Anda di halaman 1dari 24

Analisis Perkembangan dan Kontribusi Hukum keluarga Islam Sebelum dan

Setelah Kemerdekaan

Nurmawati (nrmawti01@gmail.com)

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Majene

ABSTRACT

The application of Islamic teachings in Indonesia is closely related to the

arrival of Islam to Indonesia in its history. After Islam entered Indonesia, its

followers have followed and practiced Islamic law in this region of the archipelago.

The Dutch colonial government recognized the existence of Islamic law that applied

among the people. The Dutch government realized that Islam was one of the pillars

of strength that could resist Dutch political policies. Therefore, the Netherlands

changed its policy by stipulating that Islamic law would apply if it was recognized by

local customs. The struggle of Indonesian Islamic legal scholars to change this policy

resulted in the impact that customary laws that conflicted with Islamic law would be

rejected by Muslims. After that, after independence, Islamic law experienced

significant development. This sign is that regulations have been implemented by the

government and have become laws in Indonesia.

Keywords: Reform, draft, Islamic law, ijtihad.

ABSTRAK

Penerapan ajaran Islam di Indonesia sangat terkait dengan kedatangan Islam

ke Indonesia dalam sejarahnya. Setelah agama Islam masuk ke Indonesia, para

pengikutnya telah mengikuti dan mengamalkan hukum Islam di wilayah Nusantara


ini. Pemerintah kolonial Belanda mengakui keberadaan hukum Islam yang berlaku di

kalangan masyarakat. Pemerintah Belanda menyadari bahwa agama Islam merupakan

salah satu pilar kekuatan yang dapat melakukan perlawanan terhadap kebijakan

politik Belanda. Oleh sebab itu, Belanda mengubah kebijakannya dengan menetapkan

bahwa hukum Islam akan berlaku jika telah diakui oleh adat istiadat setempat.

Perjuangan cendiakawan hukum Islam Indonesia untuk mengubah kebijakan tersebut

menghasilkan dampak bahwa hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam

akan ditolak oleh umat Islam. Setelah itu, setelah kemerdekaan, hukum Islam

mengalami perkembangan yang signifikan. Tanda ini ialah dengan diberlakukan

peraturan oleh pemerintah dan telah dijadikan undang-undang di Indonesia.

kata kunci : Pembaharuan, konsep, hukum Islam, ijtihad.


PENDAHULUAN

Indonesia bukan secara resmi merupakan negara Islam, namun mayoritas

penduduknya memeluk agama Islam. Sebagian hukum Islam telah berlaku di wilayah

Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam. Adanya proses pengadilan agama

dalam Papakeum Cirebon adalah suatu indikasi yang jelas. Kerajaan Sultan di Aceh,

kerajaan Pasai, Pagar Ruyung dengan Dang Tuanku Bundo Kanduang, Padri dengan

Imam Bonjol (Minangkabau), Demak, Pajang, Mataram, serta Malaka dan Brunei

Semenanjung Melayu semuanya mencerminkan kekayaan warisan budaya dan

sejarah yang kaya.1

Sejak lama, agama Islam telah memberikan pengaruh yang kuat terhadap

pandangan hidup masyarakat Indonesia, terutama dalam hal hukum. Sebagai agama

mayoritas di Indonesia, Islam telah memainkan peran penting dalam membentuk

nilai-nilai dan norma dalam masyarakat. Pernyataan ini telah diamati oleh ahli hukum

Belanda sendiri, yang kemudian mendorong Lodewijk Willem Christian Van den

Berg (1845-1927) dan rekan-rekannya untuk memperkenalkan teori receptio in

complexu. Bahwa aturan harus sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluk

seseorang. Bagi penduduk Muslim Indonesia, aturan Islamlah yang harus diikuti,

meskipun ada perbedaan dalam cara menjalankannya. Selama lebih dari seratus

tahun, situasi ini terus berlangsung hingga kedatangan pakar hukum adat Belanda

1
Ramulyo, M. Idris. (1985), Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika).
Hal. 53
seperti Snouck Hurgronje (1875-1936) dan Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933)

yang mengenalkan konsep resepsi dalam teori mereka.2

Hurgronje dan Van Vollenhoven menyatakan bahwa yang berlaku di dalam

masyarakat Indonesia bukanlah hukum Islam, melainkan hukum adat yang

diturunkan dari generasi ke generasi. Bahkan menurut Hurgronje, hukum Islam hanya

berlaku setelah disesuaikan dengan hukum adat dan menjadi bagian dari hukum adat,

bukan lagi hukum Islam.3 Menurut penelitian Hurgronje tentang penduduk Aceh dan

Gayo di Banda Aceh, diketahui bahwa yang diterapkan untuk umat Islam di kedua

wilayah tersebut adalah bukan hukum Islam, melainkan hukum ada. Hukum adat

telah mengalami pengaruh hukum Islam, namun pengaruh tersebut hanya akan

memiliki kekuatan hukum jika telah secara resmi diakui oleh hukum adat.4

Teori yang disebutkan di atas (teori receptie), mendapat kritik dari para

cendekiawan hukum Islam di Indonesia. Hazairin (1905-1975), seorang tokoh yang

berani menentang teori tersebut, adalah seorang ahli terkemuka dalam hukum adat

dan hukum Islam dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurutnya, teori

tersebut menghambat perkembangan Islam di Indonesia, itu merupakan teori yang

2
Assaad, A.Sukmawati. (2014). Teori Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia. “Jurnal al- Ahkam
STAIN Palopo” Volume IV, Nomor 2 Agustus 2014. Palopo: STAIN Palopo.
3
Dahlan, Abdul Azis. et.al (editor). (1996). Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve). Hal. 967.
4
Ali, Mohammad Daud. (1990). Asas-Asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers).Hal.219.
jahat karena mengajak umat Islam untuk tidak mengikuti dan melaksanakan perintah

Allah dan tindakan yang dicontohkan oleh Rasul-Nya.5

Hazairin mendukung pendapatnya tentang hukum adat yang hanya dapat

diterapkan jika sejalan dengan hukum Islam. Isi, hukum adat yang bertentangan

dengan hukum Islam harus dicabut, direspon atau ditentang. Teori ini dikenal sebagai

teori penerimaan keluar atau penerimaan sebaliknya.6

Dengan berbagai macam teori hukum dan perubahan pemikiran serta praktik hukum

Islam di Indonesia dari dulu sampai sekarang, terdapat konsep eksistensi yaitu teori

yang menjelaskan tentang keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia.

. Menurut teori ini, bentuk eksistensi (keberadaan) hukum Islam dalam hukum

nasional adalah: 1) hukum Islam adalah bagian integral dari hukum nasional

Indonesia. 2) hukum Islam bersifat mandiri, dalam arti kekuatan dan wibawanya

diakui oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional. 3) norma

hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional

Indonesia. 4). Hukum Islam merupakan bahan dan unsur utama hukum nasional.7

METODE PENELITIAN

5
Ali, Mohammad Daud. (1990). Asas-Asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers). Hal.220.
6
Rofiq, Ahmad. (2000).Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).hal.21
7
Dahlan, Abdul Azis. et.al (editor). (1996). Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve).hal.713.
Studi ini merupakan bagian dari analisis kepustakaan (library reseach) yang

melibatkan penggunaan konseptualisasi data induktif interpretatif. Penelitian

kepustakaan dipilih oleh penulis karena dokumen tertulis menjadi sumber utama

referensi dalam hukum Indonesia. Selain itu, tulisan ini menerapkan pendekatan

sejarah yang berorientasi pada norma, karena penulis menyoroti sejumlah aturan

normatif yang terkait dengan produk hukum Islam di Indonesia. Penulis juga

menjelaskan dampak produk hukum tersebut sebelum dan setelah kemerdekaan.

Dengan adanya penyelidikan ini, maka pemahaman tentang hukum Islam di

Indonesia akan menjadi lebih menyeluruh. Penelitian ini juga memiliki ciri deskriptif

dan menyajikan informasi secara kualitatif.

RENTETAN PERJALANAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Hukum Islam mulai diakui di Indonesia setelah agama Islam tersebar luas di

Indonesia. Para ahli sejarah belum mencapai kesepakatan mengenai waktu pertama

kali Islam masuk ke Indonesia. Sebagian orang menyebutnya sebagai abad pertama

Hijriyah atau abad ketujuh Masehi, sementara yang lain menyebutnya sebagai abad

ketujuh Hijriyah atau abad ketiga belas Masehi. Meskipun terdapat perbedaan

pendapat di kalangan ahli sejarah mengenai saat Islam pertama kali masuk ke

Indonesia, tetapi dapat disimpulkan bahwa setelah kedatangan Islam, hukum Islam

telah diikuti dan diterapkan oleh umat Muslim di wilayah Nusantara ini. Dapat

disimpulkan dari hasil karya para ahli hukum Islam Indonesia. Misalnya, Miratul
Thullab, Sirathal Mustaqim, Sabilal Muhtadin, Kutaragama, Sajinatul Hukum, dan

sebagainya.8

Menurut Azra (2007: 19), koneksi awal antara daerah Nusantara dan Timur Tengah,

terutama dalam hal perdagangan, telah dimulai sejak masa Phunisi dan Saba.

Memang benar, hubungan antara keduanya pada masa sebelum munculnya agama

Islam dan pada awal mula agama Islam sebagian besar terkait dengan kegiatan

perdagangan antara masyarakat Arab dan Persia dengan Dinasti Cina. Rupanya,

kapal-kapal dari wilayah Arab dan Persia telah melakukan perjalanan ke Nusantara

sebelum agama Islam menyebar di wilayah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa

hubungan perdagangan dan kebudayaan antara Nusantara dengan Arab dan Persia

telah terjalin sejak zaman dahulu. Menurut Azyumardi Azra (2007: 31), pada masa

lampau, Muslim Arab dan Persia lebih terfokus pada aktivitas perdagangan. Akan

tetapi, sejak akhir abad ke-12, mereka mulai mengabdikan perhatian yang lebih intens

pada usaha penyebaran Islam di Nusantara.9

Sejak abad ke-1 Hijriyah, Islam telah sampai di Kepulauan Indonesia pada

abad ke-7 Masehi. Proses penyebaran agama Islam berjalan dengan aman dan tanpa

kekerasan. Pada abad ke-13, sebuah kesultanan Islam pertama didirikan di ujung

Utara pulau Sumatra yang dikenal sebagai Samudera Pasai. Kemudian, kerajaan-

8
Ali, Mohammad Daud. (1990). Asas-Asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers). Hal.189.
9
Azra, Azyumardi. (2007). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana).hal.31.
kerajaan Islam lainnya juga didirikan, termasuk Demak (1500), Aceh Darussalam

(1514), Banten (1568), Mataram (1582), Kerajaan Gowa (abad ke-13), Ternate (abad

ke-15), Tidore (abad ke-16), Pajang (abad ke-16), Cirebon (abad ke-17), dan Tallo

(abad ke-17). Kemudian, diikuti oleh pemerintahan-pemerintahan seperti Jambi

(1500), Riau (1521), Banjar (1595), Bima (1620), Palembang (1662), Kutai (abad ke-

16), dan lain-lain. Pada abad ke-18, ajaran Islam telah tersebar di hampir semua

wilayah Indonesia. Cendekiawan agama di dalam pemerintahan Islam bukan hanya

berperan sebagai penasehat bagi raja, tetapi juga menduduki posisi-posisi penting di

bidang keagamaan yang berbeda nama dan tingkatannya antara satu wilayah dengan

wilayah lainnya.10

Menurut Ras (1990: 118), sejarah penelusuran hukum Islam juga dapat dilihat

dari pendirian Masjid Demak abad ke-14 sebagai lambang awal keberadaan Islam.

Menurutnya, awal masuknya Islam ke dalam budaya Jawa memiliki keterkaitan yang

kuat dengan dua kejadian: (1). Kejatuhan kuasa agama Budda yang disimbolkan oleh

istana Keraton Majapahit. Didirikannya masjid besar di Demak sebagai pusat

kekuasaan Islam yang baru, sebagai tempat ibadah wajib khususnya hari Jumat bagi

raja dan penduduk istana. Masjid Demak mulai dibangun pada tahun 1428 Masehi

(1506).11

10
Dahlan, Abdul Azis. et.al (editor). (1996). Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve).hal.710.
11
Ras, JJ. (1990). “Tradisi Jawa Mengenai Masuknya Islam di Indonesia”, dalam Beberapa
Kajian Indonesia dan Islam, (Jakarta: INIS).hal.118.
Sejak awal abad ke-13, pemikiran syariat (fikih, hukum Islam) telah

mengalami perkembangan di Indonesia. Dapat terlihat dari catatan perjalanan Ibnu

Batutah (w. 779 H / 1377 M), seorang musafir Muslim asal Afrika Utara, yang pada

746 H / 1325 M singgah di Samudera Pasai ketika sedang dalam perjalanan dari

Delhi ke Cina. Pada masa pemerintahan Sultan Malik az-Zahir (1297-1326),

Samudera Pasai diperintah olehnya, beliau adalah putra dari Sultan Malikush Shaleh

(w. Pada tahun 1297, (kalimat akan dilanjutkan dengan informasi lainnya). Ibnu

Batutah mengatakan bahwa penguasa dan penduduknya mengikuti Mazhab Syafi'i

(Dahlan dkk, 1996: 710).

Selanjutnya, ketika Belanda pertama kali tiba, keberadaan hukum Islam yang

dianut oleh masyarakat diakui oleh ahli hukum Belanda Van den Berg, yang

menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah sesuai dengan agama

yang dianut oleh masyarakatnya. Namun, situasinya berubah ketika pemerintah

kolonial Belanda menyadari bahwa hukum Islam memiliki potensi untuk menentang

kebijakan politik mereka. Oleh karena itu, berdasarkan saran dari pakar hukum

Belanda (Hurgronje dan Van Vollenhoven), pemerintah Belanda memutuskan untuk

mengubah kebijakannya dengan menetapkan bahwa hukum Islam akan berlaku jika

telah diakui oleh hukum adat. Kaitannya dengan hal ini, dalam pasal 134 ayat (2)

Indische Staatsregeling (IS) dirumuskan: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara

sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat

mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu

ordonansi”.
Menurut Ali (1990: 223), sejak tahun 1830, setelah Belanda memerintah

Indonesia, Pengadilan Agama yang dijalankan oleh para penghulu di Jawa sejak abad

ke-16, ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan kolonial yakni Landraad atau

Pengadilan Negeri. Keputusan Pengadilan Agama tidak boleh dilaksanakan tanpa

persetujuan ketua Landraad dengan executiore verklaring (pernyataan dapat

dijalankan).

Pemerintah Hindia-Belanda hanya memberikan dukungan terbatas untuk penerapan

hukum Islam dalam masalah kekeluargaan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Daniel

S. , Lev yang dikutip oleh Rofiq (2000: 19) menyatakan bahwa pada tahun 1937

diterbitkan Stbl. Berikut adalah nomor yang harus Anda hubungi. Pasal 638 dan 639

mengenai pembentukan Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar di Kalimantan

Selatan dengan wewenang yang serupa dengan Pengadilan Agama di Jawa dan

Madura. Batas wewenang Pengadilan Agama didasarkan pada Stbl. 1937 No. 116

adalah: 1). Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam. 2). Perkara-perkara

tentang: nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam

yang memerlukan perantara hakim agama Islam. 3). Memberi keputusan perceraian.

4). Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (taklik talak)

sudah ada. 5). Perkara mahar. 6). Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang

wajib diadakan oleh suami.12

Rumusan di atas menunjukkan bahwa saat pemerintah kolonial Belanda

berkuasa, segala hal yang terkait dengan wakaf, waris, hibah, wasiat, hadhanah,
12
Rofiq, Ahmad. (2000).Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).hal.19.
sadaqah, dan baitul mal yang semula masuk dalam wewenang Peradilan Agama

diubah menjadi wewenang peradilan umum. Sejak tahun 1882, wewenang mengenai

kasus-kasus yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama dialihkan ke Pengadilan

Negeri. Selanjutnya, selama masa pemerintahan Jepang, status hukum Islam tetap

tidak berubah. Dengan kata lain, pemerintah Jepang tidak mengubah kompetensi

Pengadilan Agama yang telah diatur oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pada awal kemerdekaan, pemimpin Muslim berusaha untuk mengembalikan

hukum Islam ke tempatnya yang seharusnya dan berjuang agar hukum Islam dapat

berlaku di wilayah Nusantara. Menurut Dahlan et. al (1996: 712), pertempuran umat

Muslim terus berlanjut selama masa kekuasaan Jepang. Jepang sedang berusaha

menyesuaikan diri dengan dua kekuatan yang ada; nasionalis Islam dan nasionalis

non-religius. Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) didirikan pada waktu itu

untuk mengumpulkan hampir semua kekuatan Islam. Jepang memberikan janji

kemerdekaan melalui pengumuman Maklumat Gunseikan No. Pada tanggal 23

hingga 29 April 1945, kelompok yang kemudian membentuk BPUPKI (Badan

Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menyusun rancangan

UUD dan Piagam Jakarta sebagai prakarsa awal mereka. 13

Dalam Piagam Jakarta, tentang Asas Ketuhanan terdapat kalimat “...dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Dengan prinsip tersebut,

umat Islam berharap dapat menerapkan hukum agamanya di Indonesia yang merdeka.

13
Dahlan, Abdul Azis. et.al (editor). (1996). Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve).hal.712.
Tujuh kata tersebut yakni “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluknya” Mengindikasikan hubungan umat Islam dengan syariat Islam. Namun,

ketujuh kata tersebut dihilangkan setelah terjadi perdebatan di antara para anggota

PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada akhirnya, Piagam Jakarta

tidak digunakan saat proklamasi karena adanya perundingan kompromi dan keinginan

untuk tetap memelihara persatuan bangsa. Kemudian, dirumuskan sebagai

"Ketuhanan Yang Maha Esa".

Wahib (2004) menyatakan bahwa perdebatan mengenai penerapan hukum

Islam terjadi pada tahun 1959. Pada tahun 1959, terjadi perdebatan tentang penerapan

hukum Islam (syariat) di pertemuan dewan konstituante. Namun perdebatan tiba-tiba

berakhir ketika Presiden Indonesia, Soekarno, mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5

Juli 1959 yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta telah mengilhami semua bagian

konstitusi UUD 1945.14

Deskripsi di atas menunjukkan bahwa meskipun tidak ada jaminan resmi

pemberlakuan hukum Islam untuk umat Islam, namun secara tidak langsung, isi

dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta berhubungan erat

dengan UUD 1945, bisa membuka peluang untuk berlakunya hukum Islam bagi para

pemeluknya. Dengan alasan ini, semangat UUD 1945 menjadi landasan bagi

keberadaan hukum di sektor keagamaan di Indonesia.

KONSEP PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM


14
Wahib, Ahmad Bunyan. (2004 / 1425). Save Indonesia By and From Shari’a: A Debateon the
Implementation of Shari’a. “al-Jami’ah, Journal of Islamic Studies” Volume 42, Number 2, 2004 /
1425. Yogyakarta – Indonesia: The State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga.
Hukum Islam yang diberlakukan di Indonesia dapat diuraikan menjadi dua

bagian. Hukum Islam yang berlaku secara resmi adalah hukum yang mengatur

hubungan antar manusia dan juga harta benda, yang dikenal sebagai hukum

muamalat. Hukum positif ini adalah bentuk hukum yang berlaku berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal seperti perkawinan, warisan,

dan wakaf. Hukum Islam kedua yang normatif menetapkan sanksi atau hukuman

dalam masyarakat. Pernyataan ini menyiratkan bahwa tindakan tersebut dapat

ditafsirkan sebagai perbuatan ibadah yang bersih atau sebagai pelanggaran hukum

yang dapat dihukum pidana (Rofiq, 2000: 23). 15

Sejak masa kolonialisme, hukum Islam di Indonesia telah disusun dalam

bentuk kode. Namun, kedudukan hukumnya masih tergantung pada kekuasaan hukum

adat. Karena teori resepsi memiliki pengaruh besar dalam struktur hukum pada saat

itu. Produk hukum Islam pada masa pemerintahan Belanda telah terdapat dalam

bentuk regulasi Peradilan Agama dan substansi hukumnya, namun hukum adat

memiliki peran dominan dalam regulasi tersebut. Dengan adanya Undang-Undang

nomor 1 tahun 1974 mengenai Perkawinan, hukum Islam menjadi sumber hukum

utama tanpa harus melalui adat istiadat lagi. Pengaruh tokoh-tokoh muslim sangat

kuat dalam berinteraksi dengan kalangan elit, sehingga mereka berhasil menghasilkan

Rancangan Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan mengikuti pembuatan kode

hukum Islam lainnya.

15
Rofiq, Ahmad. (2000).Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).hal.19.
UU Perkawinan dan Perceraian (UUP) beserta peraturan turunannya, yakni

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1983, telah mengatur secara detil mengenai prosedur perkawinan dan

perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia (ABRI). Kemudian, UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama

diperkenalkan kembali. Undang-undang ini sebenarnya merupakan hasil dari UU No.

14/1970 tentang Prinsip-Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang mengakui keberadaan

empat sistem peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Keempat lembaga peradilan

memiliki posisi yang setara dan memiliki kewenangan yang independen untuk

memutuskan perkara yang masuk dalam lingkup wewenang mereka. Selanjutnya,

dirilislah Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres No. 1/1991) mengenai

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku dalam hukum pernikahan, warisan, dan

wakaf.

Peran UUP, Undang-Undang Peradilan Agama, dan KHI, sesuai dengan

perjalanan sejarah Konstitusi 1945. Ismail Sunny (1997:40-43) menyatakan bahwa

penerapan hukum Islam di Indonesia mengalami dua periode. Pertama, adalah

periode di mana hukum Islam diterima sebagai sumber persuasif yang harus

dipercayai oleh masyarakat. Rentang waktu ini berjalan mulai dari tahun 1945 hingga

tahun 1959. Dalam konteks ini, keputusan tentang "kewajiban mengikuti ajaran Islam

bagi para penganutnya" yang sebelumnya telah diambil oleh BPUPKI dapat dianggap

sebagai sumber persuasif. Periode kedua, saat Islam diakui sebagai sumber otoritatif
yang memberikan kekuatan yang harus diakui dan dilaksanakan. Periode ini telah

berjalan sejak tahun 1959 hingga saat ini. 16

Presiden Soeharto yaitu UU Perkawinan, Peraturan Wakaf, Peradilan Agama,

hukum yang membolehkan beroperasinya Perbankan Islam, dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI) yang terkait dengan kodifikasi hukum keluarga dalam Islam, termasuk

aturan waris. Semasa pemerintahan presiden Habibie (1998-1999) ada tambahan dua

undang-undang yang mencakup Penyelenggaraan Haji dan Pengelolaan Zakat. Semua

produk hukum tersebut mengakomodir unsur-unsur hukum Islam yang diterapkan

tanpa harus mencantumkan referensi apapun kepada Piagam Jakarta.

Tabel 1: Legislasi Hukum Islam di Indonesia


No Aturan Yuridis Peraturan Pelaksana (PP) dan
Perubahan dan Penambahan

1 UU No. 1 / 1974: Perkawinan PP No.9/1979 dan PP No.10/1983


2 UU No. 7 / 1989: Peradilan Agama
Diubah/ditambah UU No.3 /

2006 UU No. 50 / 2009


3 -
Intruksi Presiden No.1 / 1991:

Kompilasi Hukum

Islam
4 UU No. 10 / 1998: Perbankan -
Syari’ah
5 Diubah/ditambah UU No.13 /
UU No. 17 / 1999: 2008
Penyelenggaraan

Ibadah Haji
16
Sunny, Ismail. (1997). Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum Islam.
Dalam Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, (Bandung: Ulul Albab Press).
6 UU No.38 / 1999: Pengelolaan Diubah/ditambah UU No.23 /
Zakat 2011
7 UU No. 44 / 1999: Penyelenggaraan -
Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh

8 -
UU No. 18 / 2001: Otonomi

Khusus Prov.Daerah

Istimewa Aceh
9 UU No.1 / 2004: Wakaf PP No.42 / 2006
10 UU No. 11 / 2006: Pemerintahan
Aceh

Beberapa produk hukum di atas hanya terkait dengan hukum ibadah, keluarga

dan muamalah, tidak ada produk yang secara khusus mengatur hukum pidana Islam

(jinayah). Meskipun hukum pidana Islam diatur oleh UU No. November 2006 tentang

pemerintahan Aceh. Namun penerapan aturan tersebut hanya berlaku khusus di Aceh

dan tidak diberlakukan secara nasional di nusantara.

Demikian pula, UU No.44 tahun 1999, tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, yang mewajibkan penerapan syariah bagi umat

Islam dan memberi wewenang kepada pemerintah Aceh untuk membuat kebijakan

terkait kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama. Otonomi khusus

untuk Aceh juga memungkinkan pembentukan Mahkamah Syariah yang berwenang

menangani masalah hukum keluarga, warisan, serta kasus kriminal atau pidana, tidak

hanya sebagaimana yang diatur oleh Pengadilan Agama .17

17
Sila, Muhammad Adlin.(2009). Book Review: Menantang Negara Sekuler: Upaya Islamisasi
Hukum di Indonesia. “Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies” Volume 16, Number
Di samping itu, tidak hanya ada beberapa peraturan yang tercantum dalam

tabel di atas, tetapi juga terdapat produk hukum lainnya, seperti keputusan yang

dikeluarkan oleh Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia (KFHMUI)

yang fokus pada isu-isu keagamaan dan sosial. Secara prinsip, KFHMUI menetapkan

empat jenis hasil keputusan yang dihasilkan dan disampaikan kepada pemerintah atau

masyarakat atau keduanya: (1). Fatwa adalah sebuah keputusan yang berkaitan

dengan masalah keagamaan Islam yang perlu dijalankan oleh pemerintah maupun

masyarakat untuk kepentingan negara (2). Nasihat adalah suatu keputusan yang

berkaitan dengan masalah sosial yang diharapkan dapat dijalankan oleh pemerintah

dan masyarakat. (3). Anjuran adalah sebuah keputusan yang berhubungan dengan isu-

isu sosial yang bertujuan untuk mendorong pemerintah dan masyarakat untuk lebih

aktif dalam pelaksanaannya, karena hal tersebut dianggap memiliki manfaat yang

signifikan. (4). Seruan adalah keputusan yang menentukan apakah suatu tindakan

akan dilakukan atau tidak oleh pemerintah dan masyarakat.

Hukum Islam yang terwujud dalam bentuk undang-undang (seperti yang

tercantum dalam tabel sebelumnya) adalah mengikat bagi umat Islam. Namun,

produk fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama

Indonesia (KFHMUI) memiliki karakteristik kasuistik dan dinamis, sehingga tidak

bersifat mengikat bagi umat Islam. Dalam kesamaan dengan ini, Rofiq (2000: 32-33)

menjelaskan bahwa hukum Islam dalam bentuk fatwa, seperti fatwa MUI, bersifat

2, 2009. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.


kasuistik, maka itu adalah tanggapan atau balasan atas pertanyaan yang diajukan oleh

peminta fatwa. Fatwa tidaklah bersifat mengikat, yang berarti orang yang meminta

fatwa tidak terikat untuk mengikuti isi hukum fatwa yang diberikan kepadanya.

Pemikiran hukum Islam yang terwujud dalam bentuk perundang-undangan memiliki

kekuatan mengikat yang sangat kuat. Bahkan, cakupan pengaruhnya lebih luas.

Pergerakan dinamisnya terasa kurang cepat, karena aturan-aturan organiknya kadang

tidak cukup fleksibel untuk merespons tuntutan waktu dan perubahan yang terjadi.

Dengan merujuk pada Undang-Undang Perkawinan yang mencakup prinsip-prinsip

hukum Islam, peraturan tersebut berlaku untuk seluruh penduduk Indonesia.18

IJTIHAD SEBAGAI CORAK PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

Pembaharuan dalam Islam bertujuan untuk menyelaraskan ajaran-ajaran

agama dengan pengetahuan dan pemikiran yang modern. Namun, penting untuk

diingat bahwa dalam agama Islam, terdapat prinsip-prinsip yang bersifat tetap dan

tidak dapat diubah. Hanya penafsiran atau interpretasi dari ajaran-ajaran yang bersifat

mutlaklah yang bisa mengalami perubahan, tidak ajaran-ajaran itu sendiri. Artinya,

perubahan terhadap ajaran-ajaran yang bersifat tetap tidak dapat dilakukan.

Pembaruan dapat diaplikasikan dalam hal interpretasi atau penafsiran mengenai

berbagai aspek, seperti teologi, hukum, politik, dan lain-lain, serta terhadap lembaga-

lembaga (Nasution, 1985: 91-92).19


18
Rofiq, Ahmad. (2000).Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).hal.31-33.
19
Nasution, Harun. (1985). Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid 2, (Jakarta: UI Press).hal.91-
92.
John O. Voll dalam Esposito (1983:32-37) mengidentifikasi tiga tema

reinterpretasi dan inovasi dalam sejarah Islam. Pertama: penerapan sempurna Al-

Quran dan Sunnah merupakan respon reformis terhadap krisis dan permasalahan yang

dihadapi umat Islam. Para reformis berpendapat, baik sebagai individu maupun

sebagai anggota komunitas, tentang pentingnya menghormati Al-Quran dan Sunnah.

Segala sesuatu yang menyimpang dari tema aslinya harus ditolak sesuai tata cara

tajdid dan islah. Kedua: Keharusan ijtihad merupakan kelanjutan dari tema pertama

tentang kesempurnaan penerapan Al-Quran dan Sunnah. Jika Al-Quran dan Sunnah

memuat apa yang perlu dan sangat bermanfaat sebagai pedoman dan renungan, maka

sumber hukum lain tetap berguna namun tidak boleh diikuti secara mutlak. Para

reformis mempunyai hak untuk mempertimbangkan secara langsung ijtihad Al-Quran

dan Sunnah. Dan ini tidak ada hubungannya dengan tafsir dan pemikiran yang

muncul setelah Nabi dan para sahabatnya. Ketiga: Menegaskan kembali keaslian

Islam. Meskipun ijtihad adalah hak para reformis untuk secara akurat menerapkan

pesan-pesan Al-Quran dalam situasi yang berubah, tidak perlu meminjam tradisi di

luar Islam untuk melengkapi prinsip-prinsip Islam.

Islam memiliki sifat yang dinamis dan selalu mendorong terjadinya inovasi,

oleh karena itu sulit untuk dipahami jika ada sekelompok orang yang hanya berusaha

menekankan kepentingan budaya Barat dalam pengembangan hukum Islam modern.

Mereka bahkan berpendapat bahwa perubahan hukum Islam saat ini semata-mata

disebabkan oleh pengaruh nilai-nilai Barat. Tanpa merendahkan pengaruh nilai-nilai


Barat, perlu diingat bahwa tujuan pembaruan hukum Islam bukanlah untuk meniru

atau mengikuti Barat, tetapi lebih untuk membawa umat Islam ke arah yang sesuai

dengan ajaran hukum Islam. Dengan demikian, ungkapan "kembali pada al-Qur'an

dan Sunnah" sering kali dijadikan sebagai motto oleh para penegak pembaruan dan

telah menjadi ciri umum dari gerakan reformasi di berbagai negara, termasuk di

Indonesia.20

Mengenai inovasi hukum Islam, Noel J. Coulson yang dikutip oleh Mualim

dan Yusdani (2001:15) mengatakan bahwa inovasi hukum Islam diwujudkan dalam

empat bentuk, yaitu: 1). Konsep hukum Islam ke dalam hukum negara, disebut

dengan doktrin siyasa. 2). Fakta bahwa umat Islam tidak terikat pada mazhab tertentu

disebut doktrin takhayyur (pilihan), artinya menyandang predikat paling dominan

dalam masyarakat. 3). Perkembangan hukum untuk mengantisipasi perkembangan

peristiwa hukum yang baru timbul disebut doktrin tatbiq (penerapan hukum terhadap

peristiwa baru). 4). Perubahan hukum dari yang lama ke yang baru disebut dengan

doktrin tajdid (reinterpretasi).

Pembaharuan dilaksanakan di bidang yang menjadi fokus dari upaya ijtihad.

Wilayah ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau kejadian-kejadian yang

memerlukan pengaturan hukum yang prinsip-prinsipnya (mabadi' 'ammah) telah ada

20
Tahir, Masnun. (2005). Dasar-Dasar Pemikiran Pembaharuan Liberalisme Hukum Islam di
Indonesia. “Istinbath: Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam” Nomor.1 Vol.3 Desember 2005. Mataram:
IAIN Mataram Fakultas Syari’ah.
dalam syari'at, prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang terinci mengenai

persoalan atau hal yang diperbolehkan (Ash-Shiddieqy, 1975: 38).21

Menurut Fazlur Rahman, seperti yang dikutip oleh Efrinaldi (2013), Ijtihad

adalah sebuah teknik untuk menemukan makna dan isi hukum dengan

mempertimbangkan kemaslahatan sebagai tujuan utamanya. Saat ini, ijtihad dapat

diartikan sebagai upaya progresif untuk memodernisasi aturan-aturan yang terdapat

dalam teks al-Quran dan Sunnah agar dapat mencakup situasi dan kondisi terbaru

dengan memberikan solusi hukum yang baru.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ide pembaharuan hukum

Islam melibatkan perubahan hukum Islam melalui proses ijtihad. Isu-isu hukum

seperti dalam hal keluarga, ekonomi, pemerintahan, keuangan, kejahatan, dan isu-isu

hukum publik lainnya dapat berubah sehingga memerlukan usaha untuk melakukan

penafsiran hukum di dalamnya. Hukum Islam dalam bidang ibadah bersifat konstan

dan tidak terpengaruh oleh perubahan waktu, sehingga umat Islam harus patuh

terhadapnya. Artinya, ada hukum yang didasarkan pada akal dan ada hukum yang

berkaitan dengan ibadah. Hukum Islam harus dapat dibedakan antara yang bersifat

pasti (qath’i) dan yang bersifat dugaan (zhanni/relatif). Dengan adanya pemetaan

yang teratur, hukum Islam akan tetap memiliki fleksibilitas dan dinamika yang

relevan seiring berjalannya waktu.

21
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. (1975). Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang).
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis kajian ini, dapat disimpulkan bahwa Islam, sebagai

agama mayoritas di Indonesia, memiliki pengaruh yang besar terhadap pandangan

hidup masyarakat, termasuk dalam hal hukum. Sejarah hukum Islam di Nusantara

dapat dilacak melalui berdirinya berbagai kerajaan Islam di wilayah tersebut. Ahli

hukum Belanda menyatakan bahwa hukum Islam yang berlaku di masyarakat

Indonesia diakui sebagai hukum yang sesuai dengan agama yang dianut oleh

penduduknya. Selama pemerintahan Hindia-Belanda, hukum Islam hanya diterapkan

dalam hal-hal yang berkaitan dengan keluarga. Dalam pemerintahan Belanda pada

masa itu, terdapat produk hukum Islam yang mengatur sistem Peradilan Agama dan

materi hukumnya, namun hukum adat lebih mendominasi dalam penerapan aturan

tersebut. Dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, hukum Islam menjadi sumber hukum primer tanpa melewati hukum

adat. Peran tokoh-tokoh Muslim menjadi sangat signifikan dalam berinteraksi dengan

golongan elit, sehingga UU Perkawinan dapat diatur dalam bentuk hukum tertulis dan

diikuti dengan pembentukan hukum Islam lainnya, seperti UU Peradilan Agama,

Pengelolaan Zakat, Wakaf, Perbankan Syariah, KHI, dan lain-lain. Kontribusi hukum

Islam dalam pengembangan hukum nasional telah memberikan pengaruh yang

signifikan dan semakin memperkuat legitimasi hukum Islam di Indonesia. Dengan

berjalannya waktu, isu-isu hukum yang dipengaruhi oleh perubahan zaman

memerlukan pendekatan progresif untuk menciptakan hukum baru melalui proses

ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud. (1990). Asas-Asas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers).
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. (1975). Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang).
Assaad, A.Sukmawati. (2014). Teori Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia.
“Jurnal al- Ahkam STAIN Palopo” Volume IV, Nomor 2 Agustus 2014.
Palopo: STAIN Palopo.
Azra, Azyumardi. (2007). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia,
(Jakarta: Kencana).
Dahlan, Abdul Azis. et.al (editor). (1996). Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve).
Efrinaldi, (2013). Dekonstruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia,
“Jurnal al- Adalah”Volume XI, Nomor 1 Januari 2013. Lampung: IAIN
Raden Intan.
Esposito, John L. (ed.), (1983). Voices of Resurgent Islam, (Oxford: Oxford
University Press).
Mu’alim, Amirdan Yusdani. (2001). Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam,
(Yogyakarta: UII Press).
Nasution, Harun. (1985). Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid 2, (Jakarta:
UI Press).
Ramulyo, M. Idris. (1985), Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika).
Ras, JJ. (1990). “Tradisi Jawa Mengenai Masuknya Islam di Indonesia”, dalam
Beberapa Kajian Indonesia dan Islam, (Jakarta: INIS).
Rofiq, Ahmad. (2000).Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada).
Salim, Arskal dan Azyumardi Azra.(2003). Negara dan Syariat dalam Perspektif
Politik Hukum Indonesia. Dalam Syariat Islam Pandangan Muslim
Liberal, Editor: Burhanuddin. (Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The
Asia Foundation).
Sila, Muhammad Adlin.(2009). Book Review: Menantang Negara Sekuler:
Upaya Islamisasi Hukum di Indonesia. “Studia Islamika, Indonesian
Journal for Islamic Studies” Volume 16, Number 2, 2009. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah.
Sunny, Ismail. (1997). Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang
Hukum Islam. Dalam Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia,
(Bandung: Ulul Albab Press).
Tahir, Masnun. (2005). Dasar-Dasar Pemikiran Pembaharuan Liberalisme Hukum
Islam di Indonesia. “Istinbath: Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam”
Nomor.1 Vol.3 Desember 2005. Mataram: IAIN Mataram Fakultas
Syari’ah.
Wahib, Ahmad Bunyan. (2004 / 1425). Save Indonesia By and From Shari’a: A
Debateon the Implementation of Shari’a. “al-Jami’ah, Journal of Islamic
Studies” Volume 42, Number 2, 2004 / 1425. Yogyakarta – Indonesia:
The State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga.

Anda mungkin juga menyukai