Hukum adat di Indonesia memiliki sifat dan corak khas yang berbeda dari
sehingga hukum adat memenuhi suatu fungsi sosial atau keadilan sosial. Menurut F. D.
Hukum adat bersifat magis religius, dapat diartikan bahwa hukum adat
terhadap hal-hal gaib). Sifat magis religius diartikan sebagai suatu pola pikir yang
religiusitas ini dengan cara berpikir yang prelogika, animistis dan kepercayaan
kepada alam gaib yang menghuni suatu benda. Selain itu, ada pendapat yang
mengatakan bahwa sifat magis religius ini berarti pula sebagai kepercayaan
dengan dunia gaib (makna-makna yang tersembunyi di balik fakta) yang keduanya
juga keseimbangan antara dunia lahir (dunia nyata) dengan dunia batin (dunia
1
gaib). Ketidakseimbangan yang terjadi dalam hubungan antara dunia lahir dan
dunia batin berbanding lurus dengan ketidakseimbangan pada tingkat yang lebih
apapun bentuknya, akan selalu mendapat imbalan atau hukuman (reward and
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” atau dalam putusan-putusan badan peradilan yang
konsep perkawinan menurut hukum adat terdiri atas tiga rentetan perbuatan atau
peralihan (ritesde passage) dari tingkatan lama ke tingkatan baru, yang terdiri atas
status yang baru (rites de marge) dan upacara penerimaan ke status yang baru
(rites d’aggregation).
untuk mengumpulkan hasil hutan untuk memburu, untuk mengambil hasil dari
pohon-pohon yang tumbuh liar. Akibat dari perbuatan yang belakangan ini adalah
larangan yang religio magis sifatnya. Hasil pohon ini hanya dapat diambil oleh yang
2
keyakinan akan menimbulkan peristiwa “magis” berbahaya bagi yang
melanggarnya.
Ammatoa yang sama sekali tidak boleh diusik. Jangankan menebang, memungut
hasil hutan, mengambil madu lebah atau berburu pun dilarang dan dalam
2. Komunal (Commuun)
integralistik. Jika dua di antara dua orang menerima warisan yang telah ditentukan,
maka setiap bagiannya itu harus diserahkan pada masing-masing orang yang
kemasyarakatan yang erat. Perwujudan sifat komunal ini juga dapat dilihat dalam
kegiatan-kegiatan rapat desa, yaitu suatu majelis yang tersusun atas berbagai
3. Konkret (Concrete)
Sifat konkret diartikan sebagai corak masyarakat hukum adat yang serba
jelas atau nyata, menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi
dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar, dengan kata
3
perjanjian jual beli yang selalu memperlihatkan adanya perbuatan serba nyata,
baik benda yang bergerak maupun tidak bergerak. Beda halnya dengan hukum
barat yang mengenal perbedaan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak,
seperti dalam perjanjian jual beli, tanggung jawab atas suatu barang yang
4. Kontan (Contan)
hal pemenuhan prestasi. Sifat kontan memberi pengertian bahwa suatu tindakan
Misalnya, dalam hal perjanjian sewa menyewa dan jual beli. Setelah terjadi
sebagai tanda jadi (voorshot). Sifat ini tidak hanya dikenal dalam hal jual beli, tetapi
juga dikenal dalam hukum perkawinan, dengan istilah panjer, panyancang, pangjadi
(Jawa Barat) dan paningset (Jawa Tengah) yang diberikan oleh pihak calon
perkawinan. Hal ini pun merupakan suatu ciri hukum adat dalam aturan-aturan
Selain empat corak masyarakat adat sebagaimana yang telah paparkan oleh
F. D. Holleman tersebut, Van Dijk menyebutkan bahwa hukum adat memiliki 3 (tiga)
4
Sifat tradisional mengandung arti bahwa hukum adat berakar dari kehendak
nenek moyang yang diagungkan. Sehingga beberapa ahli berasumsi bahwa hukum
Indonesia. Anggapan ini biasanya dikonstruksikan dalam legenda atau cerita turun-
temurun, baik tertulis atau tidak tertulis. Pada sisi lain, hukum adat pun dapat
penghapusan atau penghilangan suatu aturan secara resmi, melainkan karena adanya
perubahan kondisi, tempat dan waktu atau munculnya ketentuan-ketentuan baru yang
berkembang ini pada dasarnya merupakan sifat hukum dari hukum yang tidak tertulis
dan daya berubah dari hukum adat. Dalam bukunya menjelaskan bahwa hukum adat
memiliki beberapa sifat yang khas sebagai suatu aturan yang tidak tertulis. Hukum adat
dasar hukum sepanjang jalan sejarahnya. Implikasi yang paling signifikan dari sifat
dinamis ini yaitu pada pola pengambilan keputusan hakim. Hakim dimungkinkan untuk
mengambil keputusan yang berlainan dalam masalah hukum yang sama, berdasarkan
diterapkan pada hukum, berarti bahwa hukum adat akan selalu menjalani perubahan
Selain itu, hukum adat juga bersifat plastis (plastisch) yang berarti hukum adat
hukum adat berpangkal pada asas-asas yang menentukan hukum dalam garis
5
Dengan alasan demikian, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa hukum
adat memiliki dua sisi yang berdampingan. Pada satu sisi, hukum adat bersifat
telah terbentuk. Adapun pada sisi lain, sebagai hukum yang hidup dan berkembang,
hukum adat akan selalu mampu mengikuti perkembangan masyarakat. Jadi, pada satu
saat hukum adat akan terasa sangat tebal melingkupi kehidupan masyarakat,
sedangkan pada saat lain, jika dikehendaki masyarakat, terasa sangat tipis atau
Perlu pula ditambahkan bahwa selain beberapa sifat di atas, hukum adat pun
memiliki satu sifat khusus, yakni terbuka. Artinya, hukum adat dapat menerima sistem
hukum lain (asing) tersebut patut atau berkesesuaian. Perkembangan sifat ini terjadi
sebagai hasil dari interaksi harmonis antara sistem-sistem hukum yang berlaku
dalam masyarakat Indonesia, yaitu antara hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis
atau antara hukum adat dengan hukum Islam dan hukum barat yang sekarang
menerima hukum tertulis (statury law) atau sistem hukum lain ke dalam sistem
mengandung asas-asas hukum adat. Misalnya, prinsip maro, mertelu atau merapat
yang merupakan suatu bentuk kerja sama di antara dua orang atau lebih untuk
melakukan suatu pekerjaan. Dalam pengertian modern, prinsip ini dikenal dengan
nama perjanjian bagi hasil (production sharing contract atau agreement), kontrak karya
Literatur dari: 1. Hajati et al, Sri, Buku Ajar Hukum Adat, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2018), h. 46-52.
2. Pide, Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang,