Anda di halaman 1dari 18

TEORI TEORI PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI

INDONESIA
Hadi Sufyan1
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan, Indonesia
Email : hadisufyan344@gmail.com

ABSTRAK
Hukum Islam diperkenalkan di Indonesia seiring dengan penyebaran
Islam pada abad ketujuh atau kedelapan Masehi. Sebelum
diterapkannya hukum Islam, masyarakat Indonesia mengandalkan
berbagai sistem hukum adat yang sangat kompleks. Namun, pengaruh
agama Islam telah membentuk budaya Indonesia hingga saat ini,
dengan sebagian besar penduduk masih mengikuti agama ini. Oleh
karena itu, pedoman Islam umumnya memiliki peran yang besar
dalam tatanan hukum masyarakat Indonesia. Dengan
mempertimbangkan kerangka berbagai aturan regulasi di Indonesia,
hukum Islam telah memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan pedoman publik di negara ini.

KATA KUNCI : Hukum Islam, Teokratis, Receptio A Complex

ABSTRACT
Islamic regulation was presented in Indonesia close by the spread of
Islam in the seventh or eighth century Promotion. Under the watchful
eye of Islamic regulation was executed, Indonesian culture depended
on different exceptionally complex standard overall sets of laws. In
any case, the impact of Islamic religion has molded Indonesian culture
to the current day, with most of the populace actually sticking to this
religion. Hence, Islamic direction for the most part assumes a huge
part in the lawful structure of Indonesian culture. Considering the
system of different administrative principles in Indonesia, Islamic
regulation has made a huge commitment to the improvement of public
guidelines in this country.

KEYWORDS : Islamic Law, Theocratic, Receptio A Complex

A. Pendahuluan
Islam sampai di Indonesia seiring kedatangan Islam pada abad ketujuh atau
kedelapan masehi (Buzama 2019), dan sebelumnya, masyarakat di Indonesia mengikuti
sistem hukum adat dengan berbagai sistem dan karakteristik kompleksnya (Muhazir
2021). Islam telah Memberikan pengaruh besar pada kehidupan masyarakat di
1
Corresponding author
Indonesia. hingga saat ini, dan sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim.
Hukum Islam telah menjadi salah satu sumber utama dalam pengembangan hukum
publik, dan konsep hukum Islam dalam kerangka hukum nasional jelas dipengaruhi oleh
berbagai faktor sosial dan politik serta melibatkan berbagai pihak (Rohmah and Alfatdi
2022). Namun, masih banyak hambatan yang harus diatasi sebelum berhasil
diperkenalkan kembali ke dalam kerangka hukum kontemporer (Hannanni 2023).
Seluruh perangkat hukum di Indonesia telah lama dipengaruhi oleh hukum Islam
secara tertulis maupu tidak (Herlina, Misbahuddin, and Sultan 2023). Mayoritas
penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam juga turut memengaruhi posisi hukum
Islam di tengah-tengah rakyat Indonesia. Di dalam sejarah hukum Islam berperan dalam
memberikan dampak signifikan pada sistem hukum nasional Indonesia, mulai dari masa
kerajaan, masa penjajahan, hingga setelah kemerdekaan. Hukum Islam memiliki peran
krusial dalam pembentukan kerangka hukum masyarakat, dan pengaruhnya. Oleh
karenanya, usaha untuk memahami dan Mengimplementasikan hukum Islam dalam
rentang sejarah yang panjang menjadi bagian penting dari pembangunan kesadaran
hukum di masyarakat Indonesia (Rozi 2023).
Di Indonesia Islam diperkenalkan pada abad ketujuh atau kedelapan Masehi,
seiring dengan munculnya hukum Islam. Sebaliknya, hukum Barat baru diperkenalkan
oleh VOC (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur Belanda) pada abad ke-XVII Masehi.
Sebelum diperkenalkannya hukum Islam, masyarakat Indonesia mematuhi berbagai
sistem hukum adat yang beragam dan sangat kompleks. Kompleksitas ini diakibatkan
oleh pengaruh kuat agama Hindu dan Buddha pada masyarakat pada masa itu. Hukum
Islam muncul sebagai dasar yang mendominasi dalam pembentukan sistem hukum
nasional Indonesia. Tingkah laku masyarakat Indonesia secara besar-besaran
dipengaruhi oleh hukum Islam. Sebagai hasilnya, hukum Islam menjadi elemen kunci
dalam perkembangan kerangka hukum nasional Indonesia (D. O. Susanti 2011).
Hukum Islam sangat penting bagi umat Islam bukan hanya karena memberikan
arahan dalam menghadapi tantangan kehidupan, tetapi juga karena taat terhadapnya
dianggap sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan. Selain itu, pedoman Islam berperan
penting dalam membentuk struktur sosial dan kehidupan bersama komunitas Muslim
(Herlina, Misbahuddin, and Sultan 2023).
Kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia mengetahui dan mematuhi
hukum Islam mencerminkan bahwa regulasi yang ada dalam masyarakat mencerminkan
kesadaran mayoritas terhadap hukum. Oleh karena itu, diskusi mengenai penerapan
prinsip-prinsip hukum Islam menjadi lebih relevan. Dalam budaya Indonesia, hukum
Islam memainkan peran prominent dan signifikan, terutama di kalangan mayoritas
Muslim. Pengaruh aturan-aturan Islam terhadap sistem hukum Indonesia dan perannya
dalam memberikan pedoman hukum dalam masyarakat menjadi hal yang tidak dapat
diabaikan (Tabran et al. 2023).
Mengingat fakta bahwa pengaruh utama terhadap kehidupan di Indonesia adalah
dampak berkelanjutan dari Islam, dan sebagian besar penduduk Indonesia mengikuti
Islam, jelas hukum Islam secara konsisten membentuk sistem hukum nasional di
Indonesia. Oleh karenanya, peneliti bermaksud memberi judul “Teori Teori
Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia”.
B. Metodologi penelitian
Metode Penelitian yang akan digunakan adalah studi pustaka, yang juga dikenal
sebagai library research atau penelitian kepustakaan. Tujuan dari studi pustaka ini
adalah untuk mengumpulkan data dengan cara membaca, mencatat, dan mengolah
informasi yang ditemukan untuk keperluan penelitian (Nurfazillah, 2020). Jenis
penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan dan sering disebut sebagai
penelitian literal kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menyelidiki buku,
literatur, catatan, dan artikel ilmiah yang relevan dengan topik penelitian (Susanti,
2021). Penelitian ini dilaksanakan dengan merujuk pada sumber-sumber seperti jurnal,
buku, paper, dan memperjelas dan karya tulis lain yang relevan dengan subjek
penelitian yang menjadi fokus.
C. Temuan Penelitian dan Pembahasan
1. Konsep Hukum Islam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "hukum" merujuk pada aturan atau
tata cara yang secara resmi diakui sebagai pembatas, seperti peraturan, perundang-
undangan, dan sebagainya (Ali 2009). Hukum mengatur interaksi sosial ketika
diterapkan. Hukum dapat dipandang sebagai standar yang mengendalikan perilaku
manusia dalam masyarakat, baik standar atau prinsip yang berkembang dan
mendorong secara alami dalam ranah publik atau dibuat dan diterapkan oleh para
ahli (Warsito 2021).
Konsep hukum Islam sering menghadapi kesulitan dan konflik dengan
perkembangan zaman. Di masyarakat, Islam sudahsering di jadikan sebagai agama
yang memiliki norma dalam mengatur hubungan antar individu. Selain itu, Islam
dianggap tegas dalam memberikan hukuman kepada individu yang terlibat dalam
kejahatan seperti pencurian, perzinahan, dan pembunuhan. Namun, tujuan mendasar
dari hukuman-hukuman ini adalah untuk melindungi hak-hak dasar individu,
termasuk menjaga agama, kehidupan, akal budi, keturunan, dan properti. (Hafizah,
Ablisar, and Lubis 2022).
Pengakuan terhadap regulasi Islam dalam kerangka hukum Indonesia sudah
dimulai, tetapi hal ini tidak berarti bahwa hukum Islam diterapkan dengan paksa
pada masyarakat. Syarat-syarat spesifik yang harus dipenuhi untuk memastikan
prinsip-prinsip Islam yang termaktub dalam hukum bisa diterapkan (Tabran et al.
2023). Hukum Islam berdiri teguh pada keseimbangan dasar di tengah budaya
Indonesia, di mana mayoritas mengakui Islam. Sudah jelas bahwa panduan Islam
berkontribusi dalam memberikan bimbingan dan arahan hukum kepada kehidupan
masyarakat (Herlina, Misbahuddin, and Sultan 2023).
Karakteristik yang dimiliki hukum Islam terdiri dari beberapa aspek yang
dapat membedakannya dari prinsip -prinsip hukum lain. Beberapa karakteristik
tersebut adalah sebagai berikut : (Rozi 2023)
a. Berasal dari Sumber Syariat Islam : Hukum Islam berasal dari referensi dan
sumber-sumber hukum yang bersumber pada Alquran serta hadis.
b. Ketentuan Tak Berubah: Hukum Islam dijelaskan sebagai takamul
(kesempurnaan), bersifat wasatthiyah (keseimbangan, keharmonisan), dan
harakah (dinamis).
c. Tujuan Kemaslahatan Manusia: Hukum Islam diundangkan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia dan melenyapkan mafsadat.
d. Dasar-dasar Pelaksanaan dalam Hukum Islam : Dalam pelaksanaannya,
hukum Islam memiliki dasar-dasar yang tidak mempersempit, tidak
memberatkan serta tidak memperbanyak tuntutan.
Hukum Islam memiliki ketertarikan dibandingkan dengan berbagai sistem
hukum global lainnya karena beberapa prinsip. Beberapa karakteristik hukum Islam
ini timbul sebagai hasil dari prinsip-prinsip dasar hukum Islam itu sendiri,
sementara yang lain muncul sebagai akibat dari perkembangannya dalam mencapai
tujuan yang diinginkan oleh Allah. Beberapa karakteristik tersebut meliputi :
a. Asal-usul hukum Islam berdasarkan landasan hukum berbasis referensi.
Perbedaan mendasar antara hukum Islam dan hukum Barat adalah bahwa
hukum Islam bersumber dari wahyu Allah. dan kemudian diuraikan dalam
Al-Quran, sementara hukum Barat didasarkan pada gagasan bahwa hukum
Islam berasal dari wahyu ini. Aturan yang dibuat oleh manusia memiliki
perbedaan yang jelas sejak awal dari aturan yang berasal dari Tuhan. Para
peneliti hukum Islam dibatasi oleh Al-Quran dan Sunnah ketika menafsirkan
teks-teks yang terkandung di dalamnya. Pakar hukum melakukan ijtihad
untuk menemukan prinsip-prinsip yang belum diungkapkan dalam Al-Quran
dan Sunnah jika dua sumber ini tidak memberikan jawaban yang memadai.
Namun, ahli hukum umumnya percaya bahwa hukum mencakup semua
aspek isi teks dan selalu menganalisis serta menginterpretasikan teks secara
individual. Sebagai hasilnya, para ahli hukum tidak punya pilihan selain
menginterpretasikan dan menafsirkan setiap teks hukum sendiri ketika
mereka yakin bahwa teks-teks hukum memenuhi semua standar hukum.
b. Hasil dari hukum Islam berlaku di dunia ini dan juga di kehidupan setelah
mati. Hukum ini tidak hanya melibatkan pengakuan dunia yang dapat dinilai
berdasarkan lamanya seseorang menjalani pengakuan tersebut. Di kehidupan
setelah mati, tidak ada aturan yang memberlakukan hukuman. Hukum Islam,
sebaliknya, memberikan hadiah kepada individu yang patuh pada norma-
norma Allah dan mengancam dengan hukuman baik di dunia ini maupun di
kehidupan setelah mati bagi mereka yang melanggar larangan-Nya. Tidak
diragukan lagi bahwa hukuman di kehidupan setelah mati jauh lebih berat
dibandingkan dengan di dunia ini. Ini mendorong individu yang secara moral
percaya untuk mematuhi aturan dan menghindari larangan dalam hukum
Islam. Aturan yang berasal dari agama bertujuan mencapai kesejahteraan,
baik individu maupun masyarakat, sehingga tidak akan menghasilkan
peraturan yang berkonflik dengan keinginan keduanya. Ciri utama dari
hukum Islam tidak hanya mengarah pada keamanan dan kepuasan individu,
tetapi juga mencapai kebaikan dalam ranah publik, sesuai dengan contoh Al-
Quran, Sunnah, dan keputusan-keputusan ulama. Ini berbeda secara
signifikan dengan aturan buatan manusia, yang cenderung bersifat
individualistik dan seringkali menyebabkan konflik antara individu ketika
kepentingan mereka saling bertentangan.
c. Ciri khas hukum Islam menunjukkan sifat ta'abbudi (irrasional) dalam hal
ibadah dan ta'aqquli (rasional) dalam hal muamalah. Dalam konteks ibadah,
peraturan harus sesuai dengan yang diwajibkan, meskipun beberapa aspek
mungkin tidak dapat dipahami oleh akal, sehingga pelaksanaan ijtihad
menjadi tidak praktis. Sebagai contoh, ijtihad tidak dapat mengubah bagian-
bagian tubuh tertentu yang harus dibasahi saat berwudhu, sesuai dengan
ketentuan Al-Qur'an. Di sisi lain, dalam ranah transaksi, ketentuan-ketentuan
dapat diterima dan dipahami oleh akal, memungkinkan penerapan ijtihad
(Rozi 2023).
d. Hukum Islam memiliki sifat yang dinamis., memungkinkan kelangsungan
dan perkembangannya sejalan dengan perubahan zaman. Ini menandakan
bahwa hukum Islam dapat beradaptasi dengan lingkungan, waktu, dan
lokasi, dan tidak akan kehilangan relevansinya. Meski demikian, ada
beberapa faktor krusial yang perlu dipertimbangkan dalam konteks ini :
1) Perkembangan hukum Islam : Hukum Islam telah mengalami
perkembangan dan penyesuaian sejalan dengan evolusi zaman dan
perubahan kondisi sekitar. Sebagai contoh, selama periode
penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia, hukum Islam
mengalami modifikasi dan penyesuaian dalam kerangka sistem
hukum nasional. (Mulyawan and Tiara 2020).
2) Karakteristik hukum Islam: Hukum Islam memiliki sifat-sifat seperti
ta'abbudi (tidak rasional) dalam konteks ibadah dan ta'aqquli
(rasional) dalam konteks muamalah. Dalam hal ibadah, peraturan-
peraturan ibadah harus sesuai dengan yang diwajibkan, meskipun
beberapa aspek mungkin tidak dapat dijelaskan secara rasional,
sehingga pelaksanaan ijtihad tidak dapat dilakukan. Sebaliknya,
dalam hal muamalah, ketentuan-ketentuan muamalah dapat diterima
dan dipahami secara rasional, sehingga ijtihad dapat diaplikasikan
(Zaki 2014).
3) Inspirasi dan dinamika hukum nasional: Hukum Islam memainkan
peran penting dalam pembentukan hukum nasional dan berfungsi
sebagai sumber inspirasi serta pendorong dinamika perkembangan
hukum di Indonesia (Mulyawan and Tiara 2020).
Secara keseluruhan, hukum Islam memiliki sifat dinamis yang
memungkinkan berkembang dan teradaptasi sesuai dengan perkembangan
zaman dan perubahan lingkungan, dan tidak akan mati. Namun, perlu diingat
bahwa hukum Islam tidak selalu sama dan mungkin mengalami perubahan
dan adaptasi dalam konteks yang berbeda.
Prinsip-prinsip hukum Islam adalah konsep umum yang berlaku pada setiap
zaman, tempat, kelompok sosial. Konsep umum ini telah terbukti efektif sejak awal
penurunan wahyu hingga saat ini, menunjukkan sifat abadi dan universal hukum
Islam di berbagai zaman dan lokasi. Dikenal sebagai al-Qawa'id al-fiqhiyyah,
pedoman-pedoman ini adalah unsur-unsur dasar dalam ilmu fiqih yang bersifat
umum dan berlaku untuk berbagai situasi hukum yang termasuk dalam cakupan
mereka (Faqih and Sadzali 2018).
2. Sejarah Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia
Sistem peraturan Islam di Indonesia mengalami dua tahap selama masa
pemerintahan Hindia Belanda. Saat hukum Islam sepenuhnya diakui oleh hukum
adat, tahap awalnya terjadi (Receptie In Complexu). Tahap berikutnya (Receptie)
muncul ketika peraturan Islam diakui oleh peraturan resmi. Pada masa Republik
Indonesia, prinsip-prinsip Islam juga diterapkan dalam dua konteks tertentu.
Pertama, ketika masyarakat mengakui peraturan Islam sebagai sumber hukum yang
sah, dan kedua, ketika peraturan Islam dianggap sebagai sumber pengaruh
(Mulyawan and Tiara 2020). Secara lebih rinci, perjalanan penerapan teori-teori
hukum Islam di Indonesia. sepanjang sejarah dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Masa di mana hukum Islam diterima sepenuhnya (Teori Receptio in
Complexu).
Ketika pedoman Islam secara sepenuhnya diterima oleh masyarakat
Muslim sebagai panduan hidup, itu adalah tahap Receptio in Complexu.
Sebelum kedatangan Belanda, Indonesia memiliki beberapa lembaga hukum
agama dengan berbagai nama. Hal ini disebabkan oleh gaya hidup keagamaan di
negara tersebut dan ketaatan terhadap hukum Islam. Dalam kerajaan atau
kesultanan, lembaga hukum agama ini ditetapkan untuk membantu penyelesaian
masalah terkait hukum Islam. Pada masa ini, norma-norma Islam mengenai
pernikahan dan warisan sudah sangat terpatri dan diimplementasikan di
Indonesia. (Dewi 2021).
Meskipun Belanda menduduki berbagai pulau di Indonesia selama
pemerintahan kolonial mereka, hukum Islam, khususnya yang terkait dengan
pernikahan dan warisan, bertahan dan diakui oleh Belanda. Belanda menyusun
beberapa undang-undang untuk membantu pejabat menyelesaikan masalah
hukum yang melibatkan penduduk pribumi. Peraturan "Relukise Der Indersche
Regeering" yang diberlakukan pada 25 Mei 1970, disusun oleh pengadilan
Belanda dan dikenal sebagai Rundown Freijher, berisi ketentuan mengenai
pernikahan dan warisan dalam Islam. Hal ini menunjukkan pengaruh besar
hukum Islam dari sekitar tahun 1602 hingga 1800. Namun, dengan Belanda
mengawasi pulau-pulau tersebut, hukum Islam secara perlahan mulai memudar
(Thalib 1985).
Keberadaan hukum Islam di Indonesia sangat penting untuk
perkembangan hukum nasional karena bukan hanya sebagai sumber
pembentukan hukum nasional, tetapi juga sebagai motivasi dan pendorong
utama. Muslim di Indonesia dapat menggambarkan sejarah hukum Islam sebagai
dasar untuk strategi masa depan yang bertujuan untuk mendekatkan negara pada
prinsip-prinsip hukum Islam. Beragam hipotesis yang mendukung
pengembangan peraturan Islam di Indonesia secara erat terkait dengan
efektivitas dan kegunaan peraturan tersebut (Mas’ud, Rosbandi, and Suryagalih
2020).
Pada abad ke-19, berbagai individu Belanda berupaya mengurangi
pengaruh hukum Islam di Indonesia. Salah satu pendekatan melibatkan
penyebaran Kekristenan, dengan harapan bahwa warga Kristen yang setia akan
menjadi sekutu yang dapat diandalkan dan patuh terhadap pemerintahan kolonial
Belanda. Pemerintah Hindia Belanda melihat upaya ini sebagai langkah yang
menguntungkan. Pada tahun 1882, pengadilan agama diperkenalkan di wilayah
yang memiliki pengadilan umum, dan pengadilan ini memiliki wewenang untuk
mengadili kasus-kasus terkait hukum perkawinan dan warisan Islam di kalangan
umat Muslim. Akibatnya, pembentukan pengadilan agama pada tahun 1882
memberikan pengakuan resmi dan dukungan bagi hukum Islam dari pemerintah
Belanda. Namun, seiring dengan pemerintah Hindia Belanda menguasai
sepenuhnya kepulauan tersebut, status hukum Islam mulai berubah seiring
waktu dan mengalami pelemahan bertahap (Dewi 2021).
b. Masa di mana hukum Islam diterima oleh hukum adat (Teori Receptie).
Selama masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, terdapat dua
tahap yang jelas dalam keberadaan hukum Islam. "Receptio in Complexu"
merujuk pada tahap awal di mana umat Muslim sepenuhnya mematuhi hukum
Islam karena praktik keislaman mereka. Tahap berikutnya, dikenal sebagai teori
Receptie, memuat penegasan pedoman Islam dengan pedoman baku. Pada
periode ini, pedoman standar dapat dilihat dimanapun pedoman Islam dilihat
atau dibutuhkan. Hipotesis ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje,
seorang penasihat pemerintah Belanda yang menerima bahwa peraturan Islam
harus diikuti dengan asumsi bahwa peraturan tersebut merupakan peraturan
standar. Ia berpendapat bahwa sikap pemerintah Belanda sebelumnya terhadap
umat Islam merugikan keadaan mereka. Diakuinya, masyarakat setempat tidak
akan terlalu menganut agama Islam karena mereka adalah orang-orang yang
menganut agama Islam sepenuhnya. Namun, teori ini bertentangan dengan teori
sebelumnya, Receptio in Complexu, yang diterapkan selama awal masa kolonial
Belanda. Selama awal periode pemerintahan sipil Jepang, hukum Islam tidak
memiliki dampak signifikan pada sistem hukum secara keseluruhan seperti
sebelumnya. Nama lembaga yang sudah ada hanya mengalami perubahan (Hudri
2021).
Pada abad ke-19, terjadi perubahan pendekatan beberapa orang Belanda
untuk mengurangi pengaruh hukum Islam, termasuk upaya seperti Kristenisasi.
Pergeseran signifikan sebagian besar penduduk setempat ke agama Kristen
diharapkan dapat menguntungkan pemerintahan Hindia Belanda. Dengan
harapan bahwa individu yang beralih sepenuhnya ke penganut agama Kristen
diharapkan menjadi penduduk yang setia dan patuh terhadap pemerintahan
kolonial Belanda, dibentuklah pengadilan agama pada tahun 1882 di daerah
yang sudah memiliki pengadilan setempat. Pengadilan agama ini memiliki
kewenangan untuk mengadili kasus-kasus yang melibatkan umat Muslim terkait
dengan hukum pernikahan Islam dan hukum warisan. Oleh karena itu, hukum
Islam mendapatkan pengakuan dan dukungan resmi dari pemerintah Belanda,
dimulai dengan pendirian pengadilan agama pada tahun 1882. Sementara itu,
penelitian yang dilakukan oleh Lodewijk Willen Christiaan Van Special Breg
(1845-1927), yang tinggal di Indonesia, menyimpulkan bahwa sebagian besar
masyarakat Indonesia melihat hukum Islam sebagai hukum yang mereka kenal.
Bagi umat Islam, hukum Islam dianggap sangat penting karena mereka telah
memeluk Islam, meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan mereka. Sebagai
hasilnya, muncul hipotesis “Receptio In Complexu” (Mulyawan and Tiara 2020).
Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang pemandu pemerintah
Hindia Belanda dalam masalah Islam, menentang pandangan Receptie In
Complexu yang telah dilakukan belakangan ini. Menurut Snouck, hukum Islam
bisa diterapkan jika menjadi bagian integral dari hukum standar. Ia menyadari
bahwa penolakan pemerintah Hindia Belanda terhadap hipotesis Receptie In
Complexu pada masa lalu disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka
terhadap lingkungan sekitar, terutama komunitas Muslim. Snouck mengakui
bahwa sikap tersebut sebenarnya merugikan pemerintah Belanda sendiri. Selain
itu, ia menyatakan harapannya bahwa para kolonialis, terutama penduduk
setempat, tidak terlalu kuat melekat pada Islam. Ia menekankan bahwa orang
yang teguh dalam memegang Islam umumnya tidak akan dengan cepat
terpengaruh oleh kemajuan Barat (Khotimussalam 2019).
Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia, terjadi dua kali
pengakuan terhadap hukum Islam. Periode pertama adalah pengakuan penuh
terhadap hukum Islam, yang dikenal sebagai Receptio in Complexu, di mana
hukum Islam sepenuhnya diakui oleh umat Muslim sebagai panduan dalam
kehidupan beragama. Periode kedua ditandai dengan norma Islam dapat
diterapkan kapan pun diinginkan atau diakui oleh hukum adat. Pemerintah
Belanda berupaya membatasi penggunaan hukum Islam dengan
mengesampingkan hukuman hudud dan qisas dari hukum pidana serta
membatasi penerapan hukum Islam hanya pada masalah pernikahan dan waris.
Namun, pemerintah mengakui hukum Islam dengan membentuk pengadilan
agama pada tahun 1882, yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa dengan norma Islam. Pengakuan resmi terhadap norma Islam dalam
sistem norma nasional tidak terhambat oleh upaya pemerintah untuk membatasi
penerapannya. Tidak ada perubahan dalam integrasi hukum Islam dalam sistem
hukum nasional secara signifikan selama periode pemerintahan Jepang, berbeda
dengan periode penjajahan Belanda yang mendahuluinya.
Selama pembentukan (BPUPKI), para pemimpin Islam berusaha untuk
menghidupkan kembali penerapan prinsip-prinsip Islam tanpa ketergantungan
pada norma-norma tradisional. Pada tanggal 22 Juni 1945, komite sembilan di
dalam BPUPKI berhasil merumuskan pembukaan "Piagam Jakarta" untuk
konstitusi. Dokumen ini mencerminkan prinsip-prinsip dasar pemikiran negara,
dengan menekankan " Keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa disertai dengan
tanggung jawab melaksanakan prinsip-prinsip Islam bagi pemeluknya." Pada
tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
draf ini mengalami perubahan dengan tujuan mencapai persatuan nasional dan
menghindari pembatasan hukum. Meskipun terdapat perbedaan dalam
pernyataan-pernyataannya, versi yang telah dimodifikasi tetap menyebutkan
"Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa," sesuai dengan penjelasan Moh.
Hatta, esensi dari Piagam Jakarta tetap tidak berubah, meskipun tidak dinyatakan
secara eksplisit (Hudri 2021).
Hipotesis perhimpunan kehilangan dasar hukumnya dengan Proklamasi
Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan pengesahan Undang-Undang Dasar
1945 sebagai dasar negara. Hazairin menyimpulkan bahwa setelah Indonesia
meraih kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi dasar tertulis,
ketentuan sementara menyatakan bahwa hukum lama masih sah selama tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, semua peraturan tak resmi
Belanda yang berkaitan dengan hipotesis perhimpunan tidak lagi relevan karena
bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. (Buzama 2019).
c. Receptio A Contario Theorie
Teori Receptio A Contrario yang dikemukakan oleh Hazairin dan Sayuti
Talib memberikan sudut pandang alternatif terhadap teori Receptie. Teori ini
menyatakan bahwa hukum adat berada di bawah hukum Islam dan harus sejalan
dengan hukum Islam. Oleh karena itu, hukum adat hanya boleh diterapkan jika
dijustifikasi oleh hukum Islam. Sayuti Talib menjelaskan lebih lanjut bahwa
umat Islam mematuhi hukum Islam, khususnya dalam masalah perkawinan dan
warisan. Ini sesuai dengan keyakinan, tujuan hukum, dan norma moral
masyarakat Muslim. Teori ini menekankan bahwa hukum adat dapat diterapkan
pada umat Islam selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Secara umum,
teori Receptio A Contrario bertentangan dengan teori Receptie, menunjukkan
bahwa hukum Islam mengungguli hukum adat dalam hal masalah hukum umat
Muslim (Thalib 1985).
Piagam Jakarta, juga dikenal sebagai pengakuan terhadap hukum Islam,
telah menjadi sumber regulasi yang sah dalam sistem konstitusi Indonesia sejak
Piagam Jakarta dimasukkan dalam Pengumuman Resmi tanggal 5 Juli 1959. Hal
ini menjadikannya lebih dari sekadar sumber yang menarik. Selain itu, Profesor
Mahadi menemukan bahwa terdapat dua perspektif dalam ungkapan "Kewajiban
untuk menjalankan hukum Islam bagi para penganutnya." Pertama, perspektif
individual, yang mensyaratkan setiap Muslim untuk patuh pada hukum Islam.
Kedua, terdapat sisi dinamis dan pasif dari perspektif negara: sisi pasif
menyarankan bahwa negara atau pemerintah seharusnya mendukung umat Islam
dalam menjalankan hukum Islam, selama itu sesuai dengan Pancasila, terutama
tanpa mengganggu keamanan dan ketertiban dalam kehidupan keagamaan.
Sementara itu, sisi dinamis mengartikan kewajiban negara atau pemerintah
untuk benar-benar terlibat, bergerak, dan bertindak dengan memberikan fasilitas,
bantuan, membuat aturan-aturan yang diperlukan, dan berbagai tindakan lainnya
untuk membantu umat Islam dalam menjalankan hukum Islam.
Piagam Jakarta, awalnya merupakan bagian dari pembukaan Rancangan
UUD 1945 yang dibuat oleh BPUPKI, kemudian dijelaskan dalam Dekrit
Presiden pada 5 Juli 1959. Dalam dekrit tersebut, disebutkan bahwa "Piagam
Jakarta mencerminkan UUD 1945 dan merupakan bagian integral dari
konstitusi." Selain itu, dalam konteks negatif, "mencerminkan" mengindikasikan
bahwa para pemeluk Islam tidak boleh tunduk pada peraturan yang bertentangan
dengan hukum Islam, sementara dalam konteks positif, "mencerminkan"
menunjukkan tekad umat Islam untuk menerapkan hukum Islam (Bima and
Pancasila 2020).
Sejarah pembentukan Piagam Jakarta dimulai dengan perlawanan
terhadap kolonialisme di Indonesia, yang akhirnya menyebabkan kemerdekaan
pada 17 Agustus 1945. Pada awalnya, Piagam Jakarta mencerminkan pengaruh
politik hukum Islam, namun kemudian mengalami modifikasi sebagai hasil dari
kesepakatan tokoh-tokoh nasional dengan alasan menjaga kesatuan bangsa dan
negara. (Nim 2010).
Berdasarkan informasi yang tersedia, terdapat diskusi yang terus
berlanjut mengenai hubungan antara agama dan negara yang telah menjadi aspek
penting sejak awal kemerdekaan Indonesia dalam penafsiran konstitusi nasional.
Sebagian besar kelompok Islam di Indonesia menganggap penghilangan tujuh
kata dari Pembukaan UUD 1945, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, sebagai
awal mula perselisihan (Abshar 2019). Dengan demikian, Piagam Jakarta
memiliki makna penting dalam sejarah politik Indonesia, terutama dalam
konteks hubungan antara agama, negara, dan pembentukan dasar negara.
3. Peran Hukum Islam dalam Pengembangan Hukum Nasional di Indonesia
Peran hukum Islam dalam pengembangan sistem hukum nasional di
Indonesia dapat dipahami melalui beberapa bentuk, termasuk:
a. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum Indonesia.
b. Dengan diakui otonomi dan pengaruh yang diakui oleh masyarakat nasional,
diberikan status hukum.
c. Melalui prinsip-prinsip hukum Islam yang sah sebagai penyaring dalam
membentuk unsur-unsur sistem hukum nasional Indonesia.
d. Sebagai bagian fundamental dan komponen kunci dalam hukum nasional
Indonesia (Ichtijanto 1991).
Dalam konteks pengembangan hukum nasional, peran hukum Islam
melibatkan beberapa aspek krusial, seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari
hukum nasional, diakui oleh masyarakat nasional, dan diberikan status hukum
nasional (Rumaisa and Fathullah 2019). Selain itu, hukum Islam juga berfungsi
sebagai penapis dalam pembentukan elemen-elemen hukum nasional, menjadi unsur
utama dalam pembangunan hukum nasional (Siregar, Y, and JS. 2017).
Hukum Dasar Indonesia mencakup regulasi umum yang berasal dari prinsip
Pancasila. Dengan mempromosikan keragaman, terutama dalam konteks hukuman
yang tegas, peraturan publik ini sesuai dengan karakteristik Indonesia. Lebih lanjut,
sistem hukum publik di Indonesia harus mematuhi peraturan yang ketat, terutama
yang terkait dengan hukum Islam. Tampak bahwa regulasi tertulis di Indonesia
sangat dipengaruhi dan mengadopsi prinsip-prinsip hukum Islam, seperti yang
didukung oleh pengaruh teori Receptie A Contrario, teori Receptie Exit dan
pengaruh langsung dari ajaran Islam itu sendiri. Sebagai hasilnya, hukum Islam
terus memainkan peran dalam struktur hukum nasional Indonesia.
Sebagai bukti bahwa prinsip-prinsip hukum Islam benar-benar terdapat
dalam kerangka hukum di Indonesia, terdapat beberapa peraturan yang dapat
dijadikan sebagai referensi. Contohnya, Hukum Agraria Dasar no. 5 tahun 1960
yang secara jelas mencerminkan bahwa hukum Islam menjadi dasar hukum agraria
nasional. Peraturan Kekuasaan no. 14 tahun 1970 menyatakan bahwa sistem
peradilan Indonesia melibatkan pengadilan umum, peradilan militer, peradilan
agama, dan peradilan administratif negara. Struktur ini dianggap memiliki tingkat
keadilan yang ketat. Peraturan Perkawinan no. 1 tahun 1974 dan Pedoman
Perkawinan no. 9 tahun 1975 mengakui hukum Islam sebagai hukum yang berlaku
dan berpengaruh dalam konteks hukum publik. Demikian pula, Peraturan Wakaf no.
28 tahun 1977 memperkuat konsep integrasi prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan
publik Indonesia. Dukungan ini semakin menguat dengan disahkannya Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penataan Hukum
Islam, yang terdiri dari tiga buku: Hukum Warisan, Hukum Hadiah, dan Hukum
Perkawinan (Buzama 2019).
D. Penutup
Terdapat beberapa hasil dari penelitian yaitu : Hipotesis Receptio In Complexu,
yang mencadangkan pengakuan penuh terhadap pemerintahan Islam, bergantung pada
bagaimana Belanda melihat dan menghormati pemerintahan Islam selama masa Hindia
Belanda. Christian Snouck, melalui hipotesis "Receptio"-nya, bertujuan untuk
mendukung ekspansionisme Belanda melalui kerangka sosial, yang bertentangan dan
menyelesaikan hipotesis Receptio In Complexu. Ini dilakukan dengan maksud secara
eksplisit mengakui umat Islam dari hukum Islam. Hipotesis Receptio secara tegas
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 pasca-kemerdekaan Indonesia. Oleh
karena itu, hipotesis Receptio seharusnya tetap berpengaruh dalam penyusunan
pemerintahan baru di Indonesia karena peran kunci pemerintahan Islam dalam
meningkatkan standar normatif Indonesia. Peningkatan hipotesis Receptio A Contrario
menunjukkan bahwa umat Islam tunduk pada aturan Islam, sementara aturan standar
masih dapat diterapkan jika tidak bertentangan dengan aturan Islam. Dalam
pengembangan prinsip-prinsip dasar Indonesia, pemerintahan yang ketat (Islamic rule)
memiliki posisi paling dominan, di mana pemerintahan Islam secara signifikan
membentuk norma perilaku dalam budaya Indonesia. Oleh karena itu, prinsip-prinsip
Islam memainkan peran krusial dalam penyempurnaan prinsip-prinsip umum Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abshar, Fariz Ulul. 2019. “Harmonisasi Pemikiran Politik Hukum Islam Kontemporer:
Diskurus Relasi Islam-Negara Dalam Kontestasi Pemilihan Presiden Di 2019 Di
Indonesia.” Jurnal Political Science. https://doi.org/203495038.
Ali, Mohammad Daud. 2009. Hukum Islam:Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bima, Taman Siswa, and Pemahaman Pancasila. 2020. “Kemudian Dikembalikan Oleh
Panitia Yang Dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) Dan Dimasukkan Ke Piagam Jakarta. Selanjutnya Pada Tanggal 18
Agustus 1945 Pancasila Secara Sah Menjadi Dasar Negara Yang Mengikat.
Sebelum Di.” Sematic Scholer. https://doi.org/212696149.
Buzama, Khoiruddin. 2019. “Pemberlakuan Teori-Teori Hukum Islam Di Indonesia.”
Jurnal STAI Ma’arif Merto Lampung 28 (2): 467–72.
Dewi, Ayu Atika. 2021. “Peradilan Agama Dalam Lintasan Sejarah Kajian Pengaruh
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Terhadap Peradilan Islam Indonesia.” Jurnal
Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan 12 (1).
https://doi.org/10.32493/JDMHKDMHK.V12I1.10204.
Faqih, Aunur Rohim, and Ahmad Sadzali. 2018. “(HUKUM) Kaidah-Kaidah Hukum
Islam.” Sematic Scholer2.
Hafizah, Annisa, Madiasa Ablisar, and Rafiqoh Lubis. 2022. “Asas Legalitas Dalam
Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam.” Mahadi: Indonesia Journal
of Law 1 (1). https://doi.org/10.32734/mah.v1i1.8311.
Hannanni. 2023. “Revisiting Islamic Law in Indonesia’s Legal System Discourse: A
Critical Analysis of the Legal and Social Implications.” International Journal of
Law and Politics Studies 5 (3). https://doi.org/10.32996/ijlps.2023.5.3.3.
Herlina, Rondang, Misbahuddin Misbahuddin, and Lomba Sultan. 2023. “Korelasi
Hukum Islam Dalam Pembinaan Kesadaran Hukum Masyarakat.” Jurnal
Keislaman 6 (2). https://doi.org/10.54298/jk.v6i2.3739.
Hudri, Ahmad. 2021. “Hukum Keluarga Islam Nusantara Tema: Analisis UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan UU. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.” Jurnal Studi Gender Dan Anak 8 (2).
https://doi.org/10.32678/jsga.v8i02.5510.
Ichtijanto, H. 1991. Pengembangan Teori Hukum Islam Di Indonesia, Dalam Eddi
Rudiana Arief (Peny.) Hukum Islam Di Indonesia: Perkembangan Dan
Pembentukan. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Khotimussalam, Mohammad. 2019. “The Dutch Islamic Policies : Peran Politik Cristian
Snouck Hurgronje Di Wilayah Hindia-Belanda.” Jurnal Tamaddun Jurnal Sejarah
Dan Kebudayaan Islam 7 (1).
Mas’ud, Muhamad, Rosbandi Rosbandi, and Sugih Suryagalih. 2020. “Eksistensi Teori
Kredo Dalam Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia.” Sematic Scholer.
https://doi.org/10.33592/ISLAMIKA.V14I1.642.
Muhazir. 2021. “Islamic Law Politics in The Contemporary Era (Revealing The
Struggle for The Positivization of Islamic Law in Indonesia).” Jurnal Hukum Islam
5 (2). https://doi.org/10.30983/alhurriyah.v6i1.3956.
Mulyawan, Fitra, and Dora Tiara. 2020. “Karakteristik Hukum Islam Pada Zaman
Penjajahan Belanda Dan Jepang.” JURNAL UNES LAW REVIEW 3 (2).
https://doi.org/10.31933/unesrev.v3i2.151.
Nim, Ahmad Muttaqin. 2010. “Legalisasi Hukum Islam Dalam Konstitusi Negara
(Studi Perbandingan Piagam Jakarta Dan Piagam Madinah).” Sematic Scholer.
https://doi.org/170907809.
Nurfazillah. 2020. “Praktik Politik Dalam Sejarah Islam Era Dinasti-Dinasti Islam.” Al-
Ijtima`i: International Journal of Government and Social Science 6 (1): 43–62.
https://doi.org/10.22373/jai.v6i1.615.
Rohmah, S., and Azka Rasyad Alfatdi. 2022. “From Living Law to National Law:
Theoretical Reconstruction of Applying Islamic Law in Indonesia.” Peradaban
Journal of Law and Society 12 (1). https://doi.org/10.59001/pjls.v1i1.19.
Rozi, A. F. 2023. “Karakteristik Hukum Islam Dalam Perspektif Ajaran Agama Islam.”
IJRC: Indonesian Journal of Religion Center 13 (2).
https://doi.org/10.61214/ijrc.v1i1.37.
Rumaisa, Dewi, and Zaki Fathullah. 2019. “Analisis Potensi Pembentukan Taman
Nasional Gunung Lawu.” Bina Hukum Lingkungan 4 (1).
https://doi.org/10.24970/bhl.v4i1.83.
Siregar, Irma Haida Yuliana, Endang Wahyati Y, and Djoko Widyarto JS. 2017.
“Perlindungan Hukum Bagi Perawat Gigi Dalam Melakukan Pelayanan Asuhan
Kesehatan Gigi Di Praktik Mandiri.” SOEPRA : Jurnal Hukum Kesehatan 3 (1).
Susanti, Dyah Ochtorina. 2011. “Pembentukan Persekutuan Komanditer
(Commanditaire Vennootschap) Berdasar Akad Musyarakah.” Sematic Scholer 5
(1).
Susanti, Eni Fatriyatul Fahyuni. 2021. “Konsep Jilbab Dalam Prespektif Al- Qur ’an.”
TADRIB: Jurnal Pendidikan Agama Islam 7 (1): 124–38.
https://doi.org/10.22373/jai.v6i1.615.
Tabran, Muhammad, Kurniati, Abd. Rahman R, and A. Firda. 2023. “Bentuk Eksistensi
Hukum Islam Dalam Tatanan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.”
Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam 4 (1). https://doi.org/10.55623/au.v4i1.169.
Thalib, Sayuti. 1985. Receptio A Contrario. Jakarta: Bina Aksara.
Warsito. 2021. “Hukum Islam Dan Maqasid Syariah Kajian Normatif.” Sanaamul
Quran : Jurnal Wawasan Keislaman 2 (2).
https://doi.org/10.62096/tsaqofah.v2i2.21.
Zaki, M. 2014. “Formulasi Standar Maslahah Dalam Hukum Islam (Studi Atas
Pemikiran Al-Ghazali Dalam Kitab Al-Musthafa).” AR-RISALAH : Jurnal Ilmu
Hukum 14 (2). https://doi.org/10.30631/al-risalah.v13i01.419.

Anda mungkin juga menyukai