Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh terletak di Bandar Aceh Bengawan. Kerajaan tersebut
merupakan kelanjutan dari kerajaan Samudera Pasai yang pernah dijajah oleh Bangsa
Portugis sekitar pada Tahun 1512 M atau sekitar abad ke-14. Menurut para ahli
sejarah, pada Tahun 1496-1903 Kerajaan Aceh telah memiliki banyak perkembangan,
seperti:
a. Maju dalam segi pengembangan pola dan sistem pendidikan militer
b. Berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa
c. Memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik
d. Memiliki berbagai pusat pengkajian ilmu pengetahuan.
Adapun mazhab hukum Islam yang dianut adalah mazhab Imam Syafi’i. Hal
ini menunjukkan jika terdapat pengaruh dari kerajaan Samudera Pasai. Lalu ketika
kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, beliau pernah mengangkat
seorang mufti (orang yang memiliki wewenang untuk menghasilkan fatwa dengan
cara ijtihad) terkemuka bernama Syekh Abdul Ra’uf Singkel. Selain itu, pada masa
pemerintahannya pernah terbit buku berjudul Sirathal Mustaqim karya ulama besar
bernama Nuruddin Arraniri yang digunakan sebagai media penyebaran agama Islam
dan pedoman guru-guru agama maupun para qadhi (hakim).
Kerajaan Demak
Kerajaan Demak memiliki Raja yang bernama Raden Patah dan memiliki
qadhi yang dijabat oleh Sunan Kaliaga. Setelah mengalami kekalahan dibidang
hukum, kerajaan Demak kemudian mengambil inisiatif untuk menyusun himpunan
undang-undang dan peraturan dalam hal pelaksanaan hukum yang dinamakan
“Salokantara” yang kemudian dijadikan sebagai kitab hukum.
Kerajaan Mataram
Kerajaan Islam selanjutnya adalah kerajaan Mataram, kerajaan Islam di Pulau
Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya. Kemudian digantikan oleh Sultan Agung
Hanyokrokusumo. Pada masa pemerintahan beliau inilah kemudian hukum Islam
mulai mengalami kemajuan setelah sebelumnya tidak dianggap berpengaruh pada
masa itu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perubahan struktur tata hukum di
Kerajaan Mataram termasuk merubah pengadilan menjadi pengadilan Serambi Masjid
Agung yang menerapkan hukum qishas dimana berfungsi untuk mengadili
permasalahan yang dianggap dapat mengancam keselamatan kerajaan.
Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon adalah kerajaan islam pertama di Jawa Barat. Tokoh berjasa
yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi kerajaan ialah Syarif Hidayat atau
dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Beliaulah pendiri kerajaan Cirebon. Hukum
Islam di kerajaan Cirebon berkembang dengan baik, terutama hukum-hukum yang
berhubungan dengan masalah kekeluargaan. Selain itu terdapat pula pengadilan
agama yang bertugas untuk mengadili perkara subversif (kejahatan pada kerajaan)
dengan berpedoman kepada norma yang telah ditetapkan oleh penghulu atau pemuka
agama. Bahkan dibawah pengaruh dan kepemimpinan Fatahillah (salah satu tokoh
wali songo), keberadaan hukum Islam di kerajaan Cirebon mengalami perkembangan
yang sangat pesat dan berpengaruh sangat kuat sehingga mampu menggantikan
kedudukan hukum Jawa kuno sebagai hukum asli yang diterapkan oleh penduduk
setempat pada masa kerajaan Cirebon pada masa itu.
Kerajaan Banten
Kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam di Indonesia yang memiliki
hubungan baik dengan Kerajaan Aceh yang dijuluki “Serambi Mekah” dan kerajaan
Mughal di India. Daerah Banten pada saat itu dijadikan sebagai pusat pengiriman dan
pengumpulan barang-barang dari luar negeri. Pada masa kepemimpinan Kesultanan
Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa), para ulama memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam penerapan agama Islam tidak terkecuali hukumnya ditengah-tengah
masyarakat. Selain itu, pada masa ini juga terdapat Qadhi yang bertanggung jawab
untuk menegakkan hukum Islam seperti hudud dan bertanggung jawab pula dalam
menyelesaikan sengketa di Pengadilan Agama. Tidak heran jika pada pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa, kerajaan Banten dianggap sebagai kerajaan yang paling ketat
dalam menerapkan hukum Islam bahkan dalam kasus pencurian diberlakukan hukum
potong tangan. Jika seseorang mencuri maka akan dipotong tangan kanannya, namun
jika mencuri lagi secara berturut-turut maka akan dipotong tangan kirinya.
Kerajaan Ternate dan Tidore
Pada masa pemerintahan raja Ternate yang ke-18 yaitu Sultan Zainal Abidin,
hukum adat dan pemerintahan kerajaan berhasil diubahnya menjadi syariat Islam yang
kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Sehingga Islam
dijadikan sebagai agama resmi kerajaan di Ternate. Sultan Zainal Abidinpun berhasil
membentuk lembaga kerajaan sesuai dengan hukum Islam dengan melibatkan para
ulama untuk bergabung didalamnya yang kemudian langkah-langkahnya tersebut
diikuti oleh beberapa kerajaan yang ada di Maluku. Selain itu, beliau juga pernah
mendirikan madrasah di Ternate untuk memperdalam ilmu agama Islam kepada
mayarakat yang ada disana.
Kemudian mengenai kerajaan Tidore. Pada tahun 1657 hingga 1689, Kerajaan
Tidore dipimpin oleh Sultan Saifuddin yang berhasil melakukan penentangan terhadap
VOC yang ingin mengusai wilayahnya pada saat itu. Pada masa kepemimpinan Sultan
Saifuddin, hukum Islam berhasil diterapkan di Tidore dengan baik bukan hanya
diterapkan pada hukum perdata saja melainkan juga pada hukum pidana seperti hudud
dan takzir yang diperuntukkan bagi penduduk Tidore yang melanggar syariat Islam.
Kerajaan Gowa
Pada tahun 1605 Raja Gowa ke-14, I Mangarangi Daeng Manrabia memeluk
Islam. Beliau menerima nama Islam, yaitu Sultan Alauddin. Setelah memutuskan
memilih untuk masuk ke dalam agama Islam, Sultan Alauddin lantas mengundang
guru agama dari Koto Tengah, Minangkabau untuk mengajarkan Islam di Sulawesi
Selatan. Abad XVI sampai Abad XVII, Sultan Alauddin kemudian mengeluarkan
dekrit di hadapan jemaah salat Jumat untuk mengumumkan bahwa Kerajaan Gowa
sebagai kerajaan Islam dan pusat kajian Islam di Sulawesi Selatan. Islam menjadi
agama kerajaan dan agama masyarakyat. Semua ini tidak terlepas dari peran tiga
mubalig yang dikenal sebagai Datuk Tallu di Makassar (Datuk Tellu di Bugis), yaitu
Datuk Ri Bandang (Abdullah Makmur alias Khatib Tunggal), Datuk Ri Pattimang
(Sulaiman alias Khatib Sulung), dan Datuk Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib
Bungsu).
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan diawali pada abad ke-17 setelah Sultan
Alauddin memeluk Islam. Islamisasi di Sulawesi Selatan merubah sendi-sendi hukum
adat (Pangadakkang/Pangngaderreng) yang menyebabkan kehidupan sosial budaya
orang Makassar, Bugis, Mandar memperoleh warna baru. Sebelum Islam datang di
sulawesi Pangngadakkan (hukum adat) terdiri dari empat sendi yaitu: Ade‟ (Adat
istiadat), Rapang (Pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), Wari‟ (Sitem
protokoler kerajaan), dan Bicara (Sistem hukum). Kemudian bertambah satu sendi
lagi yakni Sara‟ (syariat Islam) setelah Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan
Gowa.
Dalam praktiknya setiap sendi tersebut saling mengisi atau beriringan,
sehingga adat tetap taat kepada ajaran (syariat) Islam. Hal ini menjadi bukti bila
syariat Islam dapat menyesuaikan kepada adat selama tidak bertentangan dan sejalan
dengan pelaksanaan syariat Islam. Ada beberapa contoh penerapan syariat Islam
dalam undang-undang Pangngadakkan/Pangngaderreng yang dapat dilihat
diantaranya:
a. Perzinanaan: Apabila wanita atau pria berzina setelah menikah, dimana di dalam
Islam dirajam maka kemudian diterjemahkan dalam bentuk ditenggelamkan
hidup-hidup kedasar laut. Jika yang bezina adalah pria atau wanita lajang maka
dihukum cambuk.
b. Wanita dalam menerima tamu
Didalam rumah, wanita dilarang menerima tamu laki-laki. Begitu pula bila
bepergian, dia harus dikawal oleh mahram dan selalu menggunakan dua sarung,
satu diikat dipinggang dan satunya lagi dipakai menutup kepala (berkerudung).
Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar terletak di Kalimantan Selatan. Kerajaan tersebut merupakan
kelanjutan dari kerajaan Dhaha yang tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan Islam
yang terkenal. Pada saat kepemimpinan pangeran Samodera (pangeran Suriansyah)
yang lebih dikenal dengan nama Sultan Suryanullah, hukum Islam sangat kental
diterapkan sebagaimana tercermin dalam suatu adagium yang terdapat dalam bai’at
(janji) kerajaan yang berbunyi pati baraja’an dika andika badayan sara, artinya saya
tunduk pada perintah tuanku karena tuanku berhukumkan hukum syara’. Hal inilah
yang menjadi tonggak hukum Islam tumbuh dan berkembang di kerajaan Banjar,
sehingga dalam sejarah juga tercatat bahwa di kerajaan Banjar telah memiliki mufti
yang bertugas sebagai penasehat kerajaan di bidang agama Islam dan qadhi bertugas
menangani masalah hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, dan perkara pidana
sudah diberlakukan pada waktu itu seperti hukuman mati bagi orang-orang yang
murtad (keluar dari agama Islam), hukum potong tangan bagi para pencuri, dan hukum
dera bagi penzina. Penerapan hukum Islam di kerajaan Banjar sudah berjalan baik,
karena di kerajaan Banjar sudah terdapat buku kodifikasi hukum Islam meskipun
masih dalam kemasan yang cukup sederhana. Buku kodifikasi hukum tersebut
dikemudian hari dikenal dengan undang-undang Sultan Adam.