Anda di halaman 1dari 125

-1-

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Jalan HR. Rasuna Said Kav 6-7 Jakarta Selatan - Indonesia
Telepon: (021) 526 4516 Faks: (021) 526 5480
Laman: www.ditjenpp.kemenkumham.go.id dan www.regulasio.go.id

10
DIMENSI

HARMONISASI
RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. DIMENSI PANCASILA
2. DIMENSI UUD NRI 1945
3. DIMENSI VERTIKAL
4. DIMENSI HORIZONTAL
5. DIMENSI YURISPRUDENSI
6. DIMENSI ASAS HUKUM
7. DIMENSI SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
8. DIMENSI PERJANJIAN/KONVENSI INTERNASIONAL
9. DIMENSI HUKUM ADAT
10. DIMENSI TEKNIK PENYUSUNAN
-2-

10 DIMENSI HARMONISASI

1. Dimensi Pancasila

Agar norma hukum yang dirumuskan dalam rancangan peraturan perundang-


undangan tetap merupakan penjabaran dari Pancasila atau bersesuaian dan tidak
bertentangan Pancasila serta dalam rangka terwujudnya tujuan negara antara lain
untuk memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia maka
berikut ini dijelaskan Dimensi Pancasila dalam proses Harmonisasi.
a. langkah pertama, cermati dan pahami keseluruhan nilai yang dikandung dalam
Pancasila;
Dasar pertama ialah prinsip Ke-Tuhanan, dengan menekankan pada
hendaknya masing-masing orang Indonesia ber-Tuhan. Yang beragama
Islam menyembah Allah menurut petunjuk-NYA sebagaimana dimaksud
dalam kitab suci Al-Quran dan hadits dari Nabi Muhammad. Yang beragama
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk dalam kitab suci Injil dan
petunjuk Nabi Isa Al Masih. Yang beragama Budha, Hindu, dan agama
lainnya menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Hendaknya ber-Tuhan, secara kebudayaan yakni tiada egoisme agama dan
Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan.
Dasar kedua ialah internasionalisme atau peri kemanusiaan. Dengan dasar
kedua ini maka kebangsaan bukan berarti menyendiri dan meremehkan
bangsa lain, melainkan kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan
dunia atau menuju kekeluargaan bangsa-bangsa. Dengan demikian,
Sehingga dasar pertama dan kedua adalah bergandengan erat satu sama
lain.
Dasar ketiga ialah dasar kebangsaan. Dasar kebangsaan berkehendak
bersatu. Sehingga kebangsaan yang dimaksud adalah kebangsaan
Indonesia, bukan kebangsaan Sumatera, Borneo, Sulawesi, Bali, dan lain-
lain.
Dasar keempat ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan. Indonesia bukan negara untuk satu orang, bukan negara
untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Negara semua buat semua,
satu buat semua, semua buat satu. Suatu hal dibicarakan dalam
permusyawaratan. Dasar ketiga yaitu pemufakatan dan perwakilan maka
inilah cara terbaik mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara
yang berkebudayaan.
Dasar kelima ialah prinsip kesejahteraan. Dalam hal ini dikehendaki tidak ada
kemiskinan dalam Indonesia merdeka. Semua rakyat sejahtera, yang semua
orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa
dipangku oleh ibu pertiwi yang cukup memberi sandang pangan.
Berdasarkan kelima dasar tersebut menjadi jelaslah bahwa Pancasila
merupakan dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa
dan negara Indonesia. Dilihat dari aspek hukum, Pancasila merupakan cita
hukum Pancasila. Dalam kedudukannya selaku cita hukum rakyat Indonesia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka secara
-3-

positif, Pancasila merupakan bintang pemandu yang memberikan pedoman


dan bimbingan dalam semua kegiatan, memberi isi kepada tiap peraturan
perundang-undangan. Dan secara negatif, Pancasila merupakan kerangka
yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut.
Selain selaku cita hukum, Pancasila juga merupakan norma fundamental
negara. Oleh karena itu, Pancasila merupakan norma dasar atau norma
tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
rakyat Indonesia yang bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila dan peraturan perundang-undangan tidak dapat dipisahkan. Nilai
Pancasila harus dieksistensikan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan. Nilai Pancasila yang tidak dapat dipisahkan tersebut seperti nilai
religius, nilai kodrat kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kebhinekaan
Indonesia, dan nilai demokrasi serta nilai keadilan dalam hubungannya
dengan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan alam nilai yang dikandung Pancasila tersebut
penting pula dipahami cita hukum (rechtsidee). Dalam konteks pembentukan
peraturan perundang-undangan maka terdapat 4 (empat) prinsip cita hukum
yang berdasarkan Pancasila, yaitu: (i) menjaga integrasi bangsa dan negara
baik secara ideologis maupun secara teritorial; (ii) mewujudkan kedaulatan
rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi) sekaligus, sebagai satu
kesatuan tidak terpisahkan; (iii) mewujudkan kesejahteraan umum dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan (iv) menciptakan toleransi
atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama atau hidup
yang ber-Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Cita hukum yang dimaksudkan pada hakikatnya ialah pengayoman, yang
dilaksanakan sebagai upaya untuk mewujudkan: (i) ketertiban dan
keteraturan yang memunculkan prediktabilitas; (ii) kedamaian yang
berkentraman; (iii) keadilan (distributif, kumutatif, vindikatif, protektif, restoratif,
dan lain-lain); (iv) kesejahteraan dan keadilan sosial; dan (v) pembinaan
akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. langkah kedua, teliti konsideran menimbang dalam rancangan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan apakah mencantumkan unsur
filosofis sebagai pencerminan Pancasila serta (jika ada penjelasan) teliti
penjelasan umum dalam rancangan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan apakah unsur filosofis dijelaskan lebih lanjut dengan benar;
c. langkah ketiga, teliti setiap pasal dalam rancangan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan, termasuk yang memuat mengenai asas,
maksud, dan tujuan apakah sesuai dengan Pancasila baik sendiri-sendiri
maupun berpasangan serta pastikan bahwa tidak ada pasal dalam rancangan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yang bertentangan dengan
Pancasila.
Keseluruhan nilai yang dikandung dalam Pancasila dapat disarikan kedalam 5
(lima) prinsip Cita Hukum Pancasila, sebagai berikut:
a. prinsip religiusitas, keber-Tuhanan segenap warga negara;
b. prinsip humanitas, yang berkeadilan dan beradab;
-4-

c. prinsip nasionalitas, berkebangsaan Indonesia;


d. prinsip kedaulatan rakyat, dalam kerangka demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi; dan
e. prinsip sosialitas, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Dimensi UUD NRI 1945

UUD NRI 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber
hukum tertinggi bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang Dasar. Sumber hukum tertinggi di sini berarti dasar hukum yang
bersifat konstitutif yaitu yang menentukan keabsahan peraturan perundang-
undangan di bawahnya. Atau dengan kata lain peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang Dasar tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar. Oleh karena itu pembentuk peraturan perundang-undangan harus
memahami secara mendalam UUD NRI 1945. Untuk itu perlu dipelajari secara
cermat, yaitu: (i) Naskah Undang-Undang Dasar yang resmi tertulis; (ii) dokumen
resmi yang terkait erat dengan proses pembentukannya; (iii) konvensi
ketatanegaraan (constitutional convention); (iv) jurisprudensi; (v) doktrin Ilmu
Hukum yang telah diakui sebagai communis opinio doctorum di kalangan para ahli
yang mempunyai otoritas yang diakui umum.
Tolok ukur yang dapat dijadikan pedoman untuk menilai konstitusionalitas
rancangan undang-undang dalam pelaksanaan Harmonisasi materi muatannya
dengan prinsip penyelenggaraan negara berdasarkan UUD NRI 1945 dikemukakan
berikut ini.

2.1. Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik


Konsep NKRI sudah melewati perjalanan panjang dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia. Telah banyak suka dan duka yang dilalui maupun
pengorbanan di/terelakan untuk mempertahankan NKRI. Nyawa dan jiwa anak
bangsa tidaklah sedikit dibaktikan untuk utuhnya terjaga NKRI. Untuk itu NKRI
tidak boleh diperdebatkan lagi atau bahkan juga tidak boleh coba-coba untuk
memperdebatkannya kembali. Merubah NKRI berarti menghancurkan jiwa
bangsa Indonesia.

2.2. Kedaulatan Berada di Tangan Rakyat dan Dilaksanakan Menurut Undang-


Undang Dasar atau yang dikenal dengan demokrasi konstitusional, dengan ciri
pokok sebagai berikut:
a. pimpinan pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan rakyat dipilih
melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali;
b. pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri;
c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
-5-

langsung oleh rakyat;


d. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum;
e. peserta pemilihan umum untuk menjadi Anggota DPR dan anggota DPRD
adalah partai politik;
f. peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota DPD adalah
perseorangan;
g. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum yang
jumlahnya sama untuk setiap provinsi dan jumlah seluruh Anggota DPD
tidak lebih dari sepertiga jumlah Anggota DPR;
h. DPR memegang kekuasaan membentuk UU dan setiap RUU dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
i. DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas
RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
j. kekuasaan negara dipisahkan dan masing-masing cabang kekuasaan
negara mempunyai fungsi tersendiri dengan prinsip pengawasan dan
keseimbangan (check and balances) dan kewenangan masing-masing
cabang kekuasaan diatur dan dibatasi dalam konstitusi.

2.3. Negara Indonesia adalah Negara Hukum


15 (lima belas) prinsip pokok sebagai pilar negara hukum sebagai berikut:
a. supremasi hukum (Supremacy of Law);
b. persamaan dalam hukum (equality before the law);
c. asas legalitas (due process of law);
d. pembatasan kekuasaan;
e. organ eksekutif independen;
f. peradilan bebas dan tidak memihak;
g. sistem hukum nasional yang responsif, aspiratif, dan adil yang dibentuk
dengan persetujuan rakyat/wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui
pemilihan umum;
h. kontrol yudikatif terhadap keputusan pejabat atau badan tata usaha
negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara;
i. pengujian konstitusionalitas UU oleh Mahkamah Konstitusi dan pengujian
legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU oleh Mahkamah
Agung;
j. perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia;
k. pemberlakuan prinsip legalitas (due process) yang substansial;
-6-

l. proses pengadilan yang fair, efisien, wajar, dan transparan;


m. pemerintahan dijalankan, diawasi, dan dipertanggungjawabkan menurut
hukum;
n. kebebasan pers dan pengawasan sosial terhadap penyelenggaraan
pemerintahan;
o. hukum berfungsi untuk mewujudkan cita nasional sebagaimana tercantum
dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945.

2.4. Sistem Pemerintahan Presidensiil


7 (tujuh) ciri pokok sistem pemerintahan presidensiil, sebagai berikut:
a. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar dan dalam melakukan kewajibannya
Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden;
b. kepala pemerintahan dan kepala negara tidak dibedakan sehingga
Presiden adalah kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara;
c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat, untuk masa jabatan 5 tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan;
d. Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggungjawab kepada MPR atau
lembaga perwakilan rakyat, tetapi bertanggung jawab kepada rakyat;
e. Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah
melaksanakan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan usul DPR kepada MPR tersebut
hanya dapat diajukan dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum seperti yang dituduhkan oleh DPR;
f. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR;
g. Presiden dibantu oleh menteri negara dan menteri tersebut diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden, karena itu menteri bertanggung jawab
kepada Presiden, bukan kepada DPR, dengan kata lain kedudukan
menteri tidak tergantung kepada DPR.

2.5. Kekuasaan Presiden, sebagai berikut:


a. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut
Undang-Undang Dasar;
b. Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR;
c. Presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya;
-7-

d. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,


Angkatan Laut, dan Angkatan Udara;
e. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain;
f. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan UU harus dengan persetujuan DPR;
g. Presiden menyatakan keadaan bahaya;
h. Presiden mengangkat duta besar dan konsul, yang dalam hal mengangkat
duta besar, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR;
i. Presiden menerima penempatan duta besar negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan DPR;
j. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan MA;
k. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan DPR;
l. Presiden memberi gelaran, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan
yang diatur dengan UU;
m. Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden;
n. Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi
UU;
o. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan Perppu dan kemudian Perppu itu harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut dan jika tidak mendapat
persetujuan maka Perppu itu harus dicabut;
p. Presiden mengajukan RUU APBN untuk dibahas bersama DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan apabila DPR tidak menyetujui
RUU APBN yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah menjalankan APBN
tahun yang lalu;
q. Presiden meresmikan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
r. Presiden menetapkan Hakim Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
dan telah mendapatkan persetujuan DPR;
s. Presiden mengangkat dan memberhentikan Anggota Komisi Yudisial
dengan persetujuan DPR;
t. Presiden menetapkan Anggota Hakim Konstitusi yang diajukan masing-
masing 3 (tiga) orang oleh MA, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang
oleh Presiden.

2.6. Lembaga Perwakilan


-8-

Setelah 4 (empat) kali perubahan UUD NRI 1945 yang dilakukan berturut-turut
pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, kedudukan, struktur, dan kewenangan
lembaga perwakilan mengalami perubahan mendasar. Dari segi kedudukan,
semua lembaga perwakilan mempunyai kedudukan yang sederajat. Tidak
dikenal lagi ada lembaga tertinggi dan tinggi negara. Semua lembaga negara
mempunyai kedudukan yang sama dengan tugas dan kewenangan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan saling kontrol dan
menyeimbangkan (check and balances). Dari segi struktur, ada 3 (tiga)
lembaga perwakilan dengan kewenangan masing-masing yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Dasar. Terhadap 3 (tiga) lembaga perwakilan ini dapat
disebut sistem tiga kamar. Berikut ini dikemukakan mengenai ketiga lembaga
perwakilan tersebut;
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat:
1. MPR terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih
melalui pemilihan umum;
2. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di Ibukota
negara;
3. segala keputusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak;
4. MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar;
5. MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
6. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;
7. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR
yang telah diputuskan oleh MK bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti yang diduga
oleh DPR dan Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam Rapat Paripurna MPR
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam Rapat Paripurna MPR;
8. dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya
dalam waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih
Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden;
9. selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah Presiden dan Wakil
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersamaan, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
b. Dewan Perwakilan Rakyat:
-9-

1. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum;


2. susunan DPR diatur dengan UU;
3. DPR bersidang sedikitnya sekali dalam setahun;
4. DPR memegang kekuasaan membentuk UU;
5. setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama dan jika tidak mendapat persetujuan bersama,
RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu;
6. DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan;
7. dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-
pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat;
8. Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU;
9. Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya yang syarat-syarat
dan tata caranya diatur dalam UU;

c. Dewan Perwakilan Daerah:


1. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum;
2. Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah
keseluruhan Anggota DPD tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah
Anggota DPR;
3. DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun;
4. DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan:
(i) otonomi daerah; (ii) hubungan pusat dan daerah; (iii) pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah; (iv) pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; (v) serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
5. DPD ikut membahas RUU tersebut diatas serta memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
6. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tersebut
diatas serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
7. Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya yang syarat-
syarat dan tata caranya diatur dalam UU.

2.7. Kekuasaan Kehakiman


Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Hal ini sesuai dengan prinsip negara hukum. Kekuasaan
kehakiman tidak boleh dicampuri, dipengaruhi atau diintervensi oleh
- 10 -

kekuasaan manapun atau oleh pihak manapun dalam menyelenggarakan


peradilan yang dilaksanakan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah MK. Selain itu Undang-Undang Dasar
pasca perubahan mengatur pula Komisi Yudisial yang bersifat mandiri yang
disisipkan pengaturannya dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kewenangan dan keanggotaan masing-masing lembaga tersebut sebagai
berikut:
a. Mahkamah Konstitusi:
1. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk: (i) menguji UU terhadap Undang-
Undang Dasar; (ii) memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (iii)
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
2. MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar;
3. MK mempunyai sembilan orang Hakim Konstitusi yang ditetapkan
oleh Presiden, yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh MA,
3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden;
4. Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi;
5. Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara;
6. pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara,
dan ketentuan lainnya tentang MK diatur dengan UU;
7. syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim
Konstitusi ditetapkan dengan UU.
b. Mahkamah Agung:
1. MA berwenang: (i) mengadili pada tingkat kasasi; (ii) menguji
peraturan perundang-undangan di bawah UU, dan (iii) mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh UU;
2. Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum;
3. calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR
untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
Hakim Agung oleh Presiden;
4. Ketua dan Wakil Ketua MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung;
5. susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara MA serta
badan peradilan di bawahnya diatur dengan UU.
c. Komisi Yudisial:
- 11 -

1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan


pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim;
2. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela;
3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan DPR;
4. susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur
dengan UU.

2.8. Badan Pemeriksa Keuangan:


a. untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan
mandiri;
b. hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan
DPRD, sesuai dengan kewenangannya serta hasil pemeriksaan tersebut
ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan
UU;
c. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden;
d. Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota;
e. Badan Pemeriksaan Keuangan berkedudukan di ibukota negara dan
memiliki perwakilan di setiap provinsi;
f. ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur
dengan UU;

2.9. Pemerintahan Daerah dengan Otonomi Yang Seluas-Luasnya:


a. NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan UU;
b. pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan;
c. pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
DPRD yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum;
d. gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis;
e. pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-seluasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat;
- 12 -

f. pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan


lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan;
g. susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam UU;
h. hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota diatur dengan UU dengan memperhatikan kekhususan dan
keberagaman daerah;
i. hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UU.

2.10.Satuan Pemerintahan Daerah Yang Bersifat Khusus atau Bersifat Istimewa dan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat:
a. negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU;
b. negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.

2.11.Wilayah Negara
NKRI merupkaan sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan
wilayah yang batas dan haknya ditetapkan dengan UU.

2.12.Warga Negara dan Penduduk:


a. warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
yang disahkan dengan UU sebagai warga negara;
b. penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia;
c. hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan UU;
d. segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya;
e. setiap warga negara berhak atas pekerjaan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan;
f. setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.

2.13.Hak Asasi Manusia


Perubahan Kedua UU NRI 1945 semakin memperkokoh jaminan konstitusional
- 13 -

terhadap perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia sebagai berikut:


a. setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya;
b. setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah;
c. setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
d. setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif;
e. setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali;
f. setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya;
g. setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat;
h. setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia;
i. setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
j. setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atas perlakuan yang
merendahkan derajat martabat kemanusiaan dan berhak memperoleh
suaka politik dari negara lain;
k. setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan;
l. setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan;
m. setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;
n. setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun;
o. setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
- 14 -

kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;


p. setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;
q. setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
r. setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun meliputi: (i) hak
untuk hidup; (ii) hak untuk tidak disiksa; (iii) hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani; (iv) hak beragama; (v) hak untuk tidak diperbudak; (vi) hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum; dan (vii) hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut. Selain itu ditentukan pula bahwa identitas budaya
dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Dasar juga
mengatur kewajiban yang harus dipenuhi sehubungan dengan hak asasi
manusia sebagai berikut:
a. setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.

2.14.Agama:
a. negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.

2.15.Pertahanan dan Keamanan Negara:


a. setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara;
b. usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan kemananan rakyat semesta oleh Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan
utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung;
- 15 -

c. Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,


dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan,
melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara;
d. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum;
e. susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan
tugasnya, syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara, serta hal yang terkait dengan pertahanan dan
keamanan diatur dengan UU.

2.16.Pendidikan dan Kebudayaan:


a. setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
b. setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya;
c. pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan UU;
d. negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%
(dua puluh persen) dari APBN serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional;
e. pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai agama dan persamaan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia;
f. negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai budayanya.

2.17.Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial:


a. perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan;
b. cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
c. bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat;
d. perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
- 16 -

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan


menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
e. ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perekonomian nasional
diatur dalam UU;
f. fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara;
g. negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan;
h. negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak;
i. ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kesejahteraan sosial diatur
dalam UU.

2.18.Keuangan:
a. APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap
tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung
jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b. RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD;
c. Apabila DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diusulkan Presiden,
Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu;
d. pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan UU;
e. macam dan harga mata uang ditetapkan dengan UU;
f. hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan UU;
g. negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU.

2.19.Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara:


a. bendera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih;
b. bahasa negara Indonesia ialah bahasa Indonesia;
c. lambang negara Indonesia ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika;
d. lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya;
e. ketentuan lebih lanjut mengenai bendera, bahasa dan lambang
negara, serta lagu kebangsaan diatur dengan UU.

Berdasarkan uraian penjelasan di atas maka dalam pelaksanaan harmonisasi


- 17 -

rancangan peraturan perundang-undangan dengan UUD NRI 1945 agar


diupayakan:
a. memastikan pasal dalam UUD NRI 1945 yang menjadi dasar kewenangan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dicantumkan
dengan benar dalam konsiderans mengingat;
b. memastikan pasal dalam UUD NRI 1945 yang memerintahkan pembentukan
rancangan undang-undang dicantumkan secara benar dalam konsiderans
mengingat;
c. dipelajari secara seksama pasal dalam UUD NRI 1945 yang relevan dengan
materi muatan yang diatur dalam dalam rancangan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan; dan
d. telaah secara mendalam apakah pasal dalam rancangan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan sudah selaras dengan prinsip-prinsip
penyelenggaraan negara yang diatur dalam UUD NRI 1945.

3. Dimensi Vertikal

Pelaksanaan harmonisasi materi muatan rancangan peraturan perundang-


undangan secara vertikal merupakan harmonisasi rancangan peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya
dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan prinsip hierarki
peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Pelaksanaan harmonisasi materi muatan rancangan peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan
dengan menggunakan pedoman sebagai berikut:
a. pastikan terlebih dahulu adanya pendelegasian langsung atau tidak langsung
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi untuk mengatur atau
mengatur lebih lanjut dengan atau dalam peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah;
b. pastikan pula jenis peraturan perundang-undangan yang ditentukan dalam
pendelegasian tersebut serta diperhatikan juga rumusan pendelegasian
tersebut apakah dimungkinkan untuk mensubdelegasikan kepada peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah lagi;
c. pastikan batas pengaturan yang ditetapkan atau ruang lingkup materi muatan
yang didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dengan atau dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tersebut;
d. peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh mengatur materi
muatan yang melampaui kewenangan yang didelegasikan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi karena hal tersebut dapat
mengakibatkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atas dasar materi muatannya
melampaui kewenangan yang didelegasikan;
- 18 -

e. perhatikan pasal peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang


memberikan pendelegasian dan keterkaitannya dengan pasal peraturan
perundang-undangan lain yang setingkat yang relevan dengan materi muatan
yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
f. gunakan istilah atau pengertian yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi secara konsisten;
g. peraturan perundang-undangan yang lebih rendah menjabarkan lebih lanjut
secara operasional atau secara teknis ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi;
h. materi muatan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah harus saling berhubungan secara logis dengan peraturan
perundang-undangan yang relevan dan lebih tinggi kedudukannya dalam
hierarki agar peraturan perundang-undangan tersebut serasi dan selaras satu
sama lain membentuk satu kesatuan sistem yang koheren.

4. Dimensi Horizontal

Peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari sistem hukum nasional


memang harus memperhatikan homogenitas logikal agar dalam interaksinya satu
sama lain secara fungsional mendukung efektivitas keberlakuannya karena
susunannya yang sistematis, logis, dan rasional. Oleh karena itu, materi muatan
peraturan perundang-undangan yang setingkat harus serasi dan selaras satu sama
lain untuk menjamin kepastian hukum. Pelaksanaan harmonisasi materi muatan
rancangan peraturan perundang-undangan secara horizontal dimaksudkan agar
tidak ada pertentangan atau tumpang tindih antara materi muatan peraturan
perundang-undangan yang setingkat yang mengatur mengenai hal sama atau saling
berhubungan satu sama lain dalam satu rumpun peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan harmonisasi materi muatan rancangan peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat dilakukan dengan
menggunakan pedoman sebagai berikut:
a. peraturan perundang-undangan yang setingkat dan dalam satu rumpun
peraturan perundang-undangan, misalnya rumpun UU Pidana, UU Perdata, UU
Lingkungan Hidup, UU Jaminan sosial, UU Kekayaan Intelektual atau rumpun
UU Politik agar menggunakan istilah atau pengertian yang sama secara
konsisten;
b. istilah atau pengertian yang berlaku secara umum untuk semua rumpun
peraturan perundang-undangan agar dibakukan dan digunakan secara
konsisten;
c. sistem informasi peraturan perundang-undangan berbasis internet pada
lembaga pemerintah dapat mempermudah penelusuran peraturan perundang-
undangan yang secara horizontal mempunyai relevansi dengan rancangan
peraturan perundang-undangan yang sedang disusun dengan menampilkan
kata kunci yang menjadi esensi materi muatan yang akan diatur;
d. materi muatan yang akan diatur dalam rancangan peraturan perundang-
undangan agar diharmonisasikan secara horizontal dengan peraturan
- 19 -

perundang-undangan yang terkait atau relevan agar tidak terjadi tumpang tindih
atau saling bertentangan;
e. dalam hal rancangan peraturan perundang-undangan yang sedang disusun
merupakan hal yang diatur secara khusus dari peraturan perundang-undangan
yang telah ada, perlu ada ketentuan yang menyatakan relasi yang demikian.
Contoh:
1. Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menentukan sebagai
berikut: “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seberapa jauh
daripadanya dalam Kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-
penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam
Kitab ini;
2. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, menentukan sebagai berikut: “Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak
pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.” Pasal tersebut
menunjukkan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, merupakan hal yang diatur
secara khusus dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
f. norma yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
tidak perlu diatur kembali dalam rancangan peraturan perundang-undangan
yang sedang disusun, cukup dirujuk saja, kecuali apabila diperlukan karena
erat relevansinya dengan norma lainnya dalam rancangan dan dalam hal
demikian maka rumusannya harus sama dengan rumusan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
g. dalam pelaksanaan Harmonisasi secara horizontal, pembahasan oleh instansi
terkait terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan diutamakan
dari sisi keselarasan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi
ruang lingkup tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan.

5. Dimensi Yurisprudensi

Yurisprudensi termasuk hukum positif yang bersifat umum dan berasal dari
putusan hakim. Sedangkan putusan hakim itu sendiri merupakan hukum yang
bersifat konkrit dan khusus yang berlaku pada subyek yang terkena atau terkait
langsung dengan amar putusan. Dengan demikian, pada saat putusan hakim
diterima sebagai yurisprudensi maka asas atau kaidahnya menjadi bersifat umum
dan dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hukum bagi siapa saja.
Tentunya yurisprudensi patut dijadikan pertimbangan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan meskipun Indonesia tidak menjalankan sistem preseden
(precedent) sehingga yurisprudensi hanya mempunyai kekuatan persuasif saja.
Dalam konteks lain juga dapat dipahami tentang yurisprudensi yaitu bahwa
UU sebagai produk lembaga legislatif sederajat kedudukannya dengan yurisprudensi
- 20 -

sebagai produk lembaga yudikatif yang telah mendapat kekuatan berlaku tetap (in
kracht). Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan terus
menerus diikuti oleh hakim kemudian dalam memutus perkara yang sama memang
patut dipertimbangkan oleh penyusun rancangan peraturan perundang-undangan
karena dalam putusan hakim itulah hukum yang umum abstrak menjadi sesuatu
yang nyata dan dapat dirasakan oleh pencari keadilan.
Putusan MK yang bersifat final terutama yang berkaitan dengan pengujian
UU terhadap UUD NRI 1945 sangat penting untuk diperhatikan karena dalam
Putusan MK tersebut dapat diketahui materi muatan UU seperti apa yang
dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau yang konstitusional bersyarat
serta materi muatan UU seperti apa yang dinyatakan konstitusional. Keberadaan MK
memang dimaksudkan sebagai langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja
antar lembaga negara dalam rangka melaksanakan prinsip pengawasan dan
keseimbangan (check and balances) yang menempatkan semua lembaga negara
dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan
negara. Keberadaan MK juga sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the
constitution) dan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution).
Berikut ini dikemukakan intisari beberapa putusan penting MK dalam perkara
pengujian UU terhadap UUD NRI 1945.
1. Putusan Perkara Nomor 012-016-OM/PUU-IV/2006 perihal pengujian Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
dengan uji materi muatan terhadap Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: proses pembentukan hukum dan materi muatannya (incasu UU)
harus mengindahkan prinsip demokrasi dan praktik demokrasi harus tunduk
pada prinsip negara hukum (rechtstaat, rule of law) yang menempatkan UUD
NRI 1945 sebagai hukum tertinggi (Supreme Law)
2. Putusan Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dengan uji materi muatan terhadap
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah berarti
pelangaran terhadap due process of law dan karenanya bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah
Negara Hukum.
3. Putusan Perkara Nomor 0013/PUU-I/2003 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 pada peristiwa
Peledakan Bom Bali 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang, dengan uji
materi muatan terhadap Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: penindakan terhadap setiap bentuk kejahatan yang terjadi
haruslah dilakukan dengan menegakkan hukum (law enforcement) secara adil
dan pasti, bukan dengan cara membuat norma hukum baru (law making)
melalui pembentukan Perppu ataupun UU baru. Apalagi jika ternyata kebijakan
legislasi semacam itu didasarkan atas pertimbangan yang bersifat politis
(political judgment).
- 21 -

4. Putusan Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 perihal pengujian Undang-Undang


Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dengan uji materi muatan terhadap
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: Indonesia adalah negara hukum, yang dengan demikian berarti
bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagai bagian dari hak asasi
manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara, kendatipun
Undang-Undang Dasar tidak secara eskplisit mengatur atau menyatakannya,
dan oleh karena itu negara wajib menjamin pemenuhannya. Akses terhadap
keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara fair melekat pada
ciri negara hukum (rule of law), dan kerenanya dinilai sebagai hak
konstitusional.
5. Putusan Perkara Nomor 15/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan uji materi muatan
terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: ada 2 (dua) subtansi yang menjadi amanat konstitusi yang
terkandung dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tersebut. Pertama, bahwa
pengisian jabatan kepala daerah harus dilakukan melalui pemilihan umum.
Kedua, pemilihan tersebut harus dilakukan secara demokratis, artinya harus
memenuhi kaidah demokrasi.
6. Putusan Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan uji materi muatan
terhadap Pasal 18 B ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: untuk menyusun pemerintahan daerah khusus, yang mempunyai
daerah dibawahnya, tidak selalu harus dalam bentuk daerah otonomi yang
bertingkat, melainkan harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah itu sendiri
sebagai daerah khusus.
7. Putusan Perkara Nomor 010/PUU-I/2003 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 53
Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan
Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Kadirman,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam, dengan uji
materi muatan terhadap Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 tidaklah dimaksudkan untuk
dijadikan dasar pembagian wilayah negara melainkan merupakan penegasan
bahwa negara berkewajiban untuk mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya yang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam UU.

8. Putusan Perkara Nomor 31/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang


Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Provinsi Maluku,
dengan uji materi muatan terhadap Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan
secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial,
genealogis, maupun bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-
unsur: (i) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in
- 22 -

group feeling); (ii) adanya pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta
kekayaan dan/atau benda adat; dan (iv) adanya perangkat norma hukum adat;
dan khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga
terdapat unsur (v) adanya wilayah tertentu.
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai
dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat
tersebut: (i) keberadaannya diakui berdasarkan UU yang berlaku sebagai
pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat
dewasa ini, baik UU yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti
bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam Peraturan
Daerah; (ii) subtansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga
kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas
serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan
prinsip NKRI apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak
mengganggu eksistensi NKRI sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan
hukum yaitu: (i) keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas
NKRI; (ii) subtansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.

9. Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2003 perihal pengujian Undang-Undang


Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan uji materi muatan
terhadap Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: Hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud
Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 merupakan penilaian subjektif Presiden,
sedangkan objektifitasnya dinilai oleh DPR dalam persidangan yang
berikutnya. Hal ikhwal kegentingan yang memaksa yang dimaksud Pasal 22
ayat (1) tidak sama dengan keadaan bahaya seperti yang dimaksud Pasal 12
UUD NRI 1945.

10. Putusan Perkara Nomor 10/PUU-VI/2008 perihal pengujian Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemiihan Umum, dengan uji materi muatan
terhadap Pasal 22 C ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: desain konstitusional DPD sebagai organ konstitusi sebagai
representasi daerah dari setiap provinsi, Anggota DPD dipilih melalui pemilihan
umum dari setiap provinsi dengan jumlah yang sama, berdasarkan pencalonan
secara perseorangan, bukan melalui partai sebagai peserta pemilihan umum.

11. Putusan Perkara Nomor 008/PUU-IV/2006 perihal pengujian Undang-Undang


Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik, dengan uji materi muatan terhadap Pasal 22
E ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali tidak berarti
- 23 -

bahwa dalam masa lima tahun tersebut tidak dimungkinkan adanya


penggantian sama sekali terhadap Anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun
Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih dalam pemilihan umum.
12. Putusan Perkara Nomor 002/PUU-II/2004 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
dengan uji materi muatan terhadap Pasal 22 E ayat (6) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: pembentuk UU bebas menentukan isi UU, kecuali hal-hal yang
secara tegas sudah digariskan oleh UUD NRI 1945.
13. Putusan Perkara Nomor 16/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
dengan uji materi muatan terhadap Pasal 22 E ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: makna ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur
dengan UU, dalam Pasal 22 E ayat (6) UUD NRI 1945. Hal ini berarti bahwa
pembentuk UU berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemilihan
umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang UU yang
mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
14. Putusan Perkara Nomor 3/PUU-VI/2008 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dengan uji
materi muatan terhadap Pasal 23 E ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: kebebasan dan kemandirian yang dimaksud Pasal 23 E ayat (1)
UUD NRI 1945 tidak boleh ditafsirkan hanya dalam kaitan dengan
pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melainkan juga mencakup
kebebasan dan kemandirian dalam pelaksanaan kewenangan konstitusional
BPK yang diberikan oleh UUD NRI 1945. Kebebasan dan kemandirian BPK
dalam melaksanakan kewenangan dimaksud bukanlah tanpa batas melainkan
harus tetap tunduk pada ketentuan UU yang berkait dengan pelaksanaan
kewenangan itu, dalam hal ini UU tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Kata satu dalam Pasal 23 E UUD NRI 1945 merupakan penegasan bahwa
tidak boleh ada badan atau lembaga lain yang memiliki kewenangan
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
kebebasan dan kemandiriannya sama dengan BPK dan kedudukannya
sederajat dengan BPK. Jika pemerintah (Presiden) – untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan adanya internal audit – memandang perlu membentuk suatu
instansi tersendiri, maka hal demikian dimungkinkan oleh UUD NRI 1945.
Kebebasan dan kemandirian instansi demikian tidak sama dengan kebebasan
dan kemandirian BPK. Kedudukannya pun tidak sederajat dengan BPK, karena
ia merupakan bagian dari pemerintah (eksekutif).
15. Putusan Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dengan uji materi muatan
terhadap Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: frasa badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Pasal 24
- 24 -

ayat (2) UUD NRI 1945, frasa dimaksud mengandung pengertian bahwa secara
melekat (inherent) Mahkamah Agung mempunyai fungsi pengawas tertinggi
dari seluruh badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawahnya. Ruang lingkup fungsi pengawasan dimaksud mencakup ruang
lingkup bidang teknis, justisial, administrasi, maupun perilaku hakim yang
berkaitan dengan kode etik dan perilaku.
16. Putusan Perkara Nomor 012-016-019/PUU- IV/2006 perihal pengujian Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
dengan uji materi muatan terhadap Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: pembentukan pengadilan-pengadilan khusus, sepanjang masih
berada dalam salah satu dari 4 lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945, dimungkinkan.
17. Putusan Perkara Nomor 004/PUU-II/2004 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dengan uji materi muatan
terhadap Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, namun hal ini tidak berarti
bahwa untuk menentukan bahwa lingkungan peradilan itu berpuncak pada
Mahkamah Agung haruslah selalu dibuka kemungkinan untuk mengajukan
kasasi bagi setiap perkara yang diputuskan oleh pengadilan yang
bersangkutan.
18. Putusan Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 perihal pengujian Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
dengan uji materi muatan terhadap Pasal 24 A ayat (5) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: pengertian frasa diatur dengan Undang-Undang dalam Pasal 24
A ayat (5) UUD NRI 1945 berarti pembentukan badan peradilan dibawah
Mahkamah Agung harus dilakukan dengan UU.
19. Putusan Perkara Nomor 024/PUU-III/2005 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan uji materi
muatan terhadap Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: apabila suatu UU ternyata meniadakan suatu hak bagi beberapa
orang, tetapi memberikan hak demikian kepada orang lainnya maka keadaan
demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap equal proctection.
20. Putusan Perkara Nomor 29/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, dengan uji materi muatan terhadap
Pasal 28 C ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: dalam proses penciptaan karya seni, kebebasan berkreasi
seniman tidak boleh dihambat, dihalang-halangi, apalagi dilarang. Sebab
penghambatan tersebut bertentangan dengan hak konstitusional yang
tercantum dalam Pasal 28 C ayat (1) UUD NRI 1945. Namun begitu suatu hasil
karya cipta memasuki dan berada di ranah publik, maka kebebasan berkreasi
seniman harus berkompromi atau memperhatikan bidang-bidang lain serta
kepentingan orang lain dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

21. Putusan Perkara Nomor 5/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang


- 25 -

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan uji materi


muatan terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 J ayat (1), dan
Pasal 28 J ayat (3), serta Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
yang dijamin oleh Pasal 28 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa pengaturan tata cara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan kebijakan (policy)
UU yang harus berlaku umum atau sama dalam setiap ketentuan peraturan
perundang-undangan di daerah masing-masing, sehingga tidak menimbulkan
dualisme hukum antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di
daerah satu dengan daerah lainnya. Selain itu, pemberian kesempatan kepada
calon perseorangan bukan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan karena
keadaan darurat ketatanegaraan yang harus dilakukan (staatsnoodrecht), tetapi
lebih sebagai pemberian peluang oleh pembentuk UU dalam pelaksaan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis.

22. Putusan Perkara Nomor 012-016, 019/PUU-IV/2006 perihal pengujian Undang-


Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
dengan uji materi muatan terhadap Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: salah satu bentuk pelanggaran terhadap Pasal 28 D ayat (1)
UUD NRI 1945 adalah terdapatnya dua pengadilan yang berbeda dalam
lingkungan peradilan yang sama, tetapi dengan hukum acara yang berbeda
dan susunan majelis hakim serta kewajiban memutuskan dalam jangka waktu
tertentu secara berbeda, padahal menyangkut perbuatan orang yang sama-
sama didakwa melakukan tindakan pidana korupsi, yang diancam pidana oleh
UU yang sama, yang dapat menghasilkan putusan akhir yang berbeda.

23. Putusan Perkara Nomor 1/PUU-V/2007, dengan uji materi muatan terhadap
Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: salah satu wujud adanya kepastian hukum (rechtzekerheid)
antara lain setiap UU yang menyangkut keputusan/penetapan Tata Usaha
Negara (beschiking), selalu ditentukan mengenai tenggang waktunya, yakni
sampai kapan keputusan/penetapan (beschiking) dapat digugat di pengadilan.

24. Putusan Perkara Nomor 21-22/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang


Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dengan uji materi muatan
terhadap Pasal 28 G ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: pembatasan termasuk melakukan larangan terhadap pemilik
modal untuk memindahkan asetnya, adalah konstitutional sepanjang dipenuhi
salah satu persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI
1945.

25. Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 perihal pengujian


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dengan uji
materi muatan terhadap Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: pengaturan tentang sumber daya air harus masuk ke dalam
sistem hukum publik yang terhadapnya tidak dapat dijadikan objek pemilikan
dalam pengertian hukum perdata. Oleh karena itu, satu-satunya konsep hak
- 26 -

yang sesuai dengan hakikat pengaturan tersebut adalah hak atas air sebagai
hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam konstitusi. Mahkamah
berpendapat konsep hak guna pakai air sebagaimana telah dirumuskan dalam
UU Sumber Daya Alam harus ditafsirkan sebagai turunan (derivatif) dari hak
hidup yang dijamin oleh UUD NRI 1945.
26. Putusan Perkara Nomor 19/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan uji
materi muatan terhadap Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: esensi dari ketentuan Pasal 28 J ayat (1) UUD NRI 1945 adalah
penegasan bahwa dalam setiap hak selalu melekat kewajiban, paling tidak
kewajiban untuk tidak menyalahgunakan hak itu.
27. Putusan Perkara Nomor 28/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, dengan uji materi muatan terhadap
Pasal 30 ayat (4) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: kewenangan polisi sebagai penyidik tunggal bukan lahir dari
UUD NRI 1945 tetapi dari UU. Kata sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya, seperti kejaksaan, diberi wewenang
untuk melakukan penyidikan.
28. Putusan Perkara Nomor 24/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan uji materi
muatan terhadap Pasal 31 ayat (4) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD NRI 1945 tidak membuka
adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa: (i) negara wajib
memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD; (ii) prioritas
dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.
29. Putusan Perkara Nomor 001-021-0221/PUU- I/2003 perihal pengujian Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dengan uji materi
muatan terhadap Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: perkataan dikuasai oleh negara haruslah diartikan mencakup
makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal
dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk
didalamnya pengetian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-
sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh
UUD NRI 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan
kebijakan (beleid) dan tindak pengurusan (bestuurdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheerdaad) dan pengawasan (toezicht
houdensdaad), untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

30. Putusan Perkara Nomor 21-22/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang


Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dengan uji materi muatan
terhadap Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: Ketentuan dikuasai oleh negara berlaku, yaitu terhadap: (i)
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan sekaligus menguasai
hajat hidup orang banyak; (ii) cabang-cabang produksi yang penting bagi
- 27 -

negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; (iii) cabang-cabang
produksi yang tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang
banyak; (iv) bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung didalam
bumi dan air itu.
31. Putusan Perkara Nomor 007/PUU-III/2005 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dengan uji
materi muatan terhadap Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: UU SJSN cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD NRI
1945, yakni bahwa sistem yang dipilih itu mencakup seluruh rakyat dengan
maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ketentuan Pasal 52 UU SJSN
justru dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) untuk
menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid), karena belum adanya badan
penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan agar UU SJSN
dapat dilaksanakan. Selain itu, Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (2) UU SJSN
akan menimbulkan multi tafsir dan ketidakpastian hukum, serta Pasal 5 ayat (4)
UU SJSN dapat menutup peluang bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk
badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dalam kerangka Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Sedangkan Pasal 5 ayat (1) UU SJSN tidak
bertentangan dengan UUD NRI 1945 asalkan ditafsirkan bahwa yang dimaksud
oleh ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara jaminan
sosial tingkat nasional yang berada di pusat.
32. Putusan Perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dengan uji materi muatan terhadap
Pasal 28 A, Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI 1945:
Pendapat MK: Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada original intent
pembentuk UUD NRI 1945 yang menyatakan hak asasi manusia dapat
dibatasi. Hal ini diperkuat pula dengan penempatan Pasal 28 J UUD NRI 1945
sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi
manusia dalam Bab XA UUD NRI 1945. Jadi secara penafsiran sistematis
(sistimatische interpretasie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28 A
sampai dengan Pasal 28 I UUD 1945 tunduk pada pembatasan hak asasi
manusia yang diatur dalam Pasal 28 J UUD NRI 1945. Ketentuan pidana mati
dalam UU tentang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, karena
kualifikasi tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati dalam UU
tersebut, dapat disetarakan dengan the most serious crime menurut
kentuan Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Mahkamah Konstitusi memberikan beberapa catatan penting, dalam rangka
pembaruan hukum nasional harmonisasi peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan pidanan mati maka perumusan, penerapan, maupun
pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana Indonesia hendaklah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa pidana mati bukan lagi
merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan
alternatif. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum
dewasa, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang
sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan
terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Selain itu demi kepastian hukum
yang adil, Mahkamah Konstitusi juga menyarankan agar semua putusan
- 28 -

pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap segera dilaksanakan.

Masih banyak yurisprudensi MK yang termuat dalam putusan-putusannya


sejak berdirinya tahun 2003 sampai sekarang. Dalam pertimbangan hukum
Putusan MK tersebut dapat ditemukan penafsiran terhadap makna pasal UUD NRI
1945 sehubungan dengan permohonan pengujian konstitusionalitas pasal UU
tertentu. Perancang peraturan perundang-undangan yang ditugasi melakukan
harmonisasi materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan perlu
mendalami Putusan MK tersebut dan terus menerus mengikuti perkembangannya,
yang dapat diakses langsung melalui jejaring informasi berbasis internet yang
dikembangkan oleh MK.
Selain yurisprudensi yang diciptakan oleh MK, yurisprudensi yang diciptakan
oleh MA yang merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan
peradilan yang berada dibawahnya (peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara), juga sangat penting untuk diperhatikan
dalam harmonisasi materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan.
Berikut ini dikemukakan intisari beberapa putusan penting MA yang telah menjadi
yurisprudensi.
1. Putusan MA Nomor 2678K/Pdt/1992 tanggal 27-10-1994
Yurisprudensi MA: bank cabang sebagai perpanjangan bank pusat dapat
digugat dan menggugat.
2. Putusan MA Nomor 41K/Pdt/1990
Yurisprudensi MA: aparat peradilan yang bertindak melaksanakan tugas-tugas
teknis peradilan atau kekuasaaan kehakiman tidak dapat diperkarakan
secara perdata. Tindakan aparat peradilan yang melanggar kewenangan atau
melampui batas yang dibenarkan dalam hukum, dapat diajukan kepada instansi
peradilan yang lebih tinggi, dalam hal ini Pengadilan Tinggi atau Mahkamah
Agung untuk diadakan tindakan pengawasan. Atas tindakan penyelenggaraan
peradilan yang mengandung cacat hukum dapat diajukan gugatan perdata
untuk pembatalan, dengan menarik sebagai tergugat pihak yang mendapatkan
hak dari tindakan tersebut, dan bukan hakim, juru sita atau panitera yang
bersangkutan.
3. Putusan MA Nomor 1816K/Pdt/1989
Yurisprudensi MA: pembeli tidak dapat dikualifikasikan sebagai yang beritikad
baik, karena pembelian dilakukan dengan ceroboh, ialah pada saat pembelian
ia sama sekali tidak meneliti hak dan status para penjual tanah terperkara.
Karena itu ia tidak pantas dilindungi dalam transaksi itu mengandung kesalahan
teknis sertifikat tanah, dapat dibatalkan.
4. Putusan MA Nomor 3280K/Pdt/1995 tanggal 20 Juni 1996
Yurisprudensi MA: sewa menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis
tanpa batas waktu yang ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu
3 tahun.
5. Putusan MA Nomor 922K/Pdt/1995 tanggal 31-10-1997
Yurisprudensi MA: status keperdataan prinsipal tidak dapat dialihkan kepada
- 29 -

guarantor di luar tuntutan pembayaran utang karena penjamin atas utang


principal yang tidak mampu membayar utang, maka kepada guarantor tidak
dapat dimintakan pailit sedangkan yang dapat dituntut hanyalah pelunasan
utang principal.
6. Putusan MA Nomor 116K/TUN 1995 tanggal 29-9-1997
Yurisprudensi MA: kantor pelayanan pajak berwenang menerbitkan surat paksa
sebagai pelaksanaan penagihan pajak.
7. Putusan MA Nomor 144K/TUN 1998 tanggal 29-9-1999
Yurisprudensi MA: pembongkaran yang dilakukan tanpa surat perintah/surat
pemberitahuan terlebih dahulu, merupakan perbuatan faktual dan bukan
wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan
menyelesaikannya, tetapi harus digugat berdasarkan perbuatan melawan
hukum oleh penguasa (onrechtmatigedaad) di pengadilan umum.
8. Putusan MA Nomor 62K/TUN 1998 tanggal 27-7-2001
Yurisprudensi MA: akta yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) (in casu akta perusahaan dan akta jual beli) adalah bukan keputusan
tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga tidak
dapat dijadikan objek sengketa tata usaha negara, karena meski dibuat oleh
PPAT sebagai pejabat tata usaha negara, namum dalam hal ini pejabat
tersebut bertindak sebagai pejabat umum dalam bidang perdata.
9. Putusan MA Nomor 93K/TUN 1996 tanggal 24-2-1998
Yurisprudensi MA: gugatan mengenai fisik tanah sengketa dan kepemilikannya
adalah wewenang dari Pengadilan Perdata.
10. Putusan MA Nomor 316K/TUN 1998 tanggal 3-5-2001
Yurisprudensi MA: apabila dalam tenggat waktu 4 bulan sejak permohonan
penggugat, pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang riil,
maka ia dianggap telah mengeluarkan putusan penolakan atau putusan yang
bersifat fiktif negatif.
11. Putusan MA Nomor 350K/AG/1991 tanggal 28-5-1997
Yurisprudensi MA: dalam pembagian waris menurut Hukum Islam maka harta
warisan tersebut harus dibagi diantara para ahli warisnya dengan perbandingan
dua bagian bagi anak laki-laki dan satu bagian bagi anak perempuan. Para ahli
waris dapat membagi harta warisan sama rata, setelah mereka mengetahui
bagiannya masing-masing.

12. Putusan MA Nomor 76K/AG/1992 tanggal 23-10-1993


Yurisprudensi MA: hibah yang melebihi 1/3 dari luas objek sengketa yang
dihibahkan adalah bertentangan dengan ketentuan hukum.
13. Putusan MA Nomor 02K/AG/1985
Yurisprudensi MA: untuk sahnya perkawinan seorang wanita yang telah
berumur 24 tahun dan berstatus janda, tidak diperlukan izin orang tua atau wali.
- 30 -

14. Putusan MA Nomor 821K/Pid/1996 tanggal 29-9-1997


Yurisprudensi MA: hukum tidak mengenal kata hampir dewasa bagi orang
yang baru berumur 14 tahun, dalam tindak pidana pemerkosaan, perbuatan
cabul.
15. Putusan MA Nomor 1046K/Pid/1997 tanggal 14-11-1997
Yurisprudensi MA: putusan perkara perdata yang mengabulkan gugatan
pemohon peninjauan kembali dapat diajukan sebagai novum dalam perkara
peninjauan kembali pidana yang membatalkan putusan kasasi dan
membebaskan terdakwa dari tuntutan.
16. Putusan MA Nomor 1558K/Pid/1998 tanggal 29-1-1999
Yurisprudensi MA: dalam hal salah seorang terdakwanya masih berumur 17
tahun, sesuai dengan asas peradilan anak, maka pemeriksaan perkara yang
bersangkutan dilakukan secara tertutup.
17. Putusan MA Nomor 52K/Pid/1997 tanggal 22-1-1998
Yurisprudensi MA: judex facti telah salah menerapkan hukum, karena
dakwaan didasarkan pada UU yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi,
sehingga penuntutannya tidak dapat diterima.
18. Putusan MA Nomor PUT/74/K/POL/ XI/1990 tanggal 11-9-1990
Yurisprudensi MA: dengan sengaja melakukan desersi pada waktu damai,
terbukti, karena terdakwa telah meninggalkan kesatuannya tanpa izin
komandan kesatuannya atau atasannya yang ditunjuk untuk itu, selama 19
(sembilan belas hari) hari, sedangkan pada saat itu negara dalam keadaan
tidak perang dan kesatuan-kesatuan di seluruh wilayah tidak dalam keadaan
disiagakan.
19. Putusan MA Nomor 933 K/Mil//1994 tanggal 28-8-1997
Yurisprudensi MA: dalam putusan perkara pidana syarat khusus
mengembalikan uang milik korban pada hakikatnya adalah masalah perdata
dan oleh karenanya tidak dapat disamakan dengan kaharusan mengganti
kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 14 C ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHP).
20. Putusan MA Nomor 38K/Mil/1997 tanggal 30-9-1998
Yurisprudensi MA: keterangan para saksi bersumber pada keterangan satu
orang saksi yang terdapat dalam Berita Acara Pemeriksaan, yang
diberitahukan kepada para saksi, untuk selanjutnya memberi keterangan
dipersidangan sebagai keterangan kesaksian masing-masing, oleh karena itu
keterangan tersebut bukan tentang apa yang didengar sendiri, dilihat sendiri,
ataupun dialami sendiri sebagaimana dimaksud Pasal 1 ke 27 KUHP dan juga
tidak dapat disimpulkan sebagai petunjuk dimaksud Pasal 184 jo Pasal 188
KUHP.

Yuriprudensi yang diciptakan oleh MA maupun MK yang bertolak dari kasus-


kasus konkrit yang diperiksa, diadili, dan diputus berdasarkan hukum dengan
memahami nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, secara induktif dapat
- 31 -

dijadikan pertimbangan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang


memuat norma hukum yang bersifat umum dan abstrak yang sesuai dengan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Singkatnya, betapa pentingnya
yurisprudensi untuk dipelajari, disamping perundang-undangan, oleh karena di
dalam yurisprudensi terdapat banyak ketentuan yang berlaku dalam masyarakat,
akan tetapi yang tidak dapat terbaca di dalam peraturan perundang-undangan. Jadi
memahami hukum dalam perundang-undangan saja, tanpa mempelajari
yurisprudensi tidaklah lengkap.

6. Dimensi Asas Hukum

Peraturan perundang-undangan yang baik dihasilkan dari pembentukan


rancangan peraturan perundang-undangan yang dilakukan berdasarkan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, asas materi muatan peraturan
perundang-undangan, dan asas hukum lainnya serta selaras dengan Pancasila,
UUD NRI 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan peraturan perundang-undangan
lainnya secara vertikal dan horizontal. Pada aspek selaras dengan asas hukum,
berikut ini dikemukakan uraian pembahasannya untuk menjadi pedoman dalam
pelaksanaan harmonisasi materi muatan rancangan peraturan perundang-
undangan.

8.1. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan terdiri dari 7 (tujuh) asas.


Ketujuh jenis asas tersebut, sebagai berikut:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Asas kejelasan tujuan dimaknai bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Terhadap asas ini maka dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu dicermati hal
sebagai berikut:
a. apakah latar belakang yang mendorong pembentukan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan? (Hal tersebut dapat dibaca dalam konsiderans
menimbang dan penjelasan umum atau pasal yang memuat maksud dan tujuan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan);
b. tujuan, juga dapat dibaca dalam Naskah Akademik (NA), apabila rancangan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan disertai NA;
- 32 -

c. selanjutnya teliti dengan seksama pasal yang mengatur cara mencapai tujuan
dan instrumen yang digunakan agar betul-betul efektif dalam mencapai tujuan
(Pada peraturan perundang-undangan yang bersifat simbolik cara dan
instrumen untuk mencapai tujuan tidak disiapkan, karena tujuan
pembentukannya memang untuk memberi kesan politis bahwa hal tersebut
sudah diatur).
Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dimaknai bahwa
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. Oleh karena itu
dalam pelaksanaan Harmonisasi agar dipastikan bahwa: (i) lembaga/ pejabat yang
memprakarsai penyusunan peraturan perundang-undangan adalah lembaga/pejabat
yang berwenang untuk membentuk atau menetapkan jenis peraturan perundang-
undangan tertentu; (ii) lembaga/pejabat yang bersangkutan telah mendapat ijin
prakarsa dari Presiden dalam hal untuk jenis peraturan perundang-undangan
tertentu dipersyaratkan adanya ijin prakarsa; (iii) adanya pendelegasian dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi untuk jenis peraturan perundang-
undangan delegasian.
Mengenai asas organ yang tepat ini, penting untuk dicermati Putusan MK
dalam Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 tentang pengujian Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD NRI 1945 dimana MK dalam
pertimbangan hukum antara lain menyatakan: ”Pasal 62 UU Penyiaran menyatakan
bahwa kewenangan regulasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama pemerintah
tersebut dituangkan dalam produk hukum Peraturan Pemerintah, padahal
berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945, Peraturan Pemerintah
adalah produk hukum yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-
undang sebagaimana mestinya. Presiden dalam membuat Peraturan Pemerintah
dapat saja memperoleh masukan dari berbagai sumber yang terkait dengan pokok
masalah yang akan diatur, tetapi sumber dimaksud tidak perlu dicantumkan secara
eksplisit dalam UU yang memerlukan Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaannya.
Dengan demikian ketentuan dalam Pasal 62 UU Penyiaran tersebut memang
bertentangan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Perlu ditambahkan, bahwa sesuai dengan prinsip pembatasan
kekuasaan negara hukum, KPI sebagai lembaga negara tidak boleh sekaligus
melaksanakan fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi yustisi, sehingga fungsi
membuat Peraturan Pemerintah harus dikembalikan sepenuhnya kepada
Pemerintah (Presiden).
Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan dimaknai bahwa
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan. Untuk itu dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu
dipastikan: (i) RUU, materi muatannya berupa norma primer dan dapat disertai
norma sekunder; (ii) rancangan peraturan perundang-undangan di bawah UU yang
berfungsi sebagai pelaksana UU yang bersumber dari kewenangan delegasi, atau
peraturan perundang-undangan otonom bersumber dari kewenangan atribusi materi
muatannya mengatur lebih lanjut atau mengatur teknis pelaksanaan peraturan
perundang-undangan di atasnya.
- 33 -

Asas dapat dilaksanakan dimaknai bahwa setiap pembentukan peraturan


perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-
undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis. Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu dipastikan: (i) adanya
dukungan sosial yang cukup luas; (ii) apakah organ pelaksana sudah ada atau perlu
dibentuk organ yang baru; (iii) kemampuan pembiayaan dan sumber pendanaan
yang jelas; (iv) sumber daya manusia yang diperlukan.
Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan dimaknai bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu dipastikan: (i) apakah
pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan betul-betul
merupakan suatu keharusan; (ii) manfaat apa yang diperoleh untuk meningkatkan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berbegara; (iii) lebih banyak manfaat
yang diperoleh dibanding jika peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
tidak dibentuk; (iv) tidak membebani pemerintah dan masyarakat dengan biaya
sosial yang berlebihan dari pada manfaat yang diperoleh.
Asas kejelasan rumusan dimaknai bahwa setiap peraturan perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya. Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu dipastikan: (i)
struktur dan anatomi rancangan peraturan perundang-undangan yang disusun harus
logis dan koheren dengan mengelompokan materi muatan yang saling berdekatan
bukan tersebar di berbagai bagian, diurut dari yang penting kemudian yang kurang
penting, yang umum sebelum yang khusus dalam susunan yang sistematis dengan
alur yang mudah diikuti dan jelas; (ii) rumusan norma dalam peraturan perundang-
undangan sedapat mungkin dapat dipahami secara sama oleh pihak-pihak yang
terkait seperti polisi, jaksa, hakim, advokat, notaris, aparat pemerintah, pengusaha
dan berbagai pihak yang berkepentingan lainnya; (iii) pergunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar sesuai denngan kaidah tata bahasa Indonesia yang resmi dan
gunakan kalimat pendek aktif dengan pilihan kata yang tepat agar rumusan norma
dapat dipahami secara jelas dan pasti.
Asas keterbukaan dimaknai bahwa dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Termasuk juga asas keterbukaan ini diterapkan pada pelaksanaan Harmonisasi.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu dipastikan:
(i) membuka akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat; (ii) melibatkan
pemangku kepentingan dalam membahas isu-isu pokok berkaitan dengan materi
muatan rancangan peraturan perundang-undangan; (iii) menggalang dukungan yang
luas dari publik.

8.2. Asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan


- 34 -

Asas materi muatan peraturan perundang-undangan terdiri dari 10 (sepuluh)


asas. Kesepuluh jenis asas tersebut, sebagai berikut:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. Bhinneka Tunggal Ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Asas pengayoman dimaknai bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat. Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu
dipastikan: (i) kepentingan yang ingin dilindungi; (ii) bagaimana caranya kepentingan
masyarakat dilindungi; (iii) tidak akan terjadi ekses yang dapat mengganggu
ketentraman masyarakat apabila peraturan perundang-undangan tersebut
diterapkan.
Asas kemanusiaan dimaknai bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional. Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu
dipastikan: (i) materi muatan dalam rancangan peraturan perundang-undangan yang
disusun tidak bertentangan dengan hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi
dan UU; (ii) ada keseimbangan antara perlindungan hak asasi manusia dan
kewajiban yang harus dipenuhi.
Asas kebangsaan dimaknai bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
majemuk dengan tetap menjaga prinsip NKRI. Untuk itu, dalam pelaksanaan
Harmonisasi perlu dipastikan: (i) apakah pluralisme masyarakat sudah
dipertimbangkan dengan seksama, agar dalam penerapannya nanti tidak mengalami
kesulitan mengingat perbedaan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat; (ii)
apakah materi muatan peraturan perundang-undangan memperkokoh rasa
kebangsaan; (iii) apakah materi muatan peraturan perundang-undangan dapat
memperkokoh jati diri bangsa dan kepribadian nasional.
Asas kekeluargaan dimaknai bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan. Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi
perlu dipastikan: (i) tercapainya kesepakatan antara pihak yang terkait; (ii) memberi
kesempatan kepada anggota masyarakat atau kelompok kepentingan/organisasi
masyarakat untuk menyampaikan tanggapan/usul atau didengar pendapatnya
mengenai isu penting yang menyangkut kepentingan mereka.
- 35 -

Asas kenusantaraan dimaknai bahwa setiap materi muatan peraturan


perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
UUD NRI 1945. Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu dipastikan: (i)
apakah materi muatan peraturan perundang-undangan sudah memperhatikan
kondisi geografis wilayah NKRI yang sangat beragam agar dalam penerapannya
nanti tidak menimbulkan kesulitan; (ii) apakah materi muatan peraturan perundang-
undangan melindungi seluruh wilayah NKRI dan segenap bangsa Indonesia; (iii)
apakah materi muatan peraturan perundang-undangan selaras dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan mempertimbangkan kepentingan
umum dan kepentingan daerah.
Asas Bhinneka Tunggal Ika dimaknai bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku
dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, dalam pelaksanaan
Harmonisasi perlu dipastikan: (i) apakah sudah dipertimbangkan dengan seksama
bahwa peraturan perundang-undangan akan mengikat masyarakat Indonesia yang
hidup dalam kultur masyarakat prularis mulai dari kultur masyarakat agraris,
masyarakat industri, pasca industri, dan kultur masyarakat informasi; (ii) apakah
peraturan perundang-undangan yang disusun akan mampu menjadi sarana
transformasi sosial menuju masyarakat yang lebih maju, menuju kesetaraan, dan
keadilan sosial; (iii) apakah peraturan perundang-undangan yang disusun dapat
menjadi sarana pengintergrasi bangsa.
Asas keadilan dimaknai bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara. Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu dipastikan: (i) apakah
peraturan perundang-undangan yang sedang disusun memperlakukan sama
terhadap hal yang benar-benar sama, memperlakukan secara khusus terhadap hal
yang bersifat khusus, dan memperlakukan berbeda terhadap hal yang berbeda; (ii)
apakah diatur akses yang sama untuk memperoleh kesempatan untuk diperlakukan
adil.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan dimaknai bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial. Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi
perlu dipastikan: (i) apakah penerapan prinsip due process of law terjamin untuk
pelaksanaan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan telah diatur
dengan baik; (ii) persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
tidak boleh membeda-bedakan orang yang didasarkan atas agama, ras, suku,
bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik, atau status sosial tertentu lainnya.
Asas ketertiban dan kepastian hukum dimaknai bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Untuk itu, dalam pelaksanaan
Harmonisasi perlu dipastikan: (i) agar tidak ada rumusan norma yang saling
bertentangan; (ii) agar tidak terdapat lebih dari satu lembaga yang berbeda untuk
menangani hal yang sama tetapi dengan tata kerja yang berbeda; (iii) agar rumusan
norma tidak menimbulkan multi interpretasi; (iv) agar peraturan tidak diubah tanpa
- 36 -

peraturan peralihan yang memadai; (v) peraturan perundang-undangan tidak boleh


diberlakukan surut, kecuali terdapat alasan yang sangat mendasar.
Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dimaknai bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat, dan
kepentingan bangsa, dan negara. Untuk itu, dalam pelaksanaan Harmonisasi perlu
dipastikan: (i) agar peraturan perundang-undangan yang disusun mengatur interaksi
antar berbagai kepentingan secara tertib dan selaras dengan memberi prioritas
kepada kepentingan bangsa dan negara, namun tetap menghormati kepentingan
individu; (ii) agar dalam peraturan perundang-undangan ditentukan secara jelas
dalam hal apa dan dengan cara bagaimana kepentingan individu dapat dibatasi
atau dikurangi untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

8.3. Asas Lain Sesuai Bidang Hukum

Selain mencerminkan atau selaras dengan asas sebagaimana dimaksud di


atas, peraturan perundang-undangan dapat mencerminkan asas lain sesuai dengan
bidang hukum. Dalam bidang Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah. Dalam bidang Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara
lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Begitu juga dalam
bidang hukum lainnya. Berikut ini dijelaskan masing-masing asas dimaksud.

8.3.1. Asas Bidang Hukum Pidana

1) Asas Legalitas
Asas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan adagium: ”nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenali” yang artinya: ”tiada kejahatan, tiada hukuman
pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu”. Asas ini dianut dalam
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan
sebagai berikut: ”Suatu perbuatan tidak dapat dipidanakan, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut dikecualikan dalam hal terjadi perubahan
UU. Karena dalam hal demikian yang berlaku ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang
menentukan sebagai berikut: ”jika ada perubahan dalam perundang-undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang
paling menguntungkan baginya”.

2) Asas Tidak Ada Hukuman Tanpa Kesalahan


Asas ini menentukan bahwa seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan
pidana tanpa unsur kesalahan baik berupa kesengajaan (dolus) maupun kealpaan
(culpa) tidak dapat dijatuhi pidana. Asas ini didasarkan pada prinsip keadilan.
Tidaklah adil menghukum seseorang yang melakukan perbuatan belaka tanpa
kesalahan (materiele feit).
- 37 -

3) Asas Pembinaan Narapidana


Narapidana yang menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan
(LP) diperlakukan sebagai warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi
secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai
anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab.

4) Asas Praduga Tak Bersalah


Asas ini dikenal dengan asas ”presumption of innocence”. Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan kedepan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

8.3.2. Asas Bidang Hukum Perdata (Hukum Perjanjian)

1) Asas Kesepakatan
Asas kesepakatan disebut juga asas konsensualisme yang memuat prinsip
bahwa perjanjian pada dasarnya sudah lahir sejak tercapainya kesepakatan
(consensus) diantara para pihak. Artinya perjanjian sudah sah dan mengikat sejak
tercapainya kesepakatan pokok mengenai isi perjanjian. Asas ini disimpulkan dari
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menentukan
antara lain bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan kesepakatan mereka
yang mengikatkan dirinya. Pengecualian terhadap asas ini diatur dalam undang-
undang yang menetapkan formalitas tertentu untuk sahnya perjanjian dengan
ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila formalitas tersebut tidak dipenuhi.

2) Asas Kebebasan Berkontrak


Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Para pihak diberi kebebasan
membuat kontrak mengenai apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dalam KUH Perdata
yang mengatur perjanjian bersifat ”optional law”. Para pihak bebas mengatur sendiri
kepentingan mereka dalam perjanjian yang disepakati bersama. Ketentuan dalam
KUH Perdata berlaku dalam hal para pihak tidak mengatur sendiri mengenai sesuatu
hal dalam perjanjian yang mereka buat. Sistem terbuka dalam hukum perjanjian
mengandung asas kebebasan berkontrak.

3) Asas Itikad Baik


Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menentukan: ”Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Ketentuan tersebut mengharuskan para pihak
melaksanakan isi perjanjian dengan kemauan baik. Asas itikad baik dibagi menjadi 2
(dua) macam yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Itikad baik nisbi
memperhatikan sikap dan tingkah laku nyata dari subjek. Itikad baik mutlak,
penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif
- 38 -

untuk menilai keadaan.

4) Asas Pacta Sunt Servanda


Asas ini menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagaimana layaknya UU bagi mereka yang membuatnya. Hakim atau pihak ketiga
harus menghormati substansi kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak.

8.3.3. Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB)

AUPB merupakan salah satu asas yang digunakan sebagai pedoman


penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan
dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Secara keseluruhan maka
asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan terdiri dari: (i) asas legalitas; (ii)
asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan (iii) AUPB. Terkait administrasi
pemerintahan maka dimaknai sebagai tata laksana dalam pengambilan keputusan
dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Dan terkait AUPB
maka terdiri dari asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.
Asas kepastian hukum dimaknai sebagai asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan,
keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
Asas kemanfaatan dimaknai sebagai asas yang mengutamakan manfaat
yang harus diperhatikan secara seimbang antara: (i) kepentingan individu yang satu
dengan kepentingan individu yang lain; (ii) kepentingan individu dengan masyarakat;
(iii) kepentingan warga masyarakat dan masyarakat asing; (iv) kepentingan
kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain;
(v) kepentingan pemerintah dengan warga masyarakat; (vi) kepentingan generasi
yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (vii) kepentingan manusia dan
ekosistemnya; (viii) kepentingan pria dan wanita.
Asas ketidakberpihakan dimaknai sebagai asas yang mewajibkan badan
dan/atau pejabat pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan
dan/atau tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara
keseluruhan dan tidak diskriminatif.
Asas kecermatan dimaknai sebagai asas yang mengandung arti bahwa suatu
keputusan dan/atau tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang
- 39 -

lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan keputusan


dan/atau tindakan sehingga keputusan dan/atau tindakan yang bersangkutan
dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan dan/atau tindakan tersebut
ditetapkan dan/atau dilakukan.
Asas tidak menyalahgunakan kewenangan dimaknai sebagai asas yang
mewajibkan setiap badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menggunakan
kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak
sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak
menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
Asas keterbukaan dimaknai sebagai asas yang melayani masyarakat untuk
mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
Asas kepentingan umum dimaknai sebagai asas yang mendahulukan
kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif,
selektif, dan tidak diskriminatif.
Asas pelayanan yang baik dimaknai sebagai asas yang memberikan
pelayanan yang tepat waktu, prosedur, dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar
pelayanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain asas tersebut di atas maka asas umum lainnya di luar AUPB dapat
diterapkan sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya bahwa di luar 8 (delapan) asas
tersebut juga terdapat asas lainnya bidang pemerintahan sepanjang asas tersebut
digunakan oleh hakim dan tertuang dalam putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap. Asas umum lainnya di luar AUPB dimaknai sebagai asas umum
pemerintahan yang baik yang bersumber dari putusan pengadilan negeri yang tidak
dibanding, atau putusan pengadilan tinggi yang tidak dikasasi, atau putusan MA.

8.3.4. Asas Pemilihan Umum

1) Asas Langsung
Asas langsung mengandung makna bahwa rakyat sebagai pemilik kedaulatan
mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan
kehendak hati nuraninya tanpa perantara.

2) Asas Umum
Asas umum mengandung makna untuk menjamin kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

3) Asas Bebas
Asas bebas mengandung makna bahwa setiap warga negara bebas
menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapun. Di dalam
- 40 -

melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara,


sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nuraninya.

4) Asas Rahasia
Asas rahasia mengandung makna bahwa dalam memberikan suaranya,
pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun. Pemilih
memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui orang lain.

5) Asas Jujur
Asas jujur mengandung makna bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan
umum, penyelenggara pemilihan umum, aparat pemerintah, peserta pemilihan
umum, pengawas pemilihan umum, pemantau pemilihan umum, pemilih serta
semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

6) Asas Adil
Asas adil mengandung makna bahwa setiap pemilih dan peserta pemilihan
umum mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak
manapun.

8.3.5. Asas Kewarganegaraan

1) Asas Ius Sanguinis (law of blood)


Asas ius sanguinis (law of blood) dimaknai sebagai asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan bukan berdasarkan tempat
kelahiran.

2) Asas Ius Soli (law of soil)


Asas ius soli (law of soil) dimaknai sebagai asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran yang
diberlakukan terbatas bagi anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU.

3) Asas Kewarganegaraan Tunggal


Asas kewarganegaraan tunggal dimaknai sebagai asas yang menentukan
satu kewarganegaraan bagi setiap orang.

4) Asas Kewarganegaraan Ganda


Asas kewarganegaraan ganda dimaknai sebagai asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda yang diberlakukan terbatas bagi anak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam UU. UU Kewarganegaraan pada dasarnya tidak
- 41 -

mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan


(apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam UU tersebut
merupakan suatu pengecualian.

Selain asas tersebut diatas, terdapat 8 (delapan) asas khusus yang juga
menjadi dasar penyusunan UU Kewarganegaraan yaitu: (i) asas kepentingan
nasional; (ii) asas perlindungan maksimum; (iii) asas persamaan didepan hukum
dan pemerintahan; (iv) asas kebenaran subtanstif; (v) asas non diskriminatif; (vi)
asas pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia; (vii) asas keterbukaan; dan
(viii) asas publisitas.

8.3.6. Asas Jaminan Sosial

1) Asas Kemanusiaan
Asas kemanusiaan ini berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat
manusia.

2) Asas Manfaat
Asas manfaat ini dimaknai sebagai asas yang bersifat opersional
menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif.

3) Asas Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat


Asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat ini bersifat idiil demi terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

8.3.7. Asas Lainnya

Tentu masih banyak lagi asas lainnya dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang perlu dicermati masing-masingnya. Untuk itu, terhadap asas lainnya
tersebut penting pula untuk dipedomani dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan.
Secara umum, asas hukum tersebut di atas dapat dibedakan dalam 2 (dua)
kelompok asas, yaitu asas hukum konstitutif dan asas hukum regulatif. Asas hukum
konstitutif dimaknai sebagai asas yang bermakna bagi kehidupan suatu sistem
hukum. Asas hukum regulatif dimaknai sebagai asas yang perlu bagi berprosesnya
sistem hukum yang bersangkutan. Perbedaan tersebut sejajar dengan perbedaan
antara asas hukum umum, yaitu asas yang berlaku umum dalam arti harus ada pada
setiap sistem hukum, dan asas hukum khusus, yaitu asas yang merupakan
perwujudan dari kekhususan masyarakat dan kebudayaan yang tercermin dalam
sistem hukumnya.
Asas hukum merupakan abstraksi dari norma hukum karena pengertiannya
yang lebih umum dan lebih luas. Asas tersebut memberi nilai etis yang membuat
- 42 -

hukum tersebut memiliki roh, hidup, tumbuh, dan berkembang. Sehubungan dengan
hal itu dalam pelaksanaan harmonisasi materi muatan rancangan peraturan
perundang-undangan perlu dipastikan: (i) apakah asas yang dicantumkan dalam
rancangan peraturan perundang-undangan sudah sesuai dengan bidang hukum
yang bersangkutan?; (ii) apakah asas tersebut mempunyai basis dukungan dalam
doktrin?; (iii) apakah asas tersebut jelas maknanya?; dan (iv) apakah asas tersebut
dijabarkan secara operasional dalam pasal rancangan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan?
Apabila asas yang dicantumkan dalam rancangan peraturan perundang-
undangan tidak jelas maknanya, tidak didukung oleh doktrin dan tidak dijabarkan
dalam pasal, makna asas tersebut tidak lebih dari pemanis yang tidak memberikan
nilai tambah secara substantif kepada kualitas rancangan peraturan perundang-
undangan tersebut. Oleh karena itu, asas yang dicantumkan dalam rancangan
peraturan perundang-undangan harus jelas maknanya karena peraturan perundang-
undangan itu merupakan deduksi dari asas hukum yang tepat akan membuatnya
menjadi peraturan perundang-undangan yang mempunyai makna etis karena asas
hukum akan menjadi sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh, dan
berkembang sehingga hukum bukan sekedar kumpulan peraturan melainkan
mengandung nilai dan tuntutan etis.

7. Dimensi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Segi struktur dan isi, perencanaan pembangunan nasional terdiri atas


perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh K/L dan
perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah, yang menghasilkan:
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang;
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah; dan
c. Rencana Pembangunan Tahunan.
RPJPN merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara
indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945 dalam bentuk visi,
misi, dan arah pembangunan nasional.
RPJMN merupakan penjabaran dari visi dan program Presiden yang
penyusunannya berpedoman pada RPJPN, yang memuat Strategi Pembangunan
Nasional (Stranas), kebijakan umum, program K/L dan lintas K/L, kewilayahan dan
lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran
perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana
kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif.
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) merupakan penjabaran dari RPJMN,
memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang
mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan
fiskal, serta program K/L kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif.
RPJPN ditetapkan dengan UU. RPJMN ditetapkan dengan Perpres paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik. RKP ditetapkan dengan Perpres.
- 43 -

Dalam pelaksanaan harmonisasi materi muatan rancangan peraturan


perundang-undangan, rencana pembangunan tersebut perlu dipertimbangkan
dengan seksama, karena di dalam rencana pembangunan tersebut dimuat visi, misi,
arah pembangunan atau strategi dan program pembangunan serta prioritas
pembangunan, termasuk pembangunan dibidang hukum.
RPJMN dan rencana pembangunan tahunan merupakan derivatif atau
penjabaran dari RPJPN. Karena RPJPN dapat dikatakan sebagai hulu perencanaan
pembangunan dan ditengah-tengahnya adalah RPJMN 5 tahunan dan pada hilirnya
RKP sebagai dasar penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) yang setiap tahun ditetapkan dengan UU. RPJPN Tahun 2005-
2025 telah ditetapkan tanggal 5 Februari 2007 dengan disahkan dan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (UU 17/2007).
Tujuan yang ingin dicapai dengan ditetapkannya UU 17/2007 adalah untuk:
(i) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan
nasional; (ii) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar
daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara pusat dan
daerah; (iii) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (iv) menjamin tercapainya
penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan;
dan (v) mengoptimalkan partisipasi masyarakat.

9.1. Reformasi Hukum

Dalam era reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus


dilanjutkan mencakup beberapa hal. Pertama, pembangunan subtansi hukum, baik
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk
membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan
pembangunan dan aspirasi masyarakat. Sudah terbit UU 10/2004 yang kemudian
digantikan dengan UU 12/2011. Dengan diberlakukannya UU 12/2011 tersebut,
proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan
dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua
lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta
meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Meskipun begitu, tentu UU 12/2011 pun harus
disempurnakan kembali mengingat perkembangan kebijakan dari waktu ke waktu
termasuk kebijakan deregulasi untuk peningkatan perekonomian. Kedua, proses
penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif harus dilanjutkan. Perubahan
Keempat UUD NRI 1945 membawa perubahan mendasar dibidang kekuasaan
kehakiman dengan dibentuknya MK yang mempunyai hak menguji UU terhadap
UUD NRI 1945 dan Komisi Yudisial yang akan melakukan pengawasan terhadap
sikap tindak dan perilaku hakim. Peningkatan kemandirian hakim dan
keprofesionalan aparat penegak hukum juga diharapkan membawa perubahan bagi
terselenggaranya penyelenggaraan negara yang responsif, akomodatif, efektif, dan
efisien. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai
kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional
yang dicita-citakan.
- 44 -

Atas perkembangan dunia yang terjadi saat ini dan kedepannya serta dengan
memperhitungkan modal dasar yang dimiliki bangsa Indonesia dan amanat
pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945, visi
pembangunan nasional tahun 2005-2025 adalah: ”Indonesia yang mandiri, maju, adil
dan makmur”. Letak hukum dalam visi tersebut ialah sebagai bagian dari mandiri,
maju, adil, dan makmur. Kemandirian suatu bangsa mencakup kemadirian aparatur
pemerintah dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dan sikap
kemadirian termasuk dalam aspek hukum. Hukum yang mantap dijadikan salah satu
indikator bangsa yang maju. Keadilan dan kemakmuran tercermin pula dalam
mendapatkan perlindungan dan kesamaan didepan hukum. Dengan demikian,
bangsa yang adil berarti tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar
individu, gender, maupun wilayah. Kemudian letak hukum dalam misi adalah
sebagai bagian dari misi mewujudkan bangsa yang berdaya saing, antara lain,
melalui reformasi di bidang hukum, dan bagian dari misi mewujudkan masyarakat
demokratis berlandaskan hukum, yaitu melakukan pembenahan struktur hukum dan
meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen,
tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil, serta bagian dari misi
mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, adalah antara lain
menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.

9.2. Tantangan, Sasaran Pokok, dan Arah Pembangunan Hukum

Tantangan ke depan di dalam mewujudkan sistem hukum nasional yang


mantap adalah mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya
supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Sasaran pokok dibidang hukum dalam 20 (dua puluh) tahun mendatang,
diletakkan sebagai bagian dari terwujudnya Indonesia yang demokratis, berdasarkan
hukum dan berkeadilan ditunjukkan oleh hal-hal antara lain sebagai berikut:
terciptanya supremasi hukum dan pengakkan hak asasi manusia yang bersumber
pada Pancasila dan UUD NRI 1945 serta tertatanya sistem hukum nasional yang
mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan aspiratif. Terciptanya
penegakkan hukum tanpa memandang kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang
demi supremasi hukum dan terciptanya penghormatan pada hak asasi manusia.
Arah pembangunan hukum jangka panjang 2005-2025 dikemukakan berikut
ini.
1) Sebagai bagian dari mewujudkan bangsa yang berdaya saing maka
pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung terwujudnya
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mengatur permasalahan yang
berkaitan dengan ekonomi, serta menciptakan kepastian investasi, terutama
penegakan dan perlindungan hukum. Pembangunan hukum juga diarahkan
untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi serta
mampu menangani dan menyelesaikan secara tuntas permasalahan yang
terkait kolusi, korupsi, nepotisme (KKN). Pembangunan hukum dilaksanakan
melalui pembaruan materi hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan
tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk
meningkatkan kepastian hukum dan perlindungan hukum, penegakkan hukum,
serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan
- 45 -

kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib,


teratur, lancar, serta berdaya saing global.
2) Sebagai bagian dari mewujudkan Indonesia yang demokratis berdasarkan
hukum maka arah pembangunan hukum diuraikan lebih luas yaitu untuk
mewujudkan Indonesia yang demokratis dan adil dilakukan antara lain dengan
melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan
menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak
rakyat kecil.
3) Sebagai bagian dari sistem hukum nasional maka pembangunan hukum
diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap
bersumber pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika
yang mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat
hukum, sarana dan prasarana hukum, perwujudan masyarakat yang
mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka
mewujudkan negara hukum, serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil
dan demokratis. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum
dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan
pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan
perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kesadaran
hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran,
ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang
makin tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional
makin lancar.
Pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk
hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial
yang mencerminkan nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia serta
mampu mendorong tumbuhnya kreativitas dan melibatkan masyarakat untuk
mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
nasional yang bersumber pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika, yang mencakup perencanaan hukum, pembentukan hukum,
penelitian dan pengembangan hukum. Disisi lain, peraturan perundang-
undangan yang baru juga harus mampu mengisi kekurangan/kekosongan
hukum sebagai pengarah dinamika lingkungan strategis yang sangat cepat
berubah. Perencanaan hukum sebagai bagian dari pembangunan materi
hukum harus diselenggarakan dengan memperhatikan berbagai aspek yang
mempengaruhi baik di dalam masyarakat sendiri maupun dalam pergaulan
masyarakat internasional yang dilakukan secara terpadu dan meliputi semua
bidang pembangunan sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat
memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta dapat
mengantisipasi perkembangan zaman.
Penelitian dan pengembangan hukum diarahkan pada semua aspek kehidupan
sehingga hukum nasional selalu dapat mengikuti perkembangan dan dinamika
pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik kebutuhan saat
ini maupun masa depan. Untuk meningkatkan kualitas penelitian dan
pengembangan hukum diperlukan kerja sama dengan berbagai komponen
lembaga terkait, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pembangunan struktur hukum diarahkan untuk memantapkan dan
- 46 -

mengefektifkan berbagai organisasi dan lembaga hukum, profesi hukum, dan


badan peradilan sehingga aparatur hukum mampu melaksanakan tugas dan
kewajibannya secara profesional. Kualitas dan kemampuan aparatur hukum
dikembangkan melalui peningkatan kualitas dan profesionalisme melalui sistem
pendidikan dan pelatihan dengan kurikulum yang akomodatif terhadap setiap
perkembangan pembangunan serta pengembangan sikap aparatur hukum
yang menunjung tinggi kejujuran, kebenaran, serta bertanggung jawab dalam
bentuk perilaku yang teladan. Aparatur hukum dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya secara profesional perlu didukung oleh sarana dan prasarana
hukum yang memadai serta diperbaiki kesejahteraannya agar di dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban aparatur hukum dapat berjalan dengan
baik dan terhindar dari pengaruh dan intervensi pihak dalam bentuk korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Penerapan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia dilaksanakan secara
tegas, lugas, profesional, dan tidak diskriminatif dengan tetap berdasarkan
pada penghormatan terhadap hak asasi manusia. Keadilan dan kebenaran,
terutama dalam penyelidikan, penyidikan, dan persidangan yang transparan
dan terbuka dalam rangka mewujudkan tertib sosial sehingga dapat
mendukung pembangunan serta memantapkan stabilitas nasional yang mantap
dan dinamis. Penegakan hukum dan hak asasi manusia dilakukan
terhadap berbagai tindak pidana, terutama yang akibatnya dirasakan langsung
oleh masyarakat luas, antara lain tindak pidana korupsi, kerusakan lingkungan,
dan penyalahgunaan narkotik. Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah NKRI,
penegak hukum di laut secara terus-menerus harus ditingkatkan sesuai dengan
kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional dan
hukum internasional. Pemantapan lembaga peradilan sebagai implikasi satu
atap dengan lembaga MA secara terus-menerus melakukan pengembangan
lembaga peradilan, peningkatan kualitas dan profesionalisme hakim pada
semua lingkungan peradilan, dukungan serta perbaikan sarana dan prasarana
pada semua lingkungan peradilan sehingga dapat mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap citra lembaga peradilan sebagai benteng
terakhir pencari keadilan.
Peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang
tinggi terus ditingkatkan dengan lebih memberikan akses terhadap segala
informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat dan akses kepada masyarakat
terhadap pelibatan dalam berbagai proses pengambilan keputusan
pelaksanaan pembangunan nasional sehingga setiap anggota masyarakat
menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Akibatnya, akan terbentuk perilaku warga negara Indonesia yang mempunyai
rasa memiliki dan taat hukum. Peningkatan perwujudan masyarakat yang
mempunyai kesadaran hukum yang tinggi harus didukung oleh pelayanan dan
bantuan hukum dengan biaya yang terjangkau, proses yang tidak berbelit, dan
penetapan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.

Berdasarkan uraian penjelasan di atas maka dalam pelaksanaan harmonisasi


materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan perlu dipastikan: (i)
apakah rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan telah sesuai
dengan skala prioritas yang diagendakan pada RPJPN dan RPJMN serta
- 47 -

penjabarannya?; (ii) apakah materi muatan rancangan peraturan perundang-


undangan yang bersangkutan dapat menjadi sarana yuridis untuk mewujudkan arah
pembangunan hukum yang telah ditetapkan?; (iii) apakah rancangan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan mendukung program pembangunan di
bidang lain atau dengan kata lain rancangan peraturan perundang-undangan yang
disusun dapat menjadi dasar hukum yang kokoh untuk pembangunan di bidang lain?

8. Dimensi Perjanjian/Konvensi Internasional

Perkembangan global yang terjadi seiring berjalannya waktu telah


mengakibatkan terjadinya perubahan tatanan pergaulan baik secara politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Perubahan itu terjadi sebagai
akibat, antara lain: (i) perubahan peta politik dunia yang diakibatkan oleh lahirnya
negara baru karena berhasil melepaskan diri dari kekuasaan penjajah maupun
karena pecahnya satu negara menjadi beberapa negara sebagai akibat pergolakan
negara yang bersangkutan; (ii) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama
teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi telah mengubah pola hubungan
antar negara; (iii) timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional
mandiri, terlepas dari suatu negara atau antar negara; (iv) lahirnya pasar bersama
regional antar negara tertentu seperti European Economic Community (EEC), Asia
Pacific Exconomic Cooperation (APEC), Association of South East Asian Nations
(ASEAN), dan lain-lain.
Indonesia yang sejak awal memang telah mendeklarasikan bahwa membuka
diri dalam pergaulan internasional, bahkan dalam salah satu tujuan dibentuknya
negara Indonesia ditegaskan yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Hal ini jelas
menjadi tuntutan peran secara aktif memainkan peranan dalam membangun tatanan
dunia yang damai dan berkeadilan dengan menghormati kedaulatan negara masing-
masing.
Untuk itu dalam menghadapi era globalisasi tersebut, Indonesia perlu
melakukan harmonisasi materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan
dengan perjanjian atau konvensi internasional yang telah diratifikasi atau telah
ditandatanganinya atau telah dilakukan pertukaran dokumen perjanjian/nota
diplomatik atau melalui cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada
perjanjian tersebut. Sehingga dengan demikian, modernisasi hukum nasional
sekaligus harus merupakan harmonisasi materi muatan rancangan peraturan
perundang-undangan dengan perjanjian internasional, antara lain dengan
perjanjian/konvensi internasional dalam lingkup World Trade Organization (WTO),
International Labour Organization (ILO), World Intellectual Property Organization
(WIPO), persetujuan Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS)
yang telah diratifikasi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organizastion,
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa (DUHAM PBB)
yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita, Konvensi PBB tentang Hak Anak dan berbagai instrumen
internasional yang mengatur hak asasi manusia, serta lain sebagainya. Hal ini
- 48 -

dimaksudkan agar hukum nasional mampu beradaptasi yang bersifat transnasional.


Beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi yang perlu
dipertimbangkan dalam penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:
a. ILO Convention No. 19 Concerning Equality of Treatment for National and
Foreign Workers as regards to Workmen’s Compensation for Accident (5 Juni
1925/8September 1926): ratifikasi 12 Juni 1950;
b. ILO Convention No. 29 Concerning Forced or Compulsory Labour (28 Juni
1930/1 Mei 1932): ratifikasi 12 Juni 1950;
c. ILO Convention No. 45 Concerning the Employment of Women Underground
Works in Mines of All Kinds (21 Juni 1935/30 Mei 1937): ratifikasi 12 Juni 1950;
d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi Nomor 98
Organisasi Perburuhan Internasional mengenai berlakunya Dasar-Dasar dari
Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama;
e. Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi
Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 Mengenai Pengupayaan Yang
Sama Bagi Buruh Laki-Laki dan Wanita Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya;
f. Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik
Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus1949;
g. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina
Mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Operasionalnya Mengenai
Hal Memperoleh Kewarganegaraan;
h. ILO Convention No. 120 Concerning Hygiene in Commerce and Offices (8 Juli
1964/29 Maret 1966): ratifikasi 13 Juni 1969;
i. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan;
j. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi
Telekomunikasi Internasional Nairobi;
k. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (konvensi PBB tentang Hukum Laut);
l. Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1993 tentang Pengesahan International
Convention Against Apartheid in Sports;
m. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi
Psikotropika 1971;
n. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi PBB
Tahun 1988 Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika;
o. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convension
againts Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atas
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat
Manusia);
- 49 -

p. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi


Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;
q. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO
Nomor 105 Tahun 1957 Mengenai Penghapusan Kerja Paksa;
r. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO
Nomor 138 Tahun 1973 Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan
Bekerja;
s. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO
Nomor 111 Tahun 1958 mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan;
t. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO
Nomor 182 Tahun 2000 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
u. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO
Nomor 81 Tahun 1947 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam
Industri dan Perdagangan;
v. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya;
w. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internastional
Convention on Civil and Political Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-
Hak Sipil dan Politik);
x. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Againts Corruption 2003 (Konvensi PBB anti korupsi, 2003);
y. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi
Tentang Hak-Hak Anak;
z. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1998 tentang Pengesahan Perubahan
Terhadap Pasal 43 ayat (2) Konvensi Hak-Hak Anak;
aa. Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Nomor 87 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk
Berorganisasi.

Selain itu, tentu masih banyak konvensi/perjanjian internasional yang secara


selektif yang bermanfaat bagi kepentingan nasional Indonesia perlu diratifikasi.
Untuk itu pemerintah perlu melakukan pengkajian mendalam tentang
konvensi/perjanjian internasional yang perlu diratifikasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dalam pelaksanaan harmonisasi
materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan dengan
konvensi/perjanjian internasional ini, perlu dipastikan: (i) konvensi/perjanjian
Internasional yang telah diratifikasi; (ii) melakukan kajian kompresif tentang
kelebihan dan kelemahan bila materi muatan konvensi/perjanjian internasional yang
telah diratifikasi diadopsi dengan penyesuaian seperlunya dengan kepentingan
nasional; (iii) pemrakarsa agar menyampaikan telaah kaitan antara rancangan
peraturan perundang-undangan yang disusun dengan konvensi/perjanjian
internasional yang relevan sebagai bahan pertimbangan dalam pengharmonisasian.
- 50 -

9. Dimensi Hukum Adat

Hukum Adat masih hidup di lingkungan masyarakat hukum adat dalam


wilayah NKRI, terutama di bidang hukum kekeluargaan, hak tanah adat di
lingkungan masyarakat hukum adat yang memandang adanya hubungan religio-
magis dengan tanah adat yang turun-temurun mereka warisi sebagai ajang
kehidupan masyarakat adat yang bersangkutan. Untuk itu, dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, Hukum Adat juga termasuk digunakan dalam
pelaksanaan harmonisasi materi muatan rancangan peraturan perundang-
undangan. Jadi, juga harus terwujud keselarasan antara peraturan perundang-
undangan dan Hukum Adat.
Sesuai hasil penelitian tentang Hukum Adat maka wilayah Hukum Adat di
Indonesia dibagi dalam 19 (sembilan belas) wilayah Hukum Adat, yaitu: (i) Aceh
(Aceh Besar, Aceh Barat, Singkil, Simeuleu); (ii) Tanah Gayo (Gayo Lucus), Alas,
Batak, serta pulau Nias (Tanah Batak adalah Tapanuli Utara dan Selatan); (iii)
Minangkabau dan Mentawai; (iv) Sumatra Selatan dan Pulau Enggano; (v) Melayu
(Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur); (vi) Bangka Belitung; (vii) Kalimantan; (viii)
Minahasa; (ix) Gorontalo; (x) Toraja; (xi) Sulawesi Selatan; (xii) Kepulauan Ternate;
(xiii) Kepulauan Ambon dan Maluku; (xiv) Irian; (xv) Bali dan Lombok; (xvi)
Kepulauan Nusa Tenggara lainnya; (xvii) Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura;
(xviii) Daerah Istimewa Yogyakarta dan Keresidenan Surakarta (bekas daerah-
daerah kerajaan); dan (xix) Jawa Barat. Pembagian 19 (sembilan belas) wilayah
Hukum Adat tersebut hanyalah salah satu cara pengelompokan. Dapat saja
dilakukan cara pembagian yang lain dengan kriteria yang lebih spesifik, melalui
suatu penelitian yang mendalam. Namun demikian, perbedaan hukum adat dalam
19 (sembilan belas) lingkungan tersebut berangsur-angsur semakin menepis, karena
semakin lancarnya komunikasi antar wilayah, pengaruh modernisasi, semakin
meningkatnya kesadaran nasional dan adanya kebijakan nasional untuk membentuk
sistem hukum nasional.
Hukum Adat bersifat lebih kolektivitis. Sedangkan hukum barat bersifat lebih
individualistis. Hukum Adat bercirikan: (i) mempunyai sifat kebersamaan yang kuat;
(ii) mempunyai corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup
alam Indonesia; (iii) sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkrit, artinya
hukum itu sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan
hidup yang konkrit; (iv) mempunyai sifat visual, artinya, hubungan hukum dianggap
hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau
tanda yang tampak). Hukum Adat yang dikenal sekarang merupakan perkembangan
evolusioner yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran hukum dan tuntutan
pergaulan hidup mereka. Hukum Adat berkembang dan maju terus, keputusan adat
menimbulkan hukum. Perkembangan hukum adat berjalan seirama dengan
kesadaran dan tuntutan masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan
Hukum Adat merupakan salah satu unsur yang mewarnai mosaik hukum
positif Indonesia yang pluralistis. Secara tekstur, sistem hukum nasional yang
berkembang saat ini di Indonesia juga mencakup Hukum Adat, di samping Hukum
Islam, hukum barat, dan hukum nasional. Secara bagan, dikemukakan berikut ini:
- 51 -

Bagan 1
Hukum Adat dan Sistem Hukum Nasional

5
4
3
2
1

Keterangan :
• lingkaran pusat : Pancasila
• lingkaran kedua : UUD NRI 1945
• lingkaran ketiga : peraturan perundang-undangan
• lingkaran keempat : yurisprudensi
• lingkaran kelima : hukum kebiasaan

Secara konstitusional maka politik hukum nasional pasca perubahan UUD


1945 telah menegaskan dan memberikan arah baru bagi kedudukan dan peran
Hukum Adat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945, yaitu
”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam Undang-Undang”. Kemudian, juga dicermati bahwa salah satu syarat
untuk dapat dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat secara de facto masih hidup
ialah adanya perangkat-perangkat norma hukum adat.
Sehubungan dengan itu dalam pelaksanaan harmonisasi materi muatan
rancangan peraturan perundang-undangan tertentu, amanat UUD NRI 1945 tersebut
harus dijadikan dasar konstitusional, agar materi muatan rancangan peraturan
perundang-undangan yang dibentuk tersebut, secara positif mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakt hukum adat. Sebagai contoh, berikut ini
dikemukakan 2 (dua) contoh UU yang secara arif mengakomodir Hukum Adat.
- 52 -

1) Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria


Hukum Adat yang diakomodir:
a. bahwa di dalam negara Republik Indonesia, yang tatanan kehidupan
rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris,
bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat
yang adil dan makmur;
bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-
pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasar
atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;
bahwa hukum agraria nasional harus memberikan kemungkinan akan
tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud
diatas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta
memenuhi pula keperluanya menurut permintaan zaman dalam segala
soal agraria;
bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari
pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusian, Kebangsaan,
Kerakyatan, dan Keadilan Sosial seperti yang tercantum didalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar;
(dasar pertimbangan tersebut di atas menggambarkan kondisi sosiologis
masyarakat Indonesia yang religius, berjiwa gotong royong, agraris, dan
ingin memanfaatkan karunia Tuhan Yang Maha Esa tersebut untuk
membangun masyarakat adil dan makmur dan memperhatikan
percadangan tanah untuk masa depan, serta keinginan untuk mengakhiri
dualisme di bidang hukum agraria dengan membentuk undang-undang
nasional yang berdasar atas hukum adat dan berdasar pada hukum
agama serta sebagai penjelmaan dari Pancasila);
b. seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia;
c. seluruh, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional;
d. hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air, dan ruang angkasa
termaksud adalah hubungan yang bersifat abadi;
e. atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dan hal-hal
mengenai bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat;
f. hak menguasai dari negara, memberi wewenang untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut serta menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
- 53 -

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa;


g. pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi;
h. Hukum Adat dijadikan dasar dari Hukum Agraria yang baru, menentukan
sebagai berikut, Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan perundang-
undangan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;
i. semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, artinya bahwa hak atas
tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan
bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-
mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan
kerugian bagi masyarakat sehingga penggunaan tanah harus disesuaikan
dengan keadaan-keadaannya dan sifat daripada haknya hingga
bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai
maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara (tetapi dalam ketentuan
tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak
sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat) sehingga kepentingan
perseorangan tetap diperhatikan);
j. untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan;
k. hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
l. tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas
tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya;
m. bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang
kemerdekaanya diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sebagai
keseluruhan menjadi hak pula dari bangsa Indonesia jadi tidak semata-
mata menjadi hak dari para pemiliknya saja;
n. tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata
menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja;
o. hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa
Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada
tingkatan yang paling atas yaitu pada tingkatan yang menguasai seluruh
wilayah negara;
- 54 -

p. hubungan antara bangsa dan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu
adalah hubungan yang bersifat abadi, yang artinya bahwa selama rakyat
Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia
itu masih ada pula, dalam kondisi yang bagaimanapun tidak ada sesuatu
kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau memindahkan hubungan
tersebut;
q. dalam rangka hak ulayat tetap dikenal adanya hak milik perseorangan;
r. asas domein yang dipergunakan sebagai dasar dari pada perundang-
undangan agraria yang berasal dari pemerintah jajahan tidak dikenal
dalam Hukum Agraria yang baru;
s. untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
1945 tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa
Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah;
t. ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum, yang dimaksud akan mendudukan hak itu pada tempat yang
sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini;

2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


Hukum Adat yang diakomodir:
a. penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional;
b. hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang
diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat adat (recht
gemeenschap) dan hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat,
hutan marga, hutan pertanian, atau sebutan lainnya;
c. pemerintah menetapkan status hutan dan hutan adat ditetapkan
sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya;
d. apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan tidak ada lagi maka pengelolaan hutan adat kembali kepada
pemerintah;

e. pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus dapat diberikan kepada


masyarakat hukum adat (pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus
adalah pengelolaan dengan tujuan-tujuan khusus seperti penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk kepentingan sosial
budaya dan penerapan teknologi tradisional (indigenous technology), yang
dalam pelaksanaannya harus memperhatikan sejarah perkembangan
masyarakat dan kelembagaan adat (indigenouns institution), serta
kelestarian dan terpeliharanya ekosistem;
f. masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaanya berhak: (i) melakukan pemungutan hasil hutan
- 55 -

untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat adat yang


bersangkutan; (ii) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;
dan (iii) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya;
g. pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
ditetapkan dengan peraturan daerah dan peraturan daerah tersebut
disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian pakar hukum adat,
aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat yang ada di daerah
yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait;
h. masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut
kenyataannya memenuhi unsur antara lain: (i) masyarakat masih dalam
bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); (ii) ada kelembagaan dalam
bentuk perangkat penguasa adatnya; (iii) ada wilayah hukum adat yang
jelas; (iv) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat,
yang masih ditaati; dan (v) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di
wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari;

Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka dalam pelaksanaan harmonisasi


materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan dengan Hukum Adat
perlu dipastikan: (i) apakah ada Hukum Adat yang relevan untuk diperhatikan dan
dihormati eksistensinya dalam rancangan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan?; (ii) apabila ada, apakah sudah cukup dituangkan dalam materi
muatan rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan?; (iii)
pastikan bahwa pengaturan tentang hal tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan membawa manfaat bagi masyarakat Hukum Adat setempat khususnya dan
masyarakat umumnya; (v) agar diteliti secara mendalam apakah dari Hukum Adat
yang relevan dengan rancangan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, terdapat asas hukum yang bisa diangkat menjadi norma dalam
pembentukan hukum nasional?

10. Dimensi Teknik Penyusunan

Teknik penyususunan rancangan peraturan perundang-undangan merupakan


salah satu subbagian dari Ilmu Perundang-Undangan dalam arti sempit. Teknik
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan
bagaimana menyusun secara sistematis dan koheren materi muatan rancangan
peraturan perundang-undangan termasuk format dan ragam bahasa Indonesia yang
- 56 -

sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia. Meskipun dinamakan tehnik


penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, namun sesungguhnya
pekerjaan tersebut bukan sekedar menyangkut soal keterampilan teknis
penyusunan tetapi juga menyangkut kemampuan untuk berfikir rasional dan jernih
yang didasari oleh pengetahuan yang mendalam tentang asas hukum, kemampuan
menangkap tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan tersebut dengan memperhitungkan berbagai aspek
yang terkait dengan penerapannya nanti. Selain itu dalam teknik penyusunan
rancangan peraturan perundang-undangan perlu dipahami bahwa peraturan
perundang-undangan mengikat umum yang digunakan oleh hakim, jaksa, polisi,
advokat, notaris, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.
Secara terminologi, teknik penyusunan rancangan peraturan perundang-
undangan terdiri dari kata teknik, penyusunan, rancangan, dan peraturan
perundang-undangan. Untuk dua kata yang terakhir, pengertiannya terdapat dalam
UU 12/2011 dan juga telah dijelaskan dalam bab awal. Sedangkan untuk kata teknik
dan kata penyusunan diuraikan berikut ini.
Kata teknik dalam bahasa Inggris yaitu technique, antara lain diberi arti
method of doing something expertly atau metode untuk mengerjakan sesuatu
berdasarkan keahlian. Suatu keahlian khusus diperoleh melalui pendidikan keahlian,
pelatihan, mengikuti forum ilmiah, dan melalui pengalaman praktik berkelanjutan.
Sedangkan kata penyusunan berarti perbuatan menyatukan atau menata sesuatu
secara teratur, sistematis, dan koheren berdasarkan aturan yang ditentukan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan dimaknai sebagai suatu metode berdasarkan keahlian khusus
agar cara menata peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang dan mengikat secara umum, tersusun secara teratur, sistematis
dan koheren sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalan konteks yang lain, teknik penyusunan rancangan peraturan perundang-
undangan juga dapat dimaknai dari cakupan unsur, yaitu (i) ketepatan struktur; (ii)
ketepatan pertimbangan; (iii) ketepatan dasar hukum; (iv) ketepatan bahasa hukum;
(v) ketepatan organ pembentuk; (vi) ketepatan materi muatan; dan (vii) ketepatan
maksud dan tujuan. Sedangkan pada tataran praktis, teknik penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan dimaknai sebagai cara perumusan kaidahnya
dengan menempatkan kata dan kalimat yang dibuat sedemikian rupa sehingga
maksud dari pembentuk peraturan perundang-undangan itu jelas dapat diketahui
didalamnya.
Selanjutnya, penting pula untuk dijelaskan bahwa keahlian menyusun
rancangan peraturan perundang-undangan lebih merupakan sebuah seni. Sebagai
seni, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan disamping menyangkut
rasionalitas juga berkenaan dengan estetika. Rasionalitas menuntut penggunaan
kecerdasan akal pikiran dan estetika menuntut kepekaan rasa untuk menangkap
nilai yang dianggap luhur dalam masyarakat. Meskipun sebagai seni namun teknik
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan harus terstandar dan baku.
Hal ini, selain menciptakan adanya penyamaan persepsi tentang berbagai aspek
teknis juga akan meningkatkan efisiensi pembahasan rancangan peraturan
perundang-undangan.
Terkait dengan harus terstandar dan baku maka teknik penyusunan
- 57 -

rancangan peraturan perundang-undangan meski perlu dibakukan tetapi tidak berarti


harus beku. Oleh karena itu, teknik penyusunan rancangan peraturan perundang-
undangan harus dinamis mengikuti perkembangan zaman.
Harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan yang dilakukan dari
aspek teknik penyusunan dimaksudkan untuk mendukung kualitas rancangan
peraturan perundang-undangan yang dihasilkan. Input berupa materi muatan
rancangan peraturan perundang-undangan akan menghasilkan peraturan
perundang-undangan yang baik apabila disusun dengan menggunakan teknik
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang baik pula. Hal ini
dikarenakan bahwa menyusun rancangan peraturan perundang-undangan tanpa
menggunakan teknik penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang
terstandar dan baku dapat membuat peraturan perundang-undangan ambigu
(ambiguous) atau tidak jelas arti, maksud, dan tujuannya, beragam interpretatif, dan
inkonsisten.
Secara struktur, dalam pelaksanaan Harmonisasi teknik penyusunan
rancangan peraturan perundang-undangan dapat dicermati dalam 4 (empat)
kelompok teknik penyusunan. Keempat kelompok teknik penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan tersebut, sebagai berikut:
a. kerangka peraturan perundang-undangan;
b. hal khusus;
c. ragam bahasa peraturan perundang-undangan; dan
d. bentuk rancangan peraturan perundang-undangan

1. Teknik Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan

Ketentuan mengenai teknik penyusunan rancangan peraturan perundang-


undangan mengacu pada ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II UU
12/2011. Pencantuman kembali dalam Pedoman Harmonisasi ini dimaksudkan
untuk mempermudah dalam pelaksanaan Harmonisasi teknik penyusunan
rancangan peraturan perundang-undangan. Pencantuman kembali dalam Pedoman
Harmonisasi ini dilakukan dengan penyesuaian kepada kontekstual harmonisasi
rancangan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan juga agar efisien
dalam pencermatan kaidahnya.

2.1. Kerangka Rancangan Peraturan Perundang-undangan

Tabel 1
Teknik Penyusunan Kerangka Rancangan Peraturan Perundang-undangan
No Kaidah Kerangka Rancangan Peraturan Perundang-undangan
1. Kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. judul;
b. pembukaan;
c. batang tubuh;
d. penutup;
e. penjelasan (jika diperlukan);
f. lampiran (jika diperlukan).
- 58 -

Tabel 2
Teknik Penyusunan Judul
No Kaidah Judul
2. Judul peraturan perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis,
nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan
perundang-undangan.
3. Nama peraturan perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya
menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya
telah dan mencerminkan isi peraturan perundang–undangan.
Contoh:
- Ketenagalistrikan
- Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
4. Judul peraturan perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
5. Judul peraturan perundang-undangan tidak boleh ditambah dengan
singkatan atau akronim.
6. Pada nama peraturan perundang-undangan perubahan ditambahkan frasa
’PERUBAHAN ATAS’ di depan judul peraturan perundang-undangan yang
diubah.
7. Jika peraturan perundang-undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di
antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang
menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci
perubahan sebelumnya.
Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24
TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

8. Jika peraturan perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat,


peraturan perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama
singkat peraturan perundang–undangan yang diubah.

9. Pada nama peraturan perundang–undangan pencabutan ditambahkan kata


‘PENCABUTAN’ di depan judul peraturan perundang–undangan yang
dicabut.

10. Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perppu)


yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di
depan judul peraturan perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri
dengan frasa menjadi Undang-Undang.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
- 59 -

No Kaidah Judul
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG–UNDANG

11. Pada nama peraturan perundang–undangan ‘PENGESAHAN PERJANJIAN’


atau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan di depan
nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan.

12. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional bahasa Indonesia


digunakan sebagai salah satu teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan
ditulis dalam bahasa Indonesia, yang diikuti oleh bahasa asing dari teks
resmi yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara tanda
baca kurung.

13. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, bahasa Indonesia tidak
digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis
dalam bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh
terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda
baca kurung.

Tabel 3
Teknik Penyusunan Pembukaan
No Kaidah Pembukaan
14. Pembukaan peraturan perundang–undangan terdiri atas:
a. frasa dengan rahmat tuhan yang maha esa;
b. jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan;
c. konsiderans;
d. dasar hukum; dan
e. diktum.

Tabel 4
Teknik Penyusunan Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
No Kaidah Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
15. Pada pembukaan tiap jenis peraturan perundang–undangan sebelum nama
jabatan pembentuk peraturan perundang–undangan dicantumkan frasa
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang ditulis seluruhnya dengan
huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.

Tabel 5
Teknik Penyusunan Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
No Kaidah Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
16. Jabatan pembentuk peraturan perundang–undangan ditulis seluruhnya
- 60 -

No Kaidah Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan


dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan
tanda baca koma.

Tabel 6
Teknik Penyusunan Konsiderans (Menimbang)
No Kaidah Konsiderans (Menimbang)
17. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.
18. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan peraturan perundang–undangan.
19. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang memuat unsur filosofis,
sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari
filosofis, sosiologis, dan yuridis:
- Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
- Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah,
atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
Contoh:
Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian
yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat;
b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan
perekonomian nasional dan sekaligus memberikan
landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam
menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era
globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh
suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan
terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim
dunia usaha yang kondusif;
c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar
pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan
landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan
nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar
- 61 -

No Kaidah Konsiderans (Menimbang)


atas asas kekeluargaan;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas;
20. Pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa peraturan perundang-
undangan dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat karena tidak
mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya peraturan perundang–
undangan tersebut. Lihat juga Nomor 24.
21. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, setiap pokok pikiran
dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
22. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam
satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda
baca titik koma.
23. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir
pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut:
Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa ...;
c. bahwa …;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang ...;

24. Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu pertimbangan yang


berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau
beberapa pasal dari Undang-Undang yang memerintahkan pembentukan
Peraturan Pemerintah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal
dari Undang–Undang yang memerintahkan pembentukannya. Lihat juga
Nomor 19.

Contoh:
Menimbang: bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan jalan dan
gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan
angkutan jalan, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal
93, Pasal 101, Pasal 102 ayat (3), Pasal 133 ayat (5) dan
Pasal 136 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Manajemen dan Rekayasa,
Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas;
25. Konsiderans Peraturan Presiden cukup memuat satu pertimbangan yang
berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau
beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang
memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden tersebut dengan
- 62 -

No Kaidah Konsiderans (Menimbang)


menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan
Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya.
Contoh:
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan
Presiden tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk
Penambangan Bawah Tanah;
26. Konsiderans Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Presiden.
27. ...

Tabel 7
Teknik Penyusunan Dasar Hukum (Mengingat)
No Kaidah Dasar Hukum (Mengingat)
28. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
Dasar hukum memuat:
a. dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
b. peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan
peraturan perundang-undangan.
29. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR adalah
Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
30. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari Presiden
adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
31. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR atas
usul DPD adalah Pasal 20 dan Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
32. Jika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memerintahkan langsung untuk membentuk Undang-Undang, pasal yang
memerintahkan dicantumkan dalam dasar hukum.
Contoh:
Mengingat: Pasal 15, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
33. Jika materi yang diatur dalam Undang-Undang yang akan dibentuk
merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal tersebut dicantumkan
sebagai dasar hukum.
Contoh 1 (RUU yang berasal dari DPR):
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1),
ayat (2), ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Contoh 2 (RUU yang berasal dari Presiden):
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E
- 63 -

No Kaidah Dasar Hukum (Mengingat)


ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

34. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


Undang adalah Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
35. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang adalah
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
36. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,
dan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
37. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah adalah Pasal 5 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38. Dasar hukum pembentukan Peraturan Presiden adalah Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
39. ...
40. Jika terdapat peraturan perundang–undangan di bawah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan secara
langsung pembentukan peraturan perundang–undangan, peraturan
perundang–undangan tersebut dimuat di dalam dasar hukum.
Contoh: (dasar hukum Peraturan Pemerintah)
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4846);

41. Peraturan perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum


hanya peraturan perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih
tinggi.
42. Peraturan perundang-undangan yang akan dicabut dengan peraturan
perundang-undangan yang akan dibentuk, peraturan perundang–undangan
yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan
dalam dasar hukum.
43. Jika jumlah Peraturan Perundang–undangan yang dijadikan dasar hukum
lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan
Peraturan Perundang–undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara
kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
44. Dasar hukum yang diambil dari pasal atau beberapa pasal dalam Undang–
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan
menyebutkan pasal atau beberapa pasal. Frasa Undang–Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal
terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
45. Dasar hukum yang bukan Undang–Undang Dasar Negara Republik
- 64 -

No Kaidah Dasar Hukum (Mengingat)


Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup
mencantumkan jenis dan nama peraturan perundang–undangan tanpa
mencantumkan frasa Republik Indonesia.
46. Penulisan jenis peraturan perundang–undangan dan rancangan peraturan
perundang–undangan, diawali dengan huruf kapital.

47. Penulisan Undang–Undang dan Peraturan Pemerintah, dalam dasar hukum


dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara
tanda baca kurung.
Contoh:
Mengingat: 1. …;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5216);

48. Penulisan Peraturan Presiden tentang pengesahan perjanjian internasional


dan Peraturan Presiden tentang pernyataan keadaan bahaya dalam dasar
hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang
diletakkan di antara tanda baca kurung.
49. ...
50. Dasar hukum yang berasal dari peraturan perundang–undangan zaman
Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda
sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya
dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul asli bahasa Belanda dan
dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatsblad yang dicetak miring di antara
tanda baca kurung.
Contoh:
Mengingat: 1. ...;
2. Kitab Undang–Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel, Staatsblad 1847: 23 );

51. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam nomor berlaku juga untuk
pencabutan peraturan perundang–undangan yang berasal dari zaman
Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda
sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
52. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu peraturan perundang–undangan,
tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan
diakhiri dengan tanda baca titik koma.

Tabel 8
Teknik Penyusunan Diktum
No Kaidah Diktum
53. Diktum terdiri atas:
- 65 -

No Kaidah Diktum
a. kata Memutuskan;
b. kata Menetapkan; dan
c. jenis dan nama peraturan perundang-undangan.

54. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di
antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di
tengah marjin.

55. Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa


Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di
tengah marjin.
Contoh:
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
56. ...
57. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan
ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata
Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik
dua.
58. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul peraturan perundang-undangan
dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Republik Indonesia,
serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca
titik.
Contoh:
MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
59. ...
60. Pembukaan peraturan perundang–undangan tingkat pusat yang
tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, antara lain Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat,
Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Dewan Perwakilan
Daerah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Menteri, dan peraturan
pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada
pembukaan Undang-Undang.

Tabel 9
Teknik Penyusunan Umum Batang Tubuh
No Kaidah Umum Batang Tubuh
61. Batang tubuh peraturan perundang-undangan memuat semua materi
- 66 -

No Kaidah Umum Batang Tubuh


muatan peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal atau
beberapa pasal.
62. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke
dalam:
a. ketentuan umum;
b. materi pokok yang diatur;
c. ketentuan pidana (jika diperlukan);
d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan
e. ketentuan penutup.
63. Pengelompokan materi muatan dirumuskan secara lengkap sesuai dengan
kesamaan materi yang bersangkutan dan jika terdapat materi muatan yang
diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam ruang lingkup pengaturan
yang sudah ada, materi tersebut dimuat dalam bab ketentuan lain-lain.
64. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas
pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal)
dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi
keperdataan.
65. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat
lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan
dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan
demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi
pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.
66. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran,
pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya
paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti
kerugian.
67. Pengelompokkan materi muatan peraturan perundang-undangan dapat
disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
68. Jika peraturan perundangan-undangan mempunyai materi muatan yang
ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal atau
beberapa pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika
merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf.
69. Pengelompokkan materi muatan dalam buku, bab, bagian, dan paragraf
dilakukan atas dasar kesamaan materi.
70. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut:
a. bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf;
b. bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf; atau
c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa pasal.
71. Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya
ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BUKU KETIGA
PERIKATAN
72. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya
ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BAB I
KETENTUAN UMUM
- 67 -

No Kaidah Umum Batang Tubuh


73. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf
dan diberi judul.
74. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian
ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak terletak
pada awal frasa.
Contoh:
Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan
75. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.
76. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis
dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak terletak pada awal
frasa.
Contoh:
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
77. Pasal merupakan satuan aturan dalam peraturan perundang-undangan yang
memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara
singkat, jelas, dan lugas.
78. Materi muatan peraturan perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam
banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang
masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi muatan yang
menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
79. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal ditulis
dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal 3
80. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf
kapital.
Contoh:
Pasal 34
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak
meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33.
81. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
82. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung tanpa
diakhiri tanda baca titik.
83. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu
kalimat utuh.
84. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.
Contoh:
Pasal 8
(1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu)
kelas barang.
(2) Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang
bersangkutan.
85. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, selain dirumuskan dalam
bentuk kalimat dengan rincian, juga dapat dirumuskan dalam bentuk tabulasi.
- 68 -

No Kaidah Umum Batang Tubuh


Contoh:
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil
Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di
luar negeri.

Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai
berikut:

Contoh rumusan tabulasi:


Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi:
a. Presiden;
b. Wakil Presiden; dan
c. pejabat negara yang lain,
yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.

86. Penulisan bilangan dalam pasal atau ayat selain menggunakan angka Arab
diikuti dengan kata atau frasa yang ditulis diantara tanda baca kurung.
87. Jika merumuskan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi, memperhatikan
ketentuan sebagai berikut:
a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan
frasa pembuka;
b. setiap rincian menggunakan huruf abjad kecil dan diberi tanda baca titik;
c. setiap frasa dalam rincian diawali dengan huruf kecil;
d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma;
e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, unsur
tersebut dituliskan masuk ke dalam;
f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi
tanda baca titik dua;
g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan huruf abjad
kecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda
baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan
tanda baca kurung tutup; dan
h. pembagian rincian tidak melebihi 4 (empat) tingkat. Jika rincian melebihi 4
(empat) tingkat, pasal yang bersangkutan dibagi ke dalam pasal atau ayat
lain.

88. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif,
ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian
terakhir.

89. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif


ditambahkan kata atau yang di letakkan di belakang rincian kedua dari rincian
terakhir.

90. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan
alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian
- 69 -

No Kaidah Umum Batang Tubuh


kedua dari rincian terakhir.

91. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau
rincian.

92. Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya.

93. Jika suatu rincian memerlukan rincian lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan
angka Arab 1, 2, dan seterusnya.

94. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu
ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya.

95. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu
ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya.

Contoh:
Pasal 9
(1) ….
(2) …:
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. …:
1. …;
2. …; (dan, atau, dan/atau)
3. …:
a) …;
b) …; (dan, atau, dan/atau)
c) …:
1) …;
2) …; (dan, atau, dan/atau)
3) ….

Tabel 10
Teknik Penyusunan Ketentuan Umum
No Kaidah Ketentuan Umum
96. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam peraturan
perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum
diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal.
Contoh:
BAB I
KETENTUAN UMUM
97. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
98. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau
- 70 -

No Kaidah Ketentuan Umum


definisi; dan/atau
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa
pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud,
dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

Contoh batasan pengertian:


1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan.

Contoh definisi:
1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang
mencakup lokasi, letak, dan posisinya.
2. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib
kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Contoh singkatan:
1. Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK adalah
lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP
adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara
menyeluruh terhadap proses perancangan dan pelaksanaan kebijakan
serta perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di lingkungan
Pemerintah Kota Dumai.

Contoh akronim:
1. Asuransi Kesehatan, yang selanjutnya disebut Askes adalah…
2. Orang dengan HIV/AIDS, yang selanjutnya disebut ODHA adalah orang
yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap belum ada gejala maupun yang
sudah ada gejala.

99. Frasa pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi:


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
100. Frasa pembuka dalam ketentuan umum peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.
101. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan
atau akronim lebih dari satu maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut
dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan
tanda baca titik.
102. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau
istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal
selanjutnya.
103. Apabila rumusan definisi dari suatu peraturan perundang-undangan
dirumuskan kembali dalam peraturan perundang-undangan yang akan
- 71 -

No Kaidah Ketentuan Umum


dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi
dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku tersebut.
104. Rumusan batasan pengertian dari suatu peraturan perundang-undangan
dapat berbeda dengan rumusan peraturan perundang-undangan yang lain
karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang
akan diatur.
Contoh 1:
a. Hari adalah hari kalender (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
b. Hari adalah hari kerja (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah).

Contoh 2:
a. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum (rumusan ini
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
b. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum (Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Pemukiman).
105. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah
itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu,
kata atau istilah itu diberi definisi.
106. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam
ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan
pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan
rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan
lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
107. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi
untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian
atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena
itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan
pengertian ganda.
108. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberi
batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik
digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran.

109. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti
ketentuan sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu
dari yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya
diletakkan berdekatan secara berurutan.
- 72 -

Tabel 11
Teknik Penyusunan Materi Pokok Yang Diatur
No Kaidah Materi Pokok Yang Diatur
110. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum,
dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan
setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum.

111. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan
menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.

Contoh:
a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti
pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
1. kejahatan terhadap keamanan negara;
2. kejahatan terhadap martabat Presiden;
3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;
4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
5. kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.

b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam


hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding,
tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.

c. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung,


Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.

Tabel 12
Teknik Penyusunan Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
No Kaidah Ketentuan Pidana
112. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana
atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau
norma perintah.

113. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum


ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi
perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan
lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
- 73 -

No Kaidah Ketentuan Pidana

114. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu


dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana
dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.

115. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan
pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab
ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah
sebelum bab ketentuan penutup.
116. Jika di dalam peraturan perundang-undangan tidak diadakan
pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal
yang terletak langsung sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi
ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan,
ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi
ketentuan penutup.
117. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah
Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
118. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma
larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau
beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu
dihindari:
a. pengacuan kepada ketentuan pidana peraturan perundang-undangan
lain.
Contoh:
Pasal 73
Tindak pidana di bidang Adminstrasi Kependudukan yang dilakukan oleh
penduduk, petugas, dan Badan Hukum diancam dengan hukuman pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.
b. pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen
atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau
c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di dalam
norma-norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal sebelumnya,
kecuali untuk undang-undang mengenai tindak pidana khusus.

119. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana
dirumuskan dengan frasa setiap orang.
Contoh:
Pasal 81
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek
yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain
atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi
dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

120. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu
dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi.
- 74 -

No Kaidah Ketentuan Pidana


Contoh 1:
Pasal 143
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang
pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Contoh 2:
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak 4
(empat) kali jumlah pajak yang terutang.
121. Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak
pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari
perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai pelanggaran atau
kejahatan.
Contoh:
BAB V
KETENTUAN PIDANA

Pasal 33
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal …, dipidana dengan pidana kurungan paling lama …
atau pidana denda paling banyak Rp…,00
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelanggaran.
122. Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi
pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif.
a. Sifat kumulatif:
Contoh:
Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat
sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).

b. Sifat alternatif:
Contoh:
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
- 75 -

No Kaidah Ketentuan Pidana


c. Sifat kumulatif alternatif:
Contoh:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
123. Perumusan dalam ketentuan pidana harus menunjukkan dengan jelas unsur-
unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif.
124. Jika suatu peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana
akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat
adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku
surut sejak tanggal 1 Januari 1976, kecuali untuk ketentuan pidananya.
125. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap
kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang-
undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada Undang-Undang
yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya, Undang-Undang
Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi.
126. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi.
Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan
kepada:
a. badan hukum antara lain perseroan, perkumpulan, yayasan, atau
koperasi; dan/atau
b. pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak
sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.

Tabel 13
Teknik Penyusunan Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
No Kaidah Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
127. Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau
hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan yang lama terhadap peraturan perundang-undangan yang baru,
yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak
perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- 76 -

No Kaidah Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)


d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

Contoh 1:
Pasal 35
Perjanjian Internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral,
dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah
Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya perjanjian tersebut.

Contoh 2:
Pasal 18
Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini
tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin.

Contoh 3:
Pasal 38
Orang atau Badan yang telah memiliki izin usaha pemeliharaan
kesehatan hewan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah
ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
harus menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini.

128. Ketentuan Peralihan dimuat dalam Bab Ketentuan Peralihan dan


ditempatkan di antara Bab Ketentuan Pidana dan Bab Ketentuan Penutup.
Jika dalam peraturan perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan
bab, pasal atau beberapa pasal yang memuat Ketentuan Peralihan
ditempatkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang memuat ketentuan
penutup
129. Di dalam peraturan perundang-undangan yang baru, dapat dimuat ketentuan
mengenai penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi
tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu.
Contoh 1:
Pasal 27
Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini
tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya Kementerian
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Contoh 2:
Pasal 44
(1) … .
(2) Sebelum RPJMD ditetapkan, penyusunan RKPD berpedoman kepada
RPJMD periode sebelumnya.

130. Penyimpangan sementara terhadap ketentuan peraturan perundang-


undangan berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan.
131. Jika suatu peraturan perundang-undangan diberlakukan surut, peraturan
perundang-undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai
status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di
dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai
- 77 -

No Kaidah Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)


berlaku pengundangannya.
Contoh:
Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini
dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan
Peraturan Pemerintah ini.
132. Mengingat berlakunya asas umum hukum pidana, penentuan daya laku
surut tidak diberlakukan bagi Ketentuan Pidana.
133. Penentuan daya laku surut tidak dimuat dalam peraturan perundang-
undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada
masyarakat, misalnya penarikan pajak atau retribusi.

134. Jika penerapan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan


ditunda sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu,
ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut harus memuat secara
tegas dan rinci tindakan hukum atau hubungan hukum yang dimaksud, serta
jangka waktu atau persyaratan berakhirnya penundaan sementara tersebut.

Contoh:
Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor … Tahun ... tentang… masih
tetap berlaku untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung
sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.

135. Rumusan dalam Ketentuan Peralihan tidak memuat perubahan terselubung


atas ketentuan peraturan perundang-undangan lain. Perubahan ini
hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam
Ketentuan Umum peraturan perundang-undangan atau dilakukan dengan
membuat peraturan perundang-undangan perubahan.

Contoh rumusan yang memuat perubahan terselubung:


Pasal 35
Desa atau yang disebut nama lainnya yang setingkat dengan desa yang
sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan
sebagai desa menurut Pasal 1 huruf a.

Tabel 14
Teknik Penyusunan Ketentuan Penutup
No Kaidah Ketentuan Penutup
136. Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan
pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam pasal atau
beberapa pasal terakhir.
137. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan peraturan
perundang-undangan;
b. nama singkat peraturan perundang-undangan;
c. status peraturan perundang-undangan yang sudah ada; dan
- 78 -

No Kaidah Ketentuan Penutup


d. saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan.
138. Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan peraturan
perundang-undangan bersifat menjalankan (eksekutif), misalnya,
penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin,
dan mengangkat pegawai.
139. Bagi nama peraturan perundang-undangan yang panjang dapat dimuat
ketentuan mengenai nama singkat dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak
dicantumkan;
b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika
singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan
salah pengertian.
140. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama
peraturan.
Contoh nama singkat yang tidak tepat:
(Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan)
Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina Hewan

141. Nama peraturan perundang-undangan yang sudah singkat tidak perlu


diberikan nama singkat.
Contoh nama singkat yang tidak tepat:
(Undang-Undang tentang Bank Sentral)
Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Bank Indonesia

142. Sinonim tidak dapat digunakan untuk nama singkat.


Contoh nama singkat yang tidak tepat:
(Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
Undang-Undang ini dapat disebut dengan Undang-Undang tentang
Peradilan Administrasi Negara.

143. Jika materi muatan dalam peraturan perundang-undangan yang baru


menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi
muatan dalam peraturan perundang-undangan yang lama, dalam peraturan
perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai
pencabutan seluruh atau sebagian materi muatan peraturan perundang-
undangan yang lama.
144. Rumusan pencabutan peraturan perundang-undangan diawali dengan frasa
pada saat …(jenis peraturan perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali
untuk pencabutan yang dilakukan dengan peraturan perundang-undangan
pencabutan tersendiri.

145. Demi kepastian hukum, pencabutan peraturan perundang-undangan tidak


dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas peraturan
perundang-undangan yang dicabut.

146. Untuk mencabut peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan


dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 79 -

No Kaidah Ketentuan Penutup

Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4310), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

147. Jika jumlah peraturan perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu),
cara penulisan dilakukan dengan rincian dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Ordonansi Perburuan (Jachtsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 133);
b. Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar
(Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 134);
c. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtsordonantie Java en
Madoera 1940, Staatsblad 1939: 733); dan
d. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonantie 1941,
Staatsblad 1941: 167),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
148. Pencabutan peraturan perundang-undangan disertai dengan keterangan
mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan atau keputusan yang
telah dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dicabut.
149. Untuk mencabut peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan
tetapi belum mulai berlaku, gunakan frasa ditarik kembali dan dinyatakan
tidak berlaku.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor ...
Tahun... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ...
Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) ditarik
kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
150. Pada dasarnya peraturan perundang-undangan mulai berlaku pada saat
peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan.
Contoh:
a. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
b. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
151. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya peraturan
perundang-undangan tersebut pada saat diundangkan, hal ini dinyatakan
secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan tersebut dengan:
a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku;
Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 2011.
b. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan
Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang
diberlakukan itu kodifikasi, atau kepada Peraturan Perundang-undangan
lain yang lebih rendah jika yang diberlakukan itu bukan kodifikasi;
Contoh:
- 80 -

No Kaidah Ketentuan Penutup


Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan dengan
Peraturan Presiden.
c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat
Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan
penafsiran gunakan frasa setelah ... (tenggang waktu) terhitung sejak
tanggal diundangkan.
Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal diundangkan.

152. Tidak menggunakan frasa ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yang
sejenisnya, karena frasa ini menimbulkan ketidakpastian mengenai saat
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yaitu saat diundangkan
atau saat berlaku efektif.
153. Pada dasarnya saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan adalah
sama bagi seluruh bagian peraturan perundang-undangan dan seluruh
wilayah negara Republik Indonesia atau seluruh wilayah Provinsi,
Kabupaten/Kota untuk Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.

154. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan


dinyatakan secara tegas dengan:
a. menetapkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan itu yang
berbeda saat mulai berlakunya;
Contoh:
Pasal 45
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal… .
b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah negara
tertentu.
Contoh:
Pasal 40
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai berlaku
untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal….

155. Pada dasarnya mulai berlakunya peraturan perundang-undangan tidak dapat


ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya.
156. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan peraturan perundang-
undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut),
diperhatikan hal sebagai berikut:
a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat,
sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan
hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada,
dimuat dalam ketentuan peralihan;
c. awal dari saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan ditetapkan
tidak lebih dahulu daripada saat rancangan peraturan perundang-
undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat
- 81 -

No Kaidah Ketentuan Penutup


rancangan peraturan perundang-undangan tersebut tercantum dalam
Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan peraturan perundang-
undangan lainnya.
157. Saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan, pelaksanaannya tidak
boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku peraturan
perundang-undangan yang mendasarinya.
158. Peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan
perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
159. Pencabutan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-
undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung
kembali seluruh atau sebagian materi muatan peraturan perundang-
undangan lebih rendah yang dicabut itu.

Tabel 15
Teknik Penyusunan Penutup
No Kaidah Penutup
160. Penutup merupakan bagian akhir peraturan perundang-undangan yang
memuat:
a. rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-
undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara
Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah
Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah
Kabupaten/Kota;
b. penandatanganan pengesahan atau penetapan peraturan perundang-
undangan;
c. pengundangan atau penetapan peraturan perundang-undangan; dan
d. akhir bagian penutup.
161. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-
undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi
sebagai berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … (jenis
Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
162. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-
undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai
berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … (jenis
peraturan perundang-undangan) ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.

163. …
164. Penandatanganan pengesahan atau penetapan peraturan perundang-
undangan memuat:
- 82 -

No Kaidah Penutup
a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
b. nama jabatan;
c. tanda tangan pejabat; dan
d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat,
golongan, dan nomor induk pegawai.

165. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di


sebelah kanan.
166. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir
nama jabatan diberi tanda baca koma.
a. untuk pengesahan:
Contoh:
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
b. untuk penetapan:
Contoh:
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

167. Pengundangan peraturan perundang-undangan memuat:


a. tempat dan tanggal pengundangan;
b. nama jabatan yang berwenang mengundangkan;
c. tanda tangan; dan
d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat,
golongan, dan nomor induk pegawai.

168. Tempat tanggal pengundangan peraturan perundang-undangan diletakkan di


sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan atau penetapan).

169. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir
nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh:
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
PATRIALIS AKBAR
170. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak
menandatangani rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
- 83 -

No Kaidah Penutup
antara DPR dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah
nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Undang-Undang ini
dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
171. …
172. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi,
Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita
Daerah Kabupaten/Kota beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah
Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau
Berita Daerah Kabupaten/Kota
173. Penulisan frasa Lembaran Negara Republik Indonesia atau Lembaran
Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR...

Tabel 16
Teknik Penyusunan Penjelasan
No Kaidah Penjelasan
174. Setiap Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota diberi penjelasan.
175. Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (selain Peraturan
Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat diberi penjelasan jika
diperlukan.
176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-
undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu,
penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau
padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.
Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh
tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang
dimaksud.
177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat
peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi
norma.
178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan
terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
179. Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan.
180. Judul penjelasan sama dengan judul peraturan perundang-undangan yang
diawali dengan frasa penjelasan atas yang ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2011
- 84 -

No Kaidah Penjelasan
TENTANG
TRANSFER DANA

181. Penjelasan peraturan perundang-undangan memuat penjelasan umum dan


penjelasan pasal demi pasal.
182. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan
angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
I. UMUM
II. PASAL DEMI PASAL

183. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang
pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan
yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas,
tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang tubuh peraturan
perundang-undangan.

184. Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab,
jika hal ini lebih memberikan kejelasan.
Contoh:
I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
...
2. Pembagian Wilayah

3. Asas-asas Penyelenggara Pemerintahan

4. Daerah Otonom

5. Wilayah Administratif

6. Pengawasan

185. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke peraturan perundang-


undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan
keterangan mengenai sumbernya.
186. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang
ada dalam batang tubuh;
c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang
tubuh;
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah
dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
e. tidak memuat rumusan pendelegasian.

187. Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau
- 85 -

No Kaidah Penjelasan
istilah, tidak perlu diberikan penjelasan.

188. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frasa cukup
jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.) dan huruf c ditulis dengan huruf
kapital. Penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkan walaupun terdapat
beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan.
Contoh yang tidak tepat:
Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9)
Cukup jelas.

Seharusnya:
Pasal 7
Cukup jelas.
189. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan
penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan cukup jelas,
tanpa merinci masing-masing ayat atau butir.
190. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau
butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu
dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai.
Contoh:
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada
hakim dan para pengguna hukum.
191. Jika suatu istilah/kata/frasa dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan
penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…“) pada istilah/kata/frasa tersebut.
Contoh:
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa
sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Tabel 17
Teknik Penyusunan Lampiran
No Kaidah Lampiran
192. Dalam hal peraturan perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut
dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan.

193. Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan
- 86 -

No Kaidah Lampiran
sketsa.

194. Dalam hal peraturan perundang-undangan memerlukan lebih dari satu


lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dengan menggunakan angka
romawi.
Contoh: LAMPIRAN I
LAMPIRAN II

195. Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di
sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata kiri.
Contoh:
LAMPIRAN I
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN …
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN

196. Nama lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di
tengah tanpa diakhiri tanda baca.

Contoh:
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

197. Pada halaman akhir tiap lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan
pejabat yang mengesahkan atau menetapkan peraturan perundang-undangan
ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan bawah dan diakhiri
dengan tanda baca koma setelah nama pejabat yang mengesahkan atau
menetapkan peraturan perundang-undangan.
Contoh:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

2.2. Hal Khusus

Tabel 18
Teknik Penyusunan Pendelegasian Kewenangan
No Kaidah Pendelegasian Kewenangan
198. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan
kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah.
- 87 -

No Kaidah Pendelegasian Kewenangan

199. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang-Undang


kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada
Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain.

Contoh:
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 48
(1) …
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kawasan lahan
abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
diatur dengan Undang-Undang.
200. Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas:
a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan
b. jenis peraturan perundang-undangan.

201. Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-
pokoknya di dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan
tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam peraturan perundang-
undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan
kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan … .
Contoh
Pasal …
(1) ... .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 18
(1) ... .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian
SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan diatur dengan Peraturan
....
Pasal 23
(1) … .
(2) … .
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan ...

202. Jika pengaturan materi muatan tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur
dengan atau berdasarkan … .
Contoh:
Pasal …
(1) … .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
- 88 -

No Kaidah Pendelegasian Kewenangan


203. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-
pokoknya di dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan dan
materi muatan itu harus diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang
diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat
Ketentuan mengenai … diatur dengan … .
Contoh:
Pasal …
(1) … .
(2) Ketentuan mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah.
204. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan atau
berdasarkan … .
Contoh:
Pasal ...
(1) ... .
(2) Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
205. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan
tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan
dalam suatu peraturan perundang-undangan, gunakan kalimat “Ketentuan
mengenai … diatur dalam ….”
Contoh:
Pasal 57
(1) … .
(2) … .
(3) … .
(4) … .
(5) … .
(6) … .
(7) Ketentuan mengenai tata cara untuk mendapatkan KIPAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan ...
206. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka materi
muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) peraturan
pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan,
gunakan kalimat “(jenis Peraturan Perundang-undangan) … tentang
Peraturan Pelaksanaan ...”
Contoh:
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
207. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksanaan
yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara
singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut.
Contoh:
Pasal 76
(1) ... .
(2) ... .
(3) ... .
- 89 -

No Kaidah Pendelegasian Kewenangan


(4) ... .
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
208. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dimuat pada
ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan.
209. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat
dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi
pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam
rangkaian ayat-ayat sebelumnya.

210. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya delegasi


blangko.
Contoh tidak boleh:
Pasal …
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini sepanjang
pengaturan pelaksanaannya, diatur dengan Peraturan ...

211. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri,


pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat
dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.

212. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara


tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain,
kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut
dibuka kemungkinan untuk itu.

213. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu peraturan perundang-


undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris
jenderal, atau pejabat yang setingkat.

214. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat
hanya dapat diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang.

215. Peraturan perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak


mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam peraturan perundang-
undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat
dihindari.

216. Di dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip kembali rumusan norma atau
ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi
yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang
- 90 -

No Kaidah Pendelegasian Kewenangan


rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar
(aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam
pasal atau beberapa pasal atau ayat atau beberapa ayat selanjutnya

Tabel 19
Teknik Penyusunan Penyidikan
No Kaidah Penyusunan Penyidikan
217. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang,
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
218. Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik
Pegawai Negeri Sipil kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, atau
instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Undang-
Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
219. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai
penyidik pegawai negeri sipil diusahakan agar tidak mengurangi kewenangan
penyidik umum untuk melakukan penyidikan.

Contoh:
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama kementerian
atau instansi) dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan
terhadap pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang
(Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) ini.
220. Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal atau
beberapa pasal sebelum ketentuan pidana.

Tabel 20
Teknik Penyusunan Pencabutan
No Kaidah Pencabutan
221. Jika ada peraturan perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan
diganti dengan peraturan perundang-undangan baru, peraturan perundang-
undangan yang baru harus secara tegas mencabut peraturan perundang-
undangan yang tidak diperlukan itu.
222. Jika materi dalam peraturan perundang-undangan yang baru menyebabkan
perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam peraturan perundang-
undangan yang lama, di dalam peraturan perundang-undangan yang baru
harus secara tegas diatur mengenai pencabutan sebagian atau seluruh
peraturan perundang-undangan yang lama.
223. Peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui peraturan
perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi.
- 91 -

No Kaidah Pencabutan
224. Pencabutan melalui peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih
tinggi dilakukan jika peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut
dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu.
225. Jika peraturan perundang-undangan baru mengatur kembali suatu materi
yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan peraturan perundang-
undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup
dari peraturan perundang-undangan yang baru, dengan menggunakan
rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
226. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi
belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan
menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.

227. Jika pencabutan peraturan perundangan-undangan dilakukan dengan


peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan tersebut pada
dasarnya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu
sebagai berikut:
a. Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan
Perundang-undangan yang sudah diundangkan;
b. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan
Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan.

Contoh:
Pasal 1
Undang-Undang Nomor … Tahun ... tentang … (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

228. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang menimbulkan perubahan


dalam peraturan perundang-undangan lain yang terkait, tidak mengubah
peraturan perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan
lain secara tegas.

229. Peraturan perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, tetap


tidak berlaku, meskipun peraturan perundang-undangan yang mencabut di
kemudian hari dicabut pula.

Tabel 21
Teknik Penyusunan Perubahan Peraturan Perundang-undangan
No Kaidah Perubahan Peraturan Perundang-undangan
230. Perubahan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan:
a. menyisip atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang-
undangan; atau
- 92 -

No Kaidah Perubahan Peraturan Perundang-undangan


b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-
undangan.
231. Perubahan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan terhadap:
a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat;
atau
b. kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
232. Jika peraturan perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat,
peraturan perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama
singkat peraturan perundang-undangan yang diubah.
233. Pada dasarnya batang tubuh peraturan perundang-undangan perubahan
terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai
berikut:
a. Pasal I memuat judul peraturan perundang-undangan yang diubah,
dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara
tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika
materi perubahan lebih dari satu, setiap materi perubahan dirinci dengan
menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).

Contoh 1:
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang
… (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: …
2. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut: …
3. dan seterusnya …

Contoh 2:
Pasal I
Ketentuan Pasal ... dalam Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang …
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut: …

b. Jika peraturan perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, Pasal
I memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun
dan nomor dari peraturan perundang-undangan perubahan yang ada serta
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci
dengan huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya).
Contoh:
Pasal I
Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor … ) yang telah beberapa kali diubah dengan
Undang-Undang:
- 93 -

No Kaidah Perubahan Peraturan Perundang-undangan


a. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun …
Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
…);
b. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun …
Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
…);
c. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun …
Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
…);

diubah sebagai berikut:


1. Bab V dihapus.
2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
3. dan seterusnya ...

c. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu,
Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari peraturan perundang-
undangan perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan
peralihan dari peraturan perundang-undangan yang diubah.
234. Jika dalam peraturan perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab,
bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal
baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang
bersangkutan.
a. Penyisipan Bab

Contoh:
Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu ) bab, yakni BAB IXA
sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB IXA
INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL

b. Penyisipan Pasal:

Contoh:
Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
128A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 128A
Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat
memerintahkan hasil-hasil pelanggaran paten tersebut dirampas untuk
negara untuk dimusnahkan.
235. Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru,
penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka
ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan
di antara tanda baca kurung( ).

Contoh:
- 94 -

No Kaidah Perubahan Peraturan Perundang-undangan


Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat
(1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) … .
(1a)… .
(1b)… .
(2) … .

236. Jika dalam suatu peraturan perundang-undangan dilakukan penghapusan


atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian,
paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi
keterangan dihapus.

Contoh 1:
1. Pasal 16 dihapus.
2. Pasal 18 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) … .
(2) Dihapus.
(3) … .

Contoh 2:
5. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 4
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Dihapus.
(2) Dihapus.
(3) Lokasi Pengujian dan Penguji ditetapkan dengan Keputusan Kepala
Dinas Perhubungan.

237. Jika suatu perubahan peraturan perundang-undangan mengakibatkan:


a. sistematika peraturan perundang-undangan berubah;
b. materi peraturan perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh
persen); atau
c. esensinya berubah,
peraturan perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan
disusun kembali dalam peraturan perundang-undangan yang baru mengenai
masalah tersebut.

238. Jika suatu peraturan perundang-undangan telah sering mengalami perubahan


sehingga menyulitkan pengguna peraturan perundang-undangan, sebaiknya
peraturan perundang-undangan tersebut disusun kembali dalam naskah
sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan
penyesuaian pada:
a. urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir;
- 95 -

No Kaidah Perubahan Peraturan Perundang-undangan


b. penyebutan-penyebutan; dan
c. ejaan, jika peraturan perundang-undangan yang diubah masih tertulis
dalam ejaan lama.

Tabel 22
Teknik Penyusunan Penetapan Perppu Menjadi UU
No Kaidah Penyusunan Penetapan Perppu Menjadi UU
239. Batang tubuh Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi Undang-Undang pada dasarnya
terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai
berikut:

a. Pasal 1 memuat Penetapan Perpu menjadi Undang-Undang yang diikuti


dengan pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan Undang-Undang penetapan tersebut;
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.

Contoh:
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4232) ditetapkan menjadi Undang-Undang,
dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-
Undang ini.

Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Tabel 23
Teknik Penyusunan Pengesahan Perjanjian Internasional
No Kaidah Penyusunan Pengesahan Perjanjian Internasional
240. Batang tubuh Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional
pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu
- 96 -

No Kaidah Penyusunan Pengesahan Perjanjian Internasional


sebagai berikut:

a. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat


pernyataan melampirkan salinan naskah asli dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia;
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.

Contoh untuk perjanjian multilateral:

Pasal 1
(1) Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development,
Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their
Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi,
Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya)
yang telah ditandatangani pada tanggal ... di ...
(2) Salinan naskah asli Convention on the Prohibition of the Development,
Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their
Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi,
Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya)
dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia
sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Undang-Undang ini.

Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Contoh untuk perjanjian bilateral yang hanya menggunakan dua bahasa:

Pasal 1
(1) Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan
Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
(Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual
Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal
27 Oktober 1995 di Jakarta.
(2) Salinan naskah asli Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia
dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
(Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual
Assistance in Criminal Matters) dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang–Undang ini.

Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa:

Pasal 1
(1) Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan
- 97 -

No Kaidah Penyusunan Pengesahan Perjanjian Internasional


Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang
Melarikan Diri (Agreement between the Government of the Republik of
Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of
Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1977
di Hongkong.
(2) Salinan naskah asli Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia
dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang
Melarikan Diri (Agreement between the Government of the Republik of
Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of
Fugitive Offenders) dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan
bahasa Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

241. Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau


persetujuan internasional yang dilakukan dengan Undang-Undang berlaku
juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang
dilakukan dengan Peraturan Presiden.

2.3. Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan

Tabel 24
Teknik Penyusunan Bahasa Peraturan Perundang-undangan
No Kaidah Bahasa Peraturan Perundang-undangan
242. Bahasa peraturan perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah
tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik
penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa peraturan perundang-
undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau
kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas
sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara
penulisan.
243. Ciri-ciri bahasa peraturan perundang-undangan antara lain:
a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
c. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan
tujuan atau maksud);
d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara
konsisten;
e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;
f. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan
dalam bentuk tunggal; dan
Contoh:
buku-buku ditulis buku
murid-murid ditulis murid
- 98 -

No Kaidah Bahasa Peraturan Perundang-undangan


g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan
atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama
institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis peraturan
perundang-undangan dan rancangan peraturan perundang-undangan
dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
- Pemerintah
- Wajib Pajak
- Rancangan Peraturan Pemerintah

244. Dalam merumuskan ketentuan peraturan perundang–undangan digunakan


kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
Contoh:
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Rumusan yang lebih baik:


(1) Permohonan beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

245. Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau
konteksnya dalam kalimat tidak jelas.

Contoh:
Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan
dengan istilah minuman beralkohol.

246. Dalam merumuskan ketentuan peraturan perundang-undangan, gunakan


kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.

Contoh kalimat yang tidak baku:


Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dapat dicabut.

Contoh kalimat yang baku:


Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 dapat dicabut izin usahanya.

247. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah
diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi.
Contoh:
Pasal 58
(1) ...
- 99 -

No Kaidah Bahasa Peraturan Perundang-undangan


(2) ...
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. nama dan alamat percetakan perusahaan yang melakukan
pencetakan blanko;
b. jumlah blanko yang dicetak; dan
c. jumlah dokumen yang diterbitkan.
248. Untuk mempersempit pengertian kata atau isilah yang sudah diketahui umum
tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.
Contoh:
Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.
249. Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu
menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa
sehari-hari.

Contoh:
Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan perikanan.

Rumusan yang baik:


Pertanian meliputi perkebunan.
250. Di dalam peraturan perundang-undangan yang sama, tidak menggunakan:
a. beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian yang
sama.
Contoh:
Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian
penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah
digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan
menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian
penghasilan.

b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda.


Contoh:
Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan
atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan
pengertian pengamanan.
251. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, tidak boleh menggunakan
frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang
dari.
252. Untuk menghindari perubahan nama kementerian, penyebutan menteri
sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada urusan
pemerintahan dimaksud.
Contoh:
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan.
253. Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang banyak dipakai dan
telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat
digunakan jika:
a. mempunyai konotasi yang cocok;
b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa
- 100 -

No Kaidah Bahasa Peraturan Perundang-undangan


Indonesia;
c. mempunyai corak internasional;
d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau
e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.

Contoh:
1. devaluasi (penurunan nilai uang)
2. devisa (alat pembayaran luar negeri)
254. Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan di dalam
penjelasan peraturan perundang–undangan. Kata, frasa, atau istilah bahasa
asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring,
dan diletakkan diantara tanda baca kurung ( ).

Contoh:
1. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)
2. penggabungan (merger)

Tabel 25
Teknik Penyusunan Pilihan Kata atau Istilah
No Kaidah Pilihan Kata atau Istilah
255. Gunakan kata paling, untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum
dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu.
Contoh:
… dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
256. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk menyatakan
jangka waktu;

Contoh 1:
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1
(satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Contoh 2:
Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan
undang-undang bersama DPR dalam waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak surat Pimpinan DPR diterima.

b. waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk menyatakan
batas waktu.

Contoh:
Surat permohonan izin usaha disampaikan kepada dinas perindustrian
- 101 -

No Kaidah Pilihan Kata atau Istilah


paling lambat tanggal 22 Juli 2011.

c. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak;


d. jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi.

257. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali
ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat.
Contoh:
Pasal 29
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor,
pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun
pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang
ini.

258. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan
dibatasi hanya kata yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal 1
....
38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut,
kecuali awak alat angkut.

259. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.


Contoh:
Pasal 77
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video
konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan
semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung
serta berpartisipasi dalam rapat.
260. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata
jika, apabila, atau frasa dalam hal.
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola
karena-maka).
Contoh:
Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.

Pasal 41
(1) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera
menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil
Presiden menjadi Presiden.

b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang


mengandung waktu.
Contoh:
Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa
jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
- 102 -

No Kaidah Pilihan Kata atau Istilah


(4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis
masa jabatannya.

c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan,


keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola
kemungkinan-maka).
Contoh:
Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua.

Pasal 33
(1) Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi atau tidak
tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang berasal dari luar
negeri.
261. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan
terjadi di masa depan.
Contoh:
Pasal 59
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan atau
ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib disesuaikan
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun.
262. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan.
Contoh:
Pasal 30
Penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan
keselamatan kiriman.
263. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau.
Contoh:
Pasal 19
(1) Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan
kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.

Pasal 22
(1) Dalam hal tidak ada korps musik atau genderang dan/atau sangkakala
pengibaran atau penurunan bendera negara diiringi dengan lagu
kebangsaan oleh seluruh peserta upacara.
264. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau.
Contoh:
Pasal 69
(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium
veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian
veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di
pusat jasa kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.

Pasal 31
(2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penghormatan dengan bendera negara;
b. penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau
- 103 -

No Kaidah Pilihan Kata atau Istilah


c. bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
265. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
Contoh:
Pasal 72
(1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta
pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang
perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
266. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga
gunakan kata berwenang.
Contoh:
Pasal 313
(1) Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan
mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan.
267. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan
kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
Contoh 1:
Pasal 90
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan
usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi
produksi.

Pasal 28
(1) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri
terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri
dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada
orang lain.
268. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan
kata wajib.
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi sanksi.
Contoh 1:
Pasal 8
(1) Setiap orang yang masuk atau ke luar Wilayah Indonesia wajib memiliki
Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.

Pasal 17
(1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK.
269. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,
gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang
bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat
seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.

Contoh:
Pasal 6
(1) Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) seseorang harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
- 104 -

No Kaidah Pilihan Kata atau Istilah


a. memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik yang sah;
b. berpengalaman praktik memberikan jasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3;
c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin
Akuntan Publik;
f. tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g. menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan
oleh Menteri; dan
h. tidak berada dalam pengampuan.
270. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
Contoh 1:
Pasal 135
Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas
rumah umum kepada pihak lain.

Pasal 11
(1) Setiap pemegang IUP atau TPKP dilarang:
a. melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat
terlarang seperti bahan kimia, bahan peledak, obat bius, arus listrik,
dan menggunakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring kurang
2,5 cm atau alat tangkap dengan ukuran mata bilah kurang dari 1
cm;

Tabel 26
Teknik Pengacuan
No Kaidah Pengacuan
271. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa
mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk menghindari pengulangan
rumusan digunakan teknik pengacuan.
272. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari peraturan
perundang–undangan yang bersangkutan atau peraturan perundang–
undangan yang lain dengan menggunakan frasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal … atau sebagaimana dimaksud pada ayat … .
Contoh:
Pasal 72
(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan
oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala BNN.

Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
- 105 -

No Kaidah Pengacuan
Pasal 4 ayat (2) huruf a, penyelenggara mengadakan koordinasi
dengan instansi vertikal dan lembaga pemerintah nonkementerian.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan
aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi penyelenggaraan administrasi kependudukan.

273. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal, ayat, atau huruf yang berurutan
tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi ayat, atau huruf demi
huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frasa sampai dengan.

Contoh:
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran
dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan
Bank Indonesia.

Pasal 57
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 37
(3) ...
f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
274. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada
ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut
diacu dinyatakan dengan kata kecuali.

Contoh:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1).
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a.
275. Kata pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah
satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh:
Rumusan yang tidak tepat:
Pasal 8
(1) … .
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60
(enam puluh) hari.
276. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat
dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau
ayat yang angkanya lebih kecil.

Contoh:
- 106 -

No Kaidah Pengacuan
Pasal 15
(1) … .
(2) … .
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat
(4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri.
277. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok
yang diacu.

Contoh:
Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
diberikan oleh … .
278. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke peraturan perundang–undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
279. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat
bersangkutan.

Contoh yang harus dihindari:


Pasal 15
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
280. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal
atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal yang terdahulu atau
pasal tersebut di atas.

281. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan peraturan


perundang–undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frasa
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan.
282. Untuk menyatakan peraturan pelaksanaan dari suatu peraturan perundang–
undangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang–undangan, gunakan frasa dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam … (jenis
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan) ini.

Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
283. Jika peraturan perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku
hanya sebagian dari ketentuan peraturan perundang–undangan tersebut,
gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali … .

Contoh:
- 107 -

No Kaidah Pengacuan
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor
… Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun …
Nomor … , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …)
dinyatakan tetap berlaku, kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.

284. Naskah peraturan perundang-undangan diketik dengan jenis huruf Bookman


Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4.
- 108 -

2.4. Bentuk Rancangan Peraturan Perundang-undangan

2.2.1. Bentuk Rancangan Undang-Undang

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR … TAHUN …
TENTANG

(Nama Undang–Undang)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa … dan seterusnya …;

Mengingat: 1. …;
2. …;
3. … dan seterusnya …;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG … (nama Undang–Undang).

BAB I

Pasal 1
… (materi muatan)

BAB II

Pasal …
… (materi muatan – norma hukum)

BAB … (dan seterusnya)


- 109 -

Pasal …

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),

tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …


- 110 -

2.2.2. Bentuk Rancangan Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR …TAHUN …
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN …
TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa ... dan seterusnya …;

Mengingat: 1. ...;
2. …;
3. ... dan seterusnya …;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN


PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN
... TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG.

Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor … Tahun …
tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ... ,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) ditetapkan
menjadi Undang–Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
- 111 -

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

NAMA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),

tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …


- 112 -

2.2.3. Bentuk Rancangan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional


Yang Tidak Menggunakan Bahasa Indonesia Sebagai Salah Satu Bahasa
Resmi

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGESAHAN CONVENTION …
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa
Indonesia sebagai terjemahannya)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa … dan seterusnya …;

Mengingat: 1. …;
2. …;
3. … dan seterusnya …;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION …


(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan
bahasa Indonesia sebagai terjemahannya).

Pasal 1
(1) Mengesahkan Convention … (bahasa asli perjanjian internasional
yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai
terjemahannya) yang telah ditandatangani pada tanggal ... di …
dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang… .
(2) Salinan naskah asli Convention … (bahasa asli perjanjian
internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa
Indonesia sebagai terjemahannya) dengan Reservation
(Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang … dalam bahasa Inggris
dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana
terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
- 113 -

Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),

tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …


- 114 -

2.2.4. Bentuk Rancangan Undang-Undang Perubahan Undang-Undang

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG–UNDANG
NOMOR … TAHUN … TENTANG …
(untuk perubahan pertama)

atau

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG


NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ...
(untuk perubahan kedua dan seterusnya)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa … dan seterusnya …;

Mengingat: 1. …;
2. …;
3. … dan seterusnya …;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-


UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... .

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor ... Tahun …
tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal ... (bunyi rumusan tergantung keperluan), dan
seterusnya.

Pasal II
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
- 115 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),

tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …


- 116 -

2.2.5. Bentuk Rancangan Undang-Undang Pencabutan Undang-Undang

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN …
TENTANG … (Nama Undang–Undang)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa … dan seterusnya …;

Mengingat: 1. …;
2. …;
3. … dan seterusnya …;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG


NOMOR … TAHUN … TENTANG ... .

Pasal 1
Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun … Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
(bagi Undang–Undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan
dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang–Undang yang sudah
diundangkan tetapi belum mulai berlaku).

Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
- 117 -

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),

tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …


- 118 -

2.2.6. Bentuk Rancangan Undang-Undang Pencabutan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG …

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa … dan seterusnya …;

Mengingat: 1. …;
2. …;
3. … dan seterusnya …;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN … TENTANG PENCABUTAN


PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR … TAHUN … TENTANG …

Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor … Tahun ...
tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun …. Nomor ...,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan
dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).

Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
- 119 -

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),

tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …


- 120 -

2.2.7. Bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN …..
TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa … dan seterusnya …;

Mengingat: 1. …;
2. …;
3. … dan seterusnya …;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG


TENTANG … (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang).

BAB I

Pasal 1
… (materi muatan)

BAB II
...

Pasal …
… (materi muatan – norma hukum)

BAB … (dan seterusnya)

Pasal …
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
- 121 -

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),

tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …


- 122 -

2.2.8. Bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa … dan seterusnya …;

Mengingat: 1. …;
2. …;
3. … dan seterusnya …;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …. (nama Peraturan


Pemerintah).

BAB I

Pasal 1
… (materi muatan)

BAB II
...

Pasal …
… (materi muatan – norma hukum)

BAB … (dan seterusnya)

Pasal …
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
- 123 -

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),

tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …


- 124 -

2.2.9. Bentuk Rancangan Peraturan Presiden

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(Nama Peraturan Presiden)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa … dan seterusnya …;

Mengingat: 1. …;
2. …;
3. … dan seterusnya …;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG …. (nama Peraturan Presiden).

BAB I

Pasal 1
… (materi muatan)

BAB II
...

Pasal …
… (materi muatan – norma hukum)

BAB … (dan seterusnya)

Pasal …
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
- 125 -

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),

tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …

Anda mungkin juga menyukai