Anda di halaman 1dari 16

PERADILAN AGAMA ATAU MAHKAMAH SYARIAH PASCA REFORMASI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah peradilan agama

Dosen Pengampu : Miftahudin Azmi, M.HI.

Disusun Oleh:

Nailus Zulfa 210203110043

Laila Badriyatul Mukamala 210203110062

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat yang dilimpahkan kepada kami,
sehingga makalah kami yang berjudul “Prospek Peradilan Agama Atau Mahkamah Syari’ah Pasca
Reformasi” dapat terselesaikan dengan optimal. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang berkat limpahan rahmatnya, dapat kita rasakan zaman
yang terang benderang oleh ilmu pengetahuan seperti pada saat ini.

Selanjutnya, kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Miftahudin Azmi, M.HI selaku
dosen pengampu mata kuliah Peradilan Agama yang telah memberikan bimbingan kepada penulis
dalam proses penyusunan makalah, sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan dengan baik.
Ucapan terimakasih tidak lupa penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman mahasiswa
program studi Hukum Tata Negara pada umumnya, dan teman-teman HTN kelas B pada
khususnya, yang telah mendukung penyusunan makalah ini.

Kami sadar bahwa makalah ini belumlah bisa disebut makalah yang sempurna. Masih
ditemui didalamnya banyak kesalahan yang perlu diperbaiki. Oleh sebab itu, kami sebagai
penyusun masih memerlukan segala bentuk kritik menindak lanjuti hal tersebut, sehingga dapat
memperbaiki berbagai kesalahan yang ada dalam makalah ini.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Malang, 12 Mei 2023

Penyusun

ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... iii

BAB I ..................................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 1

C. Tujuan ........................................................................................................................................ 2

BAB II .................................................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 3

A. Mahkamah Syariah di Aceh sebagai Peradilan Baru ............................................................... 3

B. Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Satu Atap .............................................................. 4

C. Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi


Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik pada Sistem Peradilan di Indonesia . 7

BAB III ................................................................................................................................................ 12

PENUTUP............................................................................................................................................ 12

A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 12

B. Saran ........................................................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia, sebagai
salah satu pelaksana kekuasaan kehakimantelah cukup memakan waktu yang sangat
panjang, sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena
memang Islam adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang sepenuhnya dapat dilakukan
oleh pemeluk agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-kaidah
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain (hablumminannas) dan dalam
kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk
melaksanakannya secara paripurna.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam selalui
berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu
diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu sendiri. Jabatan hakim dalam Islam merupakan
kelengkapan pelaksanaan syari'at Islam. Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan
kewajiban kolektif, yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan
bagaimanapun juga.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Mahkamah Syariah di Aceh sebagai Peradilan Baru?
2. Bagaimana Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Satu Atap?
3. Bagaimana Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang
Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik pada Sistem
Peradilan di Indonesia

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Mahkamah Syariah di Aceh sebagai Peradilan Baru
2. Untuk mengetahui Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Satu Atap
3. Untuk mengetahui Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019
Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik pada
Sistem Peradilan di Indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mahkamah Syariah di Aceh sebagai Peradilan Baru


Setelah runtuhnya rezim orde baru, di Aceh terjadi konflik besar antara kelompok
penuntut disintegrasi yang dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan
pemerintah. Akibat dari konflik tersebut adalah timbulnya banyak korban baik dari
pemerintah maupun warga sipil. Tuntutan pemisahan diri dari NKRI yang sulit sekali untuk
dibungkam berakhir pada pemberian otonomi khusus dari pemerintah Indonesia kepada
Aceh dengan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh.
UU No. 18 Tahun 2001 tersebut membawa perkembangan baru di Aceh dalam
sistem peradilan. Pasal 25-26 UU Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (PNAD) mengatur
mengenai Mahkamah Syari’ah yang merupakan peradilan syari’at Islam sebagai bagian
dari sistem peradilan nasional. Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan yang bebas
dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama
Islam.20 Kewenangan Mahkamah Syari’ah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun
PNAD.21 Mahkamah Syari’ah sebagai Peradilan di Aceh diberikan wewenang untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara perkara Jinayat. Wewenang itu sebagaimana
yang diamanatkan oleh Qanun No. 10 tahun 2002 Pasal 49.
Mahkamah Syariah terdiri dari :
a. Mahkamah Syariah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan
tingkat pertama
b. Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada
di ibukota Provinsi, yaitu di Banda Aceh.
Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD 1945
Amandemen ketiga dan keempat, yaitu Mahkamah Agung berwenang mengadili pada

3
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.1

UU Nomor 18 Tahun 2001 di atas telah memperkuat UU No. 44 Tahun 1999


tentang Keistimewaan Aceh. UU tersebut juga memberi jaminan hukum tentang
pelaksanaan Syariat Islam sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh,
mengembangkan dan mengatur pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan
dan menyelenggarakan kehidupan adat dan peran serta kedudukan Ulama dalam penerapan
kebijakan daerah.23 Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan UU No 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat
qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. UU tersebut menagatakan bahwa bidang
ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah (masalah kejahatan) yang didasarkan atas
syariat Islam dapat diatur dengan qonun (peraturan daerah), biarpun hingga tahun 2006
lalu, qonun yang sudah disahkan di Aceh baru berupa qonun nomor 11 tentang aturan
Syariat Islam, qonun nomor 12 soal judi atau maisir, qonun nomor 13 tentang khamar atau
minuman keras, serta qonun 14 tentang khalwat atau menyepi degan lawan jenis.
B. Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Satu Atap
Pergeseran kekuasaan dari rezim orde baru ke pemerintahan orde reformasi, serta
membawa berbagai perubahan dalam ranah sosial, politik, dan hukum. Perubaha
mendasar pada bidang hukum yaitu dilakukannya amandemen atas UUD 1945. Salah satu
pasal yang mengalami perubahan adalah pasal 24 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi :
“penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh mahkamah agung dan badan
peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dan oleh Mahkamah Konstitusi”.Kemudian ketentuan konstitusi ditindaklanjuti
dengan lahirnya UU no. 35 tahun 1999 tentang sistem peradilan satu atap, UU no. 4
Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman telah diamandemen atas UU no.14 Tahun
1970 tentang pokok–pokok kekuasaan kehakiman dan UU no. 48 Tahun 2009 telah
diamandemen atas UU no. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. 2

1
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Ke-3 dan Ke-4
2
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, Bogor : Ghalia Indonesia, 2011, 151.

4
Sesuai dengan tuntutan reformasi dalam ranah hukum, sekaligus wujud nyata
pengawalan terhadap perubahan mendasar dalam sistem peradilan yaitu dari sistem
peradilan mendua menjadi peradilan satu atap.Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU
no. 48 Tahun 2009, maka kewenangan dalam bidang organisasi, administrasi dan finansial
lembaga peradilan agama berpindah dari lembaga eksekutif, yaitu direktorat Pembina
Peradilan Agama Departemen Agama kepada lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Agung.
Adapun yang dimaksud dengan pemindahan kewenangan dalam bidang organisasi
meliputi: kedudukan, tugas, fungsi kewenangan dan struktur organisasi.
Pembinaan peradilan dalam sistem satu atap oleh Mahkamah Agung itu merupakan
upaya untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan menciptakan putusan
pengadilan yang tidak memihak (impartial). Dengan lahirnya perundang-undangan maka,
terdapat berbagai akibat hukum yang bersinggung langsung dengan posisi Peradilan
Agama. Pertama, secara organisatoris, administratif dan finansial, badan peradilan agama
berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal ini mengandung bahwa peradilan
Agama sejak proklamasi kemerdekaan RI berada dibawah kekuasaan Departemen Agama,
bergeser dan beralih ke dalam wilayah kekuasaan Mahkamah Agung. Kedua, sejak
dikeluarkannya reformasi sistem hukum dan peradilan, termasuk yang bersinggungan
dengan pengalihan organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama menjadi
satu atap di bawah lingkungan Mahkamah Agung. 3
Berkenaan dengan kebijakan sistem peradilan satu atap itu, maka dilakukan
langkah adaptasi lainnya, terutama yang berkaitan dengan badan peradilan agama. Maka
dilakukannya amandemen sebanyak dua kali terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tentang
peradilan agama telah meletakan agama telah meletakan dasar kebijakan bahwa segala
urusan mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi, baik menyangkut teknis yudisial
maupun nonyudisial. Yaitu urusan organisasi, administrasi dan finansial berada dibawah
kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi
Yudisial. Dimana perubahan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan

3
Aah Tsamrotul Fuadah, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: PT. Liventurindo, 2021, 88.

5
kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan
hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.
Secara umum perubahan kedua UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang PeradilanAgama pada
dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem
peradilan yang terpadu.4
Peradilan Agama Sejak Amandemen, Asas Peradilan Agama Dengan mencermati
kandungan pasal-pasal yang terdapat dalam UU No.7 tahun 1989 pasca amandemen, baik
melalui UU No.3 Tahun 2006 maupun UU No. 50 Tahun 2009 (amandemen ke 2) dapat di
temukan beberapa asas yang belaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
a. Personalitas keislaman
Orang-orang yang bisa berperkara di lingkungan peradilan agama hanyalah orang-
orang yang beragama Islam saja. Pernyataan tersebut dijelaskan dan dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat 1 UU No. 50 Tahun 2009 (amandemen ke-2 atas UU No. 7 Tahun 1989)
yang berbunyi: peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.
b. Pengadilan Tingkat Pertama dan Ke Dua Penyelesaian perkara di lingkungan peradilan
agama dilakukan oleh pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan oleh
pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No.3 Tahun 2006 yang berbunyi
kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan
agama dan pengadilan tinggi agama. Ketentuan Pasal 3 itu dipertegaslagi dalam Pasal
6 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 yang
berbunyi pengadilan terdiri dari pengadilan agama, yang merupakan pengadilan tingkat
pertama dan pengadilan tinggi agama yang merupakan pengadilan tingkat banding.
c. Wilayah Hukum Peradilan Agama Daerah hukum peradilan agama sebagai pengadilan
yang bertugas menyelesaikan perkara tingkat pertama adalah daerah hukum ibu kota
kabupaten atau pemerintah kota. Hal tersebut secara eksplisit tertuang dalam Pasal 4
ayat 1 UU No.3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 yang berbunyi pengadilan

4
Aah Tsamrotul Fuadah, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: PT. Liventurindo, 2021, 90.

6
agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kabupaten / kota. Sedangkan daerah hukum pengadilan tinggi agama sebagai
pengadilan yang bertugas menyelesaikan perkara banding adalah daerah hukum ibu
kota provinsi dan daerah hukum yang meliputi wilayah provinsi. Hal ini secara jelas
terdapat dalam Pasal 4 ayat 2 UU No 3 Tahun 2006 jo UU No 50 Tahun 2009 yang
berbunyi pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi.
d. Kewenangan Mengadili Perkara Tertentu Kewenangan mengadili perkara dalam
lingkungan peradilan agama terbatas pada perkara-perkara tertentu. Kewenangan
mengadili perkara hanya bersifat khusus, yaitu meliputi hukum tertentu sebagaimana
di rumuskan dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 itu
merupakan perubahan di bidang yurisdiksi yang di berikan kepada pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama. Pada awalnya kewenangan itu terbatas pada bidang
domestik (ahwal syakhsiyah) kemudian bergeser ke ranah yang lebih luas, bidang
domestik dan publik (muamalah), yakni di bidang zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah.

Perubahan itu berkonsekuensi terhadap perluasan subjek hukum, tidak hanya orang
tetapi juga mencakup badan hukum. Di samping itu, peradilan agama juga di identifikasi
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama islam mengenai perkara tertentu. Perkara tertentu dalam ketentuan Pasal 2 UU
No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 itu merupakan hasil perubahan dari “perkara
perdata” sebagaimana di atur dalam UU No. 7 Tahun 1989. Hal itu memberi peluang
kepada pengadilan untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara
pidana (jinayah).5

C. Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang


Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik pada Sistem
Peradilan di Indonesia

Kesesuaian Persidangan Elektronik (e-Court) Menurut Peraturan Mahkamah


Agung Nomor 1 Tahun 2019 Kebutuhan hadirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara

5
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, Bogor : Ghalia Indonesia, 2011, 154-156.

7
Perdata yang dibukukan dalam suatu peraturan perundang-undangan saat ini sangat
mendesak untuk dilakukan. Sumber Hukum Acara Perdata yang berasal dari berbagai
sumber hukum yang ada dirasa sangat membingungkan selain juga sudah
banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan juga terdapat
hal-hal yang belum diatur di dalam sumber hukum acara perdata tersebut.

Selain belum mengakomodir kemajuan teknologi, di dalam Proses Peradilan


Secara Elektronik atau e-court tersebut juga belum mengatur mengenai isi suatu surat
gugatan yang baik dan ideal, karena baru “hanya” sebatas identitas para pihak dan
posita serta petitum dan belum ada mengenai tanggal diajukannya surat gugatan dan
tittle gugatan. Padahal tanggal perkara dan tittle gugatan adalah unsur yang sangat
penting dalam sebuah gugatan. Kemudian bagaimana sanksi yang harus diberikan jika
ada aparatur pemerintahan yang tidak melaksanakan tugas dan kewajiban kaitannya
dengan administrasi suatu perkara, seperti kelurahan atau desa yang tidak menyampaikan
relaas perkara kepada para pihak yang berperkara, karena dalam praktik hal ini sering
terjadi sehingga sangat merugikan para pihak pencari keadilan.

E-Court adalah sebuah instrumen Pengadilan yang merupakan bnetuk pelayanan


terhadap masyarakat dalam hal pendaftaran perkara secara online.Sesuai dengan
ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi
Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, perlu disempurnakan terutamayang
menyangkut tata cara persidangan secara elektronik, sehingga atas dasar tersebut
Lembaga Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di
Pengadilan Secara Elektronik.

Penggunaan e-courtperkara diharapkan bisa meningkatkan pelayanan dalam


fungsinya yaitu menerima pendaftaran perkara secara online dimana masyarakat akan
dapat menghemat waktu dan biaya saat melakukan pencatatan dalam berperkara.
Ruang lingkup aplikasi e-courtdari sisi advokat adalah sebagai berikut:

8
a.Pendaftaran Perkara Online (E-Filling)

Pencatatan Perkara Online dalam aplikasi e-courtuntuk saat ini baru dibuka
jenis pendaftaran untuk perkara gugatan, bantahan, gugatan sederhana, dan
permohonan. Pendaftaran Perkara ini adalah jenis perkara yang didaftarkan di
Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan TUN yang dalam pendaftarannya
memerlukan effortatau sebuah usaha yang lebih, dan ini merupakan sebuah alasan
untuk membuat e-courtsalah satunya adalah kemudahan dalam berusaha. Dalam hal
ini Penulis mengambil contoh dari sisi Advokat/Penasehat Hukum.Keuntungan
Pendaftaran Perkara secara online melalui Aplikasi e-Court yang bisa diperoleh dari
aplikasi ini adalah:

1)Menghemat waktu dan biaya dalam proses pendaftaran perkara;

2)Pembayaran Biaya Panjar yang dapat dilakukan dalam saluran Multi Channel
atau dari berbagai metode pembayaran dan bank;

3)Dokumen terarsip secara baik dan dapat diakses dari berbagai lokasi dan media;

4)Proses Temu Kembali Data yang lebih cepat.

b.Pembayaran panjar biaya online (e-payment)

Dalam pendaftaran perkara, pengguna terdaftar yang khususadvokat akan


langsung mendapatkan SKUM yang kemudian akan digeneratesecara elektronik oleh
aplikasi e-court. Dalam proses generate tersebut sudah akan dihitung berdasarkan
komponen biaya apa saja yang sudah ditetapkan dan dikonfigurasikan oleh
Pengadilan, dan besaran biaya radius yang juga ditetapkan oleh Ketua Pengadilan
sehingga perhitungan taksiran biaya panjar sudah diperhitungkan sedemikian rupa dan
menghasilkan elektronik SKUM atau eSKUM. Pengguna terdaftar sesudah
mendapatkan taksiran panjar atau eSKUM akan mendapatkan Nomor Pembayaran
(Virtual Account) sebagai rekening virtual untuk pembayaran biaya panjar perkara.

c.Pemanggilan Elektronik (e-Summons)

Sesuai dengan Perma Nomor 3 Tahun 2018 bahwa Pemanggilan yang


pendaftarannya dilakukan dengan menggunakan e-Court, maka bagi Pengguna Terdaftar

9
khususnya advokat akan dilakukan secara elektronik kemudian dikirim ke alamat
domisili elektronik pengguna terdaftar. Namun untuk pihak tergugat, pemanggilan
pertama dilakukan dengan manual dan pada saat tergugat hadir pada persidangan
yang pertama akan diminta persetujuannya apakah bersedia dipanggilan secara
elektronik atau tidak, jika bersedia maka pihak tergugat akan dipanggil secara
elektronik sesuai dengan domisili elektronikyang diberikan dan apabila tidak bersedia
pemanggilan dilakukan secara manual seperti biasa.

d.Persidangan Elektronik (e-Litigasi)

Aplikasi e-Court juga mendukung dalam hal persidangan secara


elektronik sehingga dapat dilakukan pengiriman dokumen persidangan seperti replik,
duplik, kesimpulan dan atau jawaban secara elektronik yang dapat diakses oleh pengadilan
dan para pihak.Sebelum melakukan pendaftaran perkara secara online yang
dilakukan oleh Advokat sebagai pengguna terdaftar, terlebih dahuludiwajibkan
untuk memiliki email di aplikasi e-court.Untuk melakukan pendaftaran melalui e-
Court, yang pertama kali dilakukan adalah membuka website e-Court Mahkamah
Agungdi laman https://ecourt.mahkamahagung.go.iddan selanjutnya meregister
Pengguna Terdaftar tersebut dengan cara memasukkan tempat tinggal email yang
valid karena aktivasi akun akan dikirimkan melalui email yang didaftarkan, nantinya
akan menjadi alamat domisili elektronik pengguna terdaftar, selanjutnya apabila
pendaftaran berhasil pengguna terdaftar akan mendapatkan email user dan password
yang telah dibuat olehpengguna terdaftar biar login pada aplikasi e-Court. Setelah
berhasil login untuk yang pertama kalinya pengguna terdaftar harus melengkapi
data pribadi Advokat.6

Pengaturan mengenai Persidangan Elektronik (e-court) merupakan sebuah


inovasi yang baik. Namun terdapat beberapa kekurangan terkait konsepsi ini.
Contoh Pertama adalah terdapatnya suatu celah hukum yakni terkait dengan
panggilan umum yang dapat diserahkan kepada Kepala Desa atau Lurah dalam hal

6
Hanifatul Hidayah, KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2019 TENTANG
ADMINISTRASI PERKARA DAN PERSIDANGAN DI PENGADILAN SECARA ELEKTRONIK PADA SISTEM
PERADILAN DI INDONESIA, JurnalProHukum:Vol.11,No.1, Juni2022.

10
pihak tidakketahui domisilinya. Kedua adalah terkait biaya yang ditimbulkan oleh
panggilan sah dan patut. Keberadaan biaya pemanggilan yang tidak sedikit ini
tentunya merupakan suatu hambatan bagi MA untuk mewujudkan peradilan yang
sederhana, cepat dan berbiaya murah. Sistem e-courtyang mana salah satunya
terdapat fitur pemanggilan pihak secara elektronik atau e-summonsyang diharapkan
dapat berkontribusi dalam mewujudkan efisiensi dan efektifitas peradilan.
Panggilan secara elektronik atau e-summonsdiatur dalam Pasal 15-17 PERMA No. 1
Tahun 2019. Namun tetapsaja dapat dikatakan telah terjadi disharmonisasi antara
pengaturan pemanggilan para pihak yang sah dan patut dalam HIR dan RBG
dengan pengaturan pada PERMA No. 1 Tahun 2019.7
Dalam penerapan e-court yang diatur dalam PERMA, tata peraturan
perundang-undangan sebenarnya bertentangan dengan pengaturan mengenai panggilan
yang sah dan patut yang diatur di dalam ketentuan HIR dan RBG. Pertentangan
ini dikarenakan ketidaksetaraan antara HIR dan RBG dengan PERMA, dimana HIR
dan RBG merupakan produk hukum kolonial yang statusnya disetarakan dengan
Undang-Undang, sedangkan PERMA merupakan aturan turunan yang dikeluarkan oleh
Lembaga Mahkamah Agung. Sehingga kedudukannya berada di bawah Undang-
Undang. 8

7
Wantu F, Antinomi oleh Penegakan Hukum oleh Hakim, Jurnal Mimbar Hukum No. 19 (3), 2007, h. 338.
8
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, h. 259.

11
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah runtuhnya rezim orde baru, di Aceh terjadi konflik besar antara kelompok
penuntut disintegrasi yang dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan
pemerintah. Akibat dari konflik tersebut adalah timbulnya banyak korban baik dari
pemerintah maupun warga sipil. Tuntutan pemisahan diri dari NKRI yang sulit sekali untuk
dibungkam berakhir pada pemberian otonomi khusus dari pemerintah Indonesia kepada
Aceh dengan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh.
Pergeseran kekuasaan dari rezim orde baru ke pemerintahan orde reformasi, serta
membawa berbagai perubahan dalam ranah sosial, politik, dan hukum. Perubaha mendasar
pada bidang hukum yaitu dilakukannya amandemen atas UUD 1945. Salah satu pasal yang
mengalami perubahan adalah pasal 24 ayat 2 UUD 1945
Mahkamah Agung seharusnya meningkatkan berbagai fitur pada aplikasi
eCourt yang lebih sederhana lagi, sehingga para pencari keadilan terutama Penegak
Hukum dalam mengakses aplikasi tersebut dapat dengan mudah dan cepat mencari setiap
informasi perkara yang sedang di tangani. Diperlukan adanya aturan turunan
mengenai mekanisme secara rinci terkait pemanggilan bagi pihak yang bersengketa.
Hal ini bertujuan untuk tidak menimbulkan miskonsepsi dengan peraturan yang
berada diatasnya
B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah
manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran
dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami
semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Ke-3 dan
Ke-4

Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, Bogor : Ghalia Indonesia, 2011.

Aah Tsamrotul Fuadah, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: PT. Liventurindo,
2021.

Hanifatul Hidayah, KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN


2019 TENTANG ADMINISTRASI PERKARA DAN PERSIDANGAN DI PENGADILAN
SECARA ELEKTRONIK PADA SISTEM PERADILAN DI INDONESIA,
JurnalProHukum:Vol.11,No.1, Juni2022.

Wantu F, Antinomi oleh Penegakan Hukum oleh Hakim, Jurnal Mimbar Hukum No. 19 (3), 2007.

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

13

Anda mungkin juga menyukai