Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH LEGISLASI HUKUM ISLAM INDONESIA

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah tarikh tasyri'

Dosen Pengampu: Ali Kadarisman, M.HI

Disusun oleh : Kelompok 12 / HES B

1. Muhammad ferdiansyah (200202110153)


2. Helmina Qurroh A (200202110063)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)


Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272,23 juta jiwa pada Juni
2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 236,53 juta jiwa (86,88%) beragama Islam. Artinya
mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Selain itu, Berdasarkan
data Worldpopulationreview, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar
pada 2021, yakni sebanyak 231 juta jiwa. Di urutan kedua, Pakistan dengan penduduk muslim
sebanyak 212,3 juta jiwa dan di posisi ketiga ditempati India dengan penduduk muslim
mencapai 200 juta jiwa. Melihat pemaparan tersebut, dapat di simpulkan bahwa dengan
besarnya populasi pemeluk agama islam di Indonesia, hukum islam menjadi hukum yang tidak
asing di Indonesia.

Hukum Islam sendiri baru masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke
Indonesia, yang menurut sebagian kalangan telah berlangsung sejak abad VII atau VIII M.
Sementara hukum Barat baru diperkenalkan oleh VOC pada awal abad XVII M. Sebelum
masuknya hukum Islam,rakyat Indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam
sistemnya dan sangat majemuksifatnya. Hal ini karena pengaruh agama Hindu dan Budha
diduga sangat kuat terhadapkehidupan masyarakat pada zaman itu. Berdasarkan kenyataan
bahwa pengaruh yang amat besar terhadap kehidupan Indonesiaadalah pengaruh agama Islam
yang hingga saat ini masih tetap berlangsung, di samping itusebagian besar penduduk
Indonesia menganut agama Islam, maka wajarlah kalau hukum Islam selalu mewarnai hukum
nasional di Indonesia.

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Teori pemberlakuan hukum islam di indonesia


2. Kondisi sosial politik hukum umat islam di indonesia
3. Proses legislasi hukum islam indonesia
4. Produk legislasi hukum islam indonesia dibidang muamalah
5. DSN MUI dan peranannya dalam ekonomi syari’ah Indonesia

C. TUJUAN PENULISAN

1. Dapat mengetahui teori permberlakuan hukum islam di indonesia


2. Dapat mengetahui politik hukum umat islam di indonesia
3. Dapat mengetahui proses legislasi hukum islam indonesi
4. Dapat mengetahui produk legislasi hukum islam indonesia dibidang muamalah
5. Dapat mengetahui DSN MUI dan peranannya dalam ekonomi syari’ah Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori pemberlakuan hukum islam di Indonesia

a. Teori Receptio in Complexu (Periode penerimaan hukum Islam secara penuh)


Teori ini diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg
(1845-1927). Ia dikenal sebagai "orang yang menemukan dan memperlihatkan
berlakunya hukum Islam di Indonesia" walaupun sebelumnya telah banyak penulis
yang membicarakannya .1
Periode penerimaan hukum Islam secara penuh atau Receptio in complexu
adalah periode dimana hukum Islam diberlakukan sepenuhnya oleh orang-orang
Islam sebagai pegangan dalam kehidupan beragama. Sebelum Belanda datang ke
Indonesia, hukum Islam telah banyak mendirikan lembaga-lembaga peradilan
agama dengan berbagai nama yang ada. Lembaga-lembaga peradilan agama ini
didirikan ditengah-tengah kerajaan atau kesultanan dalam rangka membantu dalam
penyelesaian masalah-masalah yang ada hubungannya dengan hukum Islam,
dimana waktu itu hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam telah menjadi
hukum yang hidup dan berlakudi Indonesia. Oleh sebab itu tidaklah heran kalau
Badan Peradilan Agama telah secara tetap dan mantap dapat menyelesaikan
perkara-perkara perkawinan dan kewarisan orang-orang Islam2
Teori receptio in complexu ini telah diberlakukan pula dizaman VOC
sebagaimanaterbukti telah dibuatnya berbagai kumpulan hukum untuk pedoman
pejabat dalammenyelesaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal
didalam wilayahkekuasaan VOC yang kemudian dikenal sebagai Nederlandsch
Indie. Kumpulan hukumtersebut ialah:
a) Compedium Preijer yang merupakan kitab hukum kumpulan hukum
perkawinandan kewarisan Islam oleh pengadilan VOC(Resolutie der Indische
Regering tanggal 25 Mei1760).
b) Cirbonch Rechtboek yang dibuat atas usul Residen Cirebon (Mr. P. C.
Hoselaar,1757-1765).
c) Compedium der Voomaamste Javaansche Wetten Nauwkeuring Getroken
uithetMohammedaansche Wetboek Mogharaer yang dibuat untuk Landraad
Semarang(tahun 1750).
d) Compedium Inlandsche Wetten bij de Hoven van Bone en Goa yang
disahkan VOCuntuk diberlakukan di daerah Makasar (Sulawesi Selatan). 3

b. Teori Receptie (Teriode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat)


Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936),
penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Islam danburrti putera.
Berdasarkan atas penyelidikan yang dilakukannya di Aceh dan Tanah Gayo, serta
pendalamannya terhadap hukum Islam dan umat Islam di Arab dan di Indonesia,

1 Dr. Juhaya SP (Ed.), Hukum Islam di Indonesia perkembangan dan pembentukan,(Bandung : Rosda, 1991), h.
117
2 Sayuti Thalib, Receptio A Contrario (Jakarta : Bina Aksara, 1980), hlm. 15-17
3 DR. Juhaya s. Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Bandung: LPPM Universitas Islam. Bandung, 1995), h. 133-134.

3
Snouck menyatakan bahwa umat Islam, khususnya di dua daerah tersebut Aceh dan
Tanah Gayo, tidak menganut hukum Islam, tetapi hukum adat masing-masing,
meskipun harus diakui bahwa hukum adat mereka telah menerima pengaruh dari
beberapa bagian hukum Islam. Dengan demikian, menurut Snouck, sikap
pemerintah Hindia Belanda yang sebelumnya menerima teori Receptie In
Compexu bersumber dari ketidak tahuannya terhadap situasi masyarakat pribumi,
khususnya masyarakat muslim. la berpendapat bahwa sikap terhadaap umat Islam
selama ini merugikan pemerintah Jajahan sendiri, disamping itu snock berharap
situasi agar orang-orang pribumi rakyat pada umumnya rakyat jajahan jangan
sampai kuat memegang agama Islam, sebab pada umumnya orang yang kuat
memegang agama Islam (Hukum Islam) tidak mudah terpengaruhi oleh peradapan
barat.
Teori resepsi Snouck Hurgronje ini, menurut Alfian,didasarkan pada asumsi
bahwa kalau orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat
dengan kebudayaan Eropa, maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan
dengan baik dan tidak akan timbul goncangan-goncangan terhadap kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda harus
mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adat,
memberikan dorongan-dorongan kepada mereka untuk mendekatkan golongan
hukum adat kepada pemerintah Hindia Belanda. 4
Sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda, Snouck memberikan nasehat
yang terkenal denan sebutan "Islam Policy". Beliau merumuskan nasehatnya pada
pemerintah Belanda dalam mengurus umat Islam di Indonesia dengan usaha
menarik rakyat peibumi agar lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan
pemerintah Hindia Belanda. Nasehat ini berintikan bahwa masalah yang
menyangkut ibadah umat Islam harus diberikan kebebasan sepenuhnya, dengan
harapan dalam lapangan kemasyarakatan pemerintah Hindia Belanda harus
menghormati adanya adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku, dengan
cara mengalakkan agar mendekati pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan dalam
lapangan ketatanegaraan, pemerintah Hindia Belanda tidak boleh memberikan
kesempatan, dan harus mencegah hal-hal yang bisa membantu adanya gerakan
Pan Islamisme.5
Kemudian teori resepsi ini oleh Snouck diberi dasar hukum dalam Undang-
Undang DasarHindia Belanda yang menjadi pengganti RR yang disebut Wet Op
De Staat Snrichting VanNederlands Indie, yang disingkat Indische Staat Regeering
(IS) yang diundangkan pada tahun1929. lebih lanjut disebutkan pada pasal 134
ayat 2, yang berbunyi "Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Islam, diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka
menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi". Tetapi
pada kenyataannya, kebijaksanaan pemerintah Belanda ini sebenarnya justru
ingin meruntuhkan dan menghambat pelaksanaan hukum Islam, diantaranya
dengan cara; Mereka sama sekali tidak memasukkan hukuman hudud dan qisas
dalam lapangan hukum pidana, ajaran Islam yang menyangkut hukum perkawinan
dan kewarisan mulai dipersempit dan lain sebagainya.6

4
Alfian, Segi-segi Sosial Budaya M asyarakat Aceh (Jakarta: LP3ES, 1977), him.207-209
5
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta : LP3ES, 1985) hlm. 12
6
Ismail Suny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional ( Jakarta : Universitas Muhammadiyah, 1987)
hlm. 5-6

4
Upaya pemerintah Hindia Belanda dalam rangka melumpuhkan hukum Islam
dengan bertopeng di belakang teori receptie tersebut tercermin dalam beberapa
peraturan perundang-undangan dan berbagai peraturan dibawah ini:
1. Sfbl 1915 : 732 yang diberlakukan sejak januari 1919 sama sekali tidak
memasukan unsur-unsur Fiqh Jinayah, seperti hudud, dan qishash dalam
lapangan hukum pidana. Hukum pidana yang berlaku sepenuhnya
mengambil alih Wetboek van Straftecht dari Nederland.
2. Pemerintah Hindia Belanda berusaha menghancurkan hukum Islam
tentang ketatanegaraan dan politik dengan cara melarang pengajian yang
menyangkut hukum tata negara dan penguraian Al-Qur'an serta hadis yang
berkenaan dengan politik dan kenegaraan.
3. Bidang Fiqh Muamalah pula dipersempit dengan membatasi pada hukum
perkawinan dan kewarisan, disertai usaha agar hukum kewarisan tidak
dijelaskan kaum muslimin. Upaya ini dilakukan melalui langkah-langkah
sistematis berikut ini:
a) Menanggalkan wewenang Raad Agama di Jawa dan Kalimantan
Selatan untuk mengadili masalah waris;
b) Memberi wewenang memeriksa masalah waris kepada Landraad;
c) Melarang menyelesaikan dengan hukum Islam jika ditempatnya
perkara tidakdiketahui bagaimana bunyi hukum adat.Teori receptie
berlaku hingga tiba zaman kemerdekaan Indonesia.7

c. Teori Receptie Exit


Bapak berlakunya teori receptie exit bagi hukum Islam di Indonesia adalah
Prof. Dr. Hazairin, S. H.8 Menurutnya setelah Indonesia merdeka,tepatnya setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD '45)
dijadikan Undang-undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan
perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak
berlaku lagi, Alasan yang dikemukakan Hazairin menyatakan bahwa teori Receptie
itu harus exit alias keluar dari tata hukum Indonesia Merdeka. Hazairin juga
menyebutkan bahwa teori resepsi adalah teori "iblis". Teori Hazairin ini kemudian
dikenal dengan teori receptie exit.9
Hazairin menyebut teori Receptie sebagai teori iblis karena bertentangan dengan al-
Qur’an dan Hadis. Sembari mengecam teori ini, ia juga mengemukakan bahwa hukum
Islam itu berlaku dan harus dijalankan sejak seseorang itu masuk agama Islam, yaitu sejak
dia mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain).10
Dengan demikian, teori receptie exit merupakan teori yang muncul untuk
menyatakan bahwa teori receptie tidak berlaku, dikarenakan isinya sangat bertentangan
dengan sumber pokok hukum Islam, sedang masyarakat Islam tidak dapat melepaskan diri
dari ikatan hukum agamanya, karena beberapa ayat al-Qur’an dengan tegas menyatakan
barang siapa yang tidak menjalankan hukum Allah maka dia tergolong orang kafir dan
zhalim.

d. Teori Receptie A Contrario

7
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Bandung: LPPM Universitas Islam.
Bandung, 1995), h. 133-134.
8
Hazairin, S.H., Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta:Tinta Mas Indonesia, 1974)
9
Hazairin, S.H., Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta:Tinta Mas Indonesia, 1974) h. 116
10
Hazairin, S.H., Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta:Tinta Mas Indonesia, 1974) h. 50

5
Teori Receptie A Contrario Adalah teori pengembangan oleh SayutiThalib,
S.H. terhadap Teori receptie exit yang diperkenalkan oleh Hazairin.11 Teori
Receptio A Contrario adalah kebalikan dari teori resepsi. Pada teori ini justru
hukum adat-lah yang berada di bawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan
hukum Islam, sehingga hukum adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh
hukum Islam. Sayuti Thalib menyatakan bahwa dalam hukum perkawinan dan
kewarisan bagi umat Islam berlaku hukum Islam. Hal ini sesuai dengan keyakinan,
cita-cita hukum, dan cita-cita moralnya, yakni teori ini mengemukakan bahwa
hukum adat bisa berlaku bagi orang Islam Manakala tidak bertentangan dengan
hukum Islam.12
Dengan demikian, dalam teori Receptie A Contrario, hukum adat itu baru
berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Bukti berlakunya teori ini
diungkapkan Sayuti Thalib dalam Bab Sembilan yang menjelaskan bahwa hukum
perkawinan Islam berlaku penuh dan hukum kewarisan islam berlaku tetap dengan
beberapa penyimpangan. Sementara pada Bab Kesepuluh menjelaskan hasil
penelitian pelaksanaan hukum perkawinan dan kewarisan yang tiba pada
kesimpulan:
a. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam;
b. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin
dan moralnya;
c. Hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan
agama Islam dan hukum Islam.
Teori receptie a contcario dapat berlaku juga bagi hukum agama selain
agama Islam,yaitu agama yang diakui oleh peraturan perundang-undangan
Indonesia.13
e. Teori Eksistensi
Teori Eksistensi adalah teori yang menerangkan tentang adanya Hukum Islam dalam
hukum nasional Indonesia. Menurut teori ini, bentuk eksistensi (keberadaan) Hukum
Islam dalam hukum nasional itu ialah:
1) Hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional;
2) Kemandirian hukum Islam diakui berkekuatan hukum nasional atau sebagai
hukum nasional;
3) Norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional
Indonesia; dan
4) Hukum Islam sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.14

Hukum nasional Indonesia adalah hukum nasional yang bersumber pada


falsafah negara Pancasila. Hukum nasional mengabdi kepada kepentingan
nasional Indonesia yang memuat nilai-nilai ke-Bhinekaan karena isi negara
Republik Indonesia memuat ke-Bhinekaan, terutama keyakinan agama.
Karenanya jelaslah bahwa hukum agama (terutama hukum Islam) harus ada
dalam hukum nasional Indonesia. Sebagai pengaruh dari teori Receptie Exit, teori

11
Sayuti Thalib, S.H.,Receptie a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam.(Jakarta :
PT. BinaAngkasa. Cetakan pertama, 1980; cetakan ketiga (revisi), 1982) h. 15-70
12
Sayuti Thalib, S.H.,Receptie a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam.(Jakarta :
PT. BinaAngkasa. Cetakan pertama, 1980; cetakan ketiga (revisi), 1982) h.65
13
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Bandung: LPPM Universitas Islam.
Bandung, 1995), h. 136-137.
14
Suparman Usman, Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 118-119.

6
Receptio A Contrario, dan pengaruh ajaran Islam sendiri, berkembanglah
kenyataan bahwa hukum tertulis Indonesia banyak dipengaruhi dan mengambil
ajaran hukum Islam. Dengan demikian, hukum Islam berada (exist) di dalam
hukum nasional Indonesia.
Menurut Ichtijanto S.A., teori Eksistensi ini merupakan kelanjutan dari teori Receptie
Exit dan teori Receptio a Contrario.15
Berdasarkan teori Eksistensi di atas, maka keberadaan Hukum Islam dalam tata
hukum nasional, merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan
lebih dari itu, Hukum Islam merupakan bahan utama atau unsur utama hukum nasional.

f. Teori Recoin (Receptio Contextual Interpretatio)


Teori Recoin adalah Interpretasi secara kontekstual terhadap teks ayatayat al-
Qur’an16 Teori ini dikemukakan oleh Afdol, seorang pakar hukum dari Universitas
Airlangga, Surabaya.
Menurut Afdol, teori recoin diperlukan untuk melanjutkan teori receptio in complexu,
teori receptie exit, dan teori receptio a contrario yang telah memberikan landasan teori
berlakunya hukum Islam di Indonesia. Lahirnya teori ini didasarkan pada hasil
penelitiannya yang menunjukkan bahwa 88,18 % perkara waris diputuskan di Pengadilan
Negeri berdasarkan hukum Adat.17
Kecenderungan masyarakat Islam memilih penerapan hukum Adat dari pada hukum
waris Islam, oleh karena hukum waris Islam dengan menerapkan penafsiran tekstual
ternyata secara empiris dirasakan ketidak adilan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka
penerapan hukum waris Islam perlu dilakukan penafsiran teks ayat-ayat alQur’an secara
kontekstual.
Dengan dasar pemikiran bahwa hukum yang diciptakan Tuhan bagi manusia pasti adil,
tidak mungkin Tuhan menurunkan aturan hukum yang tidak adil, demikian pula persoalan
waris laki-laki dan perempuan tersebut. Kalau menggunakan interpretasi secara tekstual,
ayat tersebut secara rasional dapat dinilai tidak adil. Berbeda halnya jika ayat tersebut
ditafsirkan secara kontekstual. Pada kasus-kasus tertentu, ayat tersebut dapat diberi
interpretasi bahwa “bagian waris anak perempuan adalah minimal setengah bagian anak
laki-laki”.

B. Kondisi sosial politik hukum umat islam Indonesia

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen, bukan saja


karena pluralitas suku dan agama, tetapi di kalangan orang-orang yang beragama Islam
sendiri pun terdapat pluralitas yang ditandai dengan adanya kelompok-kelompok dan
kesatuan-kesatuan sosial yang berbeda. Karena itulah tidak mengherankan jika sistem
hukum di Indonesia menganut pluralitas hukum, dalam pengertian hukum negara
berasal dari sumber-sumber yang berbeda, yaitu berasal dari hukum adat, hukum agama
(Islam), dan hukum Barat (warisan penjajah Belanda).

15
Ichtijanto S.A., Pengadilan Agama Seabagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa, dalam
Kenang-Kenangan Se Abad Pengadilan Agama (Cet. I; Jakarta: Dirbinbapera Dep Agama RI, 1985), h. 263.
16
Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 & Legislasi Hukum Islam di
Indonesia (Cet. I; Surabaya: Airlangga University Press, 2006), h. 53
17
Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama …, h. 53

7
Pluralitas hukum tersebut bukan berarti tanpa ada tarik-menarik satu sama
lainnya. Di era kemerdekaan, saat seluruh bangsa Indonesia dipimpin oleh satu otoritas
politik, pluralitas agama dan budaya bangsa Indonesia tersebut pada akhirnya akan
menimbulkan tarik-menarik antara satu kepentingan dengan kepentingan yang lain,
terutama dalam upaya pembentukan dan pembinaan hukum nasional. Dalam keadaan
seperti ini, cengkeraman politik terhadap hukum tidak terelakkan. Indikasi ini ditemui
pada proses pelaksanaan hukum, di mana pihak-pihak yang berkepentingan berusaha
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yang sudah berbentuk hukum, sejalan dengan
kepentingan kekuatan serta searah dengan faktor masa dan ruang (time and space
factors) yang mengelilinginya. 18
Negara dengan jumlah populasi yang besar cenderung lebih heterogen daripada
negara kecil dengan populasi yang lebih sedikit. Dalam negara yang heterogen, nilai-nilai
manakah yang mencerminkan hukum? Kenapa hukum mencerminkan nilai-nilai suatu
kelompok dan bukan bagi kelompok yang lain?19 Menurut Abel, untuk menjawab pertanyaan
tersebut bisa kembali pada teori politik kepentingan-kelompok (interest-group politics) dalam
terminologi pluralisme liberal, atau teori konflik kelas (class conflict) dalam terminologi
Marxist.20 Dengan demikian sebenarnya jelas bahwa hukum, selain berasal dari nilai-nilai dan
etika sosial, juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik.

Begitu juga dengan keberadaan hukum Islam di Indonesia. Di satu sisi masyarakat
Muslim menghendaki diberlakukannya hukum Islam, terutama di bidang hukum keluarga,
namun di sisi lain pemerintah—pada masa Orde Baru—menghendaki unifikasi hukum. Situasi
ini jelas telah memunculkan tarik-menarik antara kepentingan masyarakat Muslim dengan
penguasa, sebagaiman terlihat dalam proses penetapan UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,
dan bahkan setelah berlakunya UU PA tersebut, pemerintah Orde Baru “hanya berkenan”
memberikan hukum materi berupa Instruksi Presiden untuk menyebarluaskan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (KHI) sebagai bahan acuan penyelesaian perkara hukum Islam21

Dari hal tersebut bisa dilihat bahwa sebenarnya pemberlakuan dan penerapan hukum
Islam tergantung pada kehendak (political will) penguasa, sehingga negara memegang hak
monopoli dalam pemberlakuan hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat melalui
justifikasi dan legislasi kekuasaan negara yang menjadi alat kunci bagi aplikasi hukum Islam di
Indonesia. 22

18
Arbi Sanit, Swadaya Politik Masharà'at: Telaah Tentang Keterkaitan Organisasi Masharà'at, Partisipasi Politik
Pertumbuhan Hukum dan Hak asasi Manusia (Jakarta: Rajawali Pers, 1985), h. 84.
19
Richard L. Abel, “Comparative Law”, h. 222.
20
Richard L. Abel, “Comparative Law, h. 223.
21
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Dalam
hierarkhi tata hukum Indonesia, sebagaimana tertuang dalam pasal 7 UU No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Instruksi Presiden (Inpres) bukanlah bagian dari peraturan
perundang-undangan. Menurut Jimly Asshiddiqie, instruksi presiden merupakan “policy rules” atau
“beleidsregels”, yaitu bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan
perundang-undangan yang biasa. Disebut “policy” atau “beleids” atau kebijakan karena secara formal tidak
dapat disebut atau memang bukan berbentuk peraturan yang resmi. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 20.
22
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum di Indonesia, cet.1 (Yogyakarta:
LKiS, 2001), h. 10.

8
Selain itu, konsepsi tentang hukum oleh negara dan masyarakat Muslim modern agak
berbeda dengan konsepsi dari para ulama klasik yang merumuskan ketentuan-ketentuan fiqh.
Dunia modern, terutama dalam sistem hukum Civil Law sebagaimana dianut Indonesia,
menghendaki adanya perundang-undangan (enactment), dan hal ini berbeda dengan tradisi
hukum Islam yang lebih banyak menggunakan yurisprudensi.23 Konsep hukum modern
menghendaki adanya aturan perundang-undangan (legal codes yang bersifat unifikatif,
sementara hukun Islam mendasarkan otoritasnya pada ulama dan hakim.24 Bowen
menegaskan bahwa hukum Islam sebenarnya berasal dari masyarakat (civil society), bukan
berasal dari Negara.25 Hal ini menjadi salah satu sebab terjadinya kontradiksi atau
pertentangan antara hukum dalam perundang-undangan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat berdasarkan yurispridensi hukum Islam (kitab-kitab fiqih).

Dengan demikian, kehendak (political will) dari penguasa negara menjadi faktor
penentu ke manakah hukum Islam hendak di arahkan. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan
hukum Islam di Indonesia mulai dari masa kolonial Belanda, masa pasca kemerdekaan, dan
masa Orde Baru di mana hukum Islam mengalami pengaruh yang sangat kuat dari
kepentingan penguasa. Pada masa kolonial Belanda berlaku politik receptie terhadap hukum
Islam di mana keberadaan hukum Islam hanya bisa diakui setelah menjadi bagian dari hukum
adat. Pada masa pasca kemerdekaan situasi politik yang tarik-ulur antara kelompok nasionalis
dan Islamis membuat hukum Islam dalam keadaan status quo. Demikian juga pada masa Orde
Baru, rezim penguasa menghendaki unifikasi hukum yang sumbernya lebih mengutamakan
pada hukum adat dan hukum Barat.

Berdasarkan fakta sejarah dapat diketahui bahwa sebenarnya telah terjadi dinamika
dalam pemberlakuan hukum Islam di Indonesia yang sangat terkait dengan situasi sosial dan
politik serta tidak bisa lepas dari kebijakan yang dibuat pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan politik tertinggi. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pemberlakuan
pluralitas hukum dikenal yang dengan hukum antar-golongan, yang cenderung menggunakan
pendekatan konflik, terbukti telah mengalami kegagalan. Demikian juga dengan produk.26
produk hukum yang berkaitan dengan hukum Islam yang dibuat pada masa Orde Baru, di
antaranya adalah UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama, dengan kebijakan hukum yang
menghendaki adanya unifikasi telah mengalami distorsi dan lepas dari aspek the living law.
Kebijakan tersebut juga ternyata telah melahirkan pertentangan atau konflik antar-hukum,
terutama yang berkaitan dengan hukum Islam. Dengan demikian, teori tentang konflik hukum,
teori pluralitas hukum, dan teori politik hukum, menjadi sangat tepat untuk melihat
bagaimana konflik hukum tersebut bisa terjadi.

Selain itu, Secara historis tersemai konflik dalam problem penenerapan syariat Islam,
baik melalui jalur politik dan konstitusi maupun melalui perjuangan fisik, dan hal itu telah
menjadi bagian dari sejarah panjang perjuangan umat Islam di negeri ini. Namun demikian
kenyataan sosial politik menujukkan bahwa gagasan semacam itu tidak pernah mendapat
dukungan mayoritas penduduk Indonesia. Oleh banyak pengamat fenomena ini dianggap
aneh, sebab Indonesia dikenal sebagai negeri dengan penganut Islam terbesar di dunia.

23
John R. Bowen, “Law and Social Norms in the Comparative Study of Islam”, American Anthropologist, vol.
100, no. 4, December 1998, h.1034.
24
John R. Bowen, “Law and Social Norms”, h 1034.
25
John R. Bowen, “Law and Social Norms”, h 1034
26
6MB. Hooker, “Introduction: Islamic Law in South-east Asia”, Australian Journal of Asian Law,Vol. 4,
No. 3, Desember 2002, h. 214

9
Pertanyaan yang patut kita renungkan: bagaimana mungkin di negeri yang mayoritas
penduduk muslim gagasan penegakkan syariat Islam tidak pernah mendapat sambutan serius.
27

Kenyataan politik menunjukkan bahwa Indonesia secara konstitusional bukan negara


Islam melainkan negara Pancasila. Oleh karenanya, tidaklah mungkin secara formal
kelembagaan umat Islam mewujudkan seutuhnya prinsip Islam tentang hukum terutama
dalam bentuknya yang resmi.28

Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala sesuatunya harus
dirumuskan secara demokratis, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi masyarakat luas
sehingga produk hukumnya sesuai dengan hati nurani rakyat. Jalannya roda kenegaraan tidak
dapat dilepaskan dari bingkai kekuasaan, karena dalam negara terdapat pusat-pusat
kekuasaan yang senantiasa memainkan peranannya sesuai dengan tugas dan wewenang yang
telah ditentukan. Namun dalam pelaksanaannya satu sama lain sering berbenturan karena
kekuasaan yang dijalankan tersebut berhubungan erat dengan kekuasaan politik yang sedang
bermain. Dalam sebuah negara, kekuasaan hukum dan politik merupakan satu kesatuan yang
sulit untuk dipisahkan, karena semua komponen tersebut senantiasa bermain dalam
pelaksanaan roda kenegaraan dan pemerintahan.29 Karena itu perlu dicari akar konfliknya,
yaitu perbedaan30 tersebut bisa terjadi juga pada upaya positivisasi hukum (Islam).

Hal yang menarik bahkan unik persoalan positivisasi hukum Islamtidak bisa lepas dari
wacana dan perdebatan tentang konsep kebangsaan yang juga membawa gagasan Islam
sebagai dasar negara dan gagasan lain yang menghendaki berlakunya negara dan hukum lain
yang juga berakar dalam kehidupan rakyat Indonesia.31Berdasarkan catatan sejarah
bangkitnya nasionalisme Indonesia, pada masa tersebut ditandai dengan munculnya
pergerakan yang berjuang melawan kolonial Belanda dan Jepang untuk segera bebas dari
cengkeraman penjajah. Dalam perjuangan ini Islam mempunyai peran penting dalam
menentukan eksistensi negeri ini dan perdebatan tentang apakah negara merdeka kelak
berideologi Islam atau non Islam dapat diikuti dalam catatan-catatan sejarah nasional kita.

Pertama, pada tahun 1916, muncul heboh Jawi Hisworo, yaitu pertarungan politik antara
perjuangan ideologi non Islam melawan Islam. Ketika itu sebuah koran berbahasa Jawa Jawi
Hisworo memuat tulisan yang menghina Nabi Muhammad dengan mengatakannya sebagai
pemabuk dan pemadat yang tentu saja kemudian membangkitkan umat Islam untuk membela
haknya disertai muatan gagasan bahwa masyarakat perlu diatur secara Islam, seperti yang
disyariatkan melalui Nabi Muhammad Saw. Gerakan ini secara gencar disuarakan oleh Sarekat
Islam. Menghadapi reaksi umat Islam seperti ini pada tahun 1918 pendukung Jawi Hisworo
membentuk Panitia Kebangsaan Jawa. Panitia ini mengecam gerakan kelompok Sarekat Islam

27
Ahmad Faissal, “Rekonstruksi Syariat Islam (Kajian Tentang Pandangan Ulama Terhadap Gagasan
Penegakkan Syuar`at Islam Oleh KPPSI di Sulawesi Selatan”, Disertasi Doktor Program Pascasarjana UIN Sunan
Kaliaga, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2004) hlm. 2-3.
28
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum: Perbedaan konsepsi Antara Hukum Barat dan Hukum Islam” hlm. 43
29
Firdaus, “Politik Hukum di Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum)”, dalam Jurrnal Hukum
Islam. Vol. 12 No. 10. September 2005, hlm. 49-50.
30
Amin Abdullah, Agama dan Resolusi Konflik, disampaikan dalam Kegiatan Seminar Nasional Revitalisasi
Agama Untuk Resolusi Konflik Indonesia, hlm. 1.
31
Moh. Mahfud MD, “Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia” dalam Syamsul Anwar, Antologi
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia antara Idealitas dan Realitas, (Yogyakarta: Fakultas Syari`ah UIN Sunan
Kalijaga, 2008), hlm. 60.

10
dalam kehidupan politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kelompok ini
menandaskan bahwa politik dan agama harus dipisah, sedang kelompok Sarekat Islam justru
ingin mengaitkan politik dengan agama (Islam).

Kedua, Polemik antara Soekarno dan Natsir 32 tentang Islam dan Negara. Polemik ini
diawali dari tulisan Soekarno dalam Panji Islam dengan judul Memudakan Pengertian Islam.
Tulisan ini semula dimaksudkan untuk menanggapi tulisan K.H. Mas Mansur yang berjudul
Memperhatikan Gerakan Pemuda di dalam Majalah Adil dan Panji Islam. Tulisan Soekarno
berisi kritik tajam terhadap kekolotan Islam yang dikatakannya perlu dikoreksi pengertian-
pengertiannya. Soekarno mengajak agar paham dan pemikiran Islam selalu diperbaharui dan
tidak dipertahankan secara kolot sebab hukum-hukum Islam itu dapat selalu menyesuaikan
dengan kultur dan perkembangan keadaan dan dapat cocok dengan kemajuan. Selain itu
Soekarno juga menyinggung hubungan negara dengan agama, yaitu demi kebaikan bahwa
agama dan negara keduanya harus dipisahkan sebagai mana dikemukakan oleh Kemal at-
Taturk pada tahun 1928. Tulisan Soekarno selanjutnya ditanggapi oleh Natsir dengan nama
samaran Muchlis dalam Majalah al-Manar dan Panji Islam dengan judul Perskot dengan
melontarkan keheranannya terhadap Soekarno yang mengagungkan Kemal at-Taturk yang
memisahkan negara dengan agama, dan mengapa pula Soekarno menolak persatuan negara
dan agama dengan alasan tidak ada ijmak. Maka dalam tulisannya Natsir membalik logika
Soekarno tentang ijmak dengan menanyakan, kalau tidak ada ijmak tentang persatuan negara
dan agama, maka adakah ijmak tentang keharusan memisahkan antara agama dan negara.
Oleh karena itu pandangan Soekarno harus ditolak karena tidak ada ijmak.33

Ketiga. Perdebatan formal di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan


(BPUPKI) yang dibentuk pada bulan April 1945 maupun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), suatu badan yang dibentuk untuk menyatakan kemerdekaan, melakukan
pengalihan kekuasaan, mensahkan konstitusi, dan membentuk pemerintahan bagi Indonesia
jika akan merdeka.34 Di sinilah puncak pertentangan tampak semakin jelas ketika proses
pembentukan dasar negara Republik Indonesia. Pertentangan- pertentangan seperti ini,
selain memang telah ada sebelum Jepang datang, sebenarnya hasil maksimal dari proses
devide et empera yang dilakukan Jepang untuk memperkuat kedudukannya.35 Dengan kata
lain ketegangan antara golongan Islam dan nasionalis menjadi jelas ketika Jepang membentuk
BPUPKI dan sidang-sidangnya ketika membahas dasar negara, dengan bentuk kolaborasi
dengan beberapa kelompok bangsa Indonesia. Ketika itu bangsa Indonesia setidak-tidaknya
dapat dikelompokkan menjadi tiga macam kelompok yaitu elite nasionalis, elite priyayi, dan
elite Islam. Dalam melangsungkan kolaborasinya, ketiga kelompok ini diakomodasi secara

32
Polemik antara dua tokoh ini juga terjadi pada masa pascakemerdekan hanya saja objeknya kebijakan
merebut Irian Barat. Mereka berbeda pemikiran strategi politik walaupun mempunyai dampak yang sama,
yaitu ujungnya pada persoalan ideologi antara Nasionalis dengan Islam. Lihat A. Syafii Maarfif, Islam dan Politik
di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) hlm.
73- 77
33
Diliar Noer, Gearakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 296.
34
Ibid. hlm. 66.
35
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pedudukan Jepang, alih bahasa:
Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 185.

11
bergantian,36 sehingga sejak itu hubungan politik Islam dan negara terjadi saling curiga
mencurigai yang melahirkan hubungan antagonistik.37

Pada sidang pleno ke-2 tanggal 10-16 Juli 1945 dicapai kesepakatan tentang dasar
negara dan UUD negara yakni Piagam Jakarta dan UUD 1945. Piagam Jakarta yang dituangkan
dalam rancangan Mukadimah mengakomodasi Islam sebagai dasar negara khusus bagi umat
Islam, yang dimasukkan di dalam sila pertama dengan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya.”

Terlepas dari isinya yang memang tak diperdebatkan, penyusun Mukadimah dengan
Piagam Jakarta dijelaskan oleh kedua sumber buku secara berbeda. Menurut keterangan
Yamin, Piagam Jakarta itu disusun oleh Panitia Sembilan yang ditunjuk oleh BPUPKI pada
sidang tanggal 1 Juni 1945,38 tetapi menurut AB Kusuma dikemukakan bahwa sebenarnya
Panitia Sembilan itu tidak pernah dibentuk oleh BPUPKI, melainkan dibentuk secara spontan
dan tidak prosedural oleh Soekarno karena perkembangan situasi Perang Dunia II yang sedang
memanas pada saat itu. Pendapat AB Kusuma ini didasarkan pada isi pidato Bung Karno sendiri
yang meminta maaf kepada sidang BPUPKI karena telah mengumpulkan 9 orang secara tidak
prosedural untuk menyusun rancangan Pembukaan UUD yang oleh Ir. Soekarno diberi judul
“Mukadimah”, oleh Yamin diberi nama “Piagam Jakarta” dan oleh Dr. Sukiman disebut dengan
Gentlemen`s Agreement karena belum menjadi keputusan BPUPKI.39

Perebutan pengaruh politik antar dua kubu, yaitu Islam dan nasionalis yang tampak ketat
demikian terlihat dalam perdebatan pada sidang-sidang di BPUPKI/PPKI. Kelompok Islam
menyatakan bahwa Indonesia kelak harus menjadi negara Islam atau Islam menjadi ideologi
negara. Kelompok nasionalis mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional.
Dalam perkembangan berikutnya kelompok Islam pecah menjadi dua, yaitu kubu yang tetap
ingin ideal dengan cita-cita negara Islam dan kubu yang bersikap akomodatif. Sementara
kelompok Nasionalis pecah menjadi dua juga, yakni nasionalis sekuler dan nasionalis agamis.
Kelompok Islam akomodasionis inilah yang sekarang bersama dengan nasionalis agamis
berusaha untuk memperjuangkan Islam bukan dari labelnya tetapi substansialnya.40

C. Proses legislasi hukum islam di Indonesia

Perjalanan hukum Islam dalam tata hukum nasional tidak terlepas dari politik hukum
yang dikembangkan pararel dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Positivisasi
hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun)
merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama
dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan
pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan,
peranan elite Islam cukup dominan dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di
tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan. Adapun

36
Ibid., hlm. 209 dan 243.
37
Hubungan Antagonistik, adalah pola hubungan yang mencerminkan hubungan yang hegemonik anatara
Islam dengan pemerintah. Dapat dilihat dalam M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah
Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 9.
38
Moh. Mahfud MD, “Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia....”, .hlm. 66.
39
MR. AB. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004), hlm. 21.
40
Ratno Lukito, Hukum Islam dan Realitas Sosial, (Yogyakarta: Fakultas Syari`ah UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm.
61.

12
prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi
hukum Islam (legal drafting) hendaknva mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh
badan kekuasaan negara secara kolektif.
Kekuasaan tersebut juga disebutkan dalam Pasal 20 ayat (4) Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang dan
Pasal 21 ayat (2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak
disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.41
Meski demikian baik dari internal maupun eksternal masyarakat Islam hambatan
seringkali muncul. Hal ini dipengaruhi oleh politik hukum --teori receptie--42 dari pemerintah
kolonial Belanda yang diciptakan oleh C. Snouck Hurgronje. Dan realitas politik secara
konstitusional juga harus dipahami bahwa negara kita bukan negara Islam melainkan negara
Pancasila dan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, plural yang
dihadapkan pada konfigurasi etnik, agama, dan geografis, maka secara teori pluralistik bahwa
masyarakat majemuk akan dapat membangun sistem sosial politik yang solid dan stabil
bilamana mereka mampu membangun nilai bersama.43
Berkait dengan realitas politik dan konstitusi, muncul berbagai pemikiran atau
pandangan tentang persoalan positivisasi atau legislasi hukum Islam sebagai berikut:
1. Teori Formalistik-Legalistik, penerapan syari’at Islam harus melalui institusi
negara dan syari`at melalui konstitusi harus diusahakan untuk menjaga substansi
agama agar bisa dilaksanakan secara baik. Karenanya secara formalistik harus
diperjuangkan, bagaimana syari`at Islam masuk dalam undang-undang dasar,
kemudian diikuti oleh undang-undang lain.
2. Teori Strukturalistik, Pemikiran strukturalistik dalam penerapan syari`at Islam di
Indonesia menekankan kepada transformasi dalam tatanan sosial dan politik agar
bercorak Islami melalui pendekatan struktural. Pendekatan struktural
mensyaratkan pendekatan politik, lobi atau melalui sosialisasi ide-ide Islam,
kemudian menjadi masukan bagi kebijakan umum.
3. Teori Kulturalistik, pendekatan kultural menekankan transformasi dalam prilaku
sosial agar bercorak Islami. Pendekatan ini hanya mensyaratkan sosialisasi dan
internalisasi syari’at Islam oleh umat Islam sendiri, tanpa dukungan langsung dari
otoritas politik dan institusi negara. Para pendukung pendekatan kultural ini ingin
menjadikan Islam sebagai sumber etika dan moral; sebagai sumber inspirasi dan
motivasi dalam kehidupan bangsa bahkan sebagai faktor komplementer dalam
pembentukan struktur sosial.
4. Teori Subtantialistik-Aplikatif, penerapannya diserahkan kepada umat Islam
sendiri; apakah harus berdasarkan otoritas negara atau bersifat struktural,
kultural, substansial, individu, atau kolektif. Telah menjadi wacana bagaimana
menjadikan hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam kerangka
sistem hukum Pancasila.
Proses legislasi sendiri merupakan perpaduan antara politik hukum nasional dengan
kultur hukum (kesadaran hukum masyarakat). Kedua unsur ini berkait kelidan satu sama lain.

41
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945 yang telah diamandemen.
42
Teori resepsi dapat dilumpuhkam dengan Iijtihad jama`i atau konsensus jika dilaksanakan dengan kerjasama
yang baik. Lihat Yudian Wahyudi, Ushul Fikih, hlm. 44.
43
Pudjo Suharso, ‘Pluralisme Bangsa Menuju Indonesia Baru’ dalam Khamami Zada-Idy Muzayyad (Ed.),
Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, (Yogyakarta: Senat Mahasiswa Fakultas Syari`ah IAIN Sunan
Kalijaga bersama Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 147.

13
Penyesuaian arah dan tujuan antara keduanya merupakan faktor penentu bagi efektifitas
sebuah legislasi untuk mencapai substansi hukum yang aspiratif sesuai dengan keinginan dan
karakter masyarakat, tradisi dan suasana kehidupan keagamaan yang ada di masyarakat 44
Selanjutnya, dalam rangka Indonesianisasi hukum Islam menuju positivisasi hukum
perlu diperhatikan adanya kaedah-kaedah penuntun nasional45 yaitu: Pertama, hukum di
Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa dan karenya tidak boleh ada
hukum yang diskriminatif berdasarkan ikatan primordial, hukum nasional harus menjaga
keutuhan bangsa dan negara baik secara teritori maupun ideologi. Kedua, hukum harus
diciptakan secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah kebijaksanaan.
Pembuatannya harus mencerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan dilakukan dengan cara-
cara yang secara hukum atau prosedural fair. Dan tidak cukup dengan demokarasi tetapi harus
disesuaikan dengan falsafah yang mendasarinya. Ketiga, hukum harus mendorong terciptanya
keadilan sosial yang antara lain, ditandai oleh adanya proteksi khusus oleh negara terhadap
kelompok masyarakat yang lemah agar tidak dibiarkan bersaing secara bebas btapi tidak
pernah seimbang dengan sekelompok kecil bagian masyarakat yang kuat. Keempat, tidak
boleh ada hukum publik (mengikat komunitas yang ikatan primordialnya beragam) yang
didasarkan ajaran agama tertentu sebab negara hukum Pancasila mengharuskan tampilnbya
hukum yang menjamin toleransi hidup beragama yang berperadaban. Melaului kaedah-
kaedah di atas lahirlah sistem hukum nasional atau sistem hukum Pancasila yang bercirikan
perpaduan antara dua sistem yang bertentangan tetapi dapat di ambil segi-segi positifnya.
Selain itu upaya Indinesianisasi hukum Islam menuju pembangunan hukum nasional
yang harmonis antara sistem hukum yang ada di Indonesia menjadi peraturan perundang
undangan yang diberlakukan oleh negara adalah sangat erat dengan tiga komponen hukum46
yaitu:
a. Substansi hukum (substance rule of the law), peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi
aparat penegak hukum;
b. Struktur hukum (structure of the law), aparatur hukum dan sistem penegakan
hukum;
c. Budaya hukum (legal culture), merupakan penekanan dari sisi budaya secara
umum, kebiasaan- kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir, yang
mengarahkan kekuatan sosial dalam masyarakat.

merupakan jiwa atau ruh yang menggerakan hukum sebagai suatu sistem sosial yang memiliki
karakter dan teknik khusus dalam pengkajiannya

Atas dasar itu, sebagai upaya mengindonesiakan hukum Islam berdasarkan catatan
sejarah ada tiga model atau pola legislasi, yaitu:

a. unifikasi, artinya satu undang-undang untuk semua golongan adalah suatu


langkah penyeragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan
bagi seluruh bangsa di suatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional di
negara tersebut. ;

44
A.hamid S. Attamimi,”Kedudukan dan Peranan Presiden dalam Fungsi Legislatif Menurut Sistem Politik
Demokrasi Pancasila”. Dalam Mariam Budiharjo dan Ibrahim Ambong (ed), Fungsi Legislatif dalam Sistem
politik Indonesia.(Jakarta :Raja Grafindo Persada.1995) hlm.25
45
Moh. Mahfud MD, ‘Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia’, 2008), hlm. 72.
46
Lawrence M. Friedman; The Legal System; A Social Scince Prespective, (New York: Russel Sage Foundation,
1975), hlm. 12 – 16.

14
b. diferensiasi, artinya masing-masing golongan mempunyai undang- undang
sendiri;
c. diferensiasi dalam unifikasi artinya ada satu undang-undang pokok selanjutnya
masing-masing golongan ada undang-undang atau peraturan organiknya sendiri-
sendiri.

Maka untuk mengimplementasikannya yang terpenting bahwa hukum Islam mampu


bersaing dengan sistem hukum yang lain agar menjiwai dan melandasi bagi bangunan hukum
nasional. Menurut Padmo Wahjono sebagaimana dikutip oleh Alamsjah Ratu Prawiranegara,
untuk mewujudkan hukum Islam menjadi hukum nasional diperlukan dua syarat. Pertama
keberanian. Tanpa keberanian, semua gagasan tidak akan jalan. Kedua, semua gagasan harus
masuk dalam bingkai Pancasila. Melalui Pancasila itulah, tanpa perlu terlalu banyak menyebut
Islam, hukum mayoritas mempunyai prospek untuk diberlakukan. Sebab jelas sekali, sila
pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak lain adalah tauhid, Jadi yang diperlukan
adalah orang yang pintar agama sekaligus pintar politik. Dan tema kita harus selalu dalam
rangka memperkuat Negara yang berdasarkan Pancasila.47
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat bahwa untuk melakukan reaktualisasi
hukum Islam diperlukan tiga syarat yang harus dipenuhi:

1. Adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim.
2. Adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak
konvensional dari pasangan-pasangan pilihan (antara wahyu dan akal; antara kesatuan
dan keragaman; antara idealisme dan rasionalisme; antara stabilitas dan perubahan).
3. Memahami faktor-faktor sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu
produk pemikran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk
pemikiran hukum. Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan
unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan
sendirinya harus diubah. Dengan demikian dinamika hukum Islam terus dapat dijaga dan
dikembangkan.48 Sebagaimana diterangkan oeh An-Naim yang menjelaskan bahwa tidak
etis jika sabda Tuhan (agama) dijadikan konstitusi negara karena agama merupakan hak
individu yang memiliki kebebasan yang sama dalam soal ini. Jika dipaksakan menjadi
konstitusi negara tanpa mengakomodir pihak-pihak lain pasti akan terjadi konflik .49

D. Produk legislasi hukum islam di Indonesia dalam bidang Mu’amalah (Ekonomi


Syari’ah)

Bebarapa hukum Islam yang masuk dalam pola hubungan antara hukum Islam dengan
hukum nasional50 artinya “hukum Islam” yang diformalisasikan menjadi hukum positif yaitu:
a. Hukum Islam hanya untuk umat Islam:

47
Alamsjah Ratu Prawiranegara “Strategi Perjuangan Umat Islam di Bidang Hukum” dalam Amrullah Ahmad,
Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H., hlm.
244.
48
H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1998) hlm. 97-102.
49
Abdullah Ahmad An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Mengasikan Masa Depan Syari`ah, hlm. 27.
50
Ichtjanto S.A, ’Prospek Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara dalam Sisitem Politik Hukum di
Indonesia’, dalam Amrullah Ahmad Dkk (Penyusun), Dimensi Hukum Islamdalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), hlm. 183. Dan

15
1) Peradilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 dan
UU No.50 Tahun 2009 tersebut mengandung Asas Personalitas Keislaman;
2) Penyelenggaraan Ibadah Haji diatur dalam UU No. 17 Tahun 1999 jo UU No. 13
tahun 2008;
3) Pengelolaan Zakat diatur dalam U No. 38 tahun 1999 jo No. 23 Tahun 2011 UU
No. 38 tahun 1999 ;
4) Wakaf diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004;
5) Perbankan Syariah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008;
6) Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 jo
Keputusan Menteri Agama No.154 Tahun 1991, adalah sebuah cara untuk
melakukan penataan di bidang perkawinan dan bidang kewarisan bagi umat
Islam.

b. Hukum Islam masuk dalam hukum nasional secara umumn yang memerlukan pelaksanaan
khusus:

1) Perkawinan diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang, beserta peraturan
pelaksana, yaitu PP. No. 9 Tahun 1975. Kemudian PP No. 45 Tahun 1990 Tentang
Tatacara Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
2) Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam UU. No. 11 Tahun 2012;
3) Kejahatan Dalam Rumah tangga (KDRT), UU No.32 Tahun 2004, secara substansial
menghendaki adanya perlindungan pihak yang berada dalam lingkup keluarga
mendapat perlindungan baik dari aspek pribadi, maupun dari aspek publik;
4) Pemerintahan Aceh diatur UU No. 11 Tahun 2006, lembaga peradilan secara
khusus di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai bagian dari sistem
peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah.

c. Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku
untuk setiap warganegara Republik Indonesia, contohnya UU No. 23 Tahun 1990 Tentang
Kesehatan.

E. DSN MUI dan peranannya dalam ekonomi syari’ah Indonesia

DSN atau Dewan Syari’ah Nasionaladalah tim yang dibentuk oleh MUI pada tanggal
10 Februari 1999 melalui SK MUI No. Kep-754/MUI/II/1999 tentang pembentukan Dewan
Syariah Nasional atas rekomendasi dari hasil Lokakarya pada tanggal 29-30 Juli 1997selain
membahas pandangan syariah terhadap reksa dana, disana juga dibahas latar belakang
perkembangan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia yang dilakukan oleh LKS sebelum tahun
1999, yaitu perbankan syariah dimulai sejak tahun 1992, asuransi syariah dimulai sejak tahun
1994, dan pasar modal syariah dimulai pada tahun 1997, yang membuat para praktisi ekonomi
syariah merasakan penting adanya suatu lembaga yang dapat memeberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan mengenai ekonomi syariah.51
Pada awal tahun 1999, Dewan Syariah Nasional secara resmi didirikan sebagai
lembaga syariah yang bertugas mengayomi dan mengawasi operasional aktivitas
perekonomian lembaga keuangan syariah (LKS). Selain itu, juga untuk menampung berbagai

Ichtjanto S.A,, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan Departenen Agama RI, 2003), hlm. 37.
51
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia,
(jakarta: Intermasa, 2004), h.143-145

16
masalah/kasus yang memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penanganannya oleh
masing-masin DPS yang ada di masing-masing LKS.52
Sejalan dengan berkembangnya Lembaga Keuangan Syari’ah di tanah air,
berkembang pulalah jumlah Dewan Pengawas Syari’ah yang berada dan mengawasi masing-
masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya Dewan Pengawas Syari’ah di masing-
masing Lembaga Keuangan Syari’ah adalah suatu hal yang harus disyukuri. Tetapi juga
diwaspadai. Kewaspadaan ini berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang
berbeda-beda dari masing-masing dewan. Selang beberapa waktu, peranan para Ulama
lambat laun kembali kearah yang lebih bersifat politik, dan bahkan meluas hingga ke dunia
luar, khususnya setelah terjadi pendekatan dengan mekah melalui ibadah haji pada abad ke
Sembilan belas, Gerakan Padri pada abad ke Sembilan belas (1827-1837) adalah bukti bahwa
peranan ulama di jaman Penjajahan Belanda mulai memeperoleh warna politik, dan pada
abad kedua puluh para ulama sudah terlibat dalam Gerakan Kebangkitan Nasional. Pada masa
Revolusi (1945-1949) para ulama menjalankan peranan sangat penting dalam aksi Mobilisasi
masa untuk bertempur melawan Belanda. Banyak diantara para komandan kaum gerilya yang
bertempur berasal dari para ulama dari berbagai tingkatan, umumnya disebut para kiai, pada
masa 1950-1959 dibawah sistem demokrasi parlementer peranan politik para ulama menjadi
makin penting, karena sebagian besar partai politik berdasarkan afiliasi agama dan dipimpin
oleh pemuka-pemuka Agama. Pada masa 1959- 1965 di bawah demokrasi terpimpin Presiden
Soeharto khususnya setelah pembubaran Masyumi, para ulama harus mengundurkan diri dari
politik formal dan membatasi perananya pada soal-soal keagamaan saja, kecuali sejumlah
kecil ulama Nahdatul Ulama yang masih tetap memperoleh lindungan Soekarno. Pada masa
pemerintahan Soeharto (sejak tahun 1966 dan seterusnya) sifat peranan kaum Ulama,
termasuk mereka dari Nahdatul Ulama, dibatasi lebih lanjut hingga pada soalsoal keagamaan
saja, partai-partai politik tidak lagi diperbolehkan berdasar pada afiliasi dan bernaung dibawah
panji agama.53

Pada tahun 2000, lampiran II dari SK MUI No. Kep754/MUI/II/99 tentang


pembentukan Dewan Syari’ah Nasional dijadikan sebagai Pedoman Dasar Dewan Syari’ah
Nasional melalui keputusan DSN-MUI No. 01 Tahun 2000. Tugas dan kewenangan DSN-MUI
adalah sebagai berikut.

a. Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syari'ah dalam kegiatan


perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
b. Mengeluarkan fatwa atau jenis-jenis kegiatan keuangan.
c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa cadangan syari'ah
d. Mengawasi penetapan fatwa yang telah dikeluarkan.54
Berdasarkan surat keputusan Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.
10 tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (PD
DSN-MUI). Dewan Syari’ah Nasional mempunyai wewenang :

a) Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syari’ah di masing-masing Lembaga


Keuangan Syari’ah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait

52
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Syariah di Indonesia, (Jakarta: kencana, 2005). h 80
53
Mohamad atho Mudzhar, Fatwa-fatwa majelis Ulama Indonesia....h. 53-54
54
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia....
h.146

17
b) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
c) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan
duduk sebagai Dewan Pengawas Syari’ah pada suatu Lembaga Keuangan Syari’ah.
d) Memberikan peringatan kepada Lembaga Keuangan Syari’ah untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional.
e) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila
peringatan tidak diindahkan55
Salah satu tugas utama Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah mengeluarkan fatwa
dalam bidang ekonomi syariah. Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN menjadi pedoman bagi
lembagalembaga keuangan syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan atas permintaan atau
pertanyaan secara individu atau lembaga yang menhendaki adanya kepastian hukum secara
syar’i atas problem yang dihadapinya. Setiap fatwa yang dikeluarkan DSN didasarkan atas
tujuan agar seluruh operasional keuangan syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN tidak hanya di pedomani oleh seluruh lembaga keuangan
syariah, tetapi menjadi sumber materiil dalam menentukan keabsahan operasional lembaga
keuangan syariah. Dengan kata lain, kontribusi fatwa yang dikeluarkan oleh DSN merupakan
sumber materiil yang dimuat dalam kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa Dewan Syariah Nasional
(DSN) adalah Lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan
memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk, jasa, dan kegiatan bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Serta Dewan syariah nasional
merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia. Dewan syariah nasional membantu pihak
terkait, seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun
peraturan/ketentuan untuk lembaga keuangan syariah.

55
Wirdyaningsih, dkk, Bank Dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 81

18
DAFTAR PUSTAKA

 Dr. Juhaya SP (Ed.), Hukum Islam di Indonesia perkembangan dan pembentukan,(Bandung :


Rosda, 1991)
 DR. Juhaya s. Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Bandung: LPPM Universitas Islam.
Bandung, 1995),
 Alfian, Segi-segi Sosial Budaya M asyarakat Aceh (Jakarta: LP3ES, 1977)
 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta : LP3ES, 1985)
 Ismail Suny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional ( Jakarta : Universitas
Muhammadiyah, 1987)
 H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998)
 Ichtjanto S.A, ’Prospek Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara dalam Sisitem
Politik Hukum di Indonesia’, dalam Amrullah Ahmad Dkk (Penyusun), Dimensi
Hukum Islamdalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 tahun Prof. Dr. H.
Bustanul Arifin, S.H., (Jakarta:Gema Insani Press, 1996),

Anda mungkin juga menyukai