DISUSUN OLEH :
Nama : Lesiana Audia Putri
NPP : 29.0599
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan
salam juga dicurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW beserta
para sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dan menjujung
agama Allah. Dengan kebaikan beliau, telah menghantarkan kita dari zaman
kebodohan sampai dengan zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, baik dari cara penulisan maupun isinya.
Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik serta saran yang membangun yang
dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………...
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………………
1.2. Rumusan Masalah……………………………………………………………...
1.3. Tujuan Penulisan……………………………………………………………….
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan…………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang akan dibahas adalah sejarah
perkembangan desa di Indonesia.
Sejak jatuhnya rezim orde baru dan beralih ke reformasi azas penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia sedikit demi sedikit mengarah kea rah desentralisasi.
Walaupun sebenarnya pada masa orde baru penyelenggaraan pemerintahannya
adalah desentralisasi namun dalam prakteknya menganut sentralisasi karena
semua urusan tergantung pada pusat.
Istilah desa pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warner Muntinghe tahun
1817, seorang Belanda anggota dari Raad Van Indie pada masa penjajahan
kolonial Inggris dan merupakan pembantu Gubernur Jenderal Inggris yang
berkuasa pada tahun 1811.
Desa berasal dari istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti tanah tumpah darah.
Menurut definisi universal, desa adalah kumpulan beberapa pemukiman di daerah
pedesaan atau rural area. Istilah desa di Indonesia merujuk kepada pembagian
wilayah adminsitratif yang berada di bawah kecamatan dan dipimpin oleh seorang
Kepala Desa. Desa adalah suatu kumpulan dari beberapa pemukiman kecil yang
biasa disebut Kampung (Jawa Barat), Dusun (Yogyakarta), atau Banjar (Bali) dan
Jorong (Sumatera Barat). Sebutan lain untuk Kepala Desa adalah Kepala
Kampung, Petinggi (Kalimantan Timur), Klebun (Madura), Pembakal
(Kalimantan Selatan), Kuwu (Cirebon), Hukum Tuan (Sulawesi Utara).
Istilah desa berkembang dengan nama lain sejak berlakunya otonomi daerah
seperti di Sumatera Barat dengan sebutan Nagari, Gampong dari Aceh, dan
dikenal dengan sebutan kampong di Papua, Kutai Barat. Semua instansi lain di
desa juga bisa mengalami perbedaan istilah tergantung kepada karakteristik adat
istiadat dari desa tersebut. Perbedaan istilah tersebut merupakan salah satu
pengakuan dan penghormatan dari pemerintah terhadap asal usul alat setempat
yang berlaku. Walaupun begitu, dasar hokum desa tetap sama yakni didasarkan
pada adat, kebiasaan dan hukum adat.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam ordonansi ini juga ditentukan keadaan dimana kepala desa dan anggota
pemerintah desa diangkat oleh penguasa yang ditujuk untuk itu. Kepala desa
bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan
memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal,
pemerintah wilayah dan residen atau pemrintah otonom yang ditujuk denga
ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi diatur wewenang dari Desa Bumiputera
untuk:
Memungut pajak dibawah pengawasan tertentu.
Dalam Suhartono, desa pada masa penjajahan Jepang ditempatkan diatas aza
(kampung,dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada masa pendudukan
Jepang ini otonomi desa dibatasi bahkan desa dibawah pengaturan dan
pengendalian yang sangat ketat. Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian
yang cukup vital bagi strategi memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh
karenanya Desa-desa dijadikan basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa
semakin bertambah banyak dan bebannya semakin bertambah berat. Desa-desa
harus menyediakan pangan dan tenaga manusia yang disebut romusya untuk
keperluan pertahanan militer Jepang.
Dengan sendirinya pengertian tentang Desa atau yang semacam dengan Desa
masih tetap seperti pada masa dahulu, dengan sedikit penambahan di sana-sini.
Barulah kemudian setelah keluar Undang-Undang Desapraja (sebagai pengganti
IGO dan IGOB) pada tahun 1965, didapatlah pengertian resmi tentanf desa
berdasarkan undang-undang Republik Indonesia. Pada pasal 1 Undang-Undang
Desapraja (No. 19 Tahun 1965) dijelaskan apa yang dimaksud dengan Desapraja
yaitu:
Desapraja adalah Kesatuan Masyarakat Hukum yang tertentu batas-batas
daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan
mempunyai harta benda sendiri. Jadi Desapraja pada undang-undang tersebut di
atas itu hanyalah nama baru bagi Desa yang sudah ada sejak berabad-abad yang
lampau, yang memiliki pengertian sama seperti di atas.
Pada masa orde baru peraturan mengenai desa mengalami perubahan lagi yang
ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.
Berbeda dengan pengaturan berdasarkan IGO dan UU No. 16 Tahun 1965,
menurut UU No. 5 Tahun 1979, pengaturan yang tidak menyeragamkan
pemerintahan desa kadang-kadang merupakan hambatan untuk melaksanakan
pembinaan dan pengendalian yang intensif guna meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
Oleh karena itulah secara tegas dinyatakan di dalam UU ini bahwa kebijakan
mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan
desa denagn corak nasional. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa
adalah Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat, termasuk di dalamnya esatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998, pengaturan mengenai desa
mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini secara nyata mengakui otonomi desa. Otonomi
yang dimiliki oleh desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah berdasarkan asal-
usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari
Pemerintah. Sehingga yang disebut Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya
disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan
Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Dengan demikian, otonomi yang
dimiliki desa adalah Otonomi Asli, yaitu otonomi yang berdasarkan asal-usul dan
adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan timbul berbagai
keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan, maupun bentuk-
bentukan geografisnya. Tegasnya, terdapat keadaan-keadaan khusus yang berbeda
satu dengan yang lainnya. Dari sinilah sebenarnya prinsip-prinsip "Kebhinekaan"
itu ada dan berkembang secara nyata dalam masyarakat. Sehingga secara riil hak-
hak, asal-usul, dan istiadat dihormati sebagai modal pembangunan desa.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
http://agunkzz-thea.blogspot.com/2009/02/pengertian-pemerintahan-desa.html
(Diakses pada 27 September 2019)
https://akbarpbryan.wordpress.com/2015/01/07/pengertian-pemerintahan-desa-
dan-sejarah-perkembangan-desa/ (Diakses pada 27 September 2019)
https://sejarahlengkap.com/lembaga-pemerintah/sejarah-terbentuknya-desa