Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN HASIL BELAJAR PERTEMUAN KE 3

Nama Shela Aprilia Pratiwi


Pertemuan ke 3
Hari/Tanggal Senin/22 Februari 2021
Materi Kuliah 1. Sejarah Hukum Islam pada masa kerajaan sebelum kemerdekaan
Indonesia
2. Sejarah perkembangan Hukum Islam pada masa penjajahan di
Indonesia
Sumber Pustaka 1. Gunawan, H. 2018. Potret Perjalanan Hukum Islam Di Indonesia.
Jurnal Al-Maqasid. Volume 4 Nomor 1.
2. Herawati, A. 2017. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI
INDONESIA (Belanda, Jepang, dan Indonesia Merdeka sampai
sekarang). JURNAL PENDIDIKAN DAN STUDI ISLAM. Volume
3, Nomor 1.
3. Mulyawan, Fitra. 2020. KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM PADA
ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA DAN JEPANG. Unes Law
Review. E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 3, Issue
2. DOI: https://doi.org/10.31933/unesrev.v3i2.
4. Mayani dan Arwinda, W. 2019. Perkembangan Hukum Islam Di
Indonesia Pada Masa Kerajaan Islam Sampai Dengan Masa
Reformasi. JURNAL PUBLIKASI. Volume 1, Nomor 1.
5. Rasyid, H. M. 2013. Dinamika Hukum Islam Dan Aktualisasi
Teori-Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia. Jurnal Hukum
Diktum. Volume 11, Nomor 1, hlm 15-23.

Catatan Hasil Belajar:


1. Sejarah Hukum Islam pada masa kerajaan sebelum kemerdekaan Indonesia
Masyarakat Indonesia sebelum Islam masuk telah terlebih dulu menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang
dibangun atas dasar kepercayaan yang dianutnya, lantas disusul dengan lahirnya kerajaan
Islam. Menurut para ahli, akar sejarah hukum Islam di Indonesia bermula dari berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam. Dari sinilah hukum Islam mulai ditanamkan dan memberikan
pengaruh yang besar bagi masyarakat Indonesia. Berikut adalah daftar-daftar kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia.
 Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai berdiri pada tahun 1267. Kerajaan tersebut
merupakan kerajaan pertama yang menerima pengaruh hukum Islam dari luar
terkhusus bermazhab Syafi’i. Dari sinilah paham mazhab Syafi’i mulai tersebar ke
kerajaan-kerajaan lain di Indonesia. Menurut Ibnu Battutah, kerajaan Samudera Pasai
sangat berperan dalam mengislamkan daerah Jawa dan Malaka.

 Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh terletak di Bandar Aceh Bengawan. Kerajaan tersebut
merupakan kelanjutan dari kerajaan Samudera Pasai yang pernah dijajah oleh Bangsa
Portugis sekitar pada Tahun 1512 M atau sekitar abad ke-14. Menurut para ahli
sejarah, pada Tahun 1496-1903 Kerajaan Aceh telah memiliki banyak perkembangan,
seperti:
a. Maju dalam segi pengembangan pola dan sistem pendidikan militer
b. Berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa
c. Memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik
d. Memiliki berbagai pusat pengkajian ilmu pengetahuan.
Adapun mazhab hukum Islam yang dianut adalah mazhab Imam Syafi’i. Hal
ini menunjukkan jika terdapat pengaruh dari kerajaan Samudera Pasai. Lalu ketika
kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, beliau pernah mengangkat
seorang mufti (orang yang memiliki wewenang untuk menghasilkan fatwa dengan
cara ijtihad) terkemuka bernama Syekh Abdul Ra’uf Singkel. Selain itu, pada masa
pemerintahannya pernah terbit buku berjudul Sirathal Mustaqim karya ulama besar
bernama Nuruddin Arraniri yang digunakan sebagai media penyebaran agama Islam
dan pedoman guru-guru agama maupun para qadhi (hakim).
 Kerajaan Demak
Kerajaan Demak memiliki Raja yang bernama Raden Patah dan memiliki
qadhi yang dijabat oleh Sunan Kaliaga. Setelah mengalami kekalahan dibidang
hukum, kerajaan Demak kemudian mengambil inisiatif untuk menyusun himpunan
undang-undang dan peraturan dalam hal pelaksanaan hukum yang dinamakan
“Salokantara” yang kemudian dijadikan sebagai kitab hukum.

 Kerajaan Mataram
Kerajaan Islam selanjutnya adalah kerajaan Mataram, kerajaan Islam di Pulau
Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya. Kemudian digantikan oleh Sultan Agung
Hanyokrokusumo. Pada masa pemerintahan beliau inilah kemudian hukum Islam
mulai mengalami kemajuan setelah sebelumnya tidak dianggap berpengaruh pada
masa itu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perubahan struktur tata hukum di
Kerajaan Mataram termasuk merubah pengadilan menjadi pengadilan Serambi Masjid
Agung yang menerapkan hukum qishas dimana berfungsi untuk mengadili
permasalahan yang dianggap dapat mengancam keselamatan kerajaan.
 Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon adalah kerajaan islam pertama di Jawa Barat. Tokoh berjasa
yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi kerajaan ialah Syarif Hidayat atau
dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Beliaulah pendiri kerajaan Cirebon. Hukum
Islam di kerajaan Cirebon berkembang dengan baik, terutama hukum-hukum yang
berhubungan dengan masalah kekeluargaan. Selain itu terdapat pula pengadilan
agama yang bertugas untuk mengadili perkara subversif (kejahatan pada kerajaan)
dengan berpedoman kepada norma yang telah ditetapkan oleh penghulu atau pemuka
agama. Bahkan dibawah pengaruh dan kepemimpinan Fatahillah (salah satu tokoh
wali songo), keberadaan hukum Islam di kerajaan Cirebon mengalami perkembangan
yang sangat pesat dan berpengaruh sangat kuat sehingga mampu menggantikan
kedudukan hukum Jawa kuno sebagai hukum asli yang diterapkan oleh penduduk
setempat pada masa kerajaan Cirebon pada masa itu.
 Kerajaan Banten
Kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam di Indonesia yang memiliki
hubungan baik dengan Kerajaan Aceh yang dijuluki “Serambi Mekah” dan kerajaan
Mughal di India. Daerah Banten pada saat itu dijadikan sebagai pusat pengiriman dan
pengumpulan barang-barang dari luar negeri. Pada masa kepemimpinan Kesultanan
Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa), para ulama memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam penerapan agama Islam tidak terkecuali hukumnya ditengah-tengah
masyarakat. Selain itu, pada masa ini juga terdapat Qadhi yang bertanggung jawab
untuk menegakkan hukum Islam seperti hudud dan bertanggung jawab pula dalam
menyelesaikan sengketa di Pengadilan Agama. Tidak heran jika pada pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa, kerajaan Banten dianggap sebagai kerajaan yang paling ketat
dalam menerapkan hukum Islam bahkan dalam kasus pencurian diberlakukan hukum
potong tangan. Jika seseorang mencuri maka akan dipotong tangan kanannya, namun
jika mencuri lagi secara berturut-turut maka akan dipotong tangan kirinya.
 Kerajaan Ternate dan Tidore
Pada masa pemerintahan raja Ternate yang ke-18 yaitu Sultan Zainal Abidin,
hukum adat dan pemerintahan kerajaan berhasil diubahnya menjadi syariat Islam yang
kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Sehingga Islam
dijadikan sebagai agama resmi kerajaan di Ternate. Sultan Zainal Abidinpun berhasil
membentuk lembaga kerajaan sesuai dengan hukum Islam dengan melibatkan para
ulama untuk bergabung didalamnya yang kemudian langkah-langkahnya tersebut
diikuti oleh beberapa kerajaan yang ada di Maluku. Selain itu, beliau juga pernah
mendirikan madrasah di Ternate untuk memperdalam ilmu agama Islam kepada
mayarakat yang ada disana.
Kemudian mengenai kerajaan Tidore. Pada tahun 1657 hingga 1689, Kerajaan
Tidore dipimpin oleh Sultan Saifuddin yang berhasil melakukan penentangan terhadap
VOC yang ingin mengusai wilayahnya pada saat itu. Pada masa kepemimpinan Sultan
Saifuddin, hukum Islam berhasil diterapkan di Tidore dengan baik bukan hanya
diterapkan pada hukum perdata saja melainkan juga pada hukum pidana seperti hudud
dan takzir yang diperuntukkan bagi penduduk Tidore yang melanggar syariat Islam.

 Kerajaan Gowa
Pada tahun 1605 Raja Gowa ke-14, I Mangarangi Daeng Manrabia memeluk
Islam. Beliau menerima nama Islam, yaitu Sultan Alauddin. Setelah memutuskan
memilih untuk masuk ke dalam agama Islam, Sultan Alauddin lantas mengundang
guru agama dari Koto Tengah, Minangkabau untuk mengajarkan Islam di Sulawesi
Selatan. Abad XVI sampai Abad XVII, Sultan Alauddin kemudian mengeluarkan
dekrit di hadapan jemaah salat Jumat untuk mengumumkan bahwa Kerajaan Gowa
sebagai kerajaan Islam dan pusat kajian Islam di Sulawesi Selatan. Islam menjadi
agama kerajaan dan agama masyarakyat. Semua ini tidak terlepas dari peran tiga
mubalig yang dikenal sebagai Datuk Tallu di Makassar (Datuk Tellu di Bugis), yaitu
Datuk Ri Bandang (Abdullah Makmur alias Khatib Tunggal), Datuk Ri Pattimang
(Sulaiman alias Khatib Sulung), dan Datuk Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib
Bungsu).
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan diawali pada abad ke-17 setelah Sultan
Alauddin memeluk Islam. Islamisasi di Sulawesi Selatan merubah sendi-sendi hukum
adat (Pangadakkang/Pangngaderreng) yang menyebabkan kehidupan sosial budaya
orang Makassar, Bugis, Mandar memperoleh warna baru. Sebelum Islam datang di
sulawesi Pangngadakkan (hukum adat) terdiri dari empat sendi yaitu: Ade‟ (Adat
istiadat), Rapang (Pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), Wari‟ (Sitem
protokoler kerajaan), dan Bicara (Sistem hukum). Kemudian bertambah satu sendi
lagi yakni Sara‟ (syariat Islam) setelah Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan
Gowa.
Dalam praktiknya setiap sendi tersebut saling mengisi atau beriringan,
sehingga adat tetap taat kepada ajaran (syariat) Islam. Hal ini menjadi bukti bila
syariat Islam dapat menyesuaikan kepada adat selama tidak bertentangan dan sejalan
dengan pelaksanaan syariat Islam. Ada beberapa contoh penerapan syariat Islam
dalam undang-undang Pangngadakkan/Pangngaderreng yang dapat dilihat
diantaranya:
a. Perzinanaan: Apabila wanita atau pria berzina setelah menikah, dimana di dalam
Islam dirajam maka kemudian diterjemahkan dalam bentuk ditenggelamkan
hidup-hidup kedasar laut. Jika yang bezina adalah pria atau wanita lajang maka
dihukum cambuk.
b. Wanita dalam menerima tamu
Didalam rumah, wanita dilarang menerima tamu laki-laki. Begitu pula bila
bepergian, dia harus dikawal oleh mahram dan selalu menggunakan dua sarung,
satu diikat dipinggang dan satunya lagi dipakai menutup kepala (berkerudung).

 Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar terletak di Kalimantan Selatan. Kerajaan tersebut merupakan
kelanjutan dari kerajaan Dhaha yang tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan Islam
yang terkenal. Pada saat kepemimpinan pangeran Samodera (pangeran Suriansyah)
yang lebih dikenal dengan nama Sultan Suryanullah, hukum Islam sangat kental
diterapkan sebagaimana tercermin dalam suatu adagium yang terdapat dalam bai’at
(janji) kerajaan yang berbunyi pati baraja’an dika andika badayan sara, artinya saya
tunduk pada perintah tuanku karena tuanku berhukumkan hukum syara’. Hal inilah
yang menjadi tonggak hukum Islam tumbuh dan berkembang di kerajaan Banjar,
sehingga dalam sejarah juga tercatat bahwa di kerajaan Banjar telah memiliki mufti
yang bertugas sebagai penasehat kerajaan di bidang agama Islam dan qadhi bertugas
menangani masalah hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, dan perkara pidana
sudah diberlakukan pada waktu itu seperti hukuman mati bagi orang-orang yang
murtad (keluar dari agama Islam), hukum potong tangan bagi para pencuri, dan hukum
dera bagi penzina. Penerapan hukum Islam di kerajaan Banjar sudah berjalan baik,
karena di kerajaan Banjar sudah terdapat buku kodifikasi hukum Islam meskipun
masih dalam kemasan yang cukup sederhana. Buku kodifikasi hukum tersebut
dikemudian hari dikenal dengan undang-undang Sultan Adam.

2. Sejarah perkembangan Hukum Islam pada masa penjajahan di Indonesia


 Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Penjajahan Belanda terhadap kawasan Indonesia dimulai dengan kedatangan
bangsa Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman tahun 1596 M. Bangsa Belanda
berhasil mendarat di Pelabuhan Banten dan bermaksud mengadakan kontak
perniagaan dengan para saudagar pribumi. Pada awalnya perniagaan tersebut berjalan
dengan semestinya hingga pada tahun 1602 di negeri Belanda berdiri suatu kongsi
dagang bernama De Vereenigde Oost Indische Compagnie yang dikenal dengan VOC.
Kongsi dagang ini diberikan hak-hak istimewa (hak octroi), diantaranya adalah: Hak
monopoli perdagangan, hak mencetak mata uang, hak memiliki tanah, hak
membentuk angkatan perang, mengumumkan perang dan damai, hak mendirikan
benteng pertahanan, serta hak membuat perjanjian dengan raja-raja di Jawa. Lebih
lanjut, dalam pasal 35 hak octroi tersebut, VOC juga mendapat kewenangan untuk
mengangkat Officieren van Justitie (Pegawai Penuntut Keadilan) untuk menjaga
ketertiban umum, kepolisian dan lembaga peradilan.
Dengan berbagai macam hak octroi tersebut, maka kongsi dagang VOC telah
mempunyai dua sifat, yaitu sifat sebagai badan perniagaan dan sifat sebagai badan
pemerintahan, yang memiliki kekuasaan seperti sebuah pemerintahan negara
tersendiri. Dengan kata lain VOC merupakan perpanjangantangan kerajaan Belanda di
kawasan Hindia Timur dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan hukum
Belanda yang mereka bawa. Hal ini menyebabkan adanya perubahan tujuan
kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia. Bangsa Belanda berubah menjadi
kolonialisasi dengan berupaya merebut kekuasaan untuk mengambil keuntungan dari
komoditi Indonesia yang terkenal kaya dengan berbagai macam rempah-rempah yang
sangat diminati dan sangat laku di pasaran dunia. Selain itu kolonialisme Belanda ini
tidak terbatas pada penguasaan sumber-sumber ekonomi saja. Setidaknya terdapat tiga
misi dalam kolonialisme Belanda, yaitu: Pertama, menguasai sumber daya alam
Nusantara yang kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar
orang Indonesia dengan proyek Kristenisasi. Ketiga, Menerapkan apa yang mereka
sebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. Artinya, Belanda ingin
menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda
Kemudian, perkembangan kolonialisme Belanda yang sekaligus membawa
agama Nasrani, membuat rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
melakukan perlawanan terhadap mereka, yang pada saat itu sedang berlangsung
periode kebangkitan Islam. Sehingga perlawanan antar umat Islam dengan kaum
penjajah Belanda identik dengan perlawanan antar agama. Perlawanan keras dari
umat Islam membuat penjajah Belanda mengambil sikap antisipatif terhadap setiap
gerakan yang dilakukan rakyat dan bahkan tidak segan-segan mempengaruhi sebagian
masyarakat Indonesia untuk tidak menerima hukum Islam sebagai hukum yang
berlaku di Indonesia. Bangsa Belanda manganggap Islam sebagai ancaman dan perlu
mendapat perhatian khusus.
Hal ini menjadi faktor utama jika dalam prakteknya penggunaan hukum
Belanda mendapat kesulitan, karena penduduk pribumi yang mayoritas beragama
Islam sangat sulit menerima hukum-hukum Belanda yang asing bagi mereka sehingga
VOC membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah
mereka jalankan. Keadaan inilah yang oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Cristian van
den Berg, disebut telah terjadi receptio in complexu yaitu penerimaan hukum Islam
secara menyeluruh oleh umat Islam atau biasa dikenal dengan istilah teori receptio in
complexu.
Bukti diterapkannya teori receptio in complexu dapat dilihat pada ketentuan-
ketentuan berikut ini: Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,
menyatakan bahwa sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam
harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai
oleh rakyat sehari-hari. Untuk itu, D.W. Freijer menyusun Compendium (buku
ringkasan) yang disebut dengan Compendium Freijer. Compendium Freijer berisi
mengenai hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang telah direvisi dan
disempurnakan oleh para penghulu. Selain itu juga dipergunakan Kitab Hukum
Mogharraer (dari al-Muharrar) yang dipakai di Semarang. Didalamnya berisi kaidah-
kaidah hukum pidana Islam dan Pepakem Cirebon yang dibuat atas usul residen
Cirebon, Mr. P.C. Hosselaar. Aturan ini dipakai sebagai pedoman dalam memutuskan
perkara perdata dan pidana di wilayah Kesultanan Cirebon. Pepakem ini kemudian
diadopsi oleh Sultan Bone dan Gowa untuk dijadikan undang-undang.
Pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda melalui VOC mengeluarkan Resolutie der
Indische Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan perkawinan Islam
pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Pengakuan terhadap hukum Islam ini
terus berlangsung bahkan sampai menjelang peralihan kekuasaan dari kerajaan
Inggris kepada kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat
sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang
kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, menunjukkan bahwa pihak Belanda
berusaha keras menguatkan kekuasaannya di wilayah Indonesia. Namun upaya
tersebut mengalami kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah
dengan rakyat jajahannya. Sehingga menyebabkan pejabat pemerintahan Hindia
Belanda memulai politik campur tangan terhadap urusan keagamaan. Gubernur
Jenderal dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap
gerak-gerik para ulama. Akhirnya muncul teori Receptie yang mengatakan bahwa
hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing.
Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum Adat, jadi hukum
Adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.
Dengan munculnya teori tersebut, Snouck Hurgronye menjadikannya sebagai
alat agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan
Hukum Islam. Apabila mereka kuat memegang ajaran Islam dan Hukum Islam, maka
dikhawatirkan akan sulit menerima dan dipengaruhi oleh budaya barat. Sehingga
Pemerintah Hindia Belanda melakukan upaya-upaya pembatasan keberlakuan hukum
Islam. Secara kronologis dapat dilihat dalam beberapa keputusan, sebagai berikut:
a. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik
Hukum yang Sadar artinya kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan
mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
b. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah
Belanda memerintahkan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga
dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka,
selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah sub koordinasi
dari hukum Belanda.
c. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau
ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus
kewarisan (dengan alasan belum diterima oleh hukum adat setempat).
d. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische
Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerring sreglement), yang
intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama
Islam. Jika hal itu terlebih dulu telah diterima oleh hukum adat dan tidak
ditentukan lagi oleh sesuatu ordonasi.
Upaya Belanda diatas dalam mengontrol operasionalisasi hukum Islam dengan
berbagai cara menyebabkan posisi hukum Islam terus melemah hingga menjelang
berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

 Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang


Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera
Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satunya adalah Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepang akan
meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jenderal
Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi
keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang masih melakukan
berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Di antaranya
adalah:
a. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai
agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
b. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa
Indonesia sendiri.
c. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
d. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan
oktober 1943.
e. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi
berdirinya PETA.
f. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan
kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat
(Soepomo) pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu.
Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan
kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.

Dengan demikian, hampir tidak ditemukan adanya perubahan yang berarti


bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Namun
bagaimanapun juga, pendudukan Jepang jauh lebih baik dibandingkan Belanda dari
sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-
masalah keagamaan.

Anda mungkin juga menyukai