Anda di halaman 1dari 5

Pancasila merupakan falsafah negara (philosofische gronslag) yang

digunakan sebagai dasar utama dalam mengatur pemerintahan dan


penyelenggaraan negara. Terdapat lima prinsip dalam Pancasila sebagai
philosofische gronslag, yakni kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri-
kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang
berbudaya.1 Secara historis, setelah ditetapkan secara konstitusional oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Pancasila memiliki kedudukan
penting dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, Pancasila juga
menjadi rujukan mutlak dalam berbagai sendi kehidupan, mulai dari aspek sosial,
politik, agama, hingga hukum.

Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara


dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, hingga pemerintahan harus berdasar
pada hukum yang terikat pada sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional
sendiri adalah hukum yang berlaku di Indonesia dengan segala ketentuan yang
saling menunjang satu sama lain dalam rangka mengatasi berbagai masalah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pembangunan sistem hukum
nasional memiliki tujuan untuk melahirkan produk hukum yang demokratis agar
terciptanya keadilan, ketertiban, dan keteraturan sebagai pondasi dalam
memberikan perlindungan bagi masyarakat.

Pancasila sebagai falsafah negara harus dijadikan sebagai pondasi dan


pertimbangan utama dalam membangun sistem hukum nasional. Hal tersebut
dikarenakan Pancasila mengandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang telah
disusun oleh pendiri negara terdahulu. Nilai yang terkandung dalam Pancasila
bersifat universal, yang diperjuangkan oleh hampir semua bangsa-bangsa di
dunia.2 Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila memiliki daya tahan
dan kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan zaman.3 Namun, dalam
1
Ali Taher Parasong, ‘Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Peraturan Perundang-Undangan’,
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta <https://fh.umj.ac.id/internalisasi-nilai-nilai-
pancasila-dalam-pembentukan-peraturan-perundang-undangan/>.
2
Hendra Nurtjahyo, ‘Negara Hukum Dan Konstitusi: Reaktualisasi Nilai-Nilai Ketuhanan Dalam
Nomokrasi Pancasila’, Jurnal Hukum Panta Rei, 1.1 (2007), 87.
3
Esmi Warasih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, ed. by PT.
Suryandara (Semarang, 2006).
perkembangannya, masih terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang
belum mencerminkan atau merefleksikan nilai yang terkandung dalam Pancasila
sehingga perlu adanya perbaikan dalam pembangunan sistem hukum nasional.

Secara umum, mayoritas peraturan perundang-undangan di Indonesia telah


melandaskan pembentukannya pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sebagai contoh, eksistensi nilai-nilai Pancasila dalam peraturan perundang-
undangan sendiri dapat dilihat dalam pengaturan Badan Usama Milik Desa
(BUMDes) pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa).
UU Desa sendiri secara umum memiliki tujuan agar desa memiliki kewenangan
lebih untuk mengatur dan mengelola urusan wilayahnya secara otonom. Adapun
nilai-nilai Pancasila dalam UU Desa antara lain:

1. Nilai Persatuan Indonesia


Dalam Pasal 87 ayat (2) dinyatakan bahwa:
“Badan Usaha Milik Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan.”

Nilai “Persatuan Indonesia” memiliki makna bahwa negara Indonesia


berdiri dengan aliran “Negara Persatuan” yang mengandung arti negara
yang mengatasi segala paham golongan dan paham perseorangan. Dengan
demikian keberjalanan negara Indonesia harus didasarkan pada asas
kekeluargaan, tolong menolong, dan keadilan sosial. Maka dapat dipahami
bahwa tujuan mendirikan negara Indonesia antara lain adalah
mengutamakan seluruh bangsa Indonesia.4 Oleh karena itu, nilai gotong
royong yang terkandung dalam sila ke-3 tersebut merupakan dasar utama
dalam mengambil kebijakan terkait pengelolaan desa khususnya BUMDes.
2. Nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Dalam Pasal 88 ayat (1) dinyatakan bahwa:

4
Hanafi, ‘Hakekat Nilai Persatuan Dalam Konteks Indonesia (Sebuah Tinjauan
Kontekstual Positif Sila Ketiga Pancasila)’, JIPPK, 3.1, 59.
“Pendirian Badan Usaha Milik Desa disepakati melalui Musyawarah
Desa.”

Adapun dalam Pasal 54 ayat (1) dijelaskan bahwa:


“Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh
Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat
Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.”

Keberadaan mekanisme Musyawarah Desa menunjukkan bahwa UU Desa


telah memberikan ruang terhadap partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hal tersebut juga merupakan wujud
dari kehidupan masyarakat desa yang merupakan bentuk komunitas yang
dapat mengurus dirinya sendiri.5 Musyawarah sendiri merupakan nilai
penting yang terkandung dalam sila ke-4 Pancasila yang dalam
pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dengan sila-sila lainnya. Lebih
jauh lagi, para pendiri bangsa uga pelaksanaan musyawarah sebagai sistem
pemerintahan baik pada tingkat pusat maupun daerah.6
3. Nilai Keadilan Sosial
Hasil usaha dari BUM Desa digunakan untuk pengembangan usaha,
pembangunan Desa, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian
bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan
kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa. BUMDes yang hasilnya diarahkan pada pemberdayaan
masyarakat dan membantu masyarakat miskin merupakan implementasi
dari Sila Keadilan Sosial. BUMDes sebagai kekuatan perekonomian baru
di desa mempunyai peran ganda, baik sebagai lembaga komersial yang
bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PAD) maupun
sebagai lembaga sosial yang berpihak kepada masyarakat melalui usaha-
5
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).
6
Muhammad Hanafi, ‘Kedudukan Musyawarah Dan Demokrasi Di Indonesia’, Jurnal Cita
Hukum, 1.2 (2013), 241.
usaha ekonomi yang berbasiskan pemberdayaan. Kegiatan pemberdayaan
berarti kegiatan untuk menjadikan masyarakat lebih berdaya sebagai
komunitas.. Dengan demikian, keberadaan BUMDes dapat membantu
pemerataan kesejahteraan masyarakat, tidak hanay di perkotaan melainkan
juga menjangkau hingga ke desa.

Disamping peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai


Pancasila, terdapat pula sejumlah regulasi atau ketentuan dalam sistem hukum
nasional yang belum merefleksikan Pancasila dengan baik. Hal tersebut nampak
pada sejumlah ketentuan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (UU HAM). UU HAM sendiri dapat dikatakan sebagai
regulasi inti perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM di Indonesia. UU
tersebut juga memuat pengakuan dan perlindungan hak-hak yang bersifat luas
karena ketentuannya yang merujuk pada kategorisasi dan konsepsi hak yang
tertulis dalam UDHR, ICCPR, ICESCR, dan konvensi internasional lainnya.

Dalam UU HAM, terdapat banyak pasal yang menyinggung hak


kebebasan beragama dan berkeyakinan, diantaranya Pasal 22 ayat (1) yang
berbunyi “setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pada ayat (2) berbunyi
“negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasa tersebut
menegaskan bahwa hak kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi
dan negara wajib menjamin terhadap perlindungan, penghormatan, dan
pemenuhannya.

UU HAM juga mempertagas bahwa hak kebebasan beragama merupakan


hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Sebagaimana tercantum
dalam Pasal 4 yang berbunyi, “Hak unutk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hait nurani, hak bergama, hak unutk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurnagi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun”.

Namun, problematika muncul manakala melihat pembatasan terhadap hak


kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tercantum dalam Pasal 73 yang
berbunyi, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya
dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan
bangsa.” Hal tersebut menunjukkan adanya ambiguitas dalam pengakuan hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan spiritual, moral dan
etik. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan
terhadap kebebasan beragama (freedom of religion). Mochtar Kusumaatdja
berpendapat, asas ketuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk
hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau menolak atau bermusuhan
dengan agama. Dalam proses penyusuan suatu peraturan perundang-undangan,
nilai ketuhanan merupakan pertimbangan yang sifatnya permanem dan mutlak.
Dengan adanya ambiguitas dalam UU HAM yang mengakui kebebasan beragama
dan berkeyakinan sebagai hak yang tidak dapat dibatasi, namun dalam UU yang
sama terdapat ketentuan untuk membatasi menunjukkan bahwa UU HAM belum
merefleksikan nilai pancasila seutuhnya.7

7
Parasong. Op. Cit.

Anda mungkin juga menyukai