Anda di halaman 1dari 6

PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI INDONSIA

1. Receptio in complexu
Sesuai dengan pendapat Carel Frederik Winter, seorang ahli tertua mengenai

soal soal Jawa Javaichi yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859),

Solomon Keuzer (1823-1868) maha guru ilmu bahasa dan ilmu kebudayaan Hindia

Belanda juga berpendapat bahwa di Indonesia berlaku Hukum Islam, dan terakhir

Prof. Mr.Lodewijkw Willem Christian Van den Berg (1845-1927, yang pada tahun

1984 beliau menulis buku tentang Muhammadansch Recht (Asas-Asas Hukum Islam),

menyatakan bahwa, Hukum Islam diperlukan bagi orang orang islam bumiputra

walaupun dengan sedikit penyimpangan penyimpangan. Dari kebanyakan para ahli

berpendapat maka hukum itu pada hakikatnya mengikuti agama yang dianut, maka

jika orang itu memeluk agama islam maka hukum islamlah yang berlaku baginya.

Karena pendapatnya dan karyanya itu kemudian LCW Van den Berg disebut sebagai

orang yang menemukan dan memperlihatkan berlakunya hukum islam di Indonesia.

Beliau mengatakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum

islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan hal ini berarti bahwa menurut

Van den Berg yang diterima oleh orang Islam Indonesia tidak hanya bagian-bagian

hukum islam tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan, yang kemudian munculah

teori ini.
Pendapat tersebut sesuai dengan Regeerings Reglement (Staattsblad 1884 No.

129 di Negeri Belanda jo. S.1885 No.2 di Indonesia, terutama diatur di dalam pasal

75, pasal 78 jo. Pasal 109 RR tersebut ), yang pada waktu itu dikenal dengan Receptio

in Complexu. Pada pasal 75 ayat (3) R.R tersebut mengatur : Apabila terjadi

sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh Hakim

Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam Gonsdienstig Wetten dan kebiasaan

mereka, sedangkan dalam ayat (4) pasal 75 R.R. itu disebut:

1
Undang-undang agama, adat, kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka Hakim

Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, dalam hal terjadi perkara perdata antara

sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia,

maka mereka tunduk kepada putusan Hakim agama atau kepala masyarakat mereka

menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka,

Menurut pasal 109 R.R. tersebut ditentukan pula bahwa Ketentuan

seperti tersebut dalam pasal 75 dan pasal 78 itu berlaku, juga bagi mereka yang

dipersalahkan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang Arab,Moor, Orang Cins,

dan mereka semua yang beragama.

Sementara itu menurut pasal 7 Rechterlijke Organisatie ditetapkan juga bahwa

Sidang-sidang Pengadilan Negeri (Landraad) harus ditandai oleh seorang fungsionarie

yang mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang dihadapkan itu tidak beragama

Islam, maka penasihat itu adalah kepala masyarakat dari orang itu.

Dari ketentuan peraturan dan undang undang tersebut diatas tampak bahwa di

masa pemerintahan Hindia Belanda, hukum Islam itu diakui eksistensinya sebagai

hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia, terutama mereka yang beragama

Islam, dan perumusan-perumusan, ketentuan-ketentuan itu dalama perundang-

undangan ditulis satu napas dan sejajar dengan hukum adat, bahkan sejak zaman VOC

pun keadaan ini telah berlangsung demikian juga seperti terkenal dengan

compendium freijer.

Sejalan dengan berlakunya Hukum Islam, pemerintahan Hinda Belanda

membentuk Pengadilan Agama di mana berdiri pengadilan Negeri dengan Staatsblaad

1882 No. 152 dan 153, kemudian diiringi dengan terbentuknya Pengadilan Tinggi

Agama (Mahkamah Syariyyah), yang berfungsi sebagai Pengadilan Tinggi Banding

2
dan terakhir berdasarkan pasal 7 g Staatsblad 1937 No. 610. Dan dalam Tahun 1937

dengan Staatsblad 1937 No. 638 dan 639 dibentuk pula Peradila Agama di

Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dengan nama Pengadilan Qadhi Kecil

pada tingkat pertama dan Pengadilan Qadhi Besar uantuk Tingat Banding dan

terakhir.

Jadi intinya menurut teori ini maka bagi setiap penduduk berlaku hukum

agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam, demikian juga

bagi pemeluk agama lain. Teori ini semula berkembang dari pemikiran-pemikiran

para sarjana Belanda seperti Carel Frederik Winter (1799-1859) seorang ahli tertua

mengenai soal-soal Jawa, Salomon Keyzer (1823-1868) seorang ahli bahasa dan ilmu

kebudayaan Hindia Belanda. Teori Receptio in Compelexu, ini dikemukakan dan

diberi nama oleh Lodewijk Willem Chrstian van den Berg (1845-1925) seorang ahli

hukum Islam, politikus, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa Timur

dan hukum Islam.

Materi teori receptio in complexu ini, dimuat dalam pasal 75 RR

(Regeeringsreglement) tahun 1855. Pasal 75 ayat 3 RR berbunyi: oleh hakim

Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten)

dan kebiasaan penduduk indonesia. Jadi pada masa teori ini hukum Islam berlaku bagi

orang Islam. Pada masa teori inilah keluarnya stbl. 1882 no. 152 tentang pembentukan

pengadilan agama (Priesterraad) di samping pengadilan negeri (Landraad), yang

sebelumnya didahului dengan penyusunan kitab yang berisi himpunan hukum Islam,

pegangan para hakim, seperti Mogharrer Code pada tahun 1747, Compendium van

Clootwijk pada tahun 1795, dan Compendium Freijer pada tahun 1761.

3
2. Theory Receptie

Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) Penasihat Pemerintah Hindia

Belanda urusan Islam dan bumi putera, menentang teori receptio in complexu yang

dikemukakan oleh LWC Van den Berg. Karena berdasarkan penelitiannya terhadap

orang-orang Aceh dan Gayo di Banda Aceh sebagaimana termuat dalam bukunya De

Atjehers ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu

bukanlah hukum Islam tetapi hukum adat. Kedalam hukum adat memang telah masuk

pengaruh hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalau

telah benar-benar diterima oleh hukum adat. Yang kemudian pendapat tersebut

dikenal dengan sebutan Receptie Theory yang telah memiliki banyak pengikut di

kalangan para sarjana hukum, yang kemudia teori itu dikembangkan secara sistematis

dan ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven dan Betrand ter Haar serta dilaksanakan

dalam praktik oleh murid murid dan pengikut-pengikutnya.

Jadi teori yang menentang teori Receptio in Complexu, yaitu teori Receptie

(Resepsi). Menurut teori Resepsi, hukum Islam tidak otomatis berlaku bagi orang

Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam, kalau ia sudah diterima (diresepsi)

oleh dan telah menjadi hukum adat mereka, Jadi yang berlaku bagi mereka bukan

hukum Islam, tapi hukum adat.

Christian Snouck Hoergronje (1857 1936), penasihat Pemerintahan Hindia

Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri. Beliau mendalami hukum dan

agama islam secara Khusus di Indonesia, Bahkan pernah menyamar sebgai dokter

mata dengan nama Abdul Gafur di Mekkah Mukkaramah. Christian Snouck

Hoergronje sebagi pencetus teori ini juga mendapatkan Tantangan dari tokoh dan

pemikir hukum islam di Indonesia, mereka mengatakan bahwa teori yang

4
dikemukakannya itu mempunyai maksud-maksud politik untuk menghapuskan hukum

islam dari Indonesia dan mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap

kekuasaan pemerintahan kolonial yang dijiwai oleh hukum islam.

Kemudian berlanjut dengan adanya anjuran oleh Cornelis Van Vollenhouven

(1874-1933) yang memulai mengeritik dan menyerang pasal 75, 78, dan 109 R.R.

Stbl. 1855 No. 2 melalui tulisan belilau menentang penggantian hukum adat dengan

hukum Barat yang hendak diadakan pemerintahan Hindia Belanda untuk tujuan

melindungi kepentingan pengkristenan penduduk Hindia Belanda.

Perbahan secara sitematis Regeerings Reglement Stbl. 1855 No. 2 menjadi

Wet op de Staats Inrichting van Nederlands Indie atau Indische Staats Regeling atau

I.S. Pada tahun 1925 (Stbl. 1925 No. 416 dan seterusnya dengan Stbl. 1929 No. 221,

dimana dinyatakan hukum Islamtidak lagi memiliki kedudukan tersendiri.

Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah memenuhi

beberapasyarat yang pertama adalah bahwa Normahukum Islam harus diterima

terlebih dahulu olehhukum kebiasaan (adat masyarakat setempat). Sedangkan yang

Kedua adalah kalupun sudah diterima oleh hukum adat, norma, dan kaidah Hukum

Islam tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan

Hindia Belanda.

Terdapat ahla cukup menarik yang ditemukan oleh almarhum Prof. Dr.

Hazairin,S.H. bahwa pasala 134 ayat (2) I.S. yang menjadi dasar hukumnya, hukum

islam dikenal dengan Theory Receptie, oleh Hazairin diintroduksi dengan nama teori

iblis.

5
Sejalan dengan perubahan Regeerings Reglement itu menjadi Indische Staats

Regeling oleh Pemerintahan Hindia Belanda di keluarkan juga Stbl. 1937 No. 116

yang membatasi wewenang dan tugas peradilan agama, yang semula berhak

menetapkan tentanh hal Waris, Hadhanah dan sebagainya, namun setelah berlakunya

Stbl. 1937 No. 16 hanya terdapat wewenang mengadili sepanjang yang berkenaan

dengan nikah, talak, dan rujuk saja dan diluar hal tersebut tidak berwenang.

3. Teori Receptio A Contrario


Dalam perkembangan selanjutnya menurut Sayuti Thalib, ternyata dalam

masyarakat telah berkembang lebih jauh dari pendapat Hazairin di atas. Di beberapa

daerah yang dianggap sangat kuat adatnya, terlihat ada kecenderungan teori resepsi

dari Snouck Hurgronje itu dibalik. Umpama di Aceh, masyarakatnya menghendaki

agar sosl-soal perkawinan dan soal warisan diatur menurut hukum Islam. Apabila ada

ketentuan adat di dalamnya, boleh saja dilakukan atau dipakai, tetapi dengan satu

ukuran, yaitu tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian yang

ada sekarang adalah kebalikan dari teori Resepsi yaitu hukum adat baru berlaku kalau

tidak bertentangan dengan hukum Islam. Inilah yang disebut oleh Satyuti Thalib

dengan teori Reseptio A Contrario.

Anda mungkin juga menyukai