Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“SEJARAH PERKEMBANGAN DESA DI


INDONESIA”

DISUSUN OLEH :
Nama : Lesiana Audia Putri

NPP : 29.0599

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI


Jalan Gajah Mada No.1, Leneng, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara
Barat
Email/Website : humas_protokol@ipdn.ac.id / ipdn.ac.id
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan
salam juga dicurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW beserta
para sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dan menjujung
agama Allah. Dengan kebaikan beliau, telah menghantarkan kita dari zaman
kebodohan sampai dengan zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Dalam rangka melengkapi tugas makalah, penulis mengangkat judul “Sejarah


Perkembangan Desa di Indonesia”.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, baik dari cara penulisan maupun isinya.

Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik serta saran yang membangun yang
dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalam

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………...
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………………
1.2. Rumusan Masalah……………………………………………………………...
1.3. Tujuan Penulisan……………………………………………………………….

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Gambaran Umum tentang Desa………………………………………………..
2.2. Pengertian Desa………………………………………………………………...

BAB III PEMBAHASAN


3.1. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada Zaman Penjajahan Belanda……....
3.2. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada Zaman Penjajahan Jepang………
3.3. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada Masa Orde Lama…..……………..
3.4. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada Masa Orde Baru….……………….
3.5. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada Masa Reformasi……………….….

BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan…………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas


wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Indonesia (Pasal 1 ayat 12
UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Penduduk desa pada
umumnya saling mengenal, hidup bergotong-royong, memiliki adat istiadat
yang sama, dan mempunyai tata cara sendiri dalam mengatur kehidupan
kemasyarakatannya. Di samping itu umumnya wilayah desa terdiri atas daerah
pertanian, sehingga sebagian besar mata pencahariannya ialah petani.

Desa berada di bawah pemerintahan kabupaten, dalam pengelolannya


menggunakan konsep desentralisasi. Desa merupakan kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI. Secara kelembagaan,
perwujudan kehidupan demokrasi di desa melalui pembentukan BPD. Badan
ini berfungsi sebagai badan pembuat kebijakan dan pengawasan pelaksanaan
kebijakan desa sebagaimana diatur dalam UU No. 32 tahun 20014. Juga
berfungsi sebagai lembaga legislative, pengawasan, dan penampung serta
penyalur aspirasu masyarakat (Pasal 23 UU No. 32 Tahun 2004).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka yang akan dibahas adalah sejarah
perkembangan desa di Indonesia.

1. Bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa pada zaman penjajahan


Belanda?
2. Bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa pada zaman penjajahan
Jepang?
3. Bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa pada masa orde lama?
4. Bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa pada masa orde baru?
5. Bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa pada masa reformasi?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui penyelenggaran pemerintahan desa pada zaman


penjajahan Belanda
2. Untuk mengetahui penyelenggaran pemerintahan desa pada zaman
penjajahan Jepang
3. Untuk mengetahui penyelenggaran pemerintahan desa pada masa orde
lama
4. Untuk mengetahui penyelenggaran pemerintahan desa pada masa orde
baru
5. Untuk mengetahui penyelenggaran pemerintahan desa pada reformasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Tentang Desa

Sejak jatuhnya rezim orde baru dan beralih ke reformasi azas penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia sedikit demi sedikit mengarah kea rah desentralisasi.
Walaupun sebenarnya pada masa orde baru penyelenggaraan pemerintahannya
adalah desentralisasi namun dalam prakteknya menganut sentralisasi karena
semua urusan tergantung pada pusat.

Dengan diselenggarakannya azas desentralisasi maka hak otonom pun diberikan


kepada daerah untuk dapat mengurus rumah tangganya sendiri. Termasuk
didalamnya desa yang juga mempunyai hak yang sama dengan daerah tingkat I
dan II yaitu hak otonom. Otonomi desa dimaksudkan agar desa bisa mengatur
rumah tangganya berdasarkan hak asal-usulnya dan sesuai dengan daerahnya
untuk memajukan desa tersebut.

Istilah desa pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warner Muntinghe tahun
1817, seorang Belanda anggota dari Raad Van Indie pada masa penjajahan
kolonial Inggris dan merupakan pembantu Gubernur Jenderal Inggris yang
berkuasa pada tahun 1811.

2.2 Pengertian Desa

Desa berasal dari istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti tanah tumpah darah.
Menurut definisi universal, desa adalah kumpulan beberapa pemukiman di daerah
pedesaan atau rural area. Istilah desa di Indonesia merujuk kepada pembagian
wilayah adminsitratif yang berada di bawah kecamatan dan dipimpin oleh seorang
Kepala Desa. Desa adalah suatu kumpulan dari beberapa pemukiman kecil yang
biasa disebut Kampung (Jawa Barat), Dusun (Yogyakarta), atau Banjar (Bali) dan
Jorong (Sumatera Barat). Sebutan lain untuk Kepala Desa adalah Kepala
Kampung, Petinggi (Kalimantan Timur), Klebun (Madura), Pembakal
(Kalimantan Selatan), Kuwu (Cirebon), Hukum Tuan (Sulawesi Utara).

Istilah desa berkembang dengan nama lain sejak berlakunya otonomi daerah
seperti di Sumatera Barat dengan sebutan Nagari, Gampong dari Aceh, dan
dikenal dengan sebutan kampong di Papua, Kutai Barat. Semua instansi lain di
desa juga bisa mengalami perbedaan istilah tergantung kepada karakteristik adat
istiadat dari desa tersebut. Perbedaan istilah tersebut merupakan salah satu
pengakuan dan penghormatan dari pemerintah terhadap asal usul alat setempat
yang berlaku. Walaupun begitu, dasar hokum desa tetap sama yakni didasarkan
pada adat, kebiasaan dan hukum adat.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Penyelenggaran Pemerintahan Desa pada Zaman Penjajahan Belanda

Desa sebagai unit paling rendah tingkatannya dalam struktur pemerintahan


Indonesia telah ada sejak dulu dan bukan terbentuk oleh Belanda. Awal sejarah
terbentuknya desa diawali dengan terbentuknya kelompok masyarakat akibat sifat
manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan kodrat atau kepentingan
yang sama dari bahaya luar. Kapan awal pembentukan desa hingga sekarang sulit
diketahui secara pasti. Tetapi ada bukti dalam prasasti Kawali di Jawa Barat pada
akhir tahun 1350 M serta ditemukannya prasasti Walandit di Tengger, Jawa Timur
pada 1381 M. Desa sudah ada jauh sebelum penjajahan Belanda di Indonesia
dimana penyelenggaraannya didasarkan pada hukum adat.
Setelah Belanda menjajah Indonesia dan membentuk undang – undang
pemerintahan di Hindia Belanda (Regeling Reglemen), maka desa juga diberi
kedudukan hukum. Untuk menjabarkan maksud dari peraturan perundangan
tersebut, Belanda kemudian mengeluarkan Indlandsche Gemeente Ordonnantie
(IGO) yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Pada tahun 1924 Regeling Reglemen
diubah dengan Indische Staatsregeling tetapi dalam prinsipnya tidak ada
perubahan berarti, maka IGO masih berlaku. Untuk daerah di luar Jawa pada masa
penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda mengeluarkan peraturan Indlandsche
Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) tahun 1938 no.490.

Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial Hindia Belanda menghormati


dan mengakui serta “mempersilahkan” Adat dan Hukum Adat berlaku dan dapat
digunakan sebagai landasan hukum bagi berbagai kegiatan Hukum “Golongan
Pribumi” dan sebagai hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan politik dan sistem kolonialisme.

Peraturan perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman pokok


bagi desa-desa antara lain adalah :
a. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2 september
1854, Stb 1854.2.)
b. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama
I.G.O (Stb.1906-83) dengan segala perubahannya.
Aturan ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 71 Regeerings Reglement (RR)
yang dikeluarkan tahun 1854 yang merupakan bentuk pengakuan terhadap adanya
desa, demokrasi, dan otonomi desa.
c. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama
I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681) dengan segala perubahannya.
d. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der
Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala
perubahannya.
e. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en
Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
f. Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia
yang diperbaharui, disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).

Pada tahun 1854, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan ‘’Regeerings


Reglement’’yang merupakan cikal bakal pengeturan tentang daerah dan desa.
Dalam pasal 71 (pasal 128.I.S.) yang menegaskan tentang kedudukan desa, yakni:
1. Bahwa desa yang dalam peraturan itu disebut “Inlandsche Gemeenten” atas
pengesahan kepala daerah (residen, berhak untuk memilih kepalanya dan
pemerintah desanya sendiri .
2. Kepala desa itu diserahakan hak untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan
oleh gubernur jenderal atau dari kepala daerah (residen). Gubernur jenderal
menjaga hak tersebut terhadap segala pelanggaran.

Dalam ordonansi ini juga ditentukan keadaan dimana kepala desa dan anggota
pemerintah desa diangkat oleh penguasa yang ditujuk untuk itu. Kepala desa
bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan
memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal,
pemerintah wilayah dan residen atau pemrintah otonom yang ditujuk denga
ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi diatur wewenang dari Desa Bumiputera
untuk:
Memungut pajak dibawah pengawasan tertentu.

· Di dalam batas-batas tertentu menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas


aturan yang diadakan oleh Desa.
Ada 3 hak desa yang diperhatikan dalam pasal 71 tersebut, antara lain:
1. Desa berhak memilih sendiri Kepala Desa;
2. Desa berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
3. Desa yang terletak di kota (kota praja) di hapus.

Berdasarkan kepada ketata negaraan Hindia Belanda, sebagaimana tersurat


dalam Indische Staatsregeling, maka pemerintah Kolonial Hindia Belanda
memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-
Kesatuan Masyarakat Hukum “Pribumi” dengan sebutan Inlandsche
gemeente yang terdiri dari dua bentuk, yaitu swapraja dan desa atau yang
dipersamakan dengan desa.
Bagi swapraja-swapraja yaitu bekas-bekas kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan
tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan
sendiri (self bestuur) berdasarkan hukum adatnya dengan pengawasan penguasa-
penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu,
disebut dengan nama Landschap. Selanjutnya bagi desa-desa atau yang
dipersamakan dengan desa (Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa,
Madura dan Bali) mendapat sebutan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R.

Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem


kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan sekedar
perumusan tentang sebutan Inladsche Gemeente sebagai berikut: “Suatu kesatuan
masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki
hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada
hukum adat dan peratuaran perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal
tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan
pemerintah Kabupaten dan Swapraja”. Pengertian tentang Inlandsche
Gemeente tersebut di atas tidak lain wujudnya adalah desa-desa, tidak secara
tegas dan terperinci dicantumkan dalam I.G.O dan I.G.O.B. uraian pengertian
tersebut disampaikan antara lain dalam rangkaian penyusunan I.G.O di Volksraad
tahun 1906.

3.2 Penyelenggaran Pemerintahan Desa pada Zaman Penjajahan Jepang

Masa penjajahan Jepang di Indonesia yang singkat tidak membawa banyak


perubahan dalam struktur dan sistem pemerintahan Indonesia termasuk untuk
struktur dalam sejarah terbentuknya desa. Secara umum pemerintahan Jepang
secara umum menghapuskan demokrasi dalam pemerintahan daerah. Pada
prinsipnya IGO serta peraturan lainnya tetap berlaku dan tidak ada perubahan,
sehingga desa tetap ada dan tetap berjalan sesuai peraturan yang ada sebelumnya.
Hanya ada sedikit perubahan pada Osamo Seirei 1942 yang mengganti beberapa
sebutan kepala daerah dengan bahasa Jepang seperti Syuco, Kenco, Si-Co,
Tokubetusi, Tokubetu Sico, Gunco, Sonco dan Kuco, juga ada Osamu Seirei 7
tahun 1944 yang sedikit merubah tata cara pemilihan kepala desa. Ketahui juga
mengenai perkembangan nasionalisme di Indonesia dan latar belakang kerusuhan
Mei 1998.
Selama Jepang menjajah 3,5 tahun I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus
berlaku. Satu-satunya pengaturan mengenai desa diatur dalam Osamu Seirei No.7
tahun 1994. Namun, dalam osamu seirei tidak hanya mengatur tentang desa tetapi
juga pemerintah diatasnya. Dengan demikian nama desa juga berubah menjadi
“Ku”. Dari ketentuan Osamu seirei bahwa kepala desa (kucoo) diangkat dengan
jalan pemilihan oleh guncoo. Gunco adalah selaku dewan yang berhak menetukan
tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan kucoo. Masa jabatan
kucoo adalah 4 (empat) tahun dan kocoo dapat dipecat oleh Syucookan.
Pemerintah desa pada masa penjajahan Jepang terdiri dari 9 (Sembilan) pejabat
dengan rincian, 1(satu) lurah, 1 (satu) carik, 5 (lima) mandor, 1 (polisi desa) dan
seorang amir yang mengerjakan urusan agama.

Dalam Suhartono, desa pada masa penjajahan Jepang ditempatkan diatas aza
(kampung,dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada masa pendudukan
Jepang ini otonomi desa dibatasi bahkan desa dibawah pengaturan dan
pengendalian yang sangat ketat. Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian
yang cukup vital bagi strategi memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh
karenanya Desa-desa dijadikan basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa
semakin bertambah banyak dan bebannya semakin bertambah berat. Desa-desa
harus menyediakan pangan dan tenaga manusia yang disebut romusya untuk
keperluan pertahanan militer Jepang.

Dengan demikian bagi Jepang pengertian Ku (Desa) adalah Suatu Kesatuan


Masyarakat berdasarkan adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah
Hindia Belanda serta pemerintah Militer Jepang, yang bertempat tinggal dalam
suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya
sendiri, merupakan kesatuan ketata negaraan terkecil dalam daerah Syu, yang
kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari
sistem pertahanan militer.

3.3 Penyelenggaran Pemerintahan Desa pada Masa Orde Lama

Pada awal-awal Indonesia merdeka, untuk pengaturan desa Indonesia masih


mengacu kepada I.G.O . dan I.G.O.B. karena belum stabilnya situasi politik dan
keamanan Indonesia. Barulah pada atahun-tahun setelah pemulihan kedaulatan,
mulai banyak terlihat berbagai kegiatan untuk menyiapkan Undang-Undangyang
mengatur pemerintahan Desa sebagai pengganti I.G.O dan I.G.O.B. pun
mengalami hambatan yang tidak kecil. Akibatnya maka hal-hal yang sudah tidak
sesuai dengan perkembangan zaman yang terdapat dalam IGO dan IGOB diatasi
oleh berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.

Dengan sendirinya pengertian tentang Desa atau yang semacam dengan Desa
masih tetap seperti pada masa dahulu, dengan sedikit penambahan di sana-sini.
Barulah kemudian setelah keluar Undang-Undang Desapraja (sebagai pengganti
IGO dan IGOB) pada tahun 1965, didapatlah pengertian resmi tentanf desa
berdasarkan undang-undang Republik Indonesia. Pada pasal 1 Undang-Undang
Desapraja (No. 19 Tahun 1965) dijelaskan apa yang dimaksud dengan Desapraja
yaitu:
Desapraja adalah Kesatuan Masyarakat Hukum yang tertentu batas-batas
daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan
mempunyai harta benda sendiri. Jadi Desapraja pada undang-undang tersebut di
atas itu hanyalah nama baru bagi Desa yang sudah ada sejak berabad-abad yang
lampau, yang memiliki pengertian sama seperti di atas.

Undang-Undang Desapraja tidak berumur lama,sebab ketika Orde Baru lahir,


undang-undang yang jiwanya dan sistem pengaturannya akan dapat membawa ke
arah ketidakstabilan politik di Desa-desa, dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-
Undang No. 6 Tahun 1969.

3.4 Penyelenggaran Pemerintahan Desa pada Masa Orde Baru

Pada masa orde baru peraturan mengenai desa mengalami perubahan lagi yang
ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.
Berbeda dengan pengaturan berdasarkan IGO dan UU No. 16 Tahun 1965,
menurut UU No. 5 Tahun 1979, pengaturan yang tidak menyeragamkan
pemerintahan desa kadang-kadang merupakan hambatan untuk melaksanakan
pembinaan dan pengendalian yang intensif guna meningkatkan taraf hidup
masyarakat.

Oleh karena itulah secara tegas dinyatakan di dalam UU ini bahwa kebijakan
mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan
desa denagn corak nasional. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa
adalah Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat, termasuk di dalamnya esatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah


merupakan hak otonomi, sehinggadapat dikatakan bahwa dengan UU No. 5 Tahun
1979 administrasi dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal-usul. Desa
diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam dengan hak otonominya yaitu
hak untuk mengatur diri sendiri ditiadakan. Desa hanya sebagai satuan
administratif dalam tatanan pemerintahan.

Secara struktural desa ditempatkan sebagai organisasi pemerintahan di bawah


camat, sehingga menunjukkan bahwa hubungan antar desa dengan supra desa
bersifat hirarkis sampai ke tingkat pusat. Hal ini dikarenakan posisi camat sebagai
kepala wilayah yang menjalankan asas dekonsentrasi atau merupakan unsur
pemerintah pusat yang ada di daerah. Karena pola hubungan yang bersifat hirarkis
mak seluruh peraturan perundang-undangan yang mengetur tentang desa dibuat
oleh pemerintah pusat dan diberlakukan secara nasional.

3.5 Penyelenggaran Pemerintahan Desa pada Masa Reformasi

Setelah terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998, pengaturan mengenai desa
mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini secara nyata mengakui otonomi desa. Otonomi
yang dimiliki oleh desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah berdasarkan asal-
usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari
Pemerintah. Sehingga yang disebut Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya
disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan
Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Dengan demikian, otonomi yang
dimiliki desa adalah Otonomi Asli, yaitu otonomi yang berdasarkan asal-usul dan
adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan timbul berbagai
keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan, maupun bentuk-
bentukan geografisnya. Tegasnya, terdapat keadaan-keadaan khusus yang berbeda
satu dengan yang lainnya. Dari sinilah sebenarnya prinsip-prinsip "Kebhinekaan"
itu ada dan berkembang secara nyata dalam masyarakat. Sehingga secara riil hak-
hak, asal-usul, dan istiadat dihormati sebagai modal pembangunan desa.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari hasil pemaparan di atas dapat di simpulkan yaitu:


1. Pemerintahan Desa Adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dari kelima era, memang pada era reformasilah desa diberi wewenang
yang lebih luas untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Hal ini
juga seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju di
setiap eranya.
3. Dengan munculnya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa pada masa
ini lebih memiliki karakter dan kekuatan hukum untuk menjalankan
urusan rumah tangganya sendiri, untuk mengurus kekayaan alam yang ada
di desanya. Begitu pula dengan desa adat bisa memberlakukan adaatnya
namun harus sesuai dengan prinsip dan tidak mengganggu kedaulatan
NKRI. Sehingga secara tidak langsung, negara masi membatasi eksistensi
hukum adat yang ada dalam desa adat. Namun, desa atau desa adat adalah
merupakan bagian dari NKRI hingga memang perlu untuk taat dan patuh
pada hukum negara.
DAFTAR PUSTAKA

http://agunkzz-thea.blogspot.com/2009/02/pengertian-pemerintahan-desa.html
(Diakses pada 27 September 2019)

https://akbarpbryan.wordpress.com/2015/01/07/pengertian-pemerintahan-desa-
dan-sejarah-perkembangan-desa/ (Diakses pada 27 September 2019)

http://id.wikipedia.ord/wiki/desa (Diakses pada 27 September 2019)

https://sejarahlengkap.com/lembaga-pemerintah/sejarah-terbentuknya-desa

Anda mungkin juga menyukai