Anda di halaman 1dari 6

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA


STKIP PGRI SUMENEP
Jalan Trunojoyo, Desa Gedungan, Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep, Kode Pos 69451
Telepon (0328) 664094 – 671732, Faksimile 664094, Website: www.stkippgrisumenep.ac.id

HARI / TANGGAL : Kamis, 30 Maret 2023


WAKTU : 07.00 – 08.40 WIB
MATA KULIAH : Hukum Adat
KELAS :A
SEMESTER / SKS : 4 (Empat) / 2 (Dua)
DOSEN PENGAMPU : Alfian Nur Salsabila, S.H., M.Kn.
P

BAHAN AJAR HUKUM ADAT V

Karakteristik Hukum Adat

A. Sifat Masyarakat Hukum Adat

Hukum adat di Indonesia memiliki sifat dan corak khas yang berbeda dari

hukum-hukum lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme-realisme, yang artinya hukum

adat mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius,

sehingga hukum adat memenuhi suatu fungsi sosial atau keadilan sosial. Menurut F. D.

Holleman dalam bukunya De Commune Trek in het Indonesischeven, mengatakan

adanya 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu:

1. Magis Religius (Magisch-Religieus)

Hukum adat bersifat magis religius, dapat diartikan bahwa hukum adat

pada dasarnya berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme (kepercayaan

terhadap hal-hal gaib). Sifat magis religius diartikan sebagai suatu pola pikir yang

didasarkan pada religiusitas, yakni keyakinan masyarakat tentang adanya

sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat hukum adat bersentuhan

dengan hukum agama, masyarakat hukum adat membuktikan keberadaaan

religiusitas ini dengan cara berpikir yang prelogika, animistis dan kepercayaan

kepada alam gaib yang menghuni suatu benda. Selain itu, ada pendapat yang

mengatakan bahwa sifat magis religius ini berarti pula sebagai kepercayaan

masyarakat yang tidak mengenal pemisahan antara dunia lahir-lahir (fakta-fakta)

dengan dunia gaib (makna-makna yang tersembunyi di balik fakta) yang keduanya

harus berjalan seimbang.

Dalam hal ini, masyarakat harus berupaya mencegah terjadinya disharmoni,

yang berarti masyarakat harus selalu membina keselarasan dan keserasian

juga keseimbangan antara dunia lahir (dunia nyata) dengan dunia batin (dunia

1
gaib). Ketidakseimbangan yang terjadi dalam hubungan antara dunia lahir dan

dunia batin berbanding lurus dengan ketidakseimbangan pada tingkat yang lebih

besar, yaitu alam semesta (makrokosmos).

Tidak berbeda jauh dengan masyarakat yang telah mengenal persentuhan

sistem hukum agama. Masyarakat mewujudkan religiusitas ini dalam bentuk

kepercayaan kepada Tuhan. Masyarakat mempercayai bahwa setiap perbuatan,

apapun bentuknya, akan selalu mendapat imbalan atau hukuman (reward and

punishment) dari Tuhan, sesuai dengan kadar perbuatannya. Kepercayaan inilah

yang berlangsung, mengkristal dalam kehidupan masyarakat modern dan dalam

peraturan perundang-undangan serta lembaga-lembaga peradilan di Indonesia. Hal

ini dapat dilihat dari beberapa cerminan dalam konsideran-konsideran Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selalu diawali dengan klausul “Dengan

Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” atau dalam putusan-putusan badan peradilan yang

selalu mencantumkan klausul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Yang dasarnya tertuang jelas pada sila pertama Pancasila.

Sifat religius masyarakat hukum adat, misalnya dalam kegiatan seremonial

seperti perkawinan. Dalam upacara ini, dimaknai sebagai persyaratan terjadinya

peralihan dari tingkatan lama ke tingkatan baru. Menurut Hazairin, berpendapat

konsep perkawinan menurut hukum adat terdiri atas tiga rentetan perbuatan atau

peristiwa yang bertujuan untuk menjamin ketenangan (koelte), kebahagiaan

(wevaart), dan kesuburan (vruchtbaarheid). Sehingga dikenal beberapa upacara

peralihan (ritesde passage) dari tingkatan lama ke tingkatan baru, yang terdiri atas

upacara perpisahan dari status semula (rites de separation), upacara perjalanan ke

status yang baru (rites de marge) dan upacara penerimaan ke status yang baru

(rites d’aggregation).

Contoh lainnya, warga masyarakat persekutuan hukum adat mempunyai hak

untuk mengumpulkan hasil hutan untuk memburu, untuk mengambil hasil dari

pohon-pohon yang tumbuh liar. Akibat dari perbuatan yang belakangan ini adalah

suatu hubungan antara warga persekutuan dengan pohon, dengan memberikan

larangan yang religio magis sifatnya. Hasil pohon ini hanya dapat diambil oleh yang

berkepentingan, orang lain tidak diperbolehkan mengambil hasilnya, dengan

2
keyakinan akan menimbulkan peristiwa “magis” berbahaya bagi yang

melanggarnya.

Ini berarti bahwa hubungan masyarakat dengan kekayaan non material

sangat diyakini mengandung nilai magis religius, ketika diganggu keberadaannya

akan terjadi malapetaka kutukan dari yang dikeramatkan, seperti “borong

karamaka” di Sulawesi Selatan dengan masih sangat eksisnya hak ulayat

masyarakatnya. Konon “borong karamaka” merupakan hutan larangan di wilayah

Ammatoa yang sama sekali tidak boleh diusik. Jangankan menebang, memungut

hasil hutan, mengambil madu lebah atau berburu pun dilarang dan dalam

kenyataannya larangan “pasang” memang berlaku efektif (kutukan Sang Kuasa).

2. Komunal (Commuun)

Sifat komunal dalam hukum adat berarti mendahulukan kepentingan

sendiri. Masyarakat hukum adat memiliki pemikiran bahwa setiap individu,

anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara

keseluruhan. Selain itu, diyakini pula bahwa setiap kepentingan individu

sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat, karena

tidak ada individu yang terlepas dari masyarakatnya.

Misalnya, dalam hal pembagian warisan yang mencerminkan semangat

integralistik. Jika dua di antara dua orang menerima warisan yang telah ditentukan,

maka setiap bagiannya itu harus diserahkan pada masing-masing orang yang

berhak. Dengan demikian, prinsip-prinsip kerukunan, lebih mengutamakan

kepentingan hidup bersama. Ini membuktikan bahwa betapa masyarakat hukum

adat sadar akan sifatnya yang komunalistik, yaitu memiliki ikatan

kemasyarakatan yang erat. Perwujudan sifat komunal ini juga dapat dilihat dalam

kegiatan-kegiatan rapat desa, yaitu suatu majelis yang tersusun atas berbagai

golongan penduduk yang berhak hadir dan memberikan suara maupun

musyawarah mufakat demi kepentingan bersama.

3. Konkret (Concrete)

Sifat konkret diartikan sebagai corak masyarakat hukum adat yang serba

jelas atau nyata, menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi

dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar, dengan kata

lain dilakukan secara terbuka. Transaksi-transaksi yang terjadi, misalnya

3
perjanjian jual beli yang selalu memperlihatkan adanya perbuatan serba nyata,

yakni setiap kesepakatan selalu diiringi dengan adanya pemindahan kebendaan,

baik benda yang bergerak maupun tidak bergerak. Beda halnya dengan hukum

barat yang mengenal perbedaan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak,

seperti dalam perjanjian jual beli, tanggung jawab atas suatu barang yang

bersangkutan masih berada di tangan penjual.

4. Kontan (Contan)

Sifat kontan ini mengandung arti sebagai keserta-mertaan, utamanya dalam

hal pemenuhan prestasi. Sifat kontan memberi pengertian bahwa suatu tindakan

berupa perbuatan nyata, perbuatan simbolis atau pengucapan akan serta

merta menyelesaikan tindakan hukum serentak dengan waktunya, manakala ia

melakukan perbuatan menurut hukum adat.

Misalnya, dalam hal perjanjian sewa menyewa dan jual beli. Setelah terjadi

kesepakatan selalu disertai dengan pembayaran panjer, pembayaran di muka

sebagai tanda jadi (voorshot). Sifat ini tidak hanya dikenal dalam hal jual beli, tetapi

juga dikenal dalam hukum perkawinan, dengan istilah panjer, panyancang, pangjadi

(Jawa Barat) dan paningset (Jawa Tengah) yang diberikan oleh pihak calon

mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Pamanjer dapat berupa

barang-barang atau uang pemberian sebagai jaminan, bahwa perkawinan akan

dilangsungkan. Namun pengertian pamanjer sebagai jaminan ini tidak berarti

adanya keharusan yang bersifat mengikat atas dilangsungkannya suatu

perkawinan. Hal ini pun merupakan suatu ciri hukum adat dalam aturan-aturan

mengenai perkawinan tidak mengenal bentuk-bentuk paksaan langsung sebagai

akibat hukum dari suatu perbuatan.

B. Corak Khas Masyarakat Hukum Adat

Selain empat corak masyarakat adat sebagaimana yang telah paparkan oleh

F. D. Holleman tersebut, Van Dijk menyebutkan bahwa hukum adat memiliki 3 (tiga)

corak khas, yaitu:

1. Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisional;

2. Hukum adat dapat berubah; dan

3. Kesanggupan hukum adat untuk menyesuaikan diri.

4
Sifat tradisional mengandung arti bahwa hukum adat berakar dari kehendak

nenek moyang yang diagungkan. Sehingga beberapa ahli berasumsi bahwa hukum

adat merupakan bagian yang tidak terlepas dari kebudayaan masyarakat

Indonesia. Anggapan ini biasanya dikonstruksikan dalam legenda atau cerita turun-

temurun, baik tertulis atau tidak tertulis. Pada sisi lain, hukum adat pun dapat

berubah dan menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi tertentu dari

perkembangan masyarakat. Perubahan ini biasanya terjadi bukan karena adanya

penghapusan atau penghilangan suatu aturan secara resmi, melainkan karena adanya

perubahan kondisi, tempat dan waktu atau munculnya ketentuan-ketentuan baru yang

diputuskan lembaga-lembaga yang berwibawa. Kemampuan untuk berubah dan

berkembang ini pada dasarnya merupakan sifat hukum dari hukum yang tidak tertulis

dan tidak dikodifikasi, sebagaimana hukum adat.

M. M. Djojodigoeno telah memberikan penjelasan genial tentang daya bertahan

dan daya berubah dari hukum adat. Dalam bukunya menjelaskan bahwa hukum adat

memiliki beberapa sifat yang khas sebagai suatu aturan yang tidak tertulis. Hukum adat

mempunyai sifat yang hidup dan berkembang (dinamisch), ia dapat mengikuti

perkembangan masyarakat yang membutuhkan perubahan-perubahan dalam dasar-

dasar hukum sepanjang jalan sejarahnya. Implikasi yang paling signifikan dari sifat

dinamis ini yaitu pada pola pengambilan keputusan hakim. Hakim dimungkinkan untuk

mengambil keputusan yang berlainan dalam masalah hukum yang sama, berdasarkan

asas-asas hukum yang selalu berkembang menurut perkembangan masyarakat. Jika

diterapkan pada hukum, berarti bahwa hukum adat akan selalu menjalani perubahan

yang terus-menerus melalui keputusan yang dikeluarkan untuk kepentingan

masyarakat, sebagaimana sifat komunal masyarakat hukum adat.

Selain itu, hukum adat juga bersifat plastis (plastisch) yang berarti hukum adat

dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal yang bersifat tersendiri (khusus). Karena

hukum adat berpangkal pada asas-asas yang menentukan hukum dalam garis

besarnya saja, dengan sendirinya ia dapat dipelihara atau dalam istilah M. M.

Djojodigoeno dapat memperlihatkan hal-hal khusus dalam peristiwa yang menjadi

dasar dari suatu masalah hukum.

5
Dengan alasan demikian, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa hukum

adat memiliki dua sisi yang berdampingan. Pada satu sisi, hukum adat bersifat

tradisional, melanjutkan tradisi leluhur, cenderung mempertahankan pola-pola yang

telah terbentuk. Adapun pada sisi lain, sebagai hukum yang hidup dan berkembang,

hukum adat akan selalu mampu mengikuti perkembangan masyarakat. Jadi, pada satu

saat hukum adat akan terasa sangat tebal melingkupi kehidupan masyarakat,

sedangkan pada saat lain, jika dikehendaki masyarakat, terasa sangat tipis atau

bahkan hilang dalam arti tinggal kristalisasi asas-asasnya saja.

Perlu pula ditambahkan bahwa selain beberapa sifat di atas, hukum adat pun

memiliki satu sifat khusus, yakni terbuka. Artinya, hukum adat dapat menerima sistem

hukum lain sepanjang masyarakat yang bersangkutan menganggap bahwa sistem

hukum lain (asing) tersebut patut atau berkesesuaian. Perkembangan sifat ini terjadi

sebagai hasil dari interaksi harmonis antara sistem-sistem hukum yang berlaku

dalam masyarakat Indonesia, yaitu antara hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis

atau antara hukum adat dengan hukum Islam dan hukum barat yang sekarang

dipertahankan melalui kekuasaan badan-badan peradilan.

Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa hukum adat dapat

menerima hukum tertulis (statury law) atau sistem hukum lain ke dalam sistem

hukumnya. Sebaiknya, dimungkinkan pula materi-materi hukum tertulis

mengandung asas-asas hukum adat. Misalnya, prinsip maro, mertelu atau merapat

yang merupakan suatu bentuk kerja sama di antara dua orang atau lebih untuk

melakukan suatu pekerjaan. Dalam pengertian modern, prinsip ini dikenal dengan

nama perjanjian bagi hasil (production sharing contract atau agreement), kontrak karya

atau joint venture.

Literatur dari: 1. Hajati et al, Sri, Buku Ajar Hukum Adat, (Jakarta: Prenadamedia Group,

2018), h. 46-52.

2. Pide, Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang,

(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2017), h. 11-18.

Anda mungkin juga menyukai