dikelola dengan baik sehingga bisa membantu perekonomian warga di sana.

Desa tipe ini juga busa dikategorikan sebagai desa yang terpencil dan masih

sangat tradisional; (2) desa swakarya, desa swakarya merupakan desa

peralihan atau transisi antara desa swadaya ke desa swasembada, sehingga

kondisinya sudah lebih maju daripada desa tipe swadaya; (3) desa

swasembada, desa swasembada adalah desa yang masyarakatnya telah

mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan

potensinya sesuai dengan kegiatan pembangunan regional. Biasanya desa ini

berlokasi di ibukota dan kecamatan dengan penduduk yang lebih padat.

Kemudian yang terakhir adalah desa menurut ikatannya. Menurut

Ikatannya, desa juga dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu: (1) desa geneanalogis,

yaitu desa yang dipersatukan dengan penduduk yang memiliki hubungan

kekeluargaan atau hubungan darah; (2) desa teritorial, yaitu desa yang

dipersatukan oleh kesamaan kepentingan dan wilayah dengan batas-batas

tertentu; dan (3) desa campuran, yaitu desa yang dipersatukan baik dari

hubungan daerah atau kesamaan kepentingan.

Di desa juga memiliki potensi-potensi yang jika dikembangkan dan

dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat yang cukup besar untuk

Indonesia. Potensi desa diantaranya yaitu potensi fisik, potensi non fisik,

potensi desa menurut luas wilayah, dan potensi desa menurut tingkat

penduduknya. Potensi fisik yang dimiliki desa meliputi iklim dan cuaca,

flora dan fauna, tanah, dan juga air. Untuk potensi non fisik yaitu SDM

Desa, lembaga-lembaga sosial desa, dan aparatur desa. Kemudian untuk


potensi desa menurut luas wilayah dibagai menjadi desa terkecil dengan

luas wilayah kurang dari 2km, desa kecil dengan luas wilayah antara 2km -

4km, desa sedang dengan luas wilayah antara 4km-6km, desa besar dengan

luas wilayah 6km - 8km, dan desa terbesar dengan luas wilayah 8km -

10km. Kemudian terakhir pengelompokan desa menurut tingkat

penduduknya. Menurut tingkat penduduknya desa dikelompokkan menjadi

desa terkecil dengan kepadatan penduduk kurang dari 100 jiwa/km, desa

kecil dengan kepadatan penduduk antara 100-500 jiwa/km, desa sedang

dengan kepadatan penduduk antara 500-1.500 jiwa/ km, desa besar dengan

kepadatan penduduk antara 1500-3000 jiwa/ km, dan desa terbesar dengan

kepadatan penduduk antara 3000-4500 jiwa/ km.

Antara desa dan kota memiliki beberapa perbedaan, diantaranya

yaitu pertama, dari segi kepadatan penduduk, penduduk kota lebih banyak

daripada di desa. Hal ini disebabkan karena biasanya penduduk desa pergi

ke kota untuk mencari pekerjaan di sana. Kedua,  perbedaan lingkungan

hidup di desa bisanya masih dekat dengan lingkungan alam asli atau alam

bebas, sedangkan di kota lingkungannya lebih banyak didominasi oleh

gedung-gedung tinggi. Ketiga, sistem perekonomiannya pun berbeda. Di

desa, sektor perekonomian primer seperti pertanian, perkebunan, kehutanan,

perikanan, hingga peternakan lebih berkembang, sementara di kota sektor

perekonomian sekunder lah yang lebih berkembang. Keempat, stratifikasi

sosial. Stratifikasi sosial di kota terlihat lebih mencolok daripada di desa.

Kelima, corak kehidupan. Corak kehidupan di desa lebih homogen


sedangkan di kota cenderung heterogen. Keenam, pola interaksi. Di kota,

biasanya masyarakatnya tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan

masyarakat sekitarnya atau bahkan dengan tetangganya sendiri, sedangkan

di desa cenderung membangun atau memiliki hubungan kekeluargaan

dengan masyarakat sekitar ataupun tetangganya. Terakhir, perbedaan yang

ketujuh adalah dari segi solidaritas sosial yang dipengaruhi oleh pola

interaksi yang berlangsung di desa atau kota. Di kota, kecenderungan

mendapatkan konflik lebih tinggi karena masyarakatnya bersifat individualis

dan mementingkan kepentingan pribadi.

Walaupun desa memiliki hak untuk mengatur daerahnya sendiri,

bukan berarti antara desa dengan kabupaten/kota dan antara desa dengan

camat/kecamatan tidak saling berhubungan. Dalam pola hubungan antara

pemerintah daerah, kabupaten/kota melakukan penyelenggaraan penataan

desa, memfasilitasi kerja sama antar desa dalam satu daerah kabupaten/kota,

membina dan mengawasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa

serta pemberdayaan masyarakat desa dan lembaga kemasyarakatan yang

bergerak di bidang pemberdayaan desa serta lembaga adat tingkat desa.

Sedangkan hubungan antara desa dengan camat/kecamatan,

camat/kecamatan melakukan fasilitasi, penetapan, pembinaan, pengawasan,

rekomendasi, evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa dan

mengkoordinasikan pemberdayaan masyarakat desa.


Desa sebagai bentuk pemerintahan terkecil di Indonesia jika

dikelola dengan baik, baik dari segi pemerintahan, lingkungan, atau sumber

daya manusianya, berpotensi mendatangkan keuntungan untuk desa itu

sendiri, masyarakatnya, bahkan untuk pemerintah pusat. Misalnya, di desa

biasanya banyak tempat-tempat yang berpotensi untuk daerah wisata, seperti

perkebunan teh, gunung-gunung, pantai, dsb. Yang jika dikelola dengan

baik, akan mendatangkan banyak pengunjung yang kemudian menghasilkan

pendapatan daerah yang sangat bermanfaaat. Di desa pula, banyak hal yang

tidak dapat kita temukan ketika kita telah meninggalkan desa dan tinggal di

kota, hal tersebut seperti udaranya yang sejuk, solidaritas masyarakatnya

yang masih tinggi, dan adat istiadat yang masih kental.

DAFTAR REFERENSI :

[1] Akbar Prabawa, “Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Pembangunan di

Desa Loa Lepu Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara”.

e-journal ilmu pemerintahan. Vol.3 No.1, 2015, 229.

[2] Awn Cybeer, “Sejarah Terbentuknya Desa”, diakses dari

https://www.scribd.com/doc/60566439/Sejarah-Terbentuknya-Desa

[3] Rendyta Anggraini, “Sistem Pemerintahan Desa dan Kelurahan

‘Perkembangan dan Pertumbuhan Desa’‘’ (Makalah merupakan tugas dari


mahasiswa Instutur Pemerintahan Dalam Negeri Kampus Regional Nusa

Tenggara Barat Tahun Ajaran 2014-2015), hlm.2.

[4] Ranti Fatya Utami, “11 Undang-undang yang Mengatur Pemerintahan Daerah

di Indonesia”, diakses melalui web https://guruppkn.com/undang-undang-yang-

mengatur-pemerintahan-daerah

[5] Utroq Trieha, “Inilah Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014”, diakses

melalui web diakses melalui web http://ensiklo.com/2015/02/18/inilah-undang-

undang-desa-nomor-6-tahun-2014/

Anda mungkin juga menyukai