Anda di halaman 1dari 114

Buku ini Untuk Kalangan Sendiri

H UKUM ISLAM

Disusun Oleh:
Indra Yuliawan, SH.,MH.

Program Studi Hukum Universitas Ngudi Waluyo


Tahun Ajaran 2022/2023
HALAMAN PENGESAHAN
BUKU AJAR
1 Judul : HUKUM ISLAM
2 Ketua Tim Penyusun
a. Nama : Indra Yuliawan, S.H., M.H
b. NIDN : 06014077603
c. Program Studi : S1 Ilmu Hukum
d. No HP/Email : 08122528119
e. Email : yuliawan.indra76@gmail.com
3 Anggota (1)
a. Namalengkap : -
b. NIDN : -
c. Program Studi: -

4 Pelaksanaan : Semester Gasal Tahun Ajaran


2022/2023

Menyetujui, Ungaran, 07 September 2022


DekanFakultas Hukum dan Humaniora Ketua Tim Pengusul

]
Indra Yuliawan S.H.,M.H
Budiati, S.Pd.,M.Pd NIDN: 0614077603
NIDN.0607038201
PENDAHULUAN
Ada 3 sistem yang berlaku antara lain, hukum barat (eropa),
hukum adat dan hukum Islam. Ketiga sistem hukum itu mulai berlaku di
Indonesia pada waktu yang berlainan. Hukum adat telah lama ada dan
berlaku di Indonesia, walaupun sebagai sistem hukum baru dikenal pada
permulaan abad ke-20. Hukum Barat mulai diperkenalkan di Indonesia
oleh Pemerintah VOC setelah menerima kekuasaan untuk berdagang dan
menguasai kepulauan Indonesia dari pemerintah Belanda pada tahun
1602. Mula-mula hukum barat hanya diberlakukan terhadap orang-orang
Belanda dan Eropa saja, tetapi kemudian dengan berbagai peraturan dan
upaya, dinyatakan berlaku bagi orang Asing dan dianggap berlaku juga
bagi orang Indonesia yang menundukkan dirinya pada hukum barat
dengan sukarela atau karena melakukan suatu perbuatan hukum tertentu
di lapangan keuangan, perdagangan, dan ekonomi pada umumnya.
Ketiga sistem hukum itu diakui oleh peraturan perundang-undangan,
tumbuh dalam masyara’at, dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan
praktik peradilan.
Hukum Islam merupakan salah satu sistem hukum yang berlaku di
dunia sekarang. Indonesia juga memberlakukan sistem hukum islam,
selain sistem hukum yang lain. Untuk itulah hukum Islam harus diajarkan
sebagai mata kuliah tersendiri dan sejajar dengan mata kuliah lain pada
Program Studi Hukum di seluruh Indonesia, dengan alasan:
a. Alasan Sejarah
b. Alasan Praktis
c. Alasan Positif
d. Alasan Kriteria Hukum

a. ALASAN SEJARAH
Pada awalnya fakultas hukum di Indonesia didirikan oleh Belanda.
Saat itu materi hukum Islam sudah diajarkan, orang Belanda
menyebutnya dengan sebutan Muhammedanseh Recht. Selain
itu, tradisi penyebaran Hukum Islam pada masa Belanda tetap
diteruskan sampai setelah Indonesia Merdeka;

b. ALASAN PRAKTIS
Alasan Praktis menunjukkan bahwa penduduk Indonesia
mayoritas adalah pemeluk dan penganut agama Islam, oleh
karena itu alasan ini biasanya disebut juga Alasan Penduduk.
Prof. Dr. HM. Rasyidi dalam Pidato pengukuhan sebagai Guru
Besar Hukum dan Lembaga Islam di Universitas Indonesia
terletak pada fakta bahwa Indonesia adalah Negara Islam yang
terbesar di dunia dengan penduduknya yang beragama Islam
hampir 100 juta bertebaran di seluruh kepulauan Nusantara ini.
Jadi, seluruh kepulauan bahkan jumlah penduduk Indonesia
paling banyak adalah menganut agama Islam. Karena alasan
tersebut maka, pemimpin Indonesia selalu dibekali Hukum Islam;
c. ALASAN POSITIF
Dasar berlakunya Hukum Islam di Indonesia setelah proklamasi
17 Agustus 1945 adalah UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) yakni
“Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mnurut
Prof Hazairin, SH., merupakan sebuah garis hukum yang
mengandung kewajiban bagi Negara untuk menjalankan hukum
Agama dan hukuman agama yang bersumber dari wahyu Ilahi,
yaitu pernyataan-pernyataan rasul-rasul atas nama Allah sebagai
duta Allah kepada manusia pada umumnya dan kepada
penguasa-penguasa pada khususnya. Untuk dapat menjalankan
sebuah garis hukum dalam suatu Pasal Undang-Undang yang
didasarkan atas Pasal UUD yang bersangkutan.
Adad beberapa bidang tertentu dari Hukum Islam berlaku di
Indonesia sebagai hukum positif, artinya diatur dan dicantumkan
dalam tata hukum Indonesia serta berlaku dalam masyarakat
seperti:
1 Hukum Perkawinan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 2


Buku ini untuk kalangan sendiri
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 serta Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun
1975 sebagai peraturan pelaksanaannya, dimana prinsip
Hukum Perkawinan Islam telah diatur di dalamnya
antara lain bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974) dan pemeriksaan nikah bagi calon suami isteri
maupun wali tentang ada tidaknya halangan pernikahan
karena melanggar hukum munakahat (hukum
perkawinan Islam) (Pasal 7 PMA No. 3 Tahun 1975),
dibukanya pintu poligami (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974) dan waktu tunggu (Pasal 39 PP No. 9
Tahun 1975) dimana prinsipnya sama dengan ketentuan
masa iddah dalam hukum Islam.
2 Adanya Peradilan Agama yang eksistensinya lebih
diperkuat dengan adanya Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 Pasal 10
ayat (1), UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 63 ayat (1) jo
Pasal 1 sub b PP No. 9 Tahun 1975.
Pencatatan Perkawinan bagi yang beragama Islam
diatur dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak, Rujuk maupun Peraturan Menteri Agama
No. 3 Tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai Pencatat
Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam
melaksanakan peraturan perundang-undangan
perkawinan bagi yang beragama Islam.
3 Wakaf
Adanya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik beserta aturan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 3


Buku ini untuk kalangan sendiri
pelaksanaannya tersebut dalam Peraturan Menteri
Agama Nomor I Tahun 1978.
Peraturan-peraturan tersebut di atas dalam perundang-undangan
negera Indonesia merupakan bidang-bidang hukum Islam positif.
d. ALASAN KRITERIA HUKUM
Pembagian materi dalam bidang hukum Islam pada garis
besarnya sama dengan pembagian materi dalam ilmu hukum
modern. Hukum Islam juga mempunyai ketentuan yang mengatur
tentang Hukum Pidana, Hukum TATA Negara, Hukum
Internasional, Hukum Acara, Hukum Perikatan, dan lain-lain.
Dengan demikian, tidak benar jika ada sementara Sarjana Hukum
yang mengatakan bahwa Hukum Islam itu hanya mengatur
tentang Nikah, Talak, dan rujuk saja.
Norma-norma atau Peraturan hidup bagi umat Islam ialah
Hukum Islam. Orang Islam memandang bahwa norma hiduo itu
adalah perintah Allah sehingga bertambah ia yakin akan masalah
itu bertambah ia mantap, dan semakin tekun untuk melaksanakan
perintah itu.
Hukum Islam yang meliputi seluruh peraturan hidup bagi
orang Islam ditambah dengan aqidah dan akhlak adalah inti dari
agama Islam. Norma-norma hidup saja yang mengatur tingkah
laku manusia dalam masyarakat bisa kurang disadari, apabila
tidak disertai dengan pendidikan dan peningkatan iman.
Telah diketahui, bahwa Hukum Islam yang berlaku di
Indonesia dewasa ini adalah hasil dari suatu proses
perkembangan Hukum Islam yang secara terus menerus
tersiarnya agama Islam di dalam masa 14 abad yang lalu. Aliran-
aliran dalam Hukum Islam banyak jumlahnya. Hal ini disebabkan
karena banyaknya ahli hukum yang telah menghasilkan karya
besar, dan berfikir secara merdeka. Akan tetapi aliran-aliran
hukum yang sampai sekarang tetap berpengaruh dan tahan ujian
adalah aliran Imam Abu Hanifah (70-150 Hijriyah), aliran Imam

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 4


Buku ini untuk kalangan sendiri
Maliq bin Annas (93-1994), aliran Imam Muhammad bin Idris As-
Syafi’i (150-204 H), dan aliran Imam Ahmad bin Hambal (164-241
H), disamping Syi’ah. Aliran inilah di dalam hukum terkenal
dengan istilah MADZHAB.
Hukum Islam sebenarnya bukanlah suatu hukum yang
ditujukan kepada golongan atau bangsa tertentu saja, akan tetapi
suatu hukum yang ditentukan kepada bangsa dimanapun di dunia
ini. Sebab pada hakekatnya, hukum Islam bukanlah suatu hukum
yang bersifat teritorial, melainkan universal atau bersifat
Internasional. Meskipun demikian, Hukum Islam tidak begitu saja
dapat diterapkan kepada orang-orang yang bukan Islam,
melainkan hanya dapat diterapkan di negara-negara yang
penduduknya beragama Islam atau setidak-tidaknya di negara
yang penduduknya mayoritas beragama Islam seperti antara lain
Indonesia. Di Indonesia Hukum Islam selalu memperjuangkan
tempatnya di dalam jiwa rakyat supaya berlaku di dalam
masyarakat khususnya dalam masyarakat Islam.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 5


Buku ini untuk kalangan sendiri
BAB I
PENGERTIAN DAN POKOK POKOK AJARAN ISLAM
1. PENGERTIAN ISLAM DAN HUKUM ISLAM
A. ISLAM
Sebelum mempelajari tentang hukum Islam yang menjadi kajian
dalam buku ajar ini, maka sebaiknya dimulai dengan memahami Islam
terlebih dahulu. Islam sebagai agama merupakan induk materi dari hukum
Islam tersebut. Dalam hukum Islam tidak mungkin terpisahkan antara
ajaran Islam dengan hukum Islam jadi hukum Islam adalah penerapan
dari ajaran Islam yang berpusat pada keimanan. Hukum Islam tidak boleh
dipisahkan antara iman, akhlaq, dan syari’ah. Ketiganya merupakan
ajaran Islam yang menjadi dasar untuk menerapkan hukum Islam oleh
seorang muslim. Menurut Muhammad Daud Ali, hukum adalah norma
atau kaidah yakni ukuran, tolak ukur, patokan, pedoman yang
dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia atau
benda. Zainuddin Ali memberikan definisi hukum adalah seperangkat
peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu
negara atau masyara’at yang berlaku dan mengikat untuk seluruh
anggotanya. Hukum dapat pula diartikan sebagai peraturan, ketentuan,
dan penetapan yang telah disepakati oleh masyara’at dan para penegak
hukum yang dilaksanakan sebaik-baiknya.
Perkataan Islam secara ethimologis berasal dari kata kerja:
ASLAM, SALIMA, atau SALAMA, SALLMI dan SULAMI. Perkataan
ASLAMA sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 20
berarti berserah diri kepada Allah. Artinya, manusia di dalam berhadapan
dengan Allah bersikap mengakui kelemahannya, dan mengakui
memutlakan kekuasaan Allah. Perkataan SALIMA atau SALAMA
sebagaimana terdapat dalam Hadist Sahih berarti menyelamatkan,
menentramkan, dan mengamankan, baik ke luar maupun ke dalam.
Menyelamatkan dan mengamankan orang lain baik dari dan oleh
perkataannya maupun dari dan oleh perbuatannya. Kata SALAMA yang
sebagian kata bendanya adalah SALAM, berarti menyelamatkan dan
mengamankan diri sendiri. Diri sendiri ini dimaksudkan adalah batin orang
itu sendiri. Secara terminologis Islam adalah agama samawi yang

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 6


Buku ini untuk kalangan sendiri
diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Ajarannya
dalam bentuk perintah, larangan dan petunjuk, terdapat dalam al-Qur’an
dan sunnah.
Dari pengertian Islam tersebut di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan adanya 3 (tiga) aspek, yaitu:
1. Aspek Vertikal
Aspek Vertikal mengatur antara makhluk dengan kholik-nya
(manusia dengan Tuhannya). Dalam aspek ini manusia
bersikap berserah diri pada Allah (Tuhan).
2. Aspek Horisontal
Dalam hubungan manusia dengan manusia, Islam
menghendaki agar manusia yang satu menyelamatkan,
menentramkan dan mengamankan manusia yang lain.
3. Aspek Bathiniah
Aspek bathiniah mengatur ke dalam orang itu sendiri, yaitu agar
supaya dapat menimbulkan kedamaian, ketenangan batin, maupun
kemantapan rokhani dan mental.
Menurut Prof. Muhammad Adnan, arti Islam ialah:
1. Islam jika diambil dari urutan asal kata SALIMA, artinya selamat.
Orang yang beragama Islam ditanggung selamat di dunia dan
akhirat. Dan seorang Muslim hendaknya bertabiat selamat dan
menyelamatkan saudara-saudaranya sesama Muslim.
2. Islam bila diambil urutan kata SALMI artinya sadami, rukun dan
bersatu.
Tabiat Muslim haruslah cinta, damai, dan rukun antar bangsa.
Apabila timbul persengketaan, perselisihan, di antara sesamanya
maka diselesaikan dengan jalan damai dan suka diperdamaikan.
3. Islam jika diambil dari urutan asal kata ISTASLAMA artinya tanduk
dan taat pada perintah Allah dengan memakai dasar petunjuk-
petunjuk serta bimbingan ajaran Rasul Muhammad SAW.
4. Perkataan ISTASLAMA berarti juga tulus dan ikhlas

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 7


Buku ini untuk kalangan sendiri
Orang Islam dalam mengerjakan perbuatan haruslah berdasarkan
ketulusan dan keikhlasan, tidak mencari sanjungan, pujian, mencari
pahala, pangkat semata-mata, tetapi demi kebenaran dan
kesadaran, tidak akan mundur dari celaan Niat menjalankan
perbuatannya adalah “sepi ing pamrih rame ing gawe”.
5. Islam jika diambil dari urutan asal kata SULLAMI artinya tangga
untuk mencapai keluhuran derajat lahir dan batin.

B. HUKUM ISLAM
Kata hukum jika disandarkan kepada kata Islam, maka menjadi
hukum Islam. dengan demikian dapat dipahami bahwa hukum Islam
adalah peraturan atau ketetapan dari Allah SWT melalui Rasul-Nya, baik
berbentuk tuntutan, larangan maupun petunjuk guna untuk tercapainya
suasana kedamaian, ketenangan, dan terhindar dari kemafsadatan
lainnya.
Hukum Islam sangat luas pengertiannya berdasarkan dalil-dalil
yang ada di dalam Al-Qur’an hukum Islam mengatur tentang apa-apa
yang ada di dalam masyara’at dan apa-apa yang ada di di luar
masyara’at. dalam ajaran Islam hal ini dikenal natural law (hukum alam)
disebut dengan sunnatullah yaitu ketentuan atau hukum-hukum Allah
yang berlaku untuk alam semesta. Sunnatullah yang mengatur alam
semesta itulah yang menyebabkan ketertiban hubungan antara benda-
benda yang ada di alam raya ini. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang
menunjukkan ada dan berlakunya sunnatullah atas alam semesta
termasuk manusia di dalamnya.
Amir Syarifuddin memberi pengertian hukum Islam adalah
seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul
tentang tingkah laku manusia mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani
kewajiban) yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang
beragama Islam. Ulama Ushul berpendapat bahwa hukum islam
merupakan tata cara hidup mengenai doktrin syariat dengan perbuatan
yang diperintahkan maupun yang dilarang. Pendapat tersebut jauh

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 8


Buku ini untuk kalangan sendiri
berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ulama fiqh, yang
mengatakan bahwa hukum Islam merupakan segala perbuatan yang
harus dkerjakan menurut syariat Islam. Sedangkan Hasby A. S
menyatakan dalam pendapatnya mengenai hukum Islam ialah segala
daya upaya yang dilakuakan oleh seoarang muslim dengan
mengikutsertakan sebuah syariat Islam yang ada. Dalam hal ini Hasby
juga menjelaskan bahwasannya hukum Islam akan tetap hidup sesuai
dengan undang-undang yang ada.
Sejak diturunkannya Islam sebagai agama bagi manusia, Islam
terus menerus berdasarkan dan memusatkan perhatiannya kepada Allah
yang didasarkan pada tauhid. Islam sebagai agama yang berdasarkan
ketauhidan tidak pernah memisahkan antara hal-hal yang spiritual
(kerohanian) dan material (kebendaan), religious (keagamaan) dengan
keduniaan di dalam segala bidang. Jadi Islam adalah suatu agama yang
menegaskan Tuhan mengajarkan segala bidang tanpa harus memisahkan
urusan kerohanian dengan keduniaan. Sedangkan yang dimaksud dengan
hukum adalah peraturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan, bertujuan
untuk menciptakan masyara’at yang madani, aman, nyaman dan
terkendali. Hukum dibuat sebagai pembatasan atas tingkah laku manusia
yang tidak bertanggung jawab.
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an
dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata
syari’ah, fiqh dan hukum Allah dan seakar dengannya. Kata-kata hukum
Islam merupakan terjemahan dari term ”islam ic Law” dari literatur barat
ditemukan definisi hukum Islam yaitu: keseluruhan kitab Allah yang
mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Berdasarkan
definisi ini arti hukum Islam lebih dekat dengan pengertian syari’ah.
Secara sederhana Amir Syarifudin mendefinisikan: “Hukum Islam
adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku dan
mengikat semua yang beragama Islam”. T. M. Hasbi memberi definisi
hukum Islam sebagai berikut, hukum islam adalah koleksi daya upaya ahli

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 9


Buku ini untuk kalangan sendiri
hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyara’at. Sedangkan
Ahmad Rafiq memberi pengertian hukum Islam adalah peraturan-
peraturan yang diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam produk
pemikiran hukum-fiqh, fatwa, keputusan pengadilan dan undang-undang
yang dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam di Indonesia. Menurut
Faturrahman Djamil hukum Islam mencangkup hukum syari’ah dan hukum
fiqh, karena arti syara’ dan fiqh terkandung di dalamnya.
Jadi hukum Islam mencangkup syari’ah dan fiqh. Menurut Aulia
Muthia dalam bukunya Hukum Islam, Dinamika Seputar Hukum Keluarga
pengertian hukum Islam adalah hukum yang bersumber kepada nilai-nilai
keislaman yang dibentuk dari sumber dalil-dalil agama Islam. Hal ini
berupa ketetapan, kesepakatan, anjuran, larangan, dan sebagainya.
Aturan-aturan ini menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah
SWT sebagai Tuhannya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan
hubungan manusia dengan manusia yang lain. Karakteristik hukum Islam
meliputi:
1. Dasar dari hukum Islam ialah Wahyu Ilahi
2. Hukum Islam bersifat komprehensif
3. Hal yang selalu ditekankan dalam hukum Islam ialah moral dan
akhlak yang baik dan berkulitas
4. Orientasi koletif
5. Dalam hukum Islam yang dibicarakan ialah haram dan halalnya
dari segi manapun
6. Hukum Islam memiliki dan memberikan sanksi pada pelanggar
hukum Islam. Sanksi tersebut berupa sanksi di dunia dan di
akhirat.

C. MUHAMMAD DAN ISLAM


Islam adalah suatu agama yang disampaikan oleh Nabi-Nabi
berdasarkan wahyu Allah yang disempurnakan dan diakhiri dengan wahyu
Allah dan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rosul terakhir. Istilah Islam
sebagai agama, itu resmi terdapat dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 10


Buku ini untuk kalangan sendiri
19 yang artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah
hanyalah Islam. ”.
Menurut Islam, MUHAMMAD bin ABDULLAH (571-632 M) adalah
manusia biasa yang terpilih sebagai Nabi dan Rosul terakhir. Sedang Isa
a.s. adalah Nabi dan Rosul Allah sebelum Nabi Muhammad SAW akan
tetapi kedatangan Muhammad (Ahmad) setelah beliau, sudah
diberitahukan dalam Injil.
Penyebutan Islam dengan Muhammedanism atau sejenisnya
tidaklah tepat dan dapat membawa kekeliruan arti, karena Islam adalah
“WAHYU” dari Allah, bukan ciptaan manusia Muhammad bin Abdullah,
dan di dalam agama Islam dilarang mengagung-agungkan seseorang
walaupun Nabi Muhammad sendiri, sedemikian rupa sehingga dapat
mengakibatkan pendewaan manusia. Penyebutan Muhammedanism ini
dikhawatirkan umat Muhammad akan mendewakan pula beliau,
sebagaimana umat Nasrani terhadap Isa A.s. (Yesus).
Muhammad adalah Nabi dan Rosul Allah terakhir yang meluruskan
kembali jalan hidup manusia yang telah menyimpang dari jalan Allah.
Manusia hidup tidak sebatas untuk makan, minum, berkembang dan
menikmati semuanya saja, akan tetapi semuanya itu hanyalah alat untuk
hidup dan hidup itu adalah untuk berada dalam Ridho Allah, dan dapat
kembali dengan baik kepadaNya.
Islam membenarkan Nabi-Nabi dan Kitab-Kitab suci sebelumnya
dan menerangkan lagi secara universal dan Al-Qur’an merupakan kita
Allah terakhir. Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an Surat AL-MAIDAH
ayat 3 yang artinya: “...pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Ku
ridhoi Islam itu jadi agama bagimu.”

D. RUKUN IMAN
Iman yang berarti kepercayaan Islam merupakan pokok Agama
Islam. Dalam buku-buku orientalist di antaranya menyebutkan sebagai

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 11


Buku ini untuk kalangan sendiri
dogmatik Islam, tetapi istilah dogma itu ditolak oleh beberapa Ulama
Islam.
Penolakan itu dikarenakan dalam Islam sebenarnya tak ada dogma
dalam dalil-dalil yang harus diterima begitu saja tanpa hak menggunakan
kebebasan berfikir. Rukun dalam Islam itu terdiri dari RUKUN IMAN yang
menurut AHLUL SUNNAH JAMAAH berjumlah enam rukun Iman, yaitu:
a. Iman kepada Allah Yang Maha Esa
b. Iman kepada Malaikat Allah
c. Iman kepada Nabi dan Rasul Allah
d. Iman kepada Kitab Kitab Allah
e. Iman kepada hari kiamat
f. Iman kepada qadha dan qadar

E. RUKUN ISLAM
Rukun iman tersebut di atas haruslah diamalkan, sebab apabila
tidak diamalkan, maka Iman hanyalah kehampaan belaka. Untuk
mengamalkan Rukun Iman tersebut Allah telah menetapkan kewajiban-
kewajiban bagi manusia yang disebut “RUKUN ISLAM”, yaitu:
a. Mengucapkan dua Kalimah Syahadad;
b. Sholat;
c. Puasa;
d. Zakat;
e. Haji.
a. Mengucapkan Dua Kalimah Syahadad
Mengucapkan dua kalimah Syahadad berarti mengakui bahwa tiada
Tuhan selain Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah
Rasulullah. Firman Allah dalam Surat Al-A’raaf ayat 158 yang artinya:
“Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya Aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan Langit dan
Bumi; tidak ada Tuhan selain Allah, Yang menghidupkan dan yang
mematikan ”

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 12


Buku ini untuk kalangan sendiri
Mengucapkan dua kalimah Syahadad haruslah disertai dengan
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah yang telah
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
b. Sholat
Sholat Menurut Al-Qur’an Adalah Alat Yang Sesungguhnya Untuk
Mensucikan Hati Manusia Agar Dapat Berhubungan Dengan Allah
Sebagaimana Firman Allah Dalam Surat Al-Ankabut Ayat 45, Yang
Artinya: “Bacalah Apa Yang Telah Diwahyukan Padamu Dari Al-Kitab
Dan Dirikanlah Sholat, Sesungguhnya Sholat Itu Mencegah Manusia
Dari Perbuatan Yang Keji Dan Mungkar Dan Sesungguhnya Ingat
Pada Allah Adalah Lebih Besar Manfaatnya, Dan Allah Mengetahui
Apa Yang Kamu Kerjakan.”
Sholat Yang Diwajibkan Bagi Setiap Muslim Lima Kali Sehari
Semalam Pada Waktu-Waktu Tertentu, Yaitu Subuh, Dhuhur, Asar,
Maghrib, Dan Isya’.
c. Puasa
Puasa diwajibkan pula bagi orang yang telah beriman sebagaimana
pula diwajibkan bagi manusia sebelum kita, sebagaimana Firman
Allah dalam Surat AL-BAQOROH ayat 183 yang artinya: “Hai orang-
orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa”.
Puasa merupakan alat untuk mensucikan jiwa manusia, agar dapat
menghindarkan diri dari segala perbuatan jahat/aniaya. Selain melatih
diri menghadapi lapar dan dahaga, menahan nafsu juga merasakan
betapa sedihnya orang yang menderita, miskin, sehingga dapat
menimbulkan rasa belas kasihan pada fakir miskin, dan dengan
mudah melakukan kewajiban zakat maupun memberikan shodaqoh.
d. Zakat
Kasih sayang terhadap sesama manusia dianjurkan oleh segenap
agama yang ada di dunia, tetapi Islam mewajibkan bagi penganutnya
untuk memberikan zakat pada golongan tertentu saja sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah Surat At-Taubah ayat 60, yaitu:

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 13


Buku ini untuk kalangan sendiri
1) Fakir
2) Miskin
3) Amik/pengurus pengurus zakat
4) Muallaf
5) Budak
6) Orang yang berhubungan untuk keperluan agama
7) Orang dalam perjalanan yang bukan maksiat dan memerlukan
pertolongan
8) Fi sabilillah
Dengan demikian maka diantara yang kaya dan miskin ada hubungan
kasihan yang dapat menghilangkan rasa benci membenci di
antaranya.
e. Haji
Tiap-tiap muslim berkewajiban melakukan ibadah haji di tanah suci
Arab, sekurang-kurangnya satu kali selama hidupnya apabila
memenuhi syarat:
1) Dia dalam keadaan sehat
2) Perjalanannya aman
3) Mampu mengongkosi perjalanannya ke tanah suci Arab serta
memberi nafkah selama kepergiannya kepada keluarga yang
ditinggalkan yang menjadi tanggungannya
4) Ibadah haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah
5) Ibadah haji merupakan suatu latihan untuk meyakinkan bahwa
manusia itu pada hakikatnya adalah sama tidak pandang
perbedaan warna kulit, kekayaan, martabat, derajat maupun
pangkat dan sebagainya.

2. TUJUAN HUKUM ISLAM


Setiap peraturan yang dibuat, mempunyai tujuan yang hendak
dicapai oleh pembuatnya. Demikian pula dengan hukum Islam atau
syari’ah Islam, oleh Syar’i (Allah) diturunkannya syari’at Islam untuk
mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 14


Buku ini untuk kalangan sendiri
masyara’at. Berbeda dengan konsep hukum di luar hukum Islam yang
hanya ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia selaku anggota
masyara’at. dalam pandangan hukum di luar hukum Islam, bahwa hukum
itu sebagai hasil proses kehidupan manusia bermasyara’at, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Cicero, bahwa ubi societas ibi ius (dimana ada
masyara’at disana ada hukum). Dalam tata aturan hukum di luar hukum
Islam, aturan yang berkaitan dengan kehidupan pribadi tidak dinamakan
hukum, ia dinamakan norma “moral”, “budi pekerti”, atau “susila”.
Secara umum, tujuan pencipta hukum (syari’) dalam menetapkan
hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta
kebahagiaan manusia seluruhnya, baik kebahagiaan di dunia yang fana
(sementara) ini, maupun kebahagiaan di akhirat yang baqa (kekal) kelak.
Tujuan hukum Islam yang demikian itu dapat ditangkap dari firman Allah
SWT diantaranya dalam Surat Al-Anbiya ayat 107, sebagai berikut:
Artinya: “dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Menurut Zainuddin Ali, secara umum tujuan penciptaan dan
penetapan hukum oleh Allah SWT, adalah untuk kepentingan,
kemaslahatan dan kebahagiaan manusia seluruhnya, baik di dunia
maupun di akhirat. Juhaya S. Praja mengemukakan bahwa tujuan hakiki
hukum Islam, jika dirumuskan secara umum, adalah tercapainya keridaan
Allah dalam kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat kelak.
Muhammad Daud Ali merumuskan tujuan hukum Islam adalah
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak dengan jalan
mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang
mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan
kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup, manusia, baik
rohani maupun jasmani, individual dan sosial.
Tujuan hukum Islam menurut KI. Haji Abu Bakar Hastani adalah:
a. Mengatur kesempurnaan hidup antara manusia dengan
sesamanya;

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 15


Buku ini untuk kalangan sendiri
b. Menjamin kebebasan manusia menjalankan ibadah sebagai
pengakuan atas adanya hubungan keyakinan antara Tuhan dan
makhluknya;
c. Melindungi hak dan hak milik yang sah dari tiap-tiap manusia.
Menurut Mardani tujuan hukum Islam (al-maqashid al-syari’ah)
dapat dilihat dari dua segi, yakni:
a) Segi Pembuat Hukum Islam, yaitu Allah dan Rasul-Nya;
Tujuan hukum Islam itu adalah:
Pertama, untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat
primer, sekunder dan tertier, yang dalam kepustakaan hukum Islam
masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat, hajiyyat dan
tahsiniyyat. Kebutuhan daruriyyat (primer) adalah kebutuhan utama
yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum
Islam agar kemaslahatan hidup manusia benar-benar terwujud.
Kebutuhan hajiyyat (sekunder) adalah kebutuhan yang diperlukan
untuk mencapai kehidupan primer, seperti kemerdekaan,
persamaan dan sebagainya, yang bersifat menunjang eksistensi
kebutuhan primer. Kebutuhan tahsiniyyat (tertier) adalah kebutuhan
hidup manusia selain dari yang sifatnya primer dan sekunder itu
yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup manusia
dalam masyarakat, misalnya sandang, pangan, perumahan dan
lain-lain.
Kedua, tujuan hukum Islam adalah untuk ditaati dan dilaksanakan
oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Ketiga, supaya dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan
benar, manusia wajib meningkatkan kemampuannya untuk
memahami hukum Islam dengan mempelajari usul al-fiqh, yakni
dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai
metodologinya.
b) Segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu,
yakni manusia sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai
kehidupan yang berbahagia dan sejahtera. Caranya adalah dengan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 16


Buku ini untuk kalangan sendiri
mengambil yang bermanfaat, mencegah atau menolak yang
mudarat bagi kehidupan.
Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang teori
maqashid al-syari’ah, berikut ini diberi penjelasan tentang kelima
pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing. Uraian
ini bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan, yaitu: agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Kemudian dari masing-masing kelima
pokok itu akan dilihat berdasarkan kepentingan dan kebutuhannya:
1. Memelihara Agama
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,
dapat dibedakan tiga peringkat:
a. Memelihara agama dalam peringkat daruriyyat, yaitu
memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan
yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan
shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan
terancamlah eksistensi agama;
b. Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu
melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud
menghindari kesulitan, seperti shalat jamak dan shalat
qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau
ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan
mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan
mempersulit bagi orang yang melakukannya;
c. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu
mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi
martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan
kewajiban terhadap Tuhan, misalnya menutup aurat, baik
di dalam maupun di luar shalat, membersihkan badan,
pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan
akhlaq yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk
dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi
agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 17


Buku ini untuk kalangan sendiri
melakukannya. Artinya, bila tidak ada penutup aurat,
seseorang boleh shalat, jangan sampai meninggalkan
shalat yang termasuk kelompok daruriyyat. Kelihatannya
menutup aurat ini tidak dapat dikategorikan sebagai
pelengkap (tahsiniyyat), karena keberadaanya sangat
diperlukan bagi kepentingan manusia. Setidaknya
kepentingan ini dimasukkan dalam kategori hajiyyat atau
daruriyyat. Namun, kalau mengikuti pengelompokkan di
atas, tidak berarti sesuatu yang termasuk tahsiniyyat itu
dianggap tidak penting, karena kelompok ini akan
menguatkan kelompok hajiyyat dan daruriyyat.
2. Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingan, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti
memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini
diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi
jiwa manusia;
b. Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, seperti
diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati
makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini
diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi
manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya;
c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti
ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini
hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama
sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia,
ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
3. Memelihara Akal
Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 18


Buku ini untuk kalangan sendiri
a. Memelihara akal dalam peringkat daruriyyat, seperti
diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini
tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya
eksistensi akal;
b. Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti
dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal
itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi
akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitan dengan
pengembangan ilmu pengetahuan;
c. Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, seperti
menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan
sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya
dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal
secara langsung.
4. Memelihara Keturunan
Memelihara nasab atau keturunan, ditinjau dari segi tingkat
kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti
disyari’atkan nikah dan larangan zina. Kalau kegiatan ini
diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam;
b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti
ditetapkannya ketentuan menyebut mahar bagi suami
pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya.
Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad nikah,
maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus
membayar mahar misl. Sedangkan dalam kasus talak,
suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak
menggunakan hak talaknya, pada hal situasi rumah
tangganya tidak harmonis;
c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat seperti
disyari’atkan walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan
dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 19


Buku ini untuk kalangan sendiri
ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi
keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang
melakukan perkawinan.
5. Memelihara Harta
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti
syari’at tentang tata cara pemilikan harta dan larangan
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.
Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya
eksistensi harta;
b. Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, seperti syari’at
tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak
dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta,
melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan
modal;
c. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti
ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan
atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika
bermu’amalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan
berpengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab
peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya
peringkat yang kedua dan pertama.
Apabila ketiga syarat tersebut dipenuhi, maka akan
menyempurnakan kehidupan manusia. Manusia yang bisa memenuhi
kepentingan primer (daruriyyat), maka kehidupannya tidak akan
mengalami kehancuran. Sedangkan apabila mereka bisa memenuhi
kepentingan sekunder (hajiyyat), kehidupan mereka tidak akan mengalami
kesulitan. Selanjutnya apabila kepentingan tertier (tahsiniyyat) mereka
penuhi, maka mereka akan mengalami kesempurnaan dalam hidupnya.
Jadi kepentingan yang termasuk tertier (tahsiniyyat) menyempurnakan
yang sekunder (hajiyyat), dan kepentingan yang sekunder

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 20


Buku ini untuk kalangan sendiri
menyempurnakan yang primer (daruriyyat). Kepentingan daruriyyat
merupakan induk tujuan hukum Islam. Dengan demikian, jelaslah bahwa
tujuan diturunkannya syari’at/hukum Islam adalah untuk kepentingan,
kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan
di akhirat kelak.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 21


Buku ini untuk kalangan sendiri
BAB II
PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM CIPTAAN MANUSIA

Hukum Islam diberikan. Meskipun Hukum Islam sebagai hukum


ilahi tidak selalu kaku, karena dibagi menjadi dua tingkat yaitu, Wahyu
(dalam hukum Islam yang disebut syariat) yang tidak bisa berubah dan
Rincian Wahyu (dalam Hukum Islam disebut sebagai Fikih) yang sebagian
besar dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat (yaitu
pada bagian muamalah). Hukum islam biasanya disamakan dengan
Syari’at Islam. Bahkan Syari’at Islam disamakan dengan Fiqih Islam.
Pengertian Syari’at Islam lebih luas daripada pengertian Fiqih Islam.
Untuk lebih jelasnya, akan diberikan arti dari masing-masing istilah.
A. Syari’ah
Hidup kehidupan merupakan anugerah dan kenikmatan dari Allah,
oleh itu hidup dan kehidupan merupakan amanah dari Allah. Konsukuensi
logis dari sebuah amanah tentunya akan diminta pertanggungjawaban
dari pemberi amanah yaitu Allah SWT. Kenyataan sikap manusia
terhadap nikmat dan sekaligus amanah Allah ini dimanifestasikan dalam
dua bentuk yaitu pertama, perilaku syukur nikmat yakni mempersiapkan
sebaik-baiknya agar kelak bisa mempertanggungjawabkan dengan
sukses, kedua kufur nikmat yaitu mengingkari nikmat Allah dan melalaikan
amanah tersebut. Agar manusia tetap dalam posisi syukur kepada

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 22


Buku ini untuk kalangan sendiri
penciptanya (Allah SWT) perlu mendapat bimbingan sehingga dapat
berbuat sesuatu dalam hidupnya sesuai dengan kehendak-Nya.
Bimbingan tersebut berupa aturan tingkah laku/sikap hidup yang disebut
syariat.
Syariat berasal dari kata syari’ah (Arab), dalam bahasa kita sehari-
hari menjadi syariat. Dari pengertian etimologis syari’ah adalah jalan yang
harus ditempuh (oleh setiap umat Islam), juga berarti sumber air yang
mengalir. Sedang secara terminologis (istilah) syari’ah (syariat) adalah
ketentuan yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-Nya dengan perantara
Rasul-Nya agar diamalkan dengan penuh keimanan, baik ketentuan itu
terpaut dengan akidah, amaliyah, maupun akhlak (Hasbi, 1972). Semakna
dengan pengertian tersebut dikemukakan oleh Faruq Nabhan, dimana
syari’at diartikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-
hamba-Nya. Ulama ahli Usul al-Fiqh (Ahli Hukum Islam) kontemporer
menjelaskan tentang pengertian syari’at dengan kalimat yang sederhana
dan mudah difahami yaitu “an-nusus al-muqaddasah fi al-Qur’an wa as-
Sunah al-mutawatirah” artinya teks-teks atau redaksi yang suci dari al-
Qur’an dan Sunah yang mutawatir. Penggunaan kata syari’ah dalam Al-
Qur’an didapat dalam surat al-Jasiyah (45) ayat 18 yang artinya:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Dari ayat Al-Qur’an tersebut di atas pengertian syari’ah meliputi
semua aspek dalam agama Islam, yakni aqidah, syari’ah/hukum dan
akhlak. Pemahaman syariat itu bisa dibedakan menjadi pertama syariat
dalam arti luas yaitu mencakup seluruh ajaran agama yang meliputi aspek
aqidah, syariat (syariat dalam arti sempit mencakup ibadah dan
muamalah) dan akhlak. Kedua syariat dalam arti sempit diartikan sebagai
sistem norma Illahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia yang lain dalam kehidupan sosial,
hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Norma
Illahi yang dimaksud adalah:

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 23


Buku ini untuk kalangan sendiri
a. Kaidah syariat yang mengatur hubungan langsung antara manusia
dengan Allah SWT disebut dengan kaidah ubudiah atau dengan
singkat disebut ibadah, contoh: rukun Islam;
b. Kaidah syariat yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
dan juga benda-benda di alam semesta ini disebut dengan kaidah
muamalah. Contoh kewarisan, perkawinan, dan lain-lain. Untuk
ketentuan ini mempunyai sifat terbuka untuk dikembangkan melalui
ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk pengembangan
hukum ini.
Sudah dibicarakan di depan bahwa syariat dalam arti luas
mencakup aspek akidah, syariat dan akhlak. Bagaimana keterkaitan
antara aspek-aspek tersebut? (Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam, 2000, selanjutnya ditulis Direktorat, 2000).
Akidah, syariat dan akhlak pada dasarnya merupakan satu
kesatuan dalam ajaran Islam. ketiganya dapat dibedakan namun tidak
dapat dipisahkan. Akidah sebagai sistem kepercayaan yang bermuatan
elemen-elemen dasari keyakinan, menggambarkan sumber dan hakekat
keberadaan agama. Sementara syariat sebagai sistem nilai berisi
peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedang akhlak sebagai
sistem etika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai
agama. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut harus terintegrasi
dalam diri seorang muslim, diumpamakan seperti sebuah pohon akarnya
adalah akidah, sementara batang dahan dan daunnya adalah syariat,
sedang buahnya adalah akhlak. Muslim yang baik adalah yang memiliki
akidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk melaksanakan
syariat yang hanya ditujukan kepada Allah sehingga tergambar kesalehan
akhlak yang terpuji pada dirinya.
Akidah, syariat dan akhlak dalam al-Qur’an disebut dengan iman
dan amal saleh. Iman menunjukkan makna akidah, sedangkan amal saleh
menunjukkan pengertian syariat dan akhlak. Jadi perbuatan baik yang
didorong oleh keimanan terhadap Allah SWT sebagai wujud pelaksanaan
syariat disebut amal saleh. Karena itu di dalam al-Qur’an kata amal saleh

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 24


Buku ini untuk kalangan sendiri
selalui diawali dengan kata iman seperti dalam surat an-Nur ayat 55 (QS.
24: 55), artinya: “dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa
Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi
aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang
fasik.”

B. Fiqh
Istilah yang terkait dengan syari’ah adalah fiqh. Fiqh menurut
bahasa (etimologi) berarti paham atau pengertian mendalam yang
memerlukan pengerahan potensi akal. Sementara pengertian fiqh dalam
Al-Qur’an berarti paham, memahami, mengerti, atau understanding,
diantaranya dalam surat an-Nisa ayat 78:
munafik) hampir- ...‫فمال هؤالءالقوم اليكادون يفقهون حديثا‬
Artinya: ..”maka mengapa orang-orang itu (orang
hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”
Secara terminologis (istilah) fiqh didefinisikan sebagai berikut:

syari’at (syara’) yang ‫العلم باألحك ما الشرعية العملية المكتسبة من أدلتها التفصيلية‬
Artinya: “ilmu tentang hukum-hukum
bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.”
Ulama fiqh mendefinisikan fiqh sebagai sekumpulan hukum
amaliyah yang disyari’atkan Islam. Berdasarkan pengertian tersebut,
maka fiqh itu dipakai untuk dua arti:
a. Nama ilmu

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 25


Buku ini untuk kalangan sendiri
b. Hukum-hukum sendiri yang diperlukan ijtihad dalam
menghasilkannya.
Dari definisi secara terminologis tersebut di atas, dapat dipahami
bahwa fiqh itu berarti melakukan ijtihad, karena hukum-hukum tersebut
diringkas dari dali-dalilnya yang terperinci, baik melalui nas atau melalui
dalalah (indikasi) nas. Semua hal itu tidak dapat dilakukan kecuali
melalui ijtihad. Ijtihad disini adalah mencurahkan akal pikiran dengan
sungguh-sungguh atau secara optimal untuk menemukan atau
menggali hukum-hukum melalui pemahaman, penafsiran, atau rumusan
kesimpulan terhadap ketentuan syara’ baik yang eksplisit maupun yang
implisit. Sedang pengertian fiqh oleh ulama fiqh terlihat bahwa fiqh
merupakan syara’ itu sendiri, baik hukum itu qath’i (jelas, pasti) atau
zanni (masih bersifat dugaan, belum pasti).
Dengan demikian, pada definisi pertama terlihat bahwa seorang
faqih (ahli fiqh) bersifat aktif dalam memperoleh hukum-hukum itu
sendiri, sedangkan dalam definisi kedua seorang faqih hanya
memelihara atau menghafal hukum-hukum dari peristiwa-peristiwa
yang ada.
Jadi fiqh sudah merupakan hasil rekayasa nalar manusia, untuk
menemukan atau mengetahui hukum syar’i yang caranya dengan
ijtihad. Setelah menjadi suatu disiplin tersendiri, istilah fiqh atau sering
disebut pula dengan fiqh Islami, biasanya diartikan dengan hukum
Islam atau ada pula yang menyebut dengan hukum positif Islam. Ilmu
Fiqh dapat berarti ilmu hukum Islam (Islamic jurisprudence),
sebagaimana tertuang dalam definisi al-ilmu bi al-ahkam. Dalam
kenyataannya, meskipun fiqh biasanya diartikan dengan hukum Islam
disini tidak selalu identik dengan law/rules atau peraturan perundang-
undangan.
Fiqh dalam pengertian hukum itu sendiri, merupakan himpunan
norma atau aturan yang mengatur tingkah laku, baik berasal langsung
dari al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, maupun dari hasil ijtihad para
ahli hukum Islam. umpamanya dalam praktik, fiqh dalam arti hukum ini

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 26


Buku ini untuk kalangan sendiri
dipakai secara identik dengan syari’ah dalam arti sempit.
Perbedaannya hanya pada sisi penekanan di mana syari’ah
menggambarkan dan menekan bahwa hukum Islam berdimensi Ilahi
dan bersumber kepada wahyu Allah, sedangkan fiqh menggambarkan
karakteristik lain dari hukum Islam, yaitu meskipun berkarakter Ilahiah,
penerapan dan penjabarannya dalam kehidupan riil dan konkret
masyarakat sepenuhnya merupakan upaya manusiawi.
Pemahaman fiqh itu sendiri berkembang dari waktu ke waktu.
Pada awalnya yaitu di zaman Rasulullah, Sahabat dan Tabi’in, fiqh
dipahami sebagai tafaqquh fiddin yaitu pemahaman terhadap seluruh
ruang lingkup agama yang meliputi akidah, syariat (ibadah dan
muamalah) dan akhlak. Demikian pula awal masa mujtahidin (Imam
Madzhab Fikih) pemahaman fiqh masih sama dengan pemahaman
sebelumnya ini terbukti misalnya Imam Hanafi menyusun kitab fiqh
memuat juga masalah akidah, namun lambat laun pemahaman fiqh
terkonsentrasi hanya bidang hukum perbuatan manusia.
Jadi fiqh adalah formula pemahaman syara’ atau tafaqquh fiddin.
Perkembangan selanjutnya fiqh sebagai pemahaman syara’ dalam ari
sempit (ibadah dan muamalah). Dengan demikian fiqh dan syariat
(syara’) sangat erat namun perbedaan karakteristiknya nampak sekali
sehingga jika tidak dipahami secara proporsional bisa jadi akan
mengakibatkan kerancuan misalnya menganggap fiqh sama dengan
atau identik dengan syariat.
Fiqh Secara Istilah Mengandung Dua Arti: Pengetahuan tentang
hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan
mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama),
yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-
nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang
berupa ijma’ dan ijtihad. Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi
perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di
gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin
mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 27


Buku ini untuk kalangan sendiri
makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan
yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum
apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya
berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-
sunnahnya).

C. Persamaan dan Perbedaan Syari’ah dan Fiqh


Dari pembahasan antara pengertian syari’ah dan fiqh di atas,
menunjukkan bahwa antara syari’ah dan fiqh memiliki hubungan yang
sangat erat. Karena fiqh formula yang dipahami dari syari’ah. Syari’ah
tidak bisa dijalankan dengan baik, tanpa dipahami melaui fiqh atau
pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fiqh
sebagai hasil usaha memahami, sangat dipengaruhi oleh tuntutan
ruang dan waktu yang melingkup faqih (jamak fuqaha) yang
memformulasikannya. Karena itulah sangat wajar jika kemudian,
terdapat perbedaan-perbedaan dalam rumusan mereka. Kristalisasinya
kemudian dicatat oleh sejarah, terdapat fiqh Sunny (berpaham ahl al-
sunnah wa al-jamaah) dan fiqh Syi’i (berpaham Syi’ah, yang mengaku
pengikut Ali Ibn Abi Thalib). Di kalangan Sunny sendiri, dikenal Fiqh
Hanafy, Fiqh Maliky, Fiqh Syafi’i, Fiqh Hambaly dan Fiqh Auza’iy.
Namun fiqh yang terakhir ini kurang populer di Indonesia.
Walaupun syari’ah diidentikkan dengan fiqh, namun antara
keduanya terdapat perbedaan yang cukup signifikan yang harus
dipahami, sehingga bisa terhindar dari kesalahpahaman dalam
penggunaannya.
Agar jelas duduk soalnya, maka berikut dikemukakan beberapa
perbedaan antara syari’ah dan fiqh. Pertama, syari’ah diturunkan oleh
Allah (al-Syari’), jadi kebenarannya bersifat mutlak (absolut), sementara
fiqh adalah formula hasil kajian fuqaha dan kebenarannya bersifat
relatif (nisbi). Karena syari’ah adalah wahyu, sementara fiqh adalah
penalaran manusia. Kedua, syari’ah adalah satu (unity) dan fiqh
beragam (diversity). Ketiga syari’ah bersifat otoritatif, maka fiqh

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 28


Buku ini untuk kalangan sendiri
berwatak liberal. Keempat syari’ah stabil atau tidak berubah, fiqh
mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu.
Kelima, syari’ah bersifat idealistis, fiqh bercorak realistis.1 Keenam
syari’ah bersifat fundamental, sementara fiqh bersifat instrumental.
Ketujuh, syari’ah disebut dengan Islamic Law, sedangkan fiqh disebut
juga dengan Islamic Jurisprudence.
Dimensi Syari’at Fiqh
Ruang Lingkup Seluruh ajaran Pemahaman
Agama (keimanan, terhadap syari’at
syari’at dalam arti dalam arti sempit
sempit ibadah dan (ibadah dan
muamalah, dan muamalah), jadi
akhlak) hanya hukum
perbuatan manusia
Subyek Allah SWT sebagai Manusia sebagai
asy-syari’ (pembuat fuqaha’ (ahli-ahli
syara’) fiqh)
Nilai Kebenaran Mutlak Nisbi
Sifat - Stabil - Berubah-ubah
- Satu (unity) sesuai dengan
ruang dan waktu;
- Beragam
(diversity)

Perbedaan lain antara keduanya adalah syari’ah bersifat


tekstual, hanya yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tanpa
campur tangan manusia sedangkan fiqh sifatnya lebih fungsional
karena teks-teks syari’at ditafsirkan dan dipahami secara mendalam
sehingga memudahkan manusia untuk mengamalkannya. Selain itu,
fiqh menciptakan rukun dan syarat, sah dan batalnya perbuatan
kesyari’ahan manusia, sedangkan syari’ah tidak demikian. Oleh karena
itu, fiqh merupakan petunjuk praktis pengamalan syari’ah atau konsep
fungsional bagi keberadaan syari’ah.
Selain perbedaan antara syari’ah dan fiqh keduanya memiliki
persamaan. Persamaan antara syari’ah dan fiqh adalah dua hal yang
mengarahkan kita ke jalan yang benar. Dimana, Syariah bersumber
dari Allah SWT, Al-Qur'an, Nabi Muhammad SAW, dan Hadist.
1
Ibid., hlm.6

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 29


Buku ini untuk kalangan sendiri
Sedangkan Fiqh bersumber dari para Ulama dan ahli Fiqh, tetapi tetap
merujuk pada Al-Qur'an dan Hadist.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 30


Buku ini untuk kalangan sendiri
BAB III
LAPANGAN DAN BIDANG HUKUM ISLAM

Hukum Islam mempunyai lapangan-lapangan hukum yang luas,


hampir sama dengan lapangan hukum modern. Hanya mengenai sampai
seberapa luas lapangan Hukum Islam, di antara para Ahli Hukum Islam
belum ada kesatuan pendapat. Tetapi pembagian lapangan hukum Islam
pada dua lapangan pokok yaitu lapangan Ibadat dan lapangan Muamalat,
sudah mendapat persepakatan seluruh Fuqoha.
1. LAPANGAN IBADAH
Tata hubungan hukum yang pertama menurut ajaran Islam
ialah hubungan antara manusia dengan Tuhan yang disebut
Ibadah. Hal ini didasarkan kepada suatu ajaran tentang pandangan
hidup menurut Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan
adalah untuk mengabdi kepada-Nya. Akan tetapi, ekstensifikasi
pengertian dan pelaksanaan ibadah itu sendiri tidak hanya meliputi
segi spirituil manusianya saja, tetapi juga pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat dan kemanusiaan, seluruhnya.
Bahwa motivasi pelaksanaan pembangunan manusia,
perkembangan dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya
menempatkan hubungan hukum antara manusia satu sama lainnya
merupakan perwujudan dari pada manusia ber-Ketuhanan.
Menurut istilah Hukum Islam, hubungan antara manusia satu
dengan lainnya disebut Muamalat. Adanya lapangan Ibadah di
dalam Hukum Islam ini justru membedakan secara prinsipil dengan
Hukum Positif. Hukum Positip seperti di Indonesia tidak mengatur
hal-hal yang berhubungan dengan seluruh Ibadat. Hukum positip
dapat dikatakan sumbernya dari pikiran orang-orang yang terbentuk
dari suatu panitia yang diangkat oleh Negara atau penguasa
tertentu dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan
keagamaan. Hukum Islam mempunyai sumber asasi Al-Qur’an dan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 31


Buku ini untuk kalangan sendiri
Hadist, yang diterima dengan keimanan. Hukum Positip pada
dasarnya diciptakan oleh penguasa untuk dilaksanakan dalam
masyarakat penguasa tersebut, setelah penguasa itu tidak
berfungsi, hukum itupun tidak lagi berdaya sebagaimana
dimaksudkan. Hukum Islam pada awalnya diciptakan oleh Tuhan
dengan turunnya wahyu yang kemudian dihimpun dalam Al-Qur’an
yang pada pokoknya ditujukan pada umat manusia, khususnya
masyarakat yang mempercayainya.
Jika timbul penguasa, terserah kepadanya akan menerapkan
Hukum Islam itu atau mengabaikan, atau ada yang dipakai dan ada
yang ditolak. Hal ini dapat dibuktikan bahwa penulisan Hukum
Islam yang pertama kali pada abad ke II Hijriyah atau abad ke VII
Masehi yang ditulis oleh IMAM MALIK BIN ANNAS dengan judul
“AL MUATHTAA” (perintis) oleh penguasa pada saat itu yaitu
Khalifah Harun Al-Rasyid, diminta agar Kitab itu diadikan Buku
Undang-Undang dalam peradilan dan pemberian fatwa Kerajaan
ABASYIYAH yang dipimpinnya. Tetapi Imam Malik bin Annas
merasa keberatan atau tidak menyetujui usul Khalifah Harun Al-
Rasyid tersebut.
Pertanyaanya sekarang apakah Ibadah itu atau setidak-
tidaknya apakah pengertian kita tentang Ibadah itu? Apakah ibadah
itu akan kita artikan hanya sebagai sembahyang dalam arti
terbatas, yakni suatu cara menyatakan kebaktian kepada Allah
ataukah ada pengertian lainnya.
Menurut FATHI USMAN bahwa: Ibadah dalam Islam ialah
taat kepada Allah. Dan lapangan ketaatan kepada Allah ini adalah
lebih luas dari pada hanya terbatas oleh tempat yakni Masjid dan
waktu yakni: waktu sholat dan dzikir. Sesungguhnya ketaatan itu
meliputi segala segi kehidupan manusia, sejak menginjak usia
mukallaf sampai menemui Rabb-nya dalam alam baqo’. Maka dari
itu, semua amal baik anak Adam adalah Ibadah.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 32


Buku ini untuk kalangan sendiri
Berdasarkan pengertian tersebut, maka setiap perbuatan
seorang Muslim, baik ia sedang khusu’ menjalankan sholat maupun
sedang berjuang di tengah-tengah gelombang kehidupan yang
ramai ini, seperti mencari rizki, menuntut ilmu, mempertahankan
kebenaran dan membela keadilan dalam bidang kenegaraan,
bidang hukum, semuanya itu termasuk ibadah asal dilakukan atas
dasar taat kepada Allah, yakni taat menjalankan perintah-
perintahNya. Lapangan ibadah ini meliputi antara lain thoharoh,
sholat, zakat, haji, qurban dan lain-lain.

2. LAPANGAN MUAMALAT
Sedang lapangan Muamalat meliputi berbagai lapangan
hukum, dalam lapangan Muamalat ini justru ahli hukum Islam
belum ada kesatuan pendapat tentang struktur lapangan
hukumnya. Dalam garis besarnya, lapangan Muamalat dalam arti
luas meliputi:
2.1 HUKUM PERDATA
Hukum Perdata yang antara lain mengatur hal-hal:
a) Hukum Keluarga;
b) Hukum Waris;
c) Hukum Wakaf;
d) Hukum Perikatan dan Perjanjian;
e) Hukum Wasiat;
f) Hukum Jual Beli;
g) Hukum Sewa Menyewa;
h) Hukum Gadai (Rahn);
i) Hukum Hibah;
j) Hukum hutang piutang, pemindahan hutang piutang (al-
hawalah);
k) Hukum Jaminan (dhaman);
l) Hukum Perwakilan (wakalah).
2.2 HUKUM DAGANG

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 33


Buku ini untuk kalangan sendiri
Hukum dagang merupakan bagian daripada hukum
perdata. Oramh Islam pada zaman dahulu sudah melakukan
hubungan perdagangan yang luas mulai dari Ujung Afrika
Barat, India, Mesir, Persia, Romawi, sampai ke Tiongkok.
Yang dibicarakan dalam hukum dagang antara lain:
a) Serikat Dagang dan macam-macamnya;
b) Usaha dagang bersama yang disebut mudorobah atau
Qiradl;
c) Soal Pailit;
d) Soal Perbankan.
Hukum Dagang Islam sebenarnya tidak berdiri sendiri,
karena merupakan bagian daripada Hukum Perdata Islam ini
seperti dalam hukum positif bahwa Hukum Dagang baru
pada akhir-akhir ini saja terpisah dengan Hukum Perdata.
Bahkan negara-negara yang telah maju dalam dunia
perdagangan seperti Amerika dan Inggris tidak mengadakan
pemisahan antara Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
Ada beberapa persoalan yang berhubungan dengan
Hukum Dagang, oleh ahli Hukum Islam dibicarakan dalam
bagian Hukum Perdata seperti serikat dagang dan
macamnya dan bagaimana cara pengadaannya. Bahkan di
antara serikat-serikat Dagang tersebut ada yang dibicarakan
tersendiri yaitu MUDHOROBAN atau QIRADL. Yang berarti
suatu perjanjian dagang bersama dimana uang pokok
ditanggung oleh seseorang sedang orang lain
menjalankannya untuk berdagang, kemudian keuntungan
dibagi antara kedua orang tersebut menurut perjanjian yang
telah ditentukan bersama. Mengenai pembukuan dagang
sebenarnya tidak ada/tak disinggung oleh para ahli Hukum
Islam, karena alat pembuktian dalam Islam biasanya cukup
dengan keterangan-keterangan dan saksi-saksi.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 34


Buku ini untuk kalangan sendiri
2.3 HUKUM PIDANA
Dalam hukum pidana antara lain mengatur hal-hal:
1. Peristiwa Pidana;
2. Sifat melawan Hukum;
3. Kesengajaan;
4. Teori sebab akibat;
5. Pengecualian hukuman karena:
a. Perintah Jabatan;
b. Keadaan darurat;
c. Pembelaan diri;
d. Syubhat;
e. Maaf.
6. Keadaan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
seperti:
a. Orang yang tidur sampai bangun dari tidurnya;
b. Anak-anak sampai ia dewasa;
c. Orang gila/mabok sampai ia sadar.
7. Jarimah (delik) dan macam-macamnya seperti HUDUD,
QISHASH/DIYAT, TA’ZIR dan lain-lain;
8. Percobaan;
9. Penyertaan;
10. Gabungan perbuatan.

2.4 HUKUM ACARA


Hukum acara antara mengatur hal-hal:
1. Peradilan yang meliputi:
2. Gugatan yang membicarakan:
3. Alat-alat bukti yang berupa:
a. Tulisan;
b. Pengakuan;
c. Sumpah;
d. Saksi;

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 35


Buku ini untuk kalangan sendiri
e. Dugaan;
f. Karimah (tanda-tanda/isarat)
Dalam hukum acara, NABI sebagai Hakim Islam yang
pertama telah meletakkan prinsip umum: Bukti dibebankan
kepada penggugat, dan sumpah dibebankan kepada orang
yang mengingkari gugatan atau tergugat. Kemudian setelah
UMAR BIN KHOTOB menjadi Khalifah, dasar-dasar hukum
acara yang digariskan oleh Nabi disempurnakan oleh beliau
dengan mengeluarkan instruksi yang mengandung petunjuk
cara-cara hakim memutus perkara dan beberapa ketentuan
lain yang merupakan hukum acara untuk menjadi pegangan
hakim-hakim Islam sampai dewasa ini.

2.5 HUKUM TATA NEGARA


Hukum Tata Negara yang antara lain mengatur:
1. Prinsio-prinsip Hukum Tata Negara Islam:
2. Soal ke Khalifahan, yang menyangkut cara-cara
pengangkatan Kepala Negara, syarat-syarat, tugas, dan
wewenangnya;
3. Dasar-dasar Negara menurut Hukum Islam (sesuai
dengan ayat 61, dan 62 Surat An Nisa’), yaitu:
4. Susunan Badan Pemerintahan: Menurut Islam yang
dipisahkan menjadi 3 lembaga (kekuasaan) yang satu
sama lain berdiri sendiri yaitu:
a. SULTHAH TASYRI’IYAH (kekuasaan legislatif);
b. SULTHAH TANFIDZIYAH (kekuasaan eksekutif);
c. SULTHAH QADLAIYAH (kekuasaan yudikatif).
Sejak zaman Khalifah UMAR BIN KHOTOB (13-24 H
= 634-644 M) ketiga Badan Kekuasaan Negara itu
dipisahkan satu sama lain secara tegas. Ini berarti Hukum
Tata Negara Islam telah beberapa abad lebih dahulu
mengadakan pemisahan kepada tiga kekuasaan negara

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 36


Buku ini untuk kalangan sendiri
daripada TRIAS POLITIKAnya MONTESQUEAU di Perancis
atau JOHN LOCKE (1632-1704) di Inggris.

2.6 HUKUM INTERNASIONAL


Hukum Internasional yang antara lain mengatur hal-
hal:
1. Hukum Publik Islam Internasional meliputi:
a. Peraturan yang berlaku dimana negara dalam
keadaan perang dan damai;
b. Akhirnya peperangan;
c. Perjanjian damai;
d. Harta rampasan perang, tahanan-tahanan perang;
e. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain
(asing);
f. Hubungan antara orang Islam dengan bukan Islam
dalam perbuatan pidana.
2. Hukum Perdata Islam Internasional, yang membicarakan
hal-hal menyangkut hubungan perdata antara orang-orang
Islam dengan orang yang bukan Islam.
Orang yang bukan Islam biasanya dibagi:
a. DZINI yaitu orang bukan Islam yang menetap di
Negara Islam;
b. MUSTA’MIN yaitu orang bukan Islam yang
menetap di Negara Islam untuk waktu tertentu;
c. HARBI yaitu orang-orang bukan Islam yang tinggal
di Darul Harbi.
Prinsip Hukum dan Hubungan Internasional Islam
ialah menciptakan perdamaian. Hukum Internasional dasar-
dasarnya telah diletakkan Nabi, sesuai dengan Al-Qur’an
dan Hadist. Pada tahun ke VI Hijriah, Nabi dengan orang
Musrik mengadakan perjanjian HUDAIBIYAH yang berisi
antara lain:

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 37


Buku ini untuk kalangan sendiri
1. Orang-orang Islam tidak boleh ke Mekkak (naik haji);
2. Orang-orang Musrik yang datang ke Madinah supaya
dikembalikan ke Mekkah.
Sedangkan menurut Prof. Dr. NW. Rasyidi, bahwa
Hukum Islam dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Bagian Ibadah (Iman, sholat, zakat, puasa dan haji);
2. Bagian urusan masyarakat yaitu Muamalat,
munakahat dan ukubat.
- Bagian MUAMALAT: mengatur tentang harta
benda, hak, obligasi, kontrak, seperti jual beli,
sewa menyewa, pemberian pinjaman, titipan,
penagihan, hutang, serta dagang dan lain-lain;
- Bagian MUNAKAHAT: mengatur tentang
perkawinan, perceraian, serta akibatnya seperti:
iddah, nafkah, hak quratele, waris dan lain-lain.
Pada waktu ini hal-hal itu dinamakan Family Law
(Hukum Keluarga), yang dalam bahasa Arab-nya
dinamakan “AL AHWAL Al SYACHSIYAH”.
Muamalat dan Munakahat merupakan Hukum
Perdata dalam susunan modern.
- Bagian UKUBAT/JINAYAT: berarti hukum
tentang pidana seperti: pencurian, berzina,
mabuk, mendakwa berzina, pembunuhan, serta
akibat-akibatnya.
Disamping bagian-bagian tersebut di atas, ada 3
bagian lain yaitu:
1. MUCHASAMAT
mengatur peradilan, pengadilan,
pembuktian, yakni hal-hal yang sekarang
termasuk hukum acara perdata.
2. SIYAR

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 38


Buku ini untuk kalangan sendiri
yang mengatur urusan jihad atau perang,
barang jarahan, perdamaian, perhubungan
dengan agama lain, negara lain. Dengan
perkataan lain siyar membicarakan hukum
perang, damai, plus hukum
kewarganegaraan. Tersebut pada waktu
sekarang termasuk dalam Hukum
Internasional.
3. AHKAN SULTHANIYAH
yang membicarakan soal-soal yang
berhubungan dengan Kepala Negara,
Kementerian, Gubernur, Tentara dan pajak.
Sekarang ini termasuk dalam hukum
konstitusionil, bidang administratif dan
fiskal.
Jika kita membandingkan struktur Hukum Islam
dengan Hukum Modern, maka kita mendapatkan kesan
banyak kesamaan prinsip baik dalam susunan maupun
pembagian dalam dua sistim hukum tersebut.

BAB IV
AL AHKAM AL KHOMSA

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 39


Buku ini untuk kalangan sendiri
Klasifikasi status hukum setiap perilaku atau perbuatan yang
dilakukan oleh seorang muslim dirinci menjadi lima yang biasanya dikenal
dengan “al-ahkam al-khomsah” yaitu:
- Wajib, ialah suatu perbuatan apabila dilakukan akan memperoleh
nilai pujian atau reward bagi pelakunya, sebaliknya apabila
perbuatan itu ditinggalkan akan memperoleh nilai celaan atau
punishment, misalnya shalat. Wajib ini ada yang digolongkan
sebagai fardhu ‘ain (fardu atau kewajiban bagi setiap individu
misalnya shalat lima waktu) dan fardhu kifayah (fardu atau kewajiban
secara kolektif misalnya salat jenazah).
- Haram, ialah suatu perbuatan apabila dilaksanakan akan mendapat
nilai celaan atau punishment, sebaliknya jika ditinggalkan akan
memperoleh nilai pujian atau reward. Jadi haram ini kebalikan dari
wajib. Contoh perbuatan yang haram misalnya meminum minuman
yang memabukkan (khamr).
- Sunnah, ialah suatu perbuatan apabila dilaksanakan akan mendapat
nilai pujian atau reward sebaliknya jika perbuatan itu ditinggalkan
tidak akan mendapat sanksi atau punishment. Dengan
memperbanyak perbuatan sunnah akan memperoleh nilai pujian
atau reward yang banyak pula.
- Makruh, artinya tidak disukai ialah suatu perbuatan jika ditinggalkan
akan mendapat nilai pujian atau reward namun jika perbuatan itu
dilakukan tidak mendapat sanksi atau punishment. Sekalipun tidak
memperoleh sanksi perbuatan itu adalah perbuatan yang tidak
disukai oleh Allah SWT oleh karena itu harus ditinggalkan.
- Mubah, ialah suatu perbuatan yang bebas dipilih untuk dilaksanakan
sementara itu juga boleh dipilih untuk tidak dilaksanakan atau
ditinggalkan.
Ada 2 (dua) ajaran Penggolongan Hukum Al Ahkam Al Khomsa
yang terkenal yaitu:
1 Imam Abu Hanifah (IAMA HANAFI) – 70 – 150 H.
2 Ajaran IMAM SYAFI’I

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 40


Buku ini untuk kalangan sendiri
1 AJARAN IMAM HANAFI
Menurut Imam Hanafi ada 8 macam penggolongan hukum yaiitu:
a. Fardh e. Mubah
b. Wajib f. Makruh Tanzih
c. Sunnah g. Makruh Tahrim
d. Mandub h. Haram
Pembedaan tersebut oleh penganut Hanafi didasarkan pada 3
hal yaitu:
1) Hubungan hukum itu dengan sanksi penguat berapa pahala
dan dosa
Misalnya FARDH dan WAJIB
Kalau dihubungkan dengan sanksinya, maka orang yang
melakukan pekerjaan Fardhu dan Wajib akan mendapat
pahala, sedang orang yang meninggalkan akan mendapat
dosa.
HARAM adalah sebaliknya yaitu kalau dikerjakan suatu
perbuatan haram, maka si Pelaku akan mendapat dosa,
sedang apabila ditingalkan akan mendapat pahala.
MAKRUH TANZIH:
- Kalau dikerjakan pekerjaan yang makruh tanzih maka
ia tidak mendapat pahala, sedang kalau ditinggalkan
ia justru akan mendapat pahala;
- kalau dikerjakan ia akan mendapat dosa, tetapi kalau
ditinggalkan dengan niat usaha tertentu maka orang
itu akan mendapat pahala.
2) Sumber Hukum atau alasan yang dipakainya menetapkan
hukum itu:
FARDH: Sumber hukum/alasannya adalah perintah yang
terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist yang Mutawatir;
WAJIB: sumber hukumnya/alasannya ialah perintah yang
terdapat dalam Hadist Ahad.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 41


Buku ini untuk kalangan sendiri
HARAM: Sumber hukumya/alasannya ialah larangan yang
terdapat dalam Qur’an maupun Hadist yang Mutawatir.
MAKRUH TAHRIM: sumber hukumnya/alasannya ialah
larangan yang bersumber hukum maupun beralasan pada
Hadist Ahad.
3) Hubungan perbuatan yang hukumnya tertentu dengan
perbuatan lain yang hukumnya lain pula.
Misalnya:
SUNNAH ialah suatu perbuatan atas dasar perintah yang
apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dan jika
perbuatan itu ditinggalkan tidak akan mendapat dosa. Akan
tetapi perbuatan ini berhubungan dengan/berguna untuk
lebih menyempurnakan perbuatan lain yang hukumnya
Wajib, contoh: solah rawatib sebelum subuh.
MANDUB ialah perbuatan atas dasar perintah yang apabila
dikerjakan oleh seseorang dia akan mendapatkan pahala
dan kalau ditinggalkan, dia tak akan ditimpa dosa, tetapi
berhubungan dengan perbuatan lain, seperti solat
witir/bilangan ganjil malam hari.
2 AJARAN IMAM SYAFI’I
Menurut IMAM SYAFI’I : Al-Ahkam Al-Khomsa artinya hukum
yang kelima. Al-ahkam artinya hukum-hukum. Al-khomsa artinya lima.
Kedalam Al-ahkam al-khomsa ini menurut ajaran Ilmu Hukum Islam,
maka semua perbuatan manusia dapat digolongkan. Perbuatan
manusia yang dimaksud ialah perbuatan orang yang dapat dibebani
hukum atau orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatan
yang dilakukan yang menurut istilah disebut MUKALLAF. Mukallaf
artinya orang yang telah dapat dibebani hukum atas perbuatannya.
Menurut Imam Syafi’i, kelima macam penggolongan hukum adalah:
- FARDH atau WAJIB: perbuatan atas dasar perintah yang
kalau dikerjakan mendapatkan pahala, dan kalau
ditinggalkan mendapat dosa;

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 42


Buku ini untuk kalangan sendiri
- SUNNAH atau MANDUB: perbuatan atas dasar perintah
yang kalau dikerjakan mendapat pahala, sedang jika
ditinggalkan tidak berdosa;
- MUBAH yaitu kebolehan, artinya boleh dikerjakan atau
ditinggalkan;
o ditinggalkan tak berdosa
o dikerjakan juga tidak mendapat pahala
- MAKRUH, sebagai lawan dari Sunah yaitu suatu pekerjaan
yang makruh. Jika dikerjakan tidak diancam hukuman/dosa,
tetapi jika perbuatan itu ditinggalkan dengan suatu usaha
dan niat, orang yang bersangkutan akan mendapat pahala.
- HARAM atau LARANGAN
sebagai lawan dari wajib. Pekerjaan yang haram, kalau
dilakukan akan mendapat dosa namun jika ditinggalkan
perbuatan yang terlarang itu akan mendapat pahala.
Ajaran Syafi’i mendasarkan penggolongan hukum atas
hubungan hukum itu dengan sanksi/penguatnya berupa dosa
dan pahala.
Ada beberapa urutan penulisan penggolongan hukum, yaitu:
(1) Penggolongan hukum itu termasuk dalam ajaran ilmu Ushul Fiqh
(2) Yang biasa dipakai di Indonesia ialah penggolongan hukum
menurut ajaran Imam Syafi’i
(3) Terdapat perbedaan antara Penulis buku berbahasa Arab
dengan Penulis Indonesia di satu pihak dengan Penulis dari
Barat tentang urutan susunan penulisan Al-Ahkam Al Khomsa.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 43


Buku ini untuk kalangan sendiri
BAB V SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Sumber-sumber Hukum Islam terdiri dari:


1. Al-Qur’an
2. Sunnah /Al-Hadist
3. Ro’yu, yang dapat berupa:
a. Qiyas d. Istihsan
b. Ijma’ e. Urf
c. Marsalih Al-Mursalah f. Dan lain-lain.

1. Al-Quran

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 44


Buku ini untuk kalangan sendiri
Al-Quran adalah sumber petunjuk bagi orang yang beriman
yaitu ayat-ayat yang ada dalam Al-Quran dijadikan sebagai pedoman
kehidupan seorang muslim. Jadi Al-Quran adalah kaidah yang menjadi
tatanan hukum untuk manusia agar dapat menjalankan kehidupan
dengan baik dan benar menurut hukum-hukum Allah SWT.
Sebagaimana ayat dalam surah Al-Isra ayat 9 yang menyatakan
bahwa:
“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-
orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar”
Al-Quran sebagai kitab yang dijadikan pedoman bagi umat
muslim untuk menata kehidupan mereka menjadi tatanan yang bagus
berisi tentang:
Pertama ajaran yang memberi pengetahuan tentang struktur
(susunan) kenyataan alam semesta dan posisi berbagai makhluk,
termasuk manusia, serta benda-benda di jagad raya. Al-Quran juga
mengandung metafisika tentang Tuhan, kosmologi dan pembahasan
tentang kehidupan akhirat. Al-Quran berisi tentang petunjuk keimanan,
hukum dan juga akhlak yang perlu dipedomani manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Al-Quran menjadi dasar hukum Tuhan untuk
mengatur semua makhluk di alam semesta ini.
Ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran terdiri atas
ayat-ayat yang berupa perintah, larangan, anjuran, dan memberikan
pilihan untuk umat manusia. Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan
perintah-perintah Allah adalah seperti: perintah untuk menegakan
keadilan, menjalankan amanah dengan baik, perintah shalat, puasa,
zakat melaksanakan ibadah haji, melaksanakan wasiat, dan yang
lainnya.
Sedangkan untuk ayat-ayat larangan yaitu berupa: larangan
untuk mewariskan isteri ayahnya (pada zaman jahiliyah), larangan
untuk melakukan kejahatan, pencurian, pembunuhan, perzinahan,

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 45


Buku ini untuk kalangan sendiri
mengurangi takaran dan timbangan, menghasut, riba, dan larangan-
larangan lainnya yang begitu banyak tertulis dalam Al-Quran, yang
harus dijauhi dan tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, tujuan
pelarangan ini adalah untuk menciptakan hubungan baik antara
manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Al-Quran
sebagai sumber hukum secara tegas disebutkan dalam surah Thaha
ayat 123 yaitu:
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang
siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan
celaka”.
Jadi ayat ini menetapkan bahwa Al-Quran berfungsi sebagai
petunjuk bagi manusia, bahkan falsafah kehidupan yang menjaga
keselamatan manusia dalam melakukan perjalanan panjang di dunia
demi mencari bekal hidup untuk di akhirat. Al-Quran sebagai petunjuk
untuk semua aktivitas manusia baik dalam masalah ritual maupun
masalah sosial yang kompleks. Jadi berdasarkan semua fakta yang
ada dapat disimpulkan bahwa Al-Quran adalah sumber hukum Islam.
Kedua, Al-Quran berisi petunjuk yang menyerupai sejarah
manusia, rakyat biasa, raja-raja orang-orang suci, para Nabi sepanjang
zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka. Meskipun petunjuk
ini adalah sejarah, namum sebenarnya ayat-ayat ini merupakan ayat-
ayat ini ditunjukan pada jiwa manusia. Petunjuk ini diturunkan kepada
jiwa manusia pada masa itu dan masa sekarang, meskipun kejadian itu
mengambil tempat dan waktu yang telah lalu. Seperti cerita tentang
kesombongan Fir’aun yang akhirnya ditenggelamkan di lautan
sedangkan kekuasaan dan kekayaannya ditinggalkan, atau cerita-cerita
keshalehan dan kesabaran seorang yang akhirnya mendapat balasan
terbaik dari Allah. Jadi Al-Quran adalah petunjuk tentang kehidupan
manusia yang dimulai dengan kelahiran, diakhiri dengan kematian,
berasal dari Allah dan kembali kepada Allah. Setiap sejarah yang
diceritakan dalam Al-Quran selain mengandung hikmah dari setiap
kejadian juga mengandung hukum yang berlaku pada masa itu, dan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 46


Buku ini untuk kalangan sendiri
masa sekarang hingga akhir zaman, seperti cerita tentang kebakhilan
Qarun dan akibatnya, cerita ini mengandung makna hukum yaitu
larangan tentang bersifat bakhil, perintah bersedekah dan berzakat.
Ketiga, Al-Quran berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan
dengan bahasa biasa, karena ayat-ayat Al-Quran berasal dari firma
Tuhan, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang dapat kita
pelajari secara rasional. Ayat-ayat itu mempunyai kekuatan melindungi
manusia. Itulah sebabnya mengapa kehadiran fisil Al-Quran sendiri
membawa berkah bagi manusia, jika seoarang muslim menghadapi
kesulitan, dia membaca ayat-ayat Al-Quran untuk menenangkan dan
menghibur hatinya. Dalam ajaran Islam membaca dan mempelajari Al-
Quran adalah kewajiban bagi setia muslim.
Seluruh ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai wahyu tidak diterima sekaligus dalam bentuk Al-Quran seperti
yang kita kenal, melainkan Al-Quran diturunkan secara berangsur-
angsur. Setiap ayat Al-Quran yang diturunkan ditulis dan dihafalkan
oleh para sahabat yang akhirnya pada masa khalifah Usman baru Al-
Quran dibukukan, yang bertujuan untuk mempermudah membaca dan
mempelajari.
Adapun Wahyu yang pertama kali turun ialah 5 ayat yang
pertama dari Surat Al-Alaq yang berbunyi dan mempunyai arti kurang
lebih:
1. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menjadikan;
2. Ia telah menjadikan manusia dari segumpal darah;
3. Bacalah, dan Tuhamu itu Maha Mulia
4. Yang mengajarkan dengan perantaraan hukum
5. Ia telah mengajarkan manusia apa yang mereka tidak
tahu.
Sedangkan ayat terakhir yang turun ialah ayat ke-3 dari Surat
Al-Maidah yaitu :
‫اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإلسالم دينا‬

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 47


Buku ini untuk kalangan sendiri
Artinya: Hari ini telah Ku sempurnakan agamamu dan telah Ku
lengkapkan karunia Ku atasmu dan Aku rela Islam jadi agamamu.

2. As-Sunah
Dalam kajian hukum Islam as-sunah ini adalah sumber hukum
Islam yang kedua, hal ini dijelaskan pada beberapa ayat dalam Al-
Quran salah satunya pada surah Al-Anfal ayat 46 yaitu:
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah, sesunguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar”
Ayat di atas menetapkan bahwa setelah ketaatan kepada Allah
harus dibarengi dengan ketaatan kepada Nabi SAW, siapa yang taat
kepada Nabi SAW adalah telah taat juga kepada Allah. Secara logika
ketaatan kepada Allah mengikuti semua perintah-perintah-Nya dengan
merealisasikannya dalam kehidupan. Perintah-perintah adalah wahyu
yang tertuang di dalam Al-Quran, dengan demikian ketaatan kepada
Nabi SAW berarti mengikuti sunah-sunahnya.
As-Sunah adalah cara-cara hidup Nabi Muhammad SAW, yaitu
perkataan atau ucapan Nabi SAW (sunnah qauliyah), perbuatannya
(sunnah fi’liyah), dan keadaan diam beliau ketika ditanya atau melihat
sesuatu (sunnah sukuti atau taqririyah).
Berkaitan dengan kedudukan sunnah sebagai sumber hukum,
jika dilihat dari wujud ajaran Islam itu sendiri Rasulullah merupakan
tokoh setral yang sangat dibutuhkan, bukan sekedar untuk membawa
risalah ilahiyah dan menyampaikan ajaran Islam yang ada di dalamnya,
tetapi lebih dari itu, beliau dibutuhkan sebagai tokoh satu-satunya yang
dipercaya oleh Allah untuk menjelaskan, merinci atau memberi contoh
pelaksanaan ajaran yang disampaikan melalui Al-Quran, oleh karena
itu kebenaran tentang perilaku Rasulullah SAW merupakan syariat

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 48


Buku ini untuk kalangan sendiri
berikut sebagai dalil dan sumber hukum yang kedudukannya sebagai
wahyu setelah A-Quran, sunnah biasa juga disebut dengan hadis.
Hadis atau sunah sebagai salah satu dari sumber hukum Islam,
maka setiap hadis harus diuji kebenarannya, karena pada masa
Rsulullah SAW masih hidup, hadis ini belum pernah ditulis dan hanya
dihafalkan oleh para sahabat, sehingga para ulama hadis melakukan
penelitian dan studi yang teliti tentang hadis, sehingga mereka
membuat klasifikasi berdasarkan cara pemberitannya. Ada yang
kualitasnya membuahkan keyakinan atau sangkaan, jadi setiap hadis
itu perlu pembuktian kalau hadis itu benar-benar dari Rasulullah SAW.
Dalam menjelaskan hal ini ulama mengklasifikasikan hadis menjadi dua
hal yaitu pertama dapat dibagi berdasarkan sedikit atau banyak orang
yang meriwayatkan hadis, kedua berdasarkan integritas pribadi orang
yang meriwayatkan hadis.
Ada beberapa unsur yang terkandung dalam sunnah atau hadis
yang perlu untuk diketahui yaitu:
a. Sanad atau thariq, ialah jalan yang dapat menyambungkan
matnul hadist kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw.
Dalam bidang ilmu hadist, sanad itu merupakan neraca untuk
menimbang shahih atau dhaifnya suatu hadis. Andai kata salah
seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta
atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad
tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadist tersebut dhaif
sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian sebaliknya jika
para pembawa hadist tersebut orang-orang yang cakap dan
cukup persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga
kehormatan diri (muru’ah), dan memiliki daya ingat yang
kredibel, sanadnya bersambung dari satu periwayat ke
periwayat lain sampai pada sumber berita pertama, maka
hadistnya dinilai shahih.
b. Matan hadist, ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita
setelah sanad terakhir disebutkan. Baik pembicaraan itu sabda

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 49


Buku ini untuk kalangan sendiri
Rasulullah saw, sahabat atau tabi’in. Baik isi pembicaraan itu
tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak
di sanggah oleh Nabi. Misalnya, Imam Bukhari dan Imam
Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Masyarakat itu berserikat dalam tiga barang: air, padang
gembalaan, dan api”. Sabda Rasul tersebut merupakan matan
hadist yang diriwayatkan oleh kedua perawi hadist tersebut.
c. Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan dalam
suatu kitab apa yang pernah didengar dan diterimanya dari
seseorang (guru). Seorang penyusun atau pengarang, bila
hendak menguatkan suatu hadis yang ditakhrijkan dari suatu
kitab hadis pada umumnya memubuhkan nama rawi
(terakhirnya) seperti Imam Muslim, Imam Bukhari, Abu Daud,
Ibnu Mazah, dan lain sebagainya, pada akhir matnul hadis.
Adapun pembagian hadis berdasarkan sedikit atau banyaknya
orang yang meriwayatkan adalah:
a. Hadis Mutawatir adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat sehingga
karena banyaknya, mustahil mereka akan bersepakat untuk
berdusta bersama-sama. Jumlah orang yang meriwayatkan
hadis harus dapat dibuktikan baik dalam generasi pertama,
maupun dalam generasi kedua, dan ketiga. Jadi pada hadis
mutawatir sejak generasi pertama (sahabat), generasi kedua
(tabi’in), dan generasi ketiga (tabi’in tabi’in) yang
meriwayatkannya banyak sekali.
b. Hadis Masyur adalah segala sesuatu yang datang dari
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang
atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak sebanyak orang
yang meriwayatkan hadis mutawatir, akan tetapi pada generasi
kedua dan ketiga jumlah orang yang meriwayatkan hadis
masyur sama dengan orang yang meriwayatkan hadis
mutawatir, sedangkan hadis masyur baru pada generasi tabi’in

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 50


Buku ini untuk kalangan sendiri
dan seterusnya yang periwayat hadis tersebut jumlahnya sama
banyak dengan hadis mutawatir.
c. Hadis Ahad adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh seorang, atau dua orang lebih
sahabat, tetapi jumlahnya tidak sebanyak hadis mutawatir jadi
hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai hadis mutawatir.
Sedangkan Pembagian hadis berdasarkan kualitasnya adalah
sebagai berikut:
a. Hadis Shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh orang yang berwatak adil dan dhabith selalu
berkata benar dan selalu berusaha menjauhi larangan-Nya,
masing-masing memiliki tingkatan sendiri hingga tingkatan
tertinggi. Tidak ada syadz (keragu-raguan) dan tidak pula
mengandung cacat. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas
tentang matan.
b. Hadis Hasana adalah hadis yang sanadnya bersambung, dari
awal hingga akhir, para periwayatnya bersifat adil namun
kredibilitasnya tidak mencapai derajat shahih, serta terhindar
dari kejanggalan (syaz) dan cacat. Perbedaan pokok antara
hadis shahih dan hadis hasan dalam hal ini adalah pada
kedhabitan periwayat itu kurang sedikit, namun kekurangannya
itu tidak sampai menjadikan hadis yang diriwayatkannya
berkualitas lemah.
c. Hadis Dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau
seluruh syarat hadis sahih atau hasan, misalnya, sanadnya ada
yang terputus, di antara periwayat ada yang pendusta atau
tidak dikenal, dan lain-lain. Seperti halnya hadis Hasan itu
dapat naik tingkatannya menjadi shahih ada hadis dha’if
tertentu yang dapat naik tingkatan menjadi Hasan li ghairih,
yaitu hadis yang di dalam sanadnya terdapat periwayat yang
tidak terkenal di kalangan ulama Hadis. Orang tersebut tidak

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 51


Buku ini untuk kalangan sendiri
dikenal banyak salah, tidak pula dikenal berdusta. Kemudian,
hadis ini dikuatkan oleh hadis yang sama melalui jalur lain.
Penggolongan hadis ini mempunyai akibat dalam bidang
penetapan hukum bagi hadis mutawatir dan masyhur bernilai yakin dan
absolut kebenarannya, maka hadis dalam kategori ini wajib digunakan
sebagai dalil syara’. Sedangkan bagi hadis ahad yang shahih dan
hasan juga dapat dijadikan sebagai dalil syara’, sedangkan untuk hadis
ahad yang dhaif dalam penetapan hukum tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah.

3. Ro’yu
Sebagai sumber Hukum Islam ke III adalah RO’YU atau akal.
Dasar Ro’yu sebagai sumber Hukum Islam ke III yaitu:
1) Dalam Al-Qur’an, berlainan dari Kitab Suci apapun terdapat
lebih dari 50 anjuran tentang berfikir dan mempergunakan akal.
2) Hadist Nabi, tentang pengutusan MUADZ BIN JABAL sebagai
Gubernur YAMAN, dimana sebelum berangkat ia telah diuji
oleh Rosulullah dan terjadilah suatu dialog:
- Tanya Nabi : Dengan apa kau mengatakan hukum?
- Jawab Muadz : Dengan Kitab Allah!
- Tanya Nabi : Kalau kamu tidak mendapatkan di
sana?
- Jawab Muadz : Dengan Sunah Rasulullah!
- Tanya Nabi : Kalau kamu tidak dapati disana?
- Jawab Muadz : Saya akan berijtihad dengan Ro’yu
(Akal)
Sabda Nabi : “segala puji bagi Allah yang telah
memberikan petunjuk kepada utusan Rosulnya untuk
mendapatkan hal yang disukai oleh Allah dan Rosulnya.” (HR.
Akhmad, Abu Daud, Turmudzi).
Berdasarkan Hadist yang termasyhur tersebut dan didorong
banyaknya problem baru karena bertambah luasnya wilayah Islam,

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 52


Buku ini untuk kalangan sendiri
maka timbullah banyak Ahli Hukum Islam yang karena kesungguhan
mereka yang luar biasa dalam mempelajari / mendalami agama Islam
terutama segi yang bersangkutan dengan hukum, telah mendapat
pengakuan umum sebagai Mujtahid.
Ro’yu sebagai sumber Hukum Islam ke III dilakukan dengan
IJTIHAD yang dapat dilakukan dengan cara: qiyas (reasoning by
analogi), ijma’ (consensus), Masalah Al-Mursalah/Maslahat (utility),
Istihson (preference), Urf (Custom), dll.
Perkataan ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan
yang artinya bersungguh-sungguh, menurut pengertian secara
istilahnya ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk
menetapkan hukum-hukum syariat, dengan jalan mengeluarkannya dari
Al-Qur’an dan Sunnah atau menghabiskan kesanggupan seorang ahli
fiqih untuk menghasilkan sangkaan (zhann) dengan menetapkan suatu
hukum. Orang yang melakukannya disebut dengan mujtahid.
Abu Zahra menjelaskan tentang makna ijtihad adalah
mengerahkan segala kemampuan yang terdapat pada seorang ahli
hukum Islam dalam menggali hukum Islam yang bersifat praktis dari
dalil yang terperinci. Berdasarkan penjelasan di atas bahwa ijtihad
mencari suatu kandungan hukum dengan menggunakan kemampuan
akal pikiran oleh seorang atau beberapa orang fuqaha, namun tetap
beracun dengan Al-Quran dan Hadis, sehingga ijtihad ini akan
menemukan suatu hukum yang baru dan dapat diamalkan oleh umat
Islam. Jadi ijtihad ini menggunakan akal (ra’yu) sebagai alat utamanya.
Berdasarkan hal ini maka ijtihad dapat dijadikan salah satu sumber
hukum Islam sesudah Al-Quran dan Hadis.
Menurut Ibrahim Husein akal (ra’yu) digunakan sepenuhnya
ketika berijtihad, sedangkan porsi ijtihad sebagai metode istibanth
hukum dan penerapannya terdapat dua masalah yaitu: pertama,
Masalah yang ditentukan dalil-dalilnya dari Al-Quran dan sunnah tetapi
keadaannya zhanni dilalah (kekaburan hukum), penyelesaiannya
adalah para ulama fiqh berusaha untuk mencari kandungan hukum

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 53


Buku ini untuk kalangan sendiri
pada dalil tersebut. Kedua, Masalah yang sama sekali tidak ada
terdapat dalilnya dari Al-Quran, Hadis dan ijma, maka penyelesaiannya
digunakan berbagai pendekatan yaitu metode ijtihad seperti qiyas untuk
mendapatkan suatu hukum dari permasalahan yang ada di masyarakat.
Pentingnya peranan ra’yu dalam melakukan ijtihad ulama fiqh
sepakat untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
orang yang akan berijtihad. Syarat-syarat yang dimaksud itu adalah:
1. Mengetahui isi Al-Quran dengan segala seluk beluknya (ulama
Al-Quran), baik dari sisi pengetahuan bahasanya atau makna-
makna yang terkandung di dalamnya, terutama mujtahid harus
mengenal bahasa Arab dan pengetahuan syariat yang
terkandung di dalam Al-Quran dan Sunnah.
2. Mengetahui Sunnah, mujtahid harus mengetahui pengetahuan
tentang hadis, sanad, rawi, matan, dan sebab-sebab
munculnya hadis (asbabul wurudh).
3. Mengetahui seluruh masalah yang hukumnya telah ditetapkan
oleh ijma’.
4. Memahami dan mampu menerapkan metode istinbath hukum.
5. Mengetahui ilmu bahasa Arab dan seluk beluknya.
6. Mengetahui kaidah-kaidah hukum islam dan memiliki
kemampuan mengolah dan menganalisis dalil-dalil hukum
untuk menghasilkan ketetapan hukum yang dimaksud.
7. Mengetahui maqasidh syari’ah, prinsip-prinsip umum dan
semangat ajaran Islam.
8. Memiliki akhlak terpuji dan niat ikhlas dalam berijtihad.
Dalam melakukan ijtihad ada beberapa ada beberapa metode
ijtihad yang dapat dilakukan oleh seorang mujtahid, yaitu:
a. Ijma’
Ijma’ diartikan sebagai kesepakatan terhadap sesuatu,
dalam pengertiannya ijma adalah kesepakatan semua mujtahid
dalam menyelesaikan suatu masalah hukum pada masa yaitu
setelah Rasulullah SAW wafat. Jadi ketika terjadi suatu

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 54


Buku ini untuk kalangan sendiri
permasalahan yang tidak ada penyelesaiannya di dalam Al-
Quran dan Sunnah para sahabat berkumpul untuk
membicarakan permasalahan tersebut sehingga menemukan
suatu hukum dengan jalan musyawarah, ketetapan hukum ini
biada disebut dengan ijma sahabat. Ijma para sahabat ini
mempunyai kedudukan tertinggi dengan alasan bahwa para
sahabat adalah orang-orang terdekat Rasulullah SAW.
Sedangkan di zaman ketika para sahabat sudah
meninggal dunia sampai sekarang maka ketetapan hukum baru
yang dihasilkan dengan jalan musyawarah untuk mencapai
kesepakatan biasa disebut dengan ijma ulama, karena para
ulama adalah warisan dari Rasulullah SAW.
b. Qiyas
Qiyas berasal dari kata qasa yaqisu qaisan yaitu artinya
mengukur dan ukuran. Kata qiyas ini dapat diartikan ukuran,
sukatan, timbangan dan lainnya yang berarti dengan itu, atau
pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan
sesuatu dengan yang sejenisnya, atau penjelasan lain yaitu
menetapkan semisal hukum yang diketahui pada hukum lain
yang diketahui karena persekutuan (persamaan) illat hukum.
Menurut pendapat H.M Rasjidi qiyas adalah menyamakan
hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-
Quran dan sunnah dengan hal (lain) yang hukumnya disebut
dalam Al-Quran atau sunnah karena adanya persamaan illat
penyebab atau alasan, sehingga qiyas harus mempergunakan
akal dan budi untuk membandingkan suatu hal dengan hal
lainnya.
c. Istihsan
Istihsan secara sederhana dapat diartikan sebagai
berpaling dari ketetapan dalil khusus kepada ketetapan dalil
umum, dengan kata lain meninggalkan satu dalil beralih kepada
dalil yang lebih kuat atau membandingkan satu dalil dengan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 55


Buku ini untuk kalangan sendiri
dalil lainnya untuk menetapkan hukum. Hal ini dilakukan untuk
memilih yang lebih baik demi memenuhi tuntutan kemaslahatan
dan tujuan syariat.
Metode ini dapat diterapkan untuk menyelesaikan
masalah, seperti konflik kepentingan beberapa pihak, jadi
dengan metode ini akan diambil keputusan untuk kemaslahatan
umat yang lebih banyak, misalnya ada konflik tentang
bangunan masjid yang ternyata bangunan itu menghalangi
perluasan jalan, pada hukum awalnya tidak boleh merusak atau
menghancurkan rumah ibadah, namum dengan tujuan untuk
kemaslahatan umum, bangunan masjid ini bisa dipindahkan ke
tempat yang lain.
d. Maslahah Mursalah
Kata maslahah berarti kepentingan hidup manusia,
sedangkan kata mursalah berarti sesuatu yang tidak ada
ketentuan nash syariah yang menguatkan atau
membatalkannya. Metode ini adalah salah satu cara dalam
menetapkan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah
di mana ketetapannya sama sekali tidak disebutkan dalam
nash dengan pertimbangan untuk mengatur kemaslahatan
hidup manusia. Prinsipnya adalah menarik manfaat dan
menghindarkan kerusakan dalam upaya memelihara tujuan
hukum yang lepas dari ketetapan dalil syara’.
Maslahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan hukum jika:
1) Masalah ini bersifat esesial atas dasar penelitian,
observasi dan melalui analisis pembahasan yang
mendalam, sehingga penetapan hukum terhadap
masalah benar-benar manfaat dan menghindarkan
mudharat.
2) Masalah itu bersifat umum, bukan kepentingan
perseorangan, tetapi bermanfaat untuk orang banyak.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 56


Buku ini untuk kalangan sendiri
3) Masalah itu tidak bertentangan nash dan terpenuhinya
kepentingan hidup manusia serta terhindar dari kesulitan.
Membuat ketetapan hukum bagi suatu kasus yang
didasarkan maslahah mursalah dalam praktek ijtihad
merupakan suatu metode yang memberi kesempatan luas
untuk mengembangkan hukum di bidang muamalah, karena
dalil-dalil yang berkaitan dengan bidang muamalah bersifat
global atau prinsip-prinsipnya saja dan jumlahnya tidak banyak,
sedangkan pola kehidupan manusia selalu ada perubahan oleh
karena itu banyak kejadian di mana para mujtahid dapat
menggunakan metode ini untuk menghasilkan suatu hukum
yang baru dari kejadian yang ada di tengah-tengah masyarakat.
e. Istishhab
Istishhab adalah menjadikan ketetapan hukum yang ada
tetap berlaku hingga ada ketentuan dalil yang mengubahnya,
yaitu mengembalikan segala sesuatu pada ketentuan semula
selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, seperti hukum
berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan, makanan dan
minuman dengan asal hukum adalah mubah, maka selama
tidak ada dalil yang mengharamkan hukumnya tidak berubah.
Jadi istishhab ini adalah pertama, memberlakukan
ketetapan akal tentang bolehnya sesuatu jika tidak ditemui dalil
yang mengubahnya. Kedua tetap memberlakukan hukum
syara’ berdasarkan ketentuan suatu dalil seperti seseorang
yang sudah berwudhu, kemudian dia ragu-ragu apakah
wudhunya sudah batal atau belum maka dengan metode
istishhab ini keragu-raguan tidak membatalkan wudhu karena
keragu-raguan tidak menghilangkan keyakinan.
Berdasarkan penjelasan di atas ishtishhab tidak
melahirkan hukum baru dalam satu kasus melainkan tetap
berlakunya hukum akal mengenai kebolehan suatu hal selama
tidak bertentangan dengan syara’ dan tetap memberlakukan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 57


Buku ini untuk kalangan sendiri
hukum syara’ bagi suatu kasus atas dasar terpenuhinya sebab
terjadinya hukum.
f. Urf (adat)
Adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam dapat dikukuhkan agar tetap terus berlaku untuk
masyarakat yang bersangkutan, adat istiadat yang dimaksud
pada pembahasan ini adalah permasalahan sekitar muamalah.
Menurut Rahmat Syafi’i dalam hukum Islam Urf adalah adat
yang secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan
atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi
tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkan. Setiap urf
akan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan
zamannya, sehingga urf tidak berlaku universal atau lokal,
tetapi urf ini bisa saja hanya berlaku pada suatu desa saja,
asalkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’. Jadi urf ini
terjadi karena gejala sosial yang terbentuk karena adanya
interaksi para manusia.
Berijtihad dengan metode urf ini jika apabila adat yang
berlaku secara normatif tidak bertentangan dengan hukum
syara’. Dalam hukum Islam ada dua jenis urf yang biasa terjadi
di tengah-tengah masyarakat yaitu:
1) Adat shahihah, yaitu adat yang merupakan kebiasaan
masyarakat yang tidak bertentangan dengan hukum yang
lebih tinggi bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, tidak
bertentangan dengan akal sehat, dan juga tidak
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, dan
apabila dilaksanakan akan mendatangkan kemaslahatan
bagi masyarakat.
2) Adat fasidah, yaitu adat yang rusak, sebagaimana adat
kebiasaan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi
bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, akal sehat, serta
undang-undang yang berlaku, dan juga adat ini jika

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 58


Buku ini untuk kalangan sendiri
diterapkan di masyarakat akan memberikan mudharat
bagi masyarakat itu sendiri atau yang lainnya.
g. Dzari’ah
Dzari’ah ini mempunyai arti jalan menuju sesuatu. Dalam
hukum Islam dzari’at merupakan salah satu metode ijtihad
dengan pembagian sebagai berikut:
1) Sadd dzari’ah adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang
semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu
kerusakan, yang pada hakikatnya adalah segala sesuatu
yang mengakibatkan kemudharatan harus dihindari.
2) Fath adz dzari’ah merupakan bagian dari dzari’ah yang
artinya membuka segala sesuatu yang dapat
menimbulkan kerusakan atau kemudharatan, sehingga
jalan-jalan yang akan melancarkan terjadinya kerusakan
wajib dihindarkan. Seperti menghindari tempat-tempat
yang akan menjerumuskan pada perbuatan zina, karena
perbuatan zina adalah perbutan haram yang akan
mendatangkan kemudharatan.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 59


Buku ini untuk kalangan sendiri
BAB VI
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A. Perkembangan Hukum Islam sebelum kemerdekaan Indonesia


Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke
tujuh sampai abad ke delapanmasehi. Ini mungkin didasarkan kepada
penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah
binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M.
Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang
mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada
tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana
selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di
anggap sebagai awal masuknya agama islam ke Indonesia.
Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk islamnya penguasa
kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama islam
hampir meliputi sebagai besar wilayah Indonesia. Sejak pertengahan abad
ke XIX, agama islam di Indonesiasecara bertahap mulai meninggalkan
sifat-sifatnya yang Singkretik (mistik). Setelah banyak orang Indonesia
yang mengadakan hubungan dengan Mekkah dengan cara menunaikan
ibadah haji, dan sebagiannya ada yang bermukim bertahun-tahun
lamanya. Berikut ini daerah-daerah yang pertama dikunjungi ialah :
1) Pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur,
kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam pertama
di Samudera Pasai, Aceh Utara;
2) Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama
beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja
Pahit.
Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia kita tak lepas dari
para wali-wali kita yang di sebut dengan wali sembilan (wali songo) yang
dengan ketulusan mereka dan pengorbanan mereka sehinnga Islam dapat
tersebar di Indonesia wali songo tersebut adalah:

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 60


Buku ini untuk kalangan sendiri
a. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi
menyebarkan Islam di Jawa Timur.
b. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan
Islam di daerah Ampel Surabaya.
c. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli
Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang
(Tuban).
d. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah
Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
e. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di
daerah Bukit Giri (Gresik)
f. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan
ajaran Islam di daerah Kudus.
g. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya
menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
h. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden
Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
i. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah,
menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon)
Ada tiga tahapan “masa” yang di lalui atau pergerakan islam
sebelum kemerdekaan, yaitu:
1. Pada Masa Kesultanan
Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan
Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera
Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam
mempengaruhi kehidupan agama, social dan politik penganut-
penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama islam itu
telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan
tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka.
Salah satu buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan
peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 61


Buku ini untuk kalangan sendiri
Dikerajaan Banjar dengan masuk islamnya raja banjar.
Perkembangan islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja
menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya
membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-
benar bersendikan islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di
kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi
atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang
Fiqih dan Tasawuf.
Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai
kebudayaan jawa, ia banyak memberikan kelonggaran pada
sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini
memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak
mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo
sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau
Jawa.
Menurut buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan
Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir
kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel
dan sunan Giri, maksud agam islam dan agama Budha itu sama,
hanya cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak
melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama
islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan
tanpa paksaan atau pun kekerasan.

2. Pada Masa Penjajahan


Dengan datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia
yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia,
dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang
beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama
dagang teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul
daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk
menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 62


Buku ini untuk kalangan sendiri
kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia
untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan
rempah-rempah, kemudian mereka ingin memonopoli
perdagangan tersebut.
Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah
islam, karena mereka belum mengetahui ajaran islam dan bahasa
Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun
1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para
bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka
agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara dibidang
perkawinan dan kewarisan.
Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan
instruksi ini. Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka lebih
tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana,
untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun
yang bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu
pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama
yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan,
kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang
ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab,
pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai
pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan
Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan
politik islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah islam
dalam tiga kategori :
a. Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada
umat islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak
mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 63


Buku ini untuk kalangan sendiri
Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak
bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c. Bidang politik
Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-
Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik
kenegaraan dan ketata negaraan.

3. Pada Masa Kemerdekaan


Masa seteleh diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia,
bisa kita sebut sebagai Rezim Orde lama , dimana Soekarno
bertindak sebagai kepala negara. Pemerintahan Soekarno yang
berlangsung sejak tahun 1945 nyatanya bisa katagorikan kedalam
dua kelompok besar, yakni masa Demokrasi Liberal (1945-1958)
dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966).
1) Islam masa Revolusi dan Demokrasi Liberal
Pada awal kemerdekannya, Indonesia menghadapi
sebuah pertanyaan besar , apakah pemerintahan akan
dijalankan berlandaskan ajaran agama Islam ataukah
secara sekuler? Hal ini dipicu oleh tindakan
dimentahkannya kembali Piagam Jakarta. Kedudukan
golongan Islam merosot dan dianggap tidak bisa mewakili
jumlah keseluruhan umat Islam yang merupakan mayoritas.
Misalnya saja, dalam KNIP dari 137 anggotanya, umat
islam hanya diwakili oleh 20 orang, di BPKNIP yang
beranggotakan 15 orang hanya 2 orang tokoh Islam yang
dilibatkan. Belum lagi dalam kabinet, hanya Menteri
Pekerjaan umun dan Menteri Negara yang di percayakan
kepada tokoh Islam, padahal Umat Islam mencapai 90% di
Indonesia.
Dalam usaha untuk menyelesaikan masalah
perdebata ideologi diambilah beberapa keputusan , salah
stunya adalah dengan mendirikan Kementrian Agama.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 64


Buku ini untuk kalangan sendiri
2) Pembentukan Kementrian Agama
Pembentukan Kementrian Agama ini tidak lepas dari
keputusan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dalam
sidangnya pada tanggal 25-26 Agustus 1945 yang
membahas agar dalam Indonesia yang merdeka ini soal-
soal keagamaan digarap oleh suatu kementrian tersendiri,
tidak lagi bagian tanggung jawab kementrian Pendidikan.
Kementrian Agama resmi berdiri 3 Januari 1946 dengan
Menteri Agama pertama M. Rasyidi yang diangkat pada 12
Maret 1946.
Awalnya kementrian ini terdiri dari tiga seksi,
kemudian menjadi empat seksi masing-masing untuk kaum
Muslimin, Potestan, Katolik Roma, dan Hindu-Budha. Kini
strukturnya pun berkembang, terdiri dari lima Direktorat
Jenderal (Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dan
Bimbingan Haji, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Bimbingan masyarakat Katolik, Ditjen Bimbingan
Protestan dan Ditjen Bimbingan Hindu-Budha) juga dibantu
oleh Inspektorat Jenderal, Sekertariat Jenderal, Badan
Penelitian dan Pembangunan (Balitbang) Agama serta
Pusat pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Pegawai.
Tujuan dan Fungsi Kementrian Agama (dirumuskan
pada 1967) :
a. Mengurus serta mengatur pendidikan agama di
sekolah-sekolah serta membimbing perguruan-
perguruan agama.
b. Mengikuti dan memperhatikan hal yang
bersangkutan dengan Agama dan keagamaan.
c. Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
d. Mengurus dan mengatur peradilan agama serta
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan
hukum agama.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 65


Buku ini untuk kalangan sendiri
e. Mengurus dan mengembangkan IAIN, perguruan
tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta
mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada
perguruan-perguruan tinggi.
f. Mengatur, mengurus dan mengawasi
penyelenggaraan ibadah haji.
Meskipun Departemen Agama dibentuk, namun tidak
meredakan konflik ideologi pada masa sesudahnya.
Setelah Wakil Presiden mengeluarkan maklumat No.X
pada 3 November 1945 tentang diperbolehkannya
pendirian partai-partai politik, tiga kekuatan yang
sebelumnya bertikai muncul kembali, Masyumi (majlis
Syuro Muslimin Indonesia), Partai Sosialis (dengan falsafah
hidup Marxis ) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang
Nasionalis Sekuler. Setelah pemilu tahun 1955, banyak
terjadi dialog ideologi secara terbuka dan memunculkan
tiga alternatif dasar negara, yaitu : Islam, Pancasila dan
Sosial Ekonomi.
Pada kurun waktu ini , umat Islam begitu kompak ,
buktinya dengan ditandatanganinya Kongres Umat Islam
Indonesia pada tanggal 7-8 November di Yogyakarta.
Selain itu, dalam menghadapi pasukan Belanda yang
kembali setelah diboncengi NICA, para Kiyai dan Tokoh
Islam mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan
kemerdekaan merupakan fardhu a’in, sehingga munculah
barisan Sabilillah dan Hizbullah. Hasil terpenting dari
kongres ini adalah terbentuknya suatu wadah perjuangan
politik Indonesia.
Disisi lain, Syahrir yang merupakan pimpinan KNIP
mendesak untuk dilakukannya rekonstruksi KNIP melalui
petisi 50 negara KNIP, tujuannya agar kkabinet tak
didominasi oleh kolaborator (jepang dan Belanda).

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 66


Buku ini untuk kalangan sendiri
Desakan ini kemudian dikabulkan oleh Presiden, dengan
demikian KNIP mendapatkan Hak legislatif untuk
mengontrol jalannya pemerintahan. Selain itu, Syahrir dan
kelompoknya juga mendesak untuk dilakukannya
perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan Republik,
kabinet bukan bertanggung jawab kepada Presiden, tapi
kepada KNIP, dengan begitu sistem pemerintahan bukan
lagi presidentil, tetapi Parlementer. Masyumi kurang sejalan
dengan usulan Syahrir karena pada kenyatannya Syahrir
sangat erat berhubungan dengan Jepang dan ekspensor
Belanda. Presiden pada waktu itu setuju dengan usulan
Syahrir, bahkan kemudian Syahrir diangkat menjadi
Perdana Menteri pada 14 November 1945. Hasilnya, dari
14 anggota parlemen, hanya satu orang yang dapat
dianggap mewakili tokoh Umat Islam, yaitu H. Rasyidi yang
kemudian bertamabah pada 3 Januari 1946 dengan
diangkatnya M. Natsir sebagai Menteri Penerangan. Sejak
saat itu, Masyumi menjadi oposisi dan baru pada Kabinet
Amir Syarfudin Masyumi masuk sebagai partai koalisi.
Selanjutnya dalam kabinet Hatta, ada empat
masalah krusial yang harus dselesaikan, yaitu gerakan
Darul Islam, konsekuensi Perjanjian Renville, penyerahan
kedaulatan melalui KMB dan penanganan pemberontakan
PKI pada 1948 di Madiun. Dalam kurun waktu 1950-1955
peranan parpol Islam mengalami pasang surut.
Setelah pemilu 1955 dimana terpilihnya Kabinet Ali
Sostroamidjoyo II yang merupakan koalisi PNI, Masyumi
dan NU. Kabinet ini kemudian jatuh pada 1957 karena ingin
ikut serta dalam kekuasaan pemerintahan, selain itu Perti
dan Masyumi pun keluar dari kabinet karena kurang setuju
dengan kebijakan dalam menangani krisis di beberapa
daerah. Pemerintahan pun diambil alih oleh Presiden. Pada

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 67


Buku ini untuk kalangan sendiri
1959, dikeluarkanlah Dekrit Presiden tentang pembubaran
konstituante dan sekaligus pemberlakuan kembali Undang-
undang Dasar taun 1945 dan usaha-usaha partai Islam
untuk menegakan sIslam sebagai ideologi negara dalam
konstituante pun mengalami jalan buntu. Dekrit ini
sebenarnya ingin mengambil jalan tengah untuk
menyatakan bahwa Piagam Jakarta terkandung dalam
UUD 1945, namun tampaknya kemudian menjadi awal
bergantinya sistem demokrasi Liberal berganti menjadi
demokrasi terpimpin.

B. Perkembangan Hukum Islam Sesudah Kemerdekaan Indonesia


Hukum Islam bila dilihat dari aspek perumusan dasar negara
yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), yaitu para pemimpin Islam berusaha
mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka ini.
Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia yaitu
lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah
disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar pada Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Namun,
adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut
dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata
“Yang Maha Esa”.
Setelah Indonesia merdeka dan berlakunya UUD 1945, Indische
Staats Regeling (IS) digantikan fungsinya oleh UUD 1945 yang
sekaligus mengakhiri berlakunya teori receptie. Menurut Prof. Hazairin
Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam Universitas Indonesia, sejak
proklamasi itu teori receptie sebagai teori ‘Iblis’ secara konstitusional
tidak berlaku lagi di dalam tata hukum di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 yang dijiwai oleh semangat
“Piagam Jakarta”, kedudukan hukum Islam diakui keberadaannya di
dalam sistem hukum di Indonesia. Hal itu sesuai dengan pemikiran

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 68


Buku ini untuk kalangan sendiri
pakar hukum Islam Prof. Dr. Hazairin, sebagaimana yang dikutip oleh
muridnya, Muhammad Daud Ali, bahwa pengganti dari tujuh kata yang
terdapat dalam Piagam Jakarta diganti dengan “Yang Maha Esa”,
mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29 ayat
10 UUD 1945 bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa. Hal itu, hanya dapat ditafsirkan antara lain sebagai berikut:
1. Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau
berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hukum Islam
bagi umat Islam, kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau
agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang
bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha bagi orang
Buddha. Hal ini berarti di dalam wilayah negara Republik
Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang
bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan
kesusilaan bangsa Indonesia;
2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi
orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at
Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali.
Menurut Ismail Sunny setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945
berlaku sebagai dasar negara kendati tanpa memuat ketujuh kata dari
Piagam Jakarta, maka teori receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan
kehilangan dasar hukumnya. Selanjutnya hukum Islam berlaku bagi
bangsa Indonesia yang beragama sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945.
Era ini disebut Sunny sebagai Periode Penerimaan Hukum Islam
sebagai sumber Persuasif (Persuasive source).
Selanjutnya dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam
Dikrit Presiden RI 5 Juli 1959, maka era ini dapat dikatakan era
penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif (authoritative
source). Sehingga sering kali disebut bahwa Piagam Jakarta menjiwai
Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan
dalam konstitusi tersebut. Kata menjiwai bisa bermakna negatif dalam
arti tidak boleh dibuat peraturan perundang-undangan dalam negara RI

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 69


Buku ini untuk kalangan sendiri
yang bertentangan dengan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Secara positif maknanya adalah pemeluk-pemeluk yang beragama
Islam diwajibkan menjalankan syari’at Islam. Untuk itu diperlukan
undang-undang yang akan memberlakukan hukum Islam dalam hukum
nasional.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah diasumsikan, bahwa
keberadaan hukum Islam di Indonesia diterima dengan baik oleh
masyara’at Indonesia, sehingga Islam berkembang dengan cepat ke
seluruh penjuru nusantara ini. Keberadaan hukum Islam telah
dibuktikan dengan beberapa teori yang dikemukakan oleh para pakar
hukum, baik hukum dari Belanda maupun dari Indonesia sendiri.
Sementara kedudukan hukum Islam di negara Republik Indonesia,
tidak hanya sekedar diakui keberadaannya baik sebagai agama dan
hukum, malah lebih dari itu, hukum Islam diakui sebagai hukum dan
sumber hukum nasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan
perundang-undangan di Indonesia. Seperti UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
kemudian disempurnakan dengan UU No. 3 Tahun 2006, Inpres No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, UU
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan undang-undang
lainnya. Semuanya ini merupakan cerminan dari penjabaran Pancasila
dan UUD 1945.
Ajaran islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat
dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah
yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus
melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi. Untuk
mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka
Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor
pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 70


Buku ini untuk kalangan sendiri
Ala Indonesia (Majelis Islam Tertinggi di Indonesia) yang disingkat
MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.

BAB VII
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

1. Kedudukan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia


Hukum Islam telah hadir dan berkembang di Indonesia
sejak Islam hadir di Nusantara ini, yakni sejak abad pertama
Hijriyah. Agama Islam yang dibawa pedagang dari tanah Arab
ini diterima dan berkembang dengan cepat di Indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional
tidak menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi mayoritas

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 71


Buku ini untuk kalangan sendiri
penduduknya beragama Islam. Sebagian hukum Islam telah
berlaku di Indonesia sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam
sampai sekarang, bahkan hukum Islam sudah menjadi sumber
hukum utama Indonesia.
Hukum Islam merupakan salah satu sistem hukum
yang berlaku di dunia sekarang. Indonesia juga
memberlakukan sistem hukum Islam, selain sistem hukum yang
lain. Hukum Islam di Indonesia bila dilihat dari aspek
perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu
para pemimpin Islam berusaha mendudukkan hukum Islam
dalam negara Indonesia merdeka ini. Dalam tahap awal, usaha
para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam
Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh
pendiri negara bahwa negara berdasar kepada Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak
Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD
1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa”. Setelah
Indonesia merdeka dan berlakunya UUD 1945, Indische Staats
Regeling (IS) digantikan fungsinya oleh UUD 1945 yang
sekaligus mengakhiri berlakunya teori receptie.
Berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 yang dijiwai oleh
semagat “Piagam Jakarta”, kedudukan hukum Islam diakui
keberadaannya di dalam sistem hukum di Indonesia. Amanat
Pasal 29 (2) UUD 1945 memberikan wewenang kepada negara
untuk membentuk hukum nasional yang salah satu bahan
dasarnya adalah hukum agama.
Secara normatif, hukum Islam yang belaku di Indonesia
adalah hukum Islam dalam bidang muamalah. Muamalah
adalah hukum yang mengatur hubungan antar manusia dan
alam sekitarnya. Oleh karena itu, bagi masyarakat Indonesia

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 72


Buku ini untuk kalangan sendiri
yang beragama Islam secara normatif terikat oleh hukum Islam
yang telah diberlakukan, baik diberlakukan secara mandiri
sebagai peraturan perundang-undangan seperti UU No. 50
Tahun 2009 tentang Amandemen II UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, maupun hanya menjiwai dalam
peraturan perundang-undangan seperti UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia dibuktikan
dengan beberapa teori. Teori-teori ini dikemukakan pakar
hukum Belanda selama mereka berada di Indonesia, mereka
melihat perkembangan dan pelaksanaan hukum Islam di
Indonesia, dan sebagian dikemukakan oleh pakar hukum
Indonesia. Para pakar hukum Islam berbeda dalam
menetapkan teori yang berlaku bagi hukum Islam. Ada tujuh
teori yang dikemukakan oleh para pakarnya, antara lain: 1)
Teori kredo atau syahadat; 2) Teori Receptio in Complexu; 3)
Teori Receptie; 4) Teori Receptie Exit; 5) Teori Receptie a
Contrario; 6)Teori Eksistensi dan 7)Teori Recoin yang akan
dijelaskan sebagai berikut:
1) TEORI KREDO ATAU SYAHADAT: Teori yang
mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka
yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat sebagai
konsekuensi logis dari pengucapan syahadat tersebut.
2) TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU : teori yang
menyatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku
hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam
berlaku hukum Islam, demikian juga bagi Pemeluk
agama lain.
3) TEORI RECEPTIE : Teori yang mengatakan bahwa
hukum yang berlaku bagi orang Islam ialah hukum adat
mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku
apabila telah diresepsi oleh hukum adat.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 73


Buku ini untuk kalangan sendiri
4) TEORI RECEPTIE EXIT: Teori ini mengatakan bahwa
teori receptie tidak berlaku lagi di Indonesia dan keluar
dari ketatanegaraan Indonesia sejak tahun 1945
dengan merdekanya Indonesia dan berlaku UUD 1945
sebagai dasar negara. Menurut Teori Receptie Exit,
pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan
atau ketergantungan kepada hukum adat.
5) TEORI RECEPTIE A CONTRARIO: Teori ini
dikemukakan oleh murid Hazairin, yaitu Sayuti Thaib.
Menurutnya teori ini, bagi umat Islam yang berlaku
adalah hukum Islam, hukum adat baru dinyatakan
berlaku bila tidak bertentangan dengan agama Islam.
6) TEORI EKSISTENSI
Teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam
dalam hukum Nasional Indonesia. Bentuk eksistensi
hukum Islam dalam Hukum Nasional itu adalah “bahwa
Hukum Islam ADA sebagai”:
• bagian integral dari Hukum Nasional
• adanya kemandirian yang berkekuatan Hukum
Nasional
• penyaring bahan-bahan Hukum Nasional
• bahan utama dan unsur utama Hukum
Nasional
7) TEORI RECOIN
Inti teori recoin ini adalah penafsiran kontekstual
terhadap tekstual ayat Al-Qur’an.
Dasar pemikiran teori ini bahwa hukum yang diciptakan
Tuhan bagi manusia pasti adil, tidak mungkin Allah
menurunkan hukum yang tidak adil bagi manusia. Contoh
tentang waris Islam, pembagian waris Islam antara laki-laki dan
perempuan.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 74


Buku ini untuk kalangan sendiri
Pemberlakuan hukum Islam merupakan tanggung
jawab semua pihak. Para praktisi hukum, akademisi dan ulama’
seharusnya dapat bekerjasama menggali lebih banyak lagi
hukum Islam agar menjadi hukum positif di Indonesia. Di
samping itu sosialisasi keberlakuan hukum Islam juga harus
diupayakan secara terus menerus kepada seluruh kelompok
masyarakat terutama kepada masyarakat awam agar dapat
menyadari adanya berbagai macam hukum Islam sehingga
tidak memahami Islam hanya sebatas ritual ibadah.

2. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia


Pembaharuan berasal dari kata “baru” atau “baharu.
Baru memiliki pengertian yang cukup banyak, diantaranya ialah
“sebelumnya tidak ada atau belum pernah dilihat (diketahui,
didengar). Sedangkan pembaharuan berarti “perbuatan (cara
dan sebagainya) membaharui”.
Dalam bahasa arab kata yang semakna dengan kata
pembaharuan adalah “tajdid”. Kata “tajdid” menurut makna
etimologi mengandung tiga makna yang berkesinambungan,
tidak mungkin dipisahkan satu sama lainnya, dans etiap satu
makna membutuhkan makna yang lainnya. Ketiga makna yang
berkesinambungan itu ialah:
1) Sesuatu yang diperbarui itu sebelumnya sudah ada,
jelas eksistensinya nyata, dan diketahui oleh manusia;
2) Sesuatu itu telah “dimakan” zaman sehingga
mengalami kerusakan;
3) Sesuatu itu kemudian dikembalikan seperti keadaannya
semula, yaitu sebelum sesuatu itu rusak.
Hukum Islam yang dapat menerima perubahan atau
pembaharuan ini adalah hukum Islam di bidang muamalah (al-
ahkam al-muamalah). Hal ini dapat dipahami dari isyarat yang
diberikan Rasulullah SAW melalui sebuah hadist berikut ini:

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 75


Buku ini untuk kalangan sendiri
“kamu lebih tahu tentang urusan duniamu”. Hal yang berkaitan
dengan urusan dunia, termasuk bagian dari urusan muamalah,
yakni hubungan sesama manusia, seperti urusan perkawinan,
kewarisan, perwakafan dan lain-lain. Hukum muamalah
termasuk lapangan ijtihad. Ijtihad merupakan salah satu
sarana menuju arah pembaharuan.
Sebagian ulama yang dipelopori oleh Imam Asy-
Syaukani menyatakan bahwa ijtihad masih sangat terbuka. Ada
beberapa alasan kenapa Ijtihad masih terbuka.
1) Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam
yang dinamis menjadi kaku dan beku, sehingga Islam
suatu saat akan ditinggalkan oleh cepatnya perubahan
zaman. Sebab banyak kasus baru yang hukumnya
belum dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan
juga belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu.
2) Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan bagi
para ulama Islam untuk menciptakan pemikiran yang
baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber (dalil)
hukum Islam;
3) Membuka pintu Ijtihad berarti membuat setiap
permasalahan baru yang dihadapi umat Islam dapat
diketahui hukumnya, sehingga hukum Islam akan selalu
berkembang dan sanggup menjawab tantangan zaman.
Terlebih wilayah ijtihad yang dimaksud hanya
memasuki pada wilayah teks yang dzanniyatu al-
dalalah.
Jadi pembaharuan hukum Islam berarti gerakan ijtihad
untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab
permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik
menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada
ketentuan hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 76


Buku ini untuk kalangan sendiri
menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi
dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang.
Ketentuan hukum di sini adalah ketentuan hukum Islam dalam
kategori fiqih, yang merupakan hadil ijtihad para ulama, bukan
ketentuan hukum Islam yang dalam kategori syariat.
Dalam proses perubahan dan pembaharuan hukum
Islam, perlu diperhatikan apa yang dikemukakan oleh Abd al-
Wahab Khalaf dan Muhammad Ali Sayis, yaitu:
1) Hukum yang bersumber dari nas yang sarih (tegas) dan
qath’i terhadap objeknya (unsur materiil) yang tidak
memberi peluang bagi akal untuk menemukan
hukumnya, selain dari hukum yang ditegaskan nas
secara tertentu atau karena illatnya qasirah (terbatas
pada hukum asl), maka tidak boleh dilakukan ijtihad
(sehingga tidak mungkin berubah), tetapi harus
mengikuti ketentuan nas, seperti ketentuan tentang
beberapa kewajiban dasar: shalat, zakat, puasa dan
haji;
2) Hukum yang bersumber dari nas yang zanni al-dalalah
terhadap objek hukum dan terdapat peluang bagi akal
untuk berijtihad (mencari objek lain yang ditunjuki juga
oleh nas itu), maka diboleh berijtihad untuk mencari
sasarannya yang tepat, tetapi terbatas pada
pemahaman nas dan tidak boleh keluar dari
jangkaunnya, seperti kebanyakan hukum tentang
muamalah;
3) Hukum yang sumbernya bukan nas tetapi telah terjadi
kesepakatan tentang hukum sesuatu objek tertentu
(ijma’), maka disini pun tidak terdapat peluang ijtihad
selain mengkaji kebenaran terjadinya ijmak itu seperti
memberikan hak waris 1/6 (satu perenam) kepada
nenek;

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 77


Buku ini untuk kalangan sendiri
4) Hukum yang sumbernya bukan nas tertentu terhadap
sesuatu objek hukum tertentu, seperti kebanyakan dari
hukum fiqhiyyah dalam berbagai madzhab, maka di sini
terbuka peluang ijtihad mengkaji ulang di mana terbuka
kemungkinan terjadinya perubahan hukum sejalan
dengan perubahan sosial. Dalam kelompok ini
termasuk peristiwa baru yang belum terjamah oleh
ijtihad ulama masa lalu, contohnya menetapkan hukum
haram pemakaian alat kontrasepsi vasektomi dan
tubektomi yang mengakibatkan kemandulan abadi
(ta’di al-nasl) dan mengubahnya menjadi halal apabila
alat tersebut tidak lagi mengakibatkan kemandulan
abadi.
Memperhatikan uraian-uraian di atas, maka
pembaharuan hukum Islam adalah keniscayaan, suatu
keharusan malah suatu kewajiban mutlak untuk dilakukan demi
untuk memperoleh kemaslahatan bagi umat Islam sebagai
pelaksana hukum Islam itu sendiri dan masyarakat umumnya.
Di Indonesia gagasan pembaharuan hukum Islam
selalu mendapatkan dukungan, baik oleh kalangan tradisional
(Nahdhatul Ulama) maupun modernis (trademark
Muhammadiyah) meskipun dalam wujud dan tekanan yang
tidak sama. Tokoh nasionalis dan modernis Indonesia selalu
melakukan perubahan dan pembaharuan hukum Islam di
Indonesia. Gagasan pembaharuan Islam sesuai dengan situasi
dan kondisi Indonesia mengejawantah. Contohnya Gus Dur,
gagasan pribumisasi Islam. Gagasan serupa pernah
dikemukakan oleh Hazairin: “apakah hukum dalam masyarakat
kita selaras dengan kemauan Islam, tergantung kepada adanya
mujtahid-mujtahid yang mengenal jiwa rakyat Islam kita itu dan
yang mengenal ilmu hukum umumnya, sehingga ia dapat
menjelmakan dari Al-Qur’an dengan berpedoman cara kepada

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 78


Buku ini untuk kalangan sendiri
hadist, pembaharuan hukum fiqih yang sebanyak mungkin
bersesuaian dengan jiwa rakyat dan masyarakatnya”.
Pembaharuan Islam di Indonesia sudah ada sejak
lahirnya UU No. 22 Tahun 1946 tapi belum begitu tampak
perubahan yang signifikan, karena UU tersebut tidak berlaku
secara efektif. Akan tetapi sejak berlakunya UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pembaharuan hukum Islam lebih
konkrit, diikuti dengan disahkannya UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Sampai saat ini sudah banyak sekali
perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam. ini
membuktikan bahwa pembaharuan hukum Islam yang sesuai
dengan keadaan dan kondisi sekarang, era reformasi dan
globalisasi sangat dibutuhkan umat Islam Indonesia. Hukum
Islam diakui elastisitasnya dan keuniversalannya.
Gerakan reformasi di Indonesia yang telah dicapai pada
pokoknya adalah berhasilnya mereka memasukkan pola
pendidikan modern yang diorganisasikan secara formil. Arti
yang sebenarnya dari Gerakan Reformasi dan Modernisasi
ialah khususnya mengenai pembaharuan di dalam hukum Islam
dengan cara mengadakan penilaian kembali dari seluruh sistem
ajaran, struktur sosial dan cara berfikir kaum muslimin
khususnya tentang pelaksanaan dari pada ketentuan-ketentuan
hukum Islam terhadap hal-hal/keadaan yang baru dengan
dihubungkan pada dasar yang pokok yaitu Al-Qur’an dan Al-
Sunnah, sehingga semangat baru dapat tumbuh dengannya.
Kata-kata reformasi dan modernisasi tumbuh oleh
karena banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang seolah-
olah dirasakan tidak sesuai dengan zaman sekarang. Padahal
telah menjadi keyakinan umat iSlam bahwa hukum Islam
berlaku untuk semua waktu dan tempat. Oleh karena itu,
menjadi satu anggapan yang sama dari seluruh kaum reformasi
dan modenisasi bahwa sebab pokok kemunduran itu terletak

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 79


Buku ini untuk kalangan sendiri
pada kenyataan, bahwa mereka telah jauh meninggalkan
tuntutan yang sebenarnya yaitu Al-Qur’an dan Sunah Rosul.
Program Muhammad Abduh memperoleh bentuknya
yang lebih nyata dalam gerakan pembaharuan di Indonesia
seperti tokok-tokoh A. Hasan, Ahmad Dahlan, Ahmad
Syurkatiy. Sedang program garapannya yang utama bagi
gerakan pembaharuan ini terbagi dalam 4 program pokok,
yaitu:
1) Mensucikan Islam dari pengaruh yang salah yang
bersifat penyelewenangan yang tidak dibenarkan
(kebid’ahan);
2) Pembaharuan pendidikan yang bermutu tinggi dari
kamu Muslimin;
3) Pembaharuan ajaran Hukum Islam menurut alam dan
fikiran modern;
4) Pembelaan Hukum Islam terhadap pengaruh-pengaruh
yang tidak baik yang berasal dari Barat.
Tokoh-tokoh ahli Hukum Islam ialah yang menjadi
pembaharuan yang utama ialah IMAM TAQIYUDDIN IBNU
TAIMIYAH, kemudian disusul oleh IBNU QAYYIM, kemudian
disusul pembawa panji-panji pembaharuan seperti IMAM
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB dan JAMALUDDIN AL
AFGHONI serta MUHAMMAD ABDUH dan Dr. MUHAMMAD
IQBAL, dan sebagainya.
Reformasi yang membawa pembaharuan pada sikap
dan cara berfikir akan membawa perubahan kepada sikap dan
cara berfikir yang menjadikan landasan ide modernisasi
dikembangkan. Perubahan sikap mental dan cara berfikir yang
sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an berarti dibukanya kembali
kebebasan berijtihad serta keharusan bersikap terbuka setiap
gagasan dan buah pikiran yang lahir.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 80


Buku ini untuk kalangan sendiri
Al-Qur’an sendiri telah memberikan sandaran yang
cukup jelas dalam surat Al-Baqoroh ayat 251: bahwa jika
sekiranya Allah tidak membuat ummat manusia tolak menolak
satu sama lain dalam ide pikiran, maka bumi ini akan rusak
binasa. Jadi menurut isi ayat tersebut, bahwa berfikir itu
merupakan FITRAH manusia dan oleh karena itu berbeda
pendapat sebagai manifestasi berfikir adalah suatu hal yang
wajar.

BAB VIII
PENGADILAN AGAMA DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

1. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia


Pengadilan agama adalah lembaga yang bertugas
menerima, memeriksa, dan mengadili dan menyelesaikan
perkara-perkara yang menjadi wewenangnya. Ilmu Fiqih
memberikan tiga alternatif cara membentuk lembaga peradilan
yaitu:
1) Bentuk tahkim, berlaku zaman permulaan Islam yakni
saat terbentuknya masyarakat Islam sehingga orang-
orang yang bersengketa atas kesepakatan bersama
mendatangi ahli agama untuk meminta jasanya dalam
menyelesaikan sengketa antara mereka;
2) Bentuk tauliyah dari ahl halli wal aqdi, berlaku ketika
agama Islam berkembang di Nusantara ini yang
ditandai dengan munculnya komunitas-komunitas di
berbagai wilayah. Kelompok elit yang ada pada masa

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 81


Buku ini untuk kalangan sendiri
itu berwenang menunjuk figur-figur tertentu untuk
menyelenggarakan urusan Peradilan Agama;
3) Bentuk tauliyah dari imam sebagai kepala Negara,
berlaku ketika kerajaan-kerajaan Islam berdiri
Nusantara ini, lebih jelas lagi dengan keberadaan
instansi yang mengurus kepentingan bersama kaum
muslimin. Karena itu, secara administratif baik
keberadaan Peradilan Agama maupun produk-produk
hukumnya menjadi lebih valid dan mempunyai
legitimatif (pembenar). Sejak itu lembaga Peradilan
Agama telah mengambil bentuk formal dan kongkret.
Penyelesaian sengketa suatu perkara antara orang-
orang Islam dengan mempergunakan hukum Islam sebagai
dasar memutusnya di bumi Nusantara ini dimulai dengan
tahkim sebagai lembaga Peradilan Agama dalam bentuknya
yang sederhana. Tahkim inilah yang menjadi embrio lahirnya
Peradilan Agama, sebagai sarana menemukan kebutuhan
dasar penduduk yang memeluk agama Islam dalam beribadah
(terutama) dalam melaksanakan hukum perkawinan dan hukum
kewarisan yang merupakan rangkaian kesatuan dengan
komponen ajaran agama Islam lainnya.
Setelah terbentuknya kelompok masyarakat yang
mandiri, pengangkatan hakim masuk dalam periode ahl al halli
wal aqdi, seperti hakim diangkat oleh rapat marga menurut adat
kebiasaan setempat. Kemudian, dalam proses
perkembangannya pada periode tauliyah setelah terbentuknya
kerajaan-kerajaan Islam di nusantara ini, secara langsung para
hakim diangkat oleh para sultan di daerahnya masing-masing.
Itulah yang dijumapi di semua swapraja (Islam) dalam bentuk
peradilan swapraja, sampai adanya undang-undang Peradilan
Agama sekarang.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 82


Buku ini untuk kalangan sendiri
Kesadaran hukum masyarakat Islam terhadap hukum
Islam yang begitu besar apabila terjadi permasalahan atau
sengketa hukum khususnya hukum keluarga Islam mereka
mengangkat hakam untuk menjalankan tahkim di antara
mereka. Inilai yang merupakan embrio lahirnya peradilan
agama. Dalam proses perjalanannya badan Peradilan Agama
telah mampu menunjukkan bahwa hukum Islam adalah salah
satu bagian dari hukum yang berlaku di Indonesia.
Peradilan Agama yang telah diyakini telah berproses di
Indonesia sejak Islam memasuki bumi nusantara ini diangkat
sebagai lembaga peradilan negara oleh pemerintahan kolonial
Belanda melalui Staatsblad 1882 No. 152. Pada masa
perkembangannya pendapat di kalangan orang Belanda sendiri
bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Indonesia Asli
adalah undang-undang agama mereka, yakni hukum Islam.
Mereka mengikuti teori yang dikenal dengan Theori Receptie in
Complexu, yang sejak tahun 1855 telah didukung oleh
peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui Pasal
75, 78 dan Pasal 109 Regering Reglement dalam Stbl. 1885
No. 2. Walaupun pada mulanya pemerintah Hindia Belanda
berkehendak membiarkan pribumi hidup dalam hukumnya
sendiri pada hukum Islam, lama kelamanaan mereka
menyadari bahwa umat Islam yang kuat akan menjadi ancaman
bagi mereka. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda
berupaya memisahkan umat Islam dari ajaran Islam. Antara lain
bidang hukum, dengan memanfaatkan para pakar hukum adat
seperti Cornellis van Vollen Hoven (1857-1933) sebagai orang
yang pertama kali memperkenalkan hukum adat di Indonesia,
dan Christian Snouck Hurgronye (1857-1936) sebagai orang
yang pertama kali memperkenalkan istilah hukum adat itu
sendiri, setelah berusaha mengubah pandangan dan
mengubah orang-orang dengan menentang Theori Receptie in

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 83


Buku ini untuk kalangan sendiri
Complexu dan melancarkan teori tandingannya yang terkenal
dengan Theori Receptie. Mereka berusaha mengubah
peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang akhirnya
berhasil melalu Stbl. 1929 No. 221 bahwa hukum Islam berlaku
kalau sudah diresepsi oleh Hukum Adat. Ketentuan ini masuk
dalam Pasal 134 Indische Staats Regeling (Undang-Undang
Dasar Hindia Belanda).
Walaupun perubahan tersebut terjadi hanya pada 16
tahun sebelum Indonesia merdeka, pengaruh Theori Receptie
tersebut sangat kuat karena Belanda sejak awal abad 20 telah
berusaha “mencekoki” ahli-ahli hukum Indonesia seolah-olah
teori tersebut telah ada sejak tahun 1855. Oleh karena itu,
walaupun Undang-Undang Dasar 1945 telah menghapus IS,
paham tersebut masih berkembang sehingga dalam
pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang dengan tegas membuang paham tersebut
dan sepenuhnya berdasarkan jiwa dan semangat Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, terasa masih adanya
hambatan seolah-olah theori receptie ini masih berlaku.
Dalam rangka pelaksanaan hukum barat di Hindia
Belanda waktu itu, terbentuklah komisi penyesuaian undang-
undang Belanda dengan keadaan istimewa Hindia Belanda
yang diketuai Mr. Schalten van Oud Haerkem. Komisi ini
membuat suatu nota kepada Pemerintah Hindia Belanda yang
isinya bahwa: “untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak
menyenangkan, mungkin juga perlawanan, jika keadaan
pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera, harus
diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal
tetap dalam lingkunan hukum agama serta adat istiadat
mereka.” Hal ini sejalan dengan pendapat Lodewyk Willen
Christian van den Berg yang menyatakan bahwa hukum
mengikuti agama yang dianut seseorang. Kalau orang itu

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 84


Buku ini untuk kalangan sendiri
beragama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.
Dengan kata lain, orang Islam Indonesia telah melakukan
resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai
kesatuan. Kedua pendapat dari Paul Schalten dan van den
Berg tersebut di atas mendorong lahirnya Stbl. 1882 No. 152
yang mengatur pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan
Madura.
Peradilan Agama itu sebagaimana keadaannya dari
tahun ke tahun dibentuk dalam suasana berbeda. Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura dan sebagian bekas Karesidenan
Kalimantan Selatan dan Timur, lahir dan tumbuh dalam
suasana kolonial. Sementara itu, Pengadilan Agama di luar
daerah itu lahir dan tumbuh dalam suasana kemerdekaan.
Perbedaan suasana mempengaruhi politik hukum yang
dilaksanakan oleh pemerintah yang menetapkan wewenang
dan kekuasaan mengadili dan menyelesaikan sengketa
Pengadilan Agama itu dapat dilihat dalam peraturan
perundang-undangan yang berkenaan dengan pendirian
lembaga Pengadilan Agama itu.
Pengadilan Agama didirikan di Jawa dan Madura pada
tahun 1882. Di Kalimantan Selatan (sebagian di Kalimantan
Timur) lembaga ini didirikan pada tahun 1937 dengan nama
Kerapatan Qadi. Di luar Jawa, Madura dan Kalimantan
resminya didirikan pada tahun 1957 dengan nama Mahkamah
Syari’ah.
Perbedaan nama tersebut telah diseragamkan oleh UU
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan secara lebih tegas dicantumkan
dalam Keputusan Menteri Agama tanggal 28 Januari 1980,
Nomor 6 tahun 1980 nama-nama pengadilan di lingkungan
Pengadilan Agama yang ada di Indonesia diseragamkan
menjadi Pengadilan Agama. Setelah itu, kini sebutan semua

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 85


Buku ini untuk kalangan sendiri
pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama seluruh
Indonesia menjadi seragam dan letaknya pun sama yakni
setiap Ibukota Kabupaten tempat adanya pengadilan Negeri. Di
setiap ibukota Provinsi juga terdapat Pengadilan Tinggi Agama,
disamping Pengadilan Tinggi yang menyelenggarakan
peradilan umum.
Pada tahun 1957 Pemerintah Republik Indonesia
mengatur pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan
Kalimantan Selatan melalui Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1957 yang berwenang mengenai masalah perkawinan
dan kewarisan. Lain halnya dengan Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura yang dibatasi melalui Pasal 2 (a) Ordonansi
Peradilan di Jawa dan Madura Stbl. 1937 No. 16, yaitu hanya
mengenai perkawinan saja. Adapun perkara waris selama
berabad-abad menjadi wewenang Pengadilan Agama dicabut
oleh Pemerintah Hindia Belanda dan diserahkan kepada
Pengadilan Negeri. Hal ini juga berlaku di Kalimantan Selatan.
Putusan Pengadilan Agama pada waktu itu
dilaksanakan oleh para pihak dengan sukarela dan dapat
dilaksanakan sebagaimana putusan pengadilan biasa. Akan
tetapi, kalau putusan Pengadilan Agama tidak dilaksanakan
secara sukarela, satu-satunya jalan bagi Pengadilan Agama
agar putusannya dapat dilaksanakan harus meminta putusan
Pengadilan Negeri. Artinya kalau putusan Pengadilan Agama
tidak dilaksanakan dengan sukarela, diperlukan bantuan
Pengadilan Negeri dengan meminta persetujuan untuk
dilaksanakan yang disebut dengan fiat executie atau executorie
verklaring dari Ketua Pengadilan Agama.
Masalah fia executie ini di beberapa daerah
menimbulkan ketidakharmonisan antara Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri yang sesungguhnya dipengaruhi oleh
sikap para hakim di kedua pengadilan tersebut. Pengukuhan ini

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 86


Buku ini untuk kalangan sendiri
merupakan hambatan atau penghalang dari pelaksanaan
keputusan dari Pengadilan Agama tersebut. Kesalahan PP No.
45 Tahun 1957 yang membedakan wewenang Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura dari Pengadilan di luar kedua
wilayah itu dapat diperbaiki setelah ditetapkannya UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama melalui Pasal 49 ayat (1)
yang menyatakan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang
(a) perkawinan, (b) kewarisan, wasiat dan hibah, yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, (c) wakaf, dan (d)
shadaqah”. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 telah
diamandemen menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Legalitas Pengadilan Agama di Indonesia sebenarnya
telah diakui sejak tahun 1970 yakni UU No. 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengakui keberadaan
Pengadilan Agama. Pada Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970
mengenal 4 (empat) lingkungan Peradilan antara lain,
Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Pengadilan Militer. Pengadilan Agama
keberadaannya sejajar dengan Peradilan-Peradilan Lainnya.
Namun UU tentang Pengadilan Agama baru ada pada tahun
1989.
Selain adanya kepastian hukum tentang Pengadilan
Agama, kemajuan juga diperoleh pada waktu itu. Dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tersebut diatur tentang
adanya juru sita. Tugas juru sita secara tegas tercantum dalam
Pasal 103 ayat (1) UU Peradilan Agama. Kehadiran UU
Peradilan Agama (pada waktu itu) membuktikan relevansi
hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 87


Buku ini untuk kalangan sendiri
dapat dilihat dalam politik hukum yang memberlakukan hukum
Islam bagi pemeluknya. Terbukti dinyatakan dalam Pasal 2 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa: “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu”. Lebih lanjut, dalam Pasal 63
ayat (1) UU tersebut di atas dinyatakan bahwa: “yang dimaksud
dengan pengadilan dalam UU ini ialah Pengadilan Agama bagi
mereka yang beragama Islam. Pasal ini merupakan dasar
hukum pembentukan Peradilan Agama yang telah terlegalitas
dalam Pasal 10 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
yang menegaskan: “kedudukan Pengadilan Agama sama dan
sederajat dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan
lainnya.”
Pengesahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama (pada waktu itu) dapat mengakhiri keanekaragaman
Peradilan Agama sebagai akibat politik hukum pemerintah
kolonial Belanda. Di samping itu, pengesahan Undang-Undang
Peradilan Agama tersebut merupakan peristiwa penting, bukan
hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional,
melainkan juga bagi umat Islam Indonesia. Dengan
disahkannya UU Peradilan Agama ini, ada beberapa
perubahan penting dan yang mendasar telah terjadi dalam
lingkungan Peradilan Agama, diantaranya dapat disebutkan
hal-hal sebagai berikut:
1) Peradilan Agama telah menjadi peradilan yang mandiri,
kedudukannya benar-benar telah sejajar dan sederajat
dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara;
2) Nama, susunan, wewenang dan hukum acaranya telah
sama dan seragam di seluruh Indonesia, terciptanya
unifikasi hukum yang membuahkan ketertiban dan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 88


Buku ini untuk kalangan sendiri
kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama;
3) Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan,
dengan jalan antara lain memberikan hak yang sama
kepada istri dalam berproses dan membela
kepentingan di muka Pengadilan Agama;
4) Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas
dan kaidah hukum Islam sebagai salah satu bahan
baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum
nasional melalui yurisprudensi.
Prospek Pengadilan Agama semakin baik terutama
setelah disahkannya Kompilasi Hukum Islam (Inpres RI No. 1
Tahun 1991) yang ditindaklanjuti dengan keluarnya Keputusan
Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991
yang dapat membantu terciptanya unifikasi dan kepastian
hukum di kalangan masyarakat, khususnya di budang
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Pada tahun 2006
lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menambah
wewenang dalam bidang sengketa ekonomi syari’ah.

2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Peradilan Agama Pasca


UU No. 3 Tahun 2006
Kedudukan Pengadilan Agama adalah di Kotamadya
atau Kota/Kabupaten dan Pengadilan Agama di seluruh Ibu
Kota Provinsi di bawah satu atap oleh Mahkamah Agung.
Dengan adanya Pengadilan Agama maka ditentukan pula
syarat-syarat formal bagi hakim, khususnya hakim Pengadilan
Agama. Bahwa hakim Pengadilan Agama diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden sebagai kepala negara. Untuk itu,
dengan adanya UU Peradilan Agama, dimantapkan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 89


Buku ini untuk kalangan sendiri
kemandirian Pengadilan Agama dengan diadakannya juru sita,
sehingga Pengadilan Agama dapat melaksanakan putusannya
sendiri, berbeda pada masa-masa sebelumnya.
Dengan berlakunya Pengadilan Agama menjadi jelas
tugas dan wewenangnya dalam hal memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara tertentu untuk dan antara
orang-orang Indonesia yang beragama Islam. Bahwa dengan
terbentuknya Pengadilan Agama, khususnya dalam hal hukum
acaranya tercapai suatu asas penyelenggaraan seksama dan
sewajarnya.
Tugas Pengadilan Agama adalah menerima,
memeriksa, mengadili, memutus setiap perkara yang datang
padanya. Apabila melihat definisi tersebut hakim tidak dapat
menolak suatu perkara, karena:
- Ada suatu Pasal yang menyatakan bahwa hakim tidak
boleh menolak dengan alasan hukumnya tidak ada atau
hukumnya samar-samar;
- Hakim berwenang menafsirkan, membangun,
menemukan, memperluas hukum, sedang dalam Islam
dikatakan pula bahwa seorang hakim dapat melakukan
ijtihad melalui Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Adapun wewenang Pengadilan Agama adalah:
1) Yurisdiksi
a. Voluntaria: Peradilan yang tidak sesungguhnya.
Ciri-cirinya:
(1) Disana tidak ditemukan istilah Penggugat dan
Tergugat;
(2) Pada yurisdiksi ini hanya dikenal istilah
Permohonan;
(3) Putusannya bersifat administratif (apa yang
diminta itulah yang akan diputus); Putusannya
dinamakan declaratoir dan constitutif;

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 90


Buku ini untuk kalangan sendiri
(4) Tidak ada eksekusi, karena produknya adalah
penetapan (besichking);
(5) Bertujuan untuk preventif (mencegah) dan
mengantisipasi timbulnya permasalahan.
Permohonan dalam yurisdiksi ini hanya dapat
dikabulkan, apabila objek permohonan diatur
dalam Undang-Undang.
b. Kontensiosa: Peradilan yang sesungguhnya.
Ciri-cirinya:
(1) Disana ada 2 (dua) pihak yang saling
bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat;
(2) Putusannya adalah penghukuman
(condemnatoir);
(3) Adanya eksekusi (pelaksanaan putusan
hakim).
2) Kompetensi (wewenang mengadili)
a. Absolut (WHAT): wewenang mengadili
berdasarkan jenis perkaranya dan tingkatannya.
Jadi kompetensi ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
(1) Jenis Perkara
Kompetensi absolut Pengadilan Agama dapat
dilhat pada Pasal 49 UU Pengadilan Agama.
(2) Tingkatannya
b. Relatif (WHERE): Menurut wilayahnya
Kompetensi ini merujuk pada wilayah dimana
gugatan dapat diajukan. Pada dasarnya untuk
mencari kompetensi relatif ini harus mengetahui
tergugat berada dimana (domisili tergugat). Untuk
menentukan kompetensi relatif Pengadilan Agama
merujuk pada Ketentuan Umum HIR (Pasal 54 UU
Pengadilan Agama). Hukum Acara Perdata diatur

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 91


Buku ini untuk kalangan sendiri
dalam Pasal 118 HIR, ada 7 (tujuh) tempat
dimana gugatan dapat diajukan, antara lain:
1) Tempat kediaman Tergugat;
2) Tempat tinggal Tergugat;
3) Apabila Tergugat lebih dari satu di salah
satu tempat tinggal Tergugat;
4) Kalau ada penanggung dan berhu
5) Apabila Tergugat tidak diketahui tempat
tinggal dan tempat kediamannya, maka
gugatan diajukan dimana Penggugat
berada;
6) Apabila yang disengketakan berupa benda
tidak bergerak, maka gugatan diajukan
dimana benda itu berada;
7) Dengan perjanjian (dipilih oleh para pihak
yang dituangkan dalam akta autentik).
Jadi pada Asasnya, kompetendi relatif itu didasarkan
pada tempat dimana Tergugat berada,
PENGECUALIAN ada pada angka 5 dan 6,
pengecualiannya lagi ada di Pasal 66 dan Pasal
73 UU Peradilan Agama.
Menurut Pasal 66 UU Peradilan Agama mengenai
pengajuan perceraian: “bahwa kompetensi relatif
dalam bentuk cerai talak pada prinsipnya
ditentukan oleh faktor tempat kediaman Tergugat/
Termohon, kecuali dalam hal Termohon dengan
sengaja meninggalkan kediaman bersama tanpa
ijin Pemohon, maka gugatan diajukan di
Pengadilan dumana Penggugat atau Pemohon
berada.
Menurut Pasal 73 UU Peradilan Agama, masalah
gugat cerai: “untuk gugat cerai ini kompetensi

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 92


Buku ini untuk kalangan sendiri
relatif ditentukan oleh faktor kediaman Penggugat
(Pemohon), kecuali:
(1) Apabila Pemohon sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa seijin
Termohon;
(2) Kompetensi relatif ada di tempat
kediaman Tergugat, apabila Penggugat
ada diluar negeri;
(3) Apabila keduanya berada di luar negeri,
maka gugatan dapat diajukan dimana
perkawinan dilasungkan/ di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
Berikut ini akan dibicarakan tentang wewenang
(kompetensi) Pengadilan Agama menurut UU No. 7 Tahun
1989 Jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama.
Salah satu pokok pikiran yang tercantum dalam pertimbangan
UU tersebut adalah menyeragamkan kompetensi atau
wewenang Pengadilan Agama. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006
dinyatakan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang:
a) Perkawinan; f) Zakat;
b) Waris; g) Infaq;
c) Wasiat; h) Shodaqoh;
d) Hibah; i) Ekonomi
e) Wakaf; syariah.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa kewenangan
baru Peradilan Agama setelah adanya revisi Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 menjadi UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama adalah sebagai berikut:

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 93


Buku ini untuk kalangan sendiri
a) Jika muncul Hak Milik sengketa hak milik dan hak
keperdataan lainnya pada perkara-perkara yang
ditangani seperti kewarisan, wakaf, harta bersama dan
lain-lain, sepanjang sengketa itu di kalangan orang
Islam sendiri, sengketa itu tidak perlu ditunda karena
menjadi wewenang Peradilan Agama;
b) Kewenangan Pasal 49 diperluas, yakni zakat, infaq,
ekonomi syari’ah. Adapun sektor ekonomi syari’ah ini
mencakup lingkup yang luas, yaitu Bank Syari’ah,
Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, Asuransi Syari’ah,
Reasuransi Syari’ah, Reksa Dana Syari’ah, Sekuritas
Syari’ah, Pembiayaan Syari’ah, Pegadaian Syari’ah,
Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah dan bisnis
Syari’ah;
c) Pada bidang perkawinan terdapat kewenangan baru
yaitu soal “Penetapan Pengangkatan Anak” yang
dinyatakan bahwa “penetapan asal-usul seorang anak
dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam”
d) Kewenangan tidak lagi dibatasi perkara perdata. Sebab
Pasal 2 berubah bunyinya menjadi: “Pengadilan Agama
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.

3. Asas-Asas dalam Peradilan Agama


Inti dari hukum terletak pada asas-asasnya yang
kemudian diformulasikan menjadi perangkat peraturan
perundang-undangan. Begitu juga dengan peradilan Agama,
pada saat beracara terdapat asas-asas sebagaimana yang
dapat disimpulkan dari UU No. 3 Tahun 2006 tentang

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 94


Buku ini untuk kalangan sendiri
perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, sebagai berikut:
a. Asas personalitas keislaman;
b. Asas kebebasan;
c. Asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan
hukumnya tidak jelas atau tidak ada;
d. Asas tidak hakim wajib mendamaikan;
e. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan;
f. Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak;
g. Asas persidangan terbuka untuk umum;
h. Asas aktif memberi bantuan;
i. Asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis.

4. Hukum Materiil dan Formil Peradilan Agama


Hukum materiil adalah hukum yang mengatur hak dan
kewajiban tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Contohnya
1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Hukum materiil Peradilan Agama salah satunya adalah Inpres
No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Selain KHI,
hukum materiil lainnya adalah UU No. 1 Tahun 1974, UU No.
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Hukum Formil adalah hukum acaranya (proses peradilannya).
Hukum formil tidak akan bekerja, apabila hukum materiil tidak
dilanggar. Artinya hukum formil baru bekerja apabila hukum
materiilnya dilanggar.
Hukum Formil diantara lain:
1. HIR (Herzien Inlandsch Reglement)
2. UU Peradilan Agama
- UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
- UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 95


Buku ini untuk kalangan sendiri
- UU No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 3
Tahun 2003 tentang Peradilan Agama.

5. Kompilasi Hukum Islam


Ide Kompilasi Hukum Islam muncul setelah beberapa
tahun Mahkamah Agung membina bidang justisial Peradilan
Agama. Tugas pembinaan ini didasarkan pada Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan
bahwa Organisasi, Administrasi dan Keuangan Pengadilan
dilakukan oleh Departemen masing-masing, sedangkan
pembinaan teknis justisial dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Meskipun Undang-Undang tersebut ditetapkan tahun 1970,
namun pelaksanaannya di lingkungan Peradilan Agama baru
pada tahun 1983 setelah penandatanganan SKB Ketua
Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan
04/SK/1-1983 dan No. 1, 2, 3 dan 4 Tahun 1983. Keempat SKB
ini merupakan jalan pintas sambil menunggu keluarnya
Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Cara pada
Peradilan Agama yang merupakan peraturan pelaksanaan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan
Agama yang pada saat itu sedang dalam proses penyusunan
secara insentif.
Selama pembinaan teknis justisial Peradilan Agama
oleh Mahkamah Agung, terasa adanya beberapa kelemahan,
antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan
Peradilan Agama, yang cenderung simpang siur disebabkan
oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir setiap
persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu
buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang
berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 96


Buku ini untuk kalangan sendiri
pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugsanya,
sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai
hukum materiil bagi Peradilan Agama sudah sejak lama
menjadi pemikiran dan usaha Departemen Agama. Para tokoh
yang sangat peduli terhadap pelaksanaan hukum Islam di
Indonesia terusa mengusahakan agar KHI dapat menjadi
Undang-Undang, sehingga statusnya menjadi kuat sebagai
pegangan dalam melaksanakan hukum Islam di Indonesia.
Namun, situasi politik pada saat itu belum memungkinkan. Hasil
usaha maksimal adalah diterbitkannya Instruksi Presiden
Nomor 1Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991, dengan mana
Presiden mengintsruksikan menteri agama untuk
menyebarluaskan KHI tersebut agar dipergunakan oleh instansi
Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.
Dari sekian bidang hukum yang menjadi hukum terapan
Peradilan Agama tersebut sampai saatu ini baru hukum
perkawinan yang menjadi Undang-Undang. Itupun belum
dipakai khusus perkawinan Islam. Sementara bidang hukum
lain seperti hukum waris yang sering sekali terjadi konflik di
masyarakat, belum diatur secara tersendiri di dalam peraturan
perundang-undangan. Idealnya, jika terjadi perubahan undang-
undang tentang Peradilan Agama, tentunya hukum materiilnya
juga harus ada ketentuan hukumnya yang baku dan sampai
saat ini KHI belum berbentuk Undang-Undang.
Tahap baru perkembangan hukum Islam di Indonesia
adalah pada saat lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang kemudian pada tahun 2006
diadakan beberapa perubahan menjadi Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan ini bertujuan
untuk menyempurnakan apa yang telah diatur terdahulu dalam

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 97


Buku ini untuk kalangan sendiri
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sehingga aturan yang ada lebih memberikan kepastian dan
perlindungan hukum bagi umat Islam tetapi tetap berpedoman
pada garis rumusan nash yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Sumber Utama dalam merumuskan KHI adalah Al-
Qur’an dan Sunnah. Hukum Islam yang dipergunakan oleh
Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan
kepadanya di masa yang lalu, terdapat berbagai kitab fiqh
madzhab Syafi’i yang ditulis oleh para fuqaha beberapa abad
yang lalu. Sebagai hasil penalaran manusia yang selalu terkait
pada ruang dan waktu, situasi dan kondisi di tempat ia
melakukan penalaran itu, sehingga dapat dipahami kalau di
dalam berbagai kitab hukum yang dipergunakan oleh hakim
pengadilan agama itu terdapat perbedaan, hal ini disebabkan
karena adanya pendapat yang ada di kitab-kitab fiqih itu.
Ada empat pihak yang terlibat dalam proses
pembentukan KHI yaitu:
1. Birokrat Depag;
2. Hakim Agung MA;
3. Ulama, dan;
4. Cendekiawan/Intelektual muslim.
Timi inilah yang kemudian bertugas menyusun
metodologi yang dipergunakan dalam penyusunan KHI yang
disesuaikan dengan tujuan dan kehendak yang dicapai, yaitu
penyusunan kaidah-kaidah atau garis-garis hukum sejenis ke
dalam sebuah kitab yang disusun secara sistematis dengan
manfaat sarana, bahan, dan narasumber yang tersedia, untuk
mengoptimalkan itu semua ditempuh berbagai jalan yang
disebut jalur dan pendekatan perumusan.
Langkah-langkah dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) antara lain sebagai berikut:

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 98


Buku ini untuk kalangan sendiri
a. Melakukan pengkajian terhadap kitab-kitab fiqih Islam
oleh para cendikiawan yang sudah diakui kepakaran
dibidang ilmunya, mereka adalah para dosen yang ada
di lingkungan perguruan tinggi Islam. Mereka
mempunyai peran sebagai peneliti kitab-kitab fiqih,
kitab yang diteliti sebanyak 38 kitab dengan 160 rincian
masalah pokok hukum materiil dalam bidang hukum
keluarga yaitu: hukum perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf dan sedekah;
b. Para ulama di sepuluh ibu kota provinsi di Indonesia
untuk membuktikan koherensitas dengan norma hukum
yang ada dalam masyarakat, selain penelitian teks-teks
kitab juga dilakukan wawancara kepada 185 ulama di
10 lokasi Pengadilan Tinggi Agama se Indonesia.
Ulama yang dijadikan responden adalah ulama-ulama
pilihan yang dipandang mempunyai kapabilitas yang
memadai dan karena karismanya mampu
mempengaruhi masyarakat sekitarnya dalam mengikuti
fatwanya;
c. Jalur yurisprudensi Peradilan Agama dari sejak zaman
Hindia Belanda dulu sampai saat penyusunan KHI.
Yurisprudensi perlu diteliti selain kitab fiqih karena
kedua objek sangat terkait yaitu: kitab fiqih merupakan
ketentuan hukum normatif sedangkan yurisprudensi
adalah realitas hukum yang pernah diberlakukan.
Selain itu kedua hal ini dijadikan indikator psikologis
dan sosiologis untuk mengukur sejauh mana hukum
Islam dapat diberlakukan di Indonesia;
d. Studi perbandingan mengenai pelaksanaan dan
penegakan hukum Islam di negara-negara Muslim.
Kompilasi Hukum Islam (diharapkan) dapat
menyatukan wawasan hakim-hakim Peradilan Agama

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 99


Buku ini untuk kalangan sendiri
di Indonesia dalam memecahkan berbagai masalah
yang dimajukan kepada mereka.
Sistematika Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat tiga
ketentuan hukum materiil Islam yakni:
- Ketentuan-ketentuan hukum perkawinan (munakahat);
- Hukum kewarisan (faraidh);
- Hukum perwakafan (wakaf).

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 100


Buku ini untuk kalangan sendiri
BAB IX
EKONOMI SYARI’AH

Nabi Muhammad SAW, adalah pemikir dan aktivis pertama


ekonomi syari’ah bahkan sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan
Rasul, pada zamannya telah dikenal transaksi jual beli serta
perikatan atau kontrak (al-buyu wa al-‘uqud) dan sampai batas-batas
tertentu, telah dikenal pula cara mengelola harta kekayaan negara
dan hak rakyat di dalamnya. Berbagai bentuk jual beli dan kontrak
termasuk telah diatur sedemikian rupa dengan menyerap pada
tradisi dagang dan perikatan serta penyesuaian wahyu, baik Al-
Qur’an maupun Al-Hadist. Bahkan, lebih jauh lagi, sunnah rasul telah
mengatur berbagai alat transaksi dan teori pertukaran dan
percampuran yang melahirkan berbagai istilah teknis ekonomi
syari’ah serta hukumnya, seperti al-buyu’, al-uqud, al-musyarakah,
al-mudharabah, al-musaqah dan lain-lain.
Di Indonesia pemikiran dan aktivitas ekonomi Islam telah
dikenal sejak dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini.
Bahkan, aktivitas ekonomi syari’ah di tanah air tidak terpisahkan dari
konsepsi lingua franca. Aktivitas ekonomi syari’ah ini tidak dalam
bentuk formal, tetapi telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu
sebagaimana tercermin dalam bahasanya. Menurut para pakar,
bahasa Melayu menjadi bahasa nusantara karena bahasa ini populer
dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan
ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh Melayu yang identik
dengan Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosakata yang
berasal dari bahasa Arab. Artinya hal ini banyak dipengaruhi oleh
konsep Islam dalam kegiatan ekonomi.
Pemikiran ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20
lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan
perbankan syariah. Salah satu pilihannya adalah gerakan koperasi
yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 101


Buku ini untuk kalangan sendiri
Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik
oleh kalangan santri dan pondok pesantren. Gerakan koperasi yang
belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang relatif
sukses. Yang akhirnya bermunculan lembaga-lembaga ekonomi
syariah dari skala mikro hingga makro, antara lain adanya Baitul Mal
wa tamwil, perbankan syariah, asuransi syariah, gadai syariah,
obligasi syariah dan lain-lain.
Termasuk perkembangan studi Hukum Islam di Indonesia
adalah bidang ekonomi syariah. Apalagi bidang ini menjadi
perluasan kewenangan absolut Peradilan Agama Pasca UU No. 3
Tahun 2006. Pada kenyataannya, selama ini Pengadilan Agama
hanya berwenang menangani masalah-masalah hukum keluarga,
sehingga ketika padanya diberikan kewenangan baru untuk
menerima, memeriksa, dan memutus sengketa-sengketa di bidang
ekonomi syari’ah, perlu dilakukan persiapan sumber daya yang
memadai serta sarana pendukung yang lain.
Pelaksanaan peran Pengadilan Agama dalam menangani
sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan kepadanya perlu kesiapan
aspek penguasaan materi (substansi) hukumnya (peraturan
perundang-undangan yang ada), aspek sumber daya manusia
(meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan), dan aspek sarana
dan prasarana.

1. Pengertian Ekonomi Syari’ah


Para ahli ekonomi Islam telah memberikan definisi
ekonomi Islam dengan ragam yang berbeda sesuai dengan
sudut pandang para ahli tersebut. Apabila dikaji secara
seksama terhadap definisi tersebut, tampak semuanya
bermuara pada hal yang sama yaitu ilmu pengetahuan yang
berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti dan
akhirnya menyelesaikan segala permasalahan ekonomi
secara apa yang telah disyariatkan oleh Allah SWT. Definisi-

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 102


Buku ini untuk kalangan sendiri
definisi yang ada pada saat ini sebenarnya telah memberi
arahan yang baik dalam perkembangan ekonomi Islam di
Indonesia.
Untuk memperjelas pengertian tentang ekonomi
syari’ah/ekonomi Islam, disini akan diberikan beberapa
definisi yang disebutkan oleh beberapa pakar tentang
ekonomi Islam, antara lain:
- Menurut Muhammad Abdul Manan yang dimaksud
dengan ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan
sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam;
- Menurut Hasanuz Zaman yang dimaksud dengan
ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan
hukum syariah untuk mencegah terjadinya
ketidakadilan atas pemanfaatan dan pengembangan
sumber-sumber material dengan tujuan untuk
memberikan kepuasan manusia dan melakukannya
sebagai kewajiban kepada Allah SWT dan
masyarakat.
- Menurut Munawar Iqbal, yang dimaksud dengan
ekonomi Islam adalah “sebuah disiplin ilmu yang
mempunyai akar dalam syariat Islam”. Islam
memandang wahyu sebagai sumber ilmu
pengetahuan yang paling utama. Prinsip-prinsip dasar
yang dicantumkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist
adalah batu ujian untuk menilai teori-teori baru
berdasarkan doktrin-doktrin ekonomi Islam. Dalam hal
ini himpunan hadis merupakan sebuah buku sumber
yang sangat berguna.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa
ilmu ekonomi Islam bukan hanya kajian tentang persoalan
nilai, tetapi juga dalam bidang kajian keilmuan. Keterpaduan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 103


Buku ini untuk kalangan sendiri
antara ilmu dan nilai menjadikan ekonomi Islam sebagai
konsep yang integral dalam membangun keutuhan hidup
bermasyarakat. Ekonomi Islam sebagai ilmu menjadikan
ekonomi Islam dapat dicerna dengan metode-metode ilmu
pengetahuan pada umumnya, sedangkan ekonomi Islam
sebagai nilai menjadikan ekonomi Islam relevan dengan
fitrah hidup manusia.
Para ahli ekonomi Islam telah merumuskan prinsip-
prinsip ekomoni Islam, meskipun ada perbedaan dalam tata
urutan tetapi substansinya sama satu sama lainnya. Disini
akan disebutkan beberapa prinsip dasar terhadap rancang
bangun ekonomi syariah. Menurut Muhammad, bangunan
ekonomi Islam diletakkan pada lima fondasi yaitu Ketuhanan
(ilahiah), keadilan (al-‘adl), kenabian (al-nubuwah),
pemerintahan (al-khalifah), dan hasil (al-ma’ad) atau
keuntungan.

2. Konsep Ekonomi Syari’ah


Ekonomi syariah baik sebagai disiplin ilmu sosial
maupun sebagai sebuah sistem, kehadirannya tidak
berlatarkan apologetis, dalam artian bahwa sistem ini pernah
memegang peranan penting dalam perekonomian dunia
yang diklaim sekarang sebagai suatu yang baik secara taken
for granted. Kehadiran ekonomi syari’ah juga tidak
disebabkan karena sistem ekonomi kapitalis mengandung
banyak kelemahan dan ketidakadilan. Ekonomi Islam datang
karena tuntutan dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Dalam
kehidupan ekonomi, Islam telah memiliki sistem ekonomi
sendiri sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT
dalam Al-Qur’an dan penjabarannya melalui As-Sunah
Rasulullah SAW. Apabila tidak ada hal yang tersebut dalam

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 104


Buku ini untuk kalangan sendiri
Al-Qur’an dan As-Sunah, maka para ulama dapat melakukan
ijtihad untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.
Prinsip-prinsip ekonomi Islam telah ditetapkan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an, di antaranya Allah mengajarkan
bahwa “manusia adalah makhluk Allah yang disiapkan untuk
mengembankan amanah Allah (Q.S. al-Ahzab (33): 72);
untuk memakmurkan kehidupan di bumi (Q.S. Hud (11): 61);
dan kepadanya diberi kedudukan terhormat sebagai khalifah
Allah di Bumi (Q.S. al-Baqarah (2): 30). Bekerja mencari
nafkah dengan cara yang halal sangat dianjurkan dan
dilarang bekerja mencari nafkah dengan jalan bathil sangat
dilarang, hendaklah mencarinya dengan jalan yang sah
seperti berdagang atas dasar sukarela dan tanpa paksaan
(Q.S. an-Nisa’ (4): 29)”.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, Ahmad Azhar
Basyir menarik beberapa prinsip ekonomi syariah yang dapat
dijadikan pedoman dalam melaksanakan kegiatan ekonomi,
antara lain: pertama, manusia adalah makhluk pengemban
amanah Allah untuk memakmurkan kehidupan di Bumi dan
diberi kedudukan sebagai khalifah (wakilnya) yang wajib
melaksanakan petunjuk-Nya; kedua, Bumi dan langit
seisinya diciptakan untuk melayani kepentingan hidup
manusia, dan dituntut kepadanya untuk taat terhadap
amanat Allah. Allah adalah Pemilik mutlak atas semua
ciptaan-Nya; ketiga, manusia wajib bekerja untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya di dunia ini; keempat, kerja
adalah sesuatu yang harus menghasilkan (produksi); kelima,
Islam menentukan berbagai macam bentuk kerja yang halal
dan haram. Kerja yang baik saja yang dipandang sah;
keenam, hasil kerja manusia diakui sebagai miliknua;
ketujuh, hak milik manusia dibebani kewajiban-kewajiban
yang diperuntukan bagi kepentingan sosial; kedelapan, harta

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 105


Buku ini untuk kalangan sendiri
jangan sampai beredar di kalangan kaum kaya saja, tetapi
diratakan dengan jalan memenuhi kewajiban-kewajiban
kebendaan yang telah ditetapkan dan menumbuhkan
kepedulian sosial berupa anjuran berbagai macam sedekah;
kesembilan, harta difungsikan bagi kemakmuran bersama,
tidak hanya ditimbun tanpa menghasilkan sesuatu yang
halal; dan kesepuluh, harta jangan dihambur-hamburkan
untuk kenikmatan sesaat yang melampaui batas. Mensyukuri
dan menikmati perolehan usaha hendaknya dalam batas-
batas yang dibenarkan syara’.
Di samping itu, sebagian pakar hukum ekonomi Islam
menambahkan beberapa prinsip lain, yakni: pertama,
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dilarang
untuk melakukan hal-hal yang berlebih-lebihan dan
mubadzir, harus dilaksanakan secara berimbang; kedua,
dalam mencapai kebahagiaan di dunia ini manusia
hendaknya melaksanakan tolong menolong dalam kebaikan,
jangan bertolong-menolong dalam perbuatan yang tidak
baik; ketiga, dalam segala kerjasama nilai-nilai keadilan
haruslah ditegakkan; keempat, nilai kehormatan manusia
juga harus dijaga dan dikembangkan dalam usaha
memperoleh kecukupan kebutuhan hidup; dan kelima,
campur tangan negara dibenarkan dalam rangka penertiban
kegiatan ekonomi dalam mencapai keadilan sosial
masyarakat.
Pendekatan Islam terhadap ekonomi merupakan
sebuah pendekatan terhadap peradaban mansuaia secara
keseluruhan. Pendekatan ini sangat relevan untuk
dilaksanakan dalam rangka membangun suatu sistem
ekonomi alternatif guna mengganti sistem ekonomi yang
sudah ada dan tidak mampu memberikan kesejahteraan
kepada umat mansuai. Landasan moral dan etika yang

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 106


Buku ini untuk kalangan sendiri
dibangun dalam kegiatan ekonomi Islam adalah sesuai
dengan fitrah asal manusia yang progresif dan dinamis dan
relevan sepanjang masa. Ekonomi Islam juga menawarkan
metodologi yang layak untuk dijadikan pedoman dalam
pembangunan ekonomi secara makro.

3. Tujuan Ekonomi Syari’ah


Sebagimana dikutip oleh Oyo Sunaaryo Mukhlas
Dalam pandangan Muhammad Abu Zahrah, terdapat 3 (tiga)
sasaran hukum Islam yang menunjukkan bahwa Islam
diturunkan sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh
umat manusia dan alam semesta, yaitu :
1. Penyucian jiwa agar setiap Muslim bisa menjadi
sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya;
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat, Keadilan yang
dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang
hukum dan Muamalah;
3. Tercapai maslahah (merupakan puncaknya)
Dalam mencapai tujuan dari ekonomi syari’ah
sesungguhnya, maka harus didasarkan atas tujuan yang
disyari’atkan agama islam yaitu : untuk mencapai kebaikan
umat manusia, kesejahteraan bagi umat muslim, Keutamaan
dalam kehidupan didunia dan diakherat serta menghapuskan
kejahatan, kemiskinan dan kerugian pada seluruh mahluk
ciptaan-Nya. Demikian pula dalam ekonomi syari’ah maka
tujuannya adalah ta’awwun (saling membantu) agar umat
manusia dapat mencapai kemenangan, Kesejahteraan dan
mewujudkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.

4. Prinsip Umum Ekonomi Syar’iah


Secara umum ekonomi syari’ah memiliki beberapa
prinsip dasar, yang kemudian menjadi landasan

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 107


Buku ini untuk kalangan sendiri
perekonomian dalam islam, prinsip-prinsip dasar itu, adalah
sebagai berikut :
a. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberi
atau titipan dari Allah SWT kepada Manusia;
b. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas
tertentu;
c. Kekuatan pengerak utama ekonomi syari’ah adalah
kerjasama;
d. Ekonomi syari’ah menolak terjadinya akumulasi
kekayaan yang dikuasai segelintir orang saja;
e. Ekonomi syari’ah menjamin pemilikan masyarakat dan
penggunaanya direncanakan untuk kepentingan
banyak orang;
f. Seorang Muslim harus takut kepada Allah SWT dan
hari penentuan di akherat nantinya;
g. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah
memenuhi batas (nisab);
h. Islam melarang riba dalam bentuk apapun;

5. Jenis Ekonomi Syari’ah


Sejak masa rasulallah, beberapa transaksi bisnis yang
sudah dikenal dan diperbolehkan yang pada masa sekarang
dikembangkan dan dilegalkan dalam bentuk aturan antara
lain: al-ba’i, mudharabah, musyarakah, murababah, ijarah,
rahn dan ‘ariyah:
a. Al-ba’i atau jual beli yaitu suatu akad menukar sesuatu
barang yang berharga dengan barang berharga dan
saling melepaskan hak kepemilikan dari yang satu
kepada yang lain atas dasar ridha;
b. Mudharabah yaitu suatu akad kerjasama antara dua
pihak atau lebih dalam suatu perkongsian atau
proyek, pihak pertama sebagai pemberi modal, pihak

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 108


Buku ini untuk kalangan sendiri
kedua sebagai pengelola usaha dengan perjanjian
keuntungan dan kerugian akan dibagi dua sesuai
dengan nisbah yang disepakati bersama;
c. Musyarakah yaitu suatu akad kerjasama antara dua
pihak atau lebih, untuk suatu usaha tertentu, setiap
pihak memberikan kontribusi dana dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepajkatan.
d. Murabahah, yaitu suatu akad jual beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati.
e. Ijarah atau sewa menyewa, yaitu suatu akad untuk
mengambil manfaat dari suatu barang orang lain,
tanpa perpindahan kepemilikan dan disertai bayaran
dari pemanfaatannya;
f. Rahn yaitu suatu akad memberikan sesuatu benda
yang berharga/uang, dengan menyerahkan suatu
benda lain sebagai penjamin/penguat atas hutang
tersebut.
g. ‘Ariyah yaitu suatu akad untuk mengambil menfaat
dari barang orang lain, tanpa harus memiliki dan tanpa
ada bayaran.
Dalam ekonomi Islam secara modern telah
berkembang diberbagai sisi bidang dari jasa keuangan,
industri makanan olahan, industri pariwisata, produk-produk
manufaktur yang berlabel halal, produk farmasi yang berlabel
halal, waralaba UMKM halal dan lain-lainnya.
Ruang Lingkup Ekonomi Syariah. Menurut penjelasan
Pasal 49 Huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006, yang dimaksud
dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara
lain meliputi (a) bank syari’ah; (b) lembaga keuangan mikro

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 109


Buku ini untuk kalangan sendiri
syari’ah; (c) asuransi syari’ah; (d) reasuransi syari’ah; (e)
reksadana syari’ah; (f) obligasi syari’ah dan surat berharga
berjangka menengah syari’ah; (g) sekuritas syari’ah; (h)
pembiayaan syari’ah; (i) pegadaian syari’ah; (j) dana pensiun
lembaga keuangan syari’ah; dan (k) bisnis syari’ah.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 110


Buku ini untuk kalangan sendiri
Referensi:
Alqur’an
Al-Hadist
Abdullah Kelib, Bahan Ajar Hukum Islam Semester 2, Fakultas Hukum
Unissula, 2008-2009.
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, Dalam Perspektif Kewenangan
Peradilan Agama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2011.

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 111


Buku ini untuk kalangan sendiri
Aulia Muthiah, Hukum Islam, Dinamika Seputar Hukum Keluarga,
Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2017.
Baharuddin Ahmad, Illy Yanti, Eksistensi dan Implementasi Hukum Islam
di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Juhaya S., Pradja, Ekonomi Syariah, Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Muhyidin, dkk., Disharmony The Concept of Legal Property Between


Migration Law, Islamic Law Compilation, and Islamic Law,
South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics
and Law, Vol. 13, Issue4 (August) ISSN 2289-1560

Hukum Islam|Prodi Hukum Universitas Ngudi Waluyo 112


Buku ini untuk kalangan sendiri

Anda mungkin juga menyukai