Anda di halaman 1dari 18

Politik Hukum Islam di Masa Kerajaan Islam Nusantara

A. Pendahuluan

Antara Hukum Islam dan politik tidak bisa dipisahkan dalam


suatu komunitas masyarakat muslim. Hukum Islam tanpa dukungan
politik sulit digali dan diterapkan. Sebaliknya, politik yang
mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam
masyarakat muslim. Semakin baik hubungan Islam dan politik,
semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan sebaliknya
semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang
hukum Islam diterapkan1.

Hukum Islam yang hidup di Indonesia, baik yang terangkum di


dalam peraturan perundang-undangan yang dilegislasi, ataupun yang
hanya sebatas hukum yang hidup di masyarakat, semuanya itu
tidaklah ada begitu saja, akan tetapi telah melewati sejarah yang
cukup panjang, dengan berbagai dinamikanya, dimuali dari sejak
Islam masuk ke Indonesia, kemudian dengan adanya kerajaan-
kerajaan Islam di Nusantara, hingga terbentuknya negara bangsa yang
bernama Indonesia. Gambaran sejarah legislasi hukum Islam tersebut
dapat dilihat mulai dari masuknya Islam ke Indonesia. Secara
sosiologis dan kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi
hukum yang hidup.2 Pada abad ke-13 M dan ke-14 M Islam sudah
dianggap sebagai kekuatan politik dan menggesar adat setempat
secara perlahan. Bahkan beberapa abad setelah Islam tersebar di
Indonesia, sudah tercatat beberapa kesultanan Islam yang menerapkan
hukum Islam secara sah sebagai hukum pemerintahan kesultanan
tersebut. Hukum Islam sudah eksis dan berlaku secara formal sebagai
hukum positif jauh sebelum kedatangan penjajahan Belanda di
Indonesia.3

1
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. xii-xiv.
2
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, (Yogyakarta: LKIS, 2005), h 49.
3
Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan
Pidana Islam serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group: 2016), h 5.
1
Berdasarkan kenyataan di atas, menarik kiranya untuk
dibicarakan, bagaimana sejarah politik hukum Islam di kerajaan Islam
di Nusantara? Bagaimana arah kebijakan penguasa dalam
mengundangkan hukum Islam tersebut? Apa substansi dari produk
hukum yang dibuat pada masa kerajaan tersebut? Bagaimana
pengaruh raja dan ulama pada masa kerajaan? Serta bagaimana politik
pemberlakuan hukum Islam yang diundangkan tersebut? Pertanyaan-
pertanyaan rumusan masalah tersebut akan ditemukan jawabannya
pada penelitian ini, dengan menggunakan metodologi penelitian
pustaka dengan mengkaji dokumen kesejarahan yang memuat tentang
produk hukum yang telah diundangkan di kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, serta dengan mengkaji hasil penelitian-penelitian yang
terkait dengannya. Hasil dari penelusuran itu dapat dianalis dengan
pendekatan penelitian kualitatif, lalu disajikan dalam makalah ini.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan


menghadirkan gambaran bagaimana produk hukum (undang-undang
atau qanun) tersebut dapat hadir menjadi sebuah kebijakan politik
yang mengikat masyarakat muslim di masa itu. Di samping itu, juga
dapat diketahui apa subsatnsi dari produk hukumnya dan apa makna
serta arah kebijakan politis dari kerajaan-kerajaan di Nusantara di
masa itu.

B. Pengertian Politik Hukum Islam

Terdapat berbagai pengertian atau definisi tentang politik hukum.


Definisi yang dianggap paling relevan sebagaimana yang kemukanan
oleh Moh Mahfud MD dalam bukunya, politik hukum adalah “legal
policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”.
Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-
hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-
hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di
dalam Pembukaan UUD 1945.4
4
Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2009),
h. 1.
2
Dalam dunia fikih, istilah politik hukum disebut dengan as-
Siyasah as-Syar’iyyah yang merupakan aplikasi dari al-maslahah al-
mursalah, yaitu mengatur kesejahteraan manusia dengan hukum yang
ketentuan-ketentuannya tidak termuat dalam syara’. Sebagian ulama
mendefinisikan politik hukum Islam sebagai perluasan peran
penguasa untuk merealisasikan kemaslahatan manusia sepanjang hal-
hal tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.5

C. Masuknya Islam ke Indonesia

Berbicara mengenai politik hukum Islam di kerajaan Nusantaran,


tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan mengenai awal mula
masuknya Islam ke Indonesia, karena dari sanalah dapat diteliti
bagaimana pendakwah ajaran Islam menyebarkan ajaran Islam yang
di antaranya adalah aspek syariat atau hukum Islam. Terdapat
berbagai teori yang membicarakan awal masuknya Islam ke
Nusantara, jauh sebelum Indonesia dinamakan dengan nama
Indonesia. Teori-teori tersebut antara lain:

Pertama, teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara


berasal dari anak Benua India, bukan berasal dari Arab dan Persia
yang dikaitkan dengan daerah Malabar dan Gujarat. Teori ini
dikemukakan oleh sarjana-sarjana Belanda, seperti Pijnappel, G.W.J.
Drewes, yang kemudian seterusnya dikembangkan oleh Snouck
Hurgronje dalam buku yang berjudul L‟arabie et les Indes
Neerlendaises, atau Revue de l‟Histoire des Religius.6

Menurut teori ini, bahwa setelah orang-orang Arab yang


bermazhab Syafi’i berimigrasi dan menetap di India, mereka
kemudian datang dan membawa Islam ke Nusantara. Mereka inilah
yang datang sebagai penyebar Islam pertama di kawasan Indonesia
dulu. Baru kemudian disusul oleh para Sayyid dan Syarīf. Proses ini
terjadi pada abad ke-12 M sebagai periode yang paling mungkin
5
Abdul Wahhab Khalaf, al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Cairo: al-Maktabah al-
Salafiyah – Maktabatuna, 1350 H), h 3.
6
Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h 75. Lihat juga Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, cet. I,
(Bandung: Mizan, 1994.), h 24.
3
permulaan penyebaran Islam di Nusantara dalam artian yang
sebenarnya. Snouck Hurgronje sendiri mendasarkan pandangannya
tersebut pada beberapa pertimbangan. Pertama, bahwa kurangnya
fakta yang ditemukannya yang menjelaskan peranan bangsa Arab
dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, melihat
hubungan dagang Nusantara-India telah lama terbangun. Ketiga,
inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan
gambaran hubungan antara Sumatera dengan Gujarat. 7

Menurut Snouck Hurgronje, segala sesuatu yang berasal dari


Arab yang sampai ke Nusantara telah melewati Hindustan terlebih
dahulu.8 Karena itu, menurutnya, Islam Nusantara berasal dari India.
Hal tersebut dibuktikan oleh adanya ciri-ciri India pada aspek sosial
budaya masyarakat Nusantara. Sebagai contoh, sejumlah besar kata
Arab yang diterima dalam bahasa Nusantara, khususnya kata-kata
yang berkaitan dengan agama Islam, menunjukkan bahwa bentuknya
telah mengalami modifikasi karena melewati saluran asing. India
telah menerima lebih dibanding Nusantara. Hubungan perdagangan
antara India dengan Nusantara secara tidak langsung telah ikut
menyebarkan Islam di Nusantara tahun 1200-an.

Teori tentang India-Gujarat sebagai tempat asal Islam di


Nusantara mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu. Di antara
kelemahan tersebut, argumentasi Marrison yang mengemukakan
bahwa meskipun batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat
tertentu di Nusantara yang boleh jadi berasal dari Gujarat atau Bengal,
tidak otomatis menjadi bukti bahwa Islam juga didatangkan dari sana.
Morrison mematahkan teori ini dengan menunjukkan bahwa pada
masa islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya wafat tahun
698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Gujarat
dan Cambay baru ditaklukkan oleh kekuasaan muslim setahun
kemudian (699 H/1298 M). Senadainya Gujarat adalah pusat Islam,
sebagai tempat asal Islam Nusantara, maka seharusnya Islam telah
mapan dan berkembang di sana sebelum tahun 698 H/1297M. Bagi
7
Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, h 75.
8
Hurgronje, Kumpulan Karangan IX, (Jakarta: Indonesian-Netherlands
Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1994.), h 91.
4
Morrison sendiri, Islam di Nusantara dibawa para penyebar muslim
dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.

Kedua, teori arab. Berbeda dengan penggagas teori gujarat India


tadi, beberapa sarjana lebih cenderung untuk berpandangan bahwa
Islam di Indonesia berasal dari negara sumber agama Islam itu
sendiri, yaitu Arab. Hal ini dengan melihat hubungan Arab dengan
penduduk Indonesia sudah lebih dahulu eksis sebelum kemunculan
Islam. Hamka yang mendukung bahwa hubungan Nusantara dengan
Arab sudah ada sebelum masuknya agama Islam ke Indonesia
merujuk Alquran surah al-Dahr ayat 6 yang artinya: “Sesungguhnya
orang baik-baik akan meminum dari piala yang campurannya ialah
kapur”. Ayat ini oleh Hamka ditafsirkan sebagai penggambaran
bahwa orang Arab berpetualang mencari kapur ke pulau Sumatera di
masa pra-Islam, sehingga kata kapur menjadi bahasa Arab. Kapur,
menurut Hamka, hanya ditemukan di Sumatera, tidak ditemukan di
belahan bumi lain.9

Ketiga, teori Cina atau Tiongkok. Teori lain yang menyatakan


bahwa Islam datang Tiongkok pada abad ke-13, diwakili oleh Slamet
Muljana serta Sumanto al-Qurtubi. Proses Islamisasi dari Tiongkok
melalui banyak jalan, di antaranya melalui paham tasawwuf dan
perniagaan. Penerimaan sang raja terhadap Islam, mempermudah
proses Islamisasi di kawasan Nusantara10.

D. Hukum Islam Sebagai Produk Politik

Pelembagaan fikih atau hukum Islam oleh penguasa di


Nusantara, berdasar bukti-bukti historis, ternyata telah terlaksana
sejak masa Kesultanan Samudra Pasai, yaitu pada abad ke-14. Hal ini
setidaknya dapat dibuktikan dengan munculnya Sultan Malik al-
Shaleh, seorang sultan yang ahli dalam bidang fiqh mazhab as-Syafi’i.
Dalam bidang pelaksanaan hukum atau peradilan, sultan dibantu oleh

9
Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h 192.
10
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, terj. Sori Siregar dkk.,
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), h. 101.
5
seorang qadhi (hakim) dan para ulama dari mancanegara 11. Bahkan,
ada yang berpendapat bahwa formalisasi hukum Islam oleh negara
sudah ada pada masa Kesultanan Perlak yang berdiri pada 1
Muharram 225 H atau 12 November 839 M. 12 Oleh karena itu, hal ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan atau formalisasi hukum Islam di
Nusantara sudah berlangsung sejak kesultanan Islam pertama.
Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Malaka dan
beberapa kesultanan Islam di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku merupakan kekuatan politik baru setelah masa kemunduran
Kesultanan Samudra Pasai dan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis
pada 1511.

Melalui proses islamisasi dan kulturisasi hukum Islam terus


berkembang sejalan dengan semakin meluasnya pengaruh agama
Islam di Nusantara13. Hukum Islam pun menjadi bagian dari hukum
adat yang berkembang di Nusantara berkat akulturasi dan asimilasi
budaya Islam (dalam hal ini hukum Islam) dan budaya lokal. Islam
mulai dianut oleh komunitas dalam suatu masyarakat yang teratur
namun belum sampai pada bentuk masyarakat yang mempunyai
pemerintahan Islam. Ketika itu pula hukum Islam dilaksanakan oleh
kelompok masyarakat tersebut. Jika terjadi persengketaan biasanya
dari pihak yang bersengketa itu mengangkat seorang muhakkam
(pemutus perkara) secara tahkim dari kalangan ulama di antara
mereka yang dianggap memiliki kemampuan dalam hukum Islam, dan
ini merupakan bentuk awal formalisasi hukum Islam secara sederhana
yang pertama-tama diberlakukan di Nusantara yang biasanya dikenal
dengan fase tahkim. Hukum Islam pada saat itu masih tidak tertulis
seperti halnya hukum adat. Artinya, tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan. Hukum Islam yang berlaku di peradilan
sederhana pada saat itu adalah hukum fikih hasil ijtihad para ulama

11
M. Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), h 136.
12
A. H. Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai. (PT. Madani Press, 2005), h
XXXVI.
13
Sarkowi, S. dan Akip, M. “Kulturasi Ajaran Islam Melalui Sistem dan Lembaga
Pendidikan Islam pada Masyarakat Masa Kesultanan di Nusantara”. SINDANG:
Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Kajian Sejarah, 1 (2): 36-53. https://doi.org/
https://doi.org/10.31540/sdg.v1i2.318
6
yang dilakukan secara patuh oleh masyarakat atau komunitas Islam
karena kesadaran dan keyakinan mereka bahwa hukum Islam adalah
hukum yang benar14

Kemunculan kekuatan politik Islam di Nusantara menandakan


adanya pergeseran dalam pelaksanaan hukum Islam dari pengamalan
oleh individu dan proses akulturasi dengan tradisi lama menuju
legislasi hukum oleh pemegang otoritas kekuasaan di berbagai
kerajaan Islam di Nusantara. Kalangan elite kerajaan menggunakan
kekuatan, birokrasi, dan hegemoni kultur politik dalam proses
internalisasi norma Islam atau hukum Islam.15 Peran ulama adalah
sebagai peranti pelaksana dan legitimasi kekuasaan yang menerapkan
peraturan Islam. Pergeseran ini menandai dimulainya formalisasi
hukum Islam dalam sistem pemerintahan saat itu

Ketika melihat konstruksi hukum yang berlaku di Nusantara,


khususnya di Melaka, ada satu model kolaborasi yang akulturatif
antara hukum agama Islam dan hukum adat. Keduanya saling
melengkapi, bahkan dalam beberapa studi analaisis hukum disebutkan
bahwa masuknya Islam Islam ke Nusantara dengan seperangkat
hukumnya, semakin menguatkan hukum adat di tengah-tengah
masyarakat Melayu yang hari ini disebut dengan masyarakat
Nusantara.16

E. Politik Hukum Islam di Kesultanan Malaka

Berdasarkan bahwa masuk dan berkembangnya Islam di


Nusantara merupakan proses lama yang memakan waktu panjang,
sehingga antara masuknya Islam dan tumbuhnya kerajaan Islam
merupakan dua hal yang perlu dibedakan. Dari tumbuhnya kerajaan
Islam itulah kemudian hukum Islam dapat diterapkan dalam bentuk
kebijakan politik. Masifnya dakwah yang dilakukan oleh para ulama
dan mubaligh serta semakin meluasnya penerimaan Islam di tengah
14
M. D. Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. (Jakarta: Rajawali Press, 2011) h. 211.
15
A. Reids, The Making of an Islamic Political Discourse in South East Asia.
(Victoria: Monash University Press, 1993), h 84-107
16
Muhammad Yusoff Hashim, Kesultanan Melayu Melaka, (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1989), h. 204-208.
7
masyarakat, maka berdirilah beberapa kekuasaan Islam di
Nusantara.17

Di antara kerajaan Islam yang menyisakan peninggalan sejarah


yang menunjukkan adanya perkembangan Hukum Islam adalah
kerajaan Melaka. Pengislaman istana Melaka adalah pada abad ke-14.
Hal itu dengan didahului oleh masuk Islamnya Parameswara, pendiri
Melaka. Ia kemudian mengubah namanya menjadi Megat Iskandar
Syah.18

Penerimaan Islam di Melaka banyak bergantung kepada faktor-


faktor sosio-ekonomi. Di mulai dari cara hidup para pedagang,
termasuk kemewahannya telah menarik hati penduduk dan penguasa
kepada Islam. Pemerintah dan penduduk Melaka sangat berupaya agar
para pedagang ini menetap di Melaka, karena itu banyak putri Melaka
yang dikawinkan dengan para saudagar-saudagar Islam. Selain itu,
konsep Tuhan yang tunggal yang diabwa saudagar Muslim, konsep
persaudaraan, persamaan derajat dan kesederhanaan yang diajarkan
Islam turut menarik penduduk Melaka untuk menerima Islam. 19

Seiring berjalan waktu, penerimaan Islam di masyarakat Melaka


berkembang hingga terjadinya Islamisasi kerajaan Melaka, dan
kemudian membentuk undang-undang yang berlandasakan Hukum
Islam. Undang-undang melaka mendapat posisi yang istimewa,
karena dianggap sebagai syariat pertama yang diadopsi dalam sejarah
pemerintahan kerajaan Melayu. Undang-undang ini menjadi salah
satu faktor dikenalnya Islam di negara-negara lain. 20 Terdapat lebih
dari pada lima puluh naskah Undang-Undang Melaka. Naskah-naskah
tersebut dapat diklasifikasikan kepada enam klasifikasi, iaitu:

17
G. Uwik, “Penerapan Syariah di Bumi Nusantara”. Majalah Al-Wa’ie No. 130,
2011. h 70.
18
Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I, cet. I, (Medan: Iskandar Muda,
1961), h 252.
19
Mukmin, Mohd. Jamil bin, Melaka Pusat Penyebaran Islam di Nusantara,
(Kuala Lumpur: Murni Interprise, 1994), h 116.
20
Winstedt, “Digest Undang-undang” (terjemahan dari “Digest of Law”,
(JMBRAS, vol. XXXI, part 3, 1958) dalam Abd Jalil bin Borhan, Sejarah
Perundangan Islam di Malaysia, cet. I, (Kuala Lumpur: Penerbit Amal, 1993.), h
181.
8
Undang-Undang Melaka Pokok, Undang-Undang Melaka versi Aceh,
Undang-Undang Melaka versi Patani, Undang-Undang Melaka versi
Panjang, Undang-Undang Melaka versi Islam dan Johor, dan Undang-
Undang Melaka versi Fragmentaris21.

Adapun kontruksi hukum dalam Undang-Undang Malaka itu


dipengaruhi oleh lima hal dasar pembentukan hukum dalam Undang-
Undang Malaka, yaitu agama, politik, geografi, ekonomi dan interaksi
sosial. Pengaruh Agama menjadi pengaruh besar dalam produk
hukum yang terwujud dalam bentuk Undang-undang Negara dalam
Kesultanan Malaka (1400-1511)22. Menurut Anthony Reid,
penerimaan orang-orang Melayu dan sebagian besar penduduk di
kepulauan Nusantara terhadap gujarat dengan segenap ajaran Islam
yang dibawanya, disebabkan oleh karena terdapat kemudahan-
kemudahan tertentu dalam ajarannya. Masih dalam kondisi yang
sederhana dan banyaknya keuntungan-keuntungan tertentu jika
menganut Islam, terutama di bidang ekonomi serta politik. 23 Pengaruh
agama Islam sangat kuat dalam Undang-undang Malaka, karena saat
itu agama Islam sedang tumbuh pesat di negeri-negeri di kawasan
Selat Malaka dan Malaka itu sendiri. Agama Islam sendiri
mengakomodasi adat dan adatpun mendapatkan porsi bagian yang
lebih besar ketimbang hukum-hukum Islam sendiri, sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum-hukum Islam.24

Penegakan hukum oleh pemerintahan, diselenggarakan melalui


lembaga pengadilan, dalam hal ini melalui keputusan hakim yang
disetujui oleh Sultan sebagai kepala pemerintahan. Rule model yang
dilakukan oleh oleh para Sultan di Kesultanan Malaka, meniru
Majapahit dan Sriwijaya. Sehingga kekuasaan politik menopang
hukum-hukum yang dijalankannya. Salah satu bait dalam Undang-
21
Ali Abubakar, 2001017106 (2018) Undang-undang Melaka. Undang-undang
Melaka. https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/8288/
22
Yock Fang Liaw, Naskah Undang-Undang Melaka: Suatu Tinjauan (Manuscript
of Undang-Undang Melaka: an overview), (Universiti Kebangsaan Malaysia
press, 2007), h. 86.
23
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, terj. Sori Siregar dkk.,
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), h. 269.
24
Ali, Undang-undang Melaka, Kodifikasi Hukum Islam Abad XV di Asia
Tenggara, h. 42-43.
9
Undang Malaka menyebutkan bahwa, segala perangkat pemerintahan,
harus dipatuhi oleh rakyatnya.:

“adapun pada segala raja-raja itu, Pertama-tama menjadikan


bendahara, Kedua menjadikan temenggung, Ketiga menjadikan
penghulu bendahari, Keempat menjadikan syahbandar, Maka
terpeliharalah segala raja-raja itu dengan segala rakyatnya”. 25

Unsur agama dalam Undang-Undang Perkawinan dan Undang-


Undang Pidana, termasuk di dalamnya tentang hak waris dan hukum
perdata, diambil dari hukum fiqh untuk menjalani kehidupan sehari-
hari.26 Hukum-hukum fiqh kemudian disusun ulang sesuai kebutuhan
dan kondisi sosial masyarakat Melayu. Memang terjadi dualisme
hukum di dalam Undang-Undang Melaka, yaitu materi hukum Islam
dan materi hukum adat. Itu dipergunakan secara bersama-sama dalam
suatu ketentuan kasus hukum. Contohnya adalah sebuah pasal hukum
tentang tindakan pidana pencurian:27

“Adapun jikalau mencuri, maka tertangkap lalu dibunuhnya,


maka kenalah denda akan dia setengah harganya, dan setengah akan
menteri dan setengah akan tuannya, karena taksirnya tiada dengan
setahu materi. Adapun pada hukum Allah, orang mencuri itu tiada
harus dibunuh, melainkan dipotong tangannya”.

Ketentuan hukum seperti pasal di atas, menjadi sangat berbeda


dengan ketentuan hukum Islam di dalam hukum Islam, keputusan
hukum dan tindakannya berada pada hakim. Masyarakat biasa tidak
diperkenankan untuk melakukan tindakan hukum sendiri. Kasus di
atas lalu menjadi menarik, sebab ada tindakan hukum adat, yang
dibentuk dengan keputusan hukum Islam, sekalipun banyak biaya
yang harus dibayar dalam ketentuan hukum itu. Jika kemudian
ketentuan hukum adat dan Islam digubah dalam syair-syair Undang-
Undang Malaka, bertujuan untuk suatu tatanan kehidupan sosial dan
25
Hashim, Kesultanan Melayu Melaka, h. 150.
26
6 Peter G. Riddell, Law and Stories, Islamic Law, (London: C. Husrt & Co. Ltd,
2001), h. 55-56.
27
Taufik Ahmad Dardiri, “Undang-undang Melaka, Suatu Tinjauan Resepsi dan
Interteks” dalam, al-Jami’ah, Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam, Edisi 46,
(Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri, 1991), h. 16-17.
10
kehidupan religius. Tujuan utamanya adalah penerapan hukum secara
benar, dimaksudkan untuk meneladani kehidupan para Nabi dan
terutama Nabi Muhammad Saw. Sang pembawa Islam.

Pandangan bahwa sistem politik teoktratik di Kesultanan Malaka,


terwujud karena Sultan dianggap sebagai perwujudan Tuhan di bumi
dan sebagai pewaris Rasulullah. Sebagaimana dalam kutipan bait
syair:

“..dan janganlah kamu sekalian lupa pada berbuat kebaktian


kepada raja kamu. Oleh itu kata hukama, adalah Raja yang adil itu
dengan Nabi Sallahahu-‘alaihi wassalam umpama dua buah permata
pada sebentuk cincin; lagipun raja itu umpama ganti Allah di dalam
dunia, kerana ia zulillahi-fil-’alam; apabila berbuat kebaktian kepada
Raja seperti berbuat kebaktian kepada Allah Subhanau-wa-Ta’alaa.
Yakni berbuat kebaikan kamu akan Allah dan Rasul-NYA dan akan
Raja hendaknya jangan kamu lupai, supaya kebesaran dunia akhirat
kamu perolehi”.28

F. Politik Hukum Islam di Kerajaan Aceh

Kerajaan di Nusantara dulunya yang mengkodifikasi


hukum Islam adalah kerajaan Aceh, kesultanan Samudera Pasai. Masa
kebesaran kesultanan Samudera Pasai terjadi pada abad ke-14. Di
mana kesultanan Perlak disatukan dengan Kesultanan Samudera Pasai
pada masa Malik al-Zahir pada awal abad yang sama. 29

Penerapan hukum bernafaskan Islam di Aceh, sudah


dimulai sejak pertengahan abad ke-13. Penerimaan Aceh kepada
ajaran Islam telah dimulai sejak masa pemerintahan awal Samudra
Pasai, Lamuri, Aru dan Peureulak. Pelembagaan hukum dengan nafas
Islam tersebar luas di Nusantara, muncul bersamaan dengan kondisi
global dan berdirinya Kesultanan Aceh di Sumatera 30. Pada kunjungan
Cheng Ho ke Aceh di tahun 1431, dia menyatakan bahwa Aceh juga
menerapkan Undang-Undang seperti di Malaka, sebagaimana
28
Hashim, Kesultanan Melayu Melaka, h. 156-157.
29
Ayang Utriza Yakin, Sejarah Hukum Islam Nusantara, h 10-11.
30
Hadi W. M., Pusat Kebudayaan dan Kegiatan Intelektual Islam DI Nusantara,
h. 10.
11
pernyataan dalam sebuah kutipan: “Adat istiadat di negeri ini adalah
terbuka dan jujur. Bahasa mereka, tulisan, cara perkawinan, upacara
kematian, pakaian yang mereka kenakan dan hal-hal lainnya, semua
serupa seperti di negeri Malaka” .

Kesultanan Aceh telah mengalami transformasi hukum


dari Undang-Undang Malaka. Penerapannya disesuaikan dengan
aturan di dalam Undang-Undang tersebut. Dapat diketahui bahwa ada
beberapa contoh kasus hukum dan bagaimana penerapannya di Aceh
sepanjang abad ke 17. Setidaknya ada dua hal yang dapat ditarik
mengenai hubungan antara Aceh dan Malaka. Pertama, melalui
koneksi politik, perkawinan dan intelektual, dimana Aceh menjadi
pewaris kekuatan Malaka yang dominan di abad ke17. Kedua, proses
tersebut harus termanifestasikan dalam bentuk penerapan Undang-
undang Malaka yang kemudian menjadi Undang-undang Aceh. Proses
persebaran dan transformasi hukum dari Undang-Undang Malaka,
melalui proses politik maupun perkawinan, dengan segala hal yang
terkait di dalamnya dan yang mengatur tentang hubungan antar
manusia, dengan rekaman tentang sistem masyarakat Melayu
Lama.70 Hal tersebut juga ditambah dari pernyataan van
Vollenhoven, bahwa orang-orang Bumiputra telah lebih dahulu
membentuk hukumnya sendiri, kemudian menjadi lebih kuat di bawah
pengaruh dari agama Islam31.

Proses tranformasi Undang-Undang Malaka ke Aceh,


terjadi melalui dua peristiwa. Pertama, ketika Sultan Aceh, ‘Alauddin
Ri’ayat Syah al-Qohhar menikahi putri Sultan Johor. Kedua, saat
Sultan Iskandar Muda menikah dengan putri dari Pahang. Melalui
peristiwa perkawinan antara Aceh dan Pahang, peralihan atau
transformasi ide dari Undang-undang Malaka ke Aceh lebih kuat
dihubungkan ke dalam bidang politik. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan syair, yang menyebutkan bahwa melalui putri Pahanglah
Undang-Undang Malaka ditransformasikan dan kemudian dapat

Tuanku Luckman Sinar Basarsyah, “Saling Pengaruh Budaya Melayu-Aceh”,


dalamDarwis A. Soelaiman (Ed.), Warisan Budaya Melayu Aceh, (Banda Aceh:
Pusat Studi Melayu Aceh, 2003), h. 57-58.
31
C. van Vollenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Jurnal Tashwirul Afkar Vol. 38, No. 02, Tahun 2020. Djambatan, 1981), h. 114.
12
diterapkan di Aceh. Adapun syair mengenai hal itu terekam dalam
sebuah pepatah atau hadih maja, yaitu: “Adat bak Poteu Meureuhom,
Hukum bak Syah Kuala, Qanun bak Potroe Phang, Reusam bak
Laksamana, Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut”. Mengenai hal
tersebut, maka proses transformasi Undang-Undang Malaka ke Aceh,
dapat diketahui. Rakyat Aceh pada masa itu, diatur kehidupannya
dengan hukum yang berlaku, baik adat maupun hukum Islam.32

Pedoman dalam syair tersebut, menjadi pegangan para


hakim di Kesultanan Aceh selama abad ke-17.83 Adapun
penjabarannya yaitu:

1. Adat bak Poteumeuruhom: berarti adat berada dalam wewenang


raja. Hal tersebut (kebiasaan yang konstan) terjadi dalam
masyarakat, dimana penerapannya, disetujui oleh raja, apakah
dapat diteruskan jika baik atau ditiadakan jika bertentangan
dengan kaidah agama. Kondisi tersebut terutama berada dalam
ranah muamalat.

2. Hukum bak Syah Kuala: berarti bidang hukum, merujuk pada


pengetahuan dan fatwa ulama dalam kewenangannya, sebagai
pemegang otoritas hukum dari Kesultanan Aceh. Hukum tersebut
merujuk pada aturan fiqh yang pengetahuannya, dimiliki oleh
ulama.

3. Qanun bak Putroe Phang: berarti hukum yang telah ada


sebelumnya, seperti Undang-Undang Malaka. Hukum lama yang
telah berlaku di kawasan regional, masih relevan digunakan karena
masyarakat terus menggunakannya sebagai aturan dalam berbagai
interaksi sosial. Semua merujuk pada adat istiadat yang biasa
dilakukan oleh masyarakat regional Melayu. Kanun yang
dimaksud dalam pedoman tersebut, bukanlah ajaran agama dan
adat yang mengandung sanksi hukum apabila melanggar. Dapat
berubah dan dapat ditinggalkan dengan alasan-alasan tertentu.

4. Reusam bak Laksamana: penerapan hukum oleh Laksamana. Kata


Laksamana sendiri tidak begitu jelas merujuk ke siapa, tetapi ada
32
Darwis A. Soelaiman, “Aceh Dalam Konteks Dunia Melayu”, h. 119-120.
13
indikasi bahwa kata Laksamana merujuk kepada pejabat sipil yang
berwenang memutuskan sesuatu atas nama Sultan. 33

Di antara teksi pada kodifikasi hukum di Kesultanan Aceh


berbunyi Qanun Mekuta Alam. Pada sebuah kutipan dinyatakan
bahwa:34

“Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah


dan rakyat bukan patung yang berdiri di tengah pedang, akan tetapi
rakyat seperti pedang Sembilan mata lagi besar matanya, yang amat
tajam lagi panjang, sampai ke timur dan barat”.

Hukum juga ditegakkan untuk maksud-maksud tertentu,


yaitu untuk menjamin kesejahteraan rakyat dan ekonomi negara.
Sebagaimana Sultan Iskandar Muda, mencoba untuk
mensentralisasikan produksi pangan dari wilayah-wilayah yang
dkuasai Kesultanan Aceh.35

Sistem birokrasi pemerintahan Aceh secara struktural


berturutturut,36 yaitu:

1. Sultan, sebagai puncak hierarki hukum, baik bertindak sebagai


hakim, maupun sebagai kepala pemerintahan. Tugas Sultan adalah
mengangkat, mengesahkan dan menetapkan perangkat hukum di
Kesultanan Aceh. Sebutan Sultan sebagai kepala administrator
negara disebut, Sultan Imam al-Adil.

2. Terdapat dua administrator di bawah Sultan, pejabat satu dengan


lainnya tidak saling mendahului derajatnya, yaitu: sekretaris
negara, yang bergelar Rama Seutia Keureukon Katibul Muluk

33
Hasan Basori, Hukum Islam Nusantara: Diaspora Undang-Undang Malaka Di
Kesultanan Aceh Abad Ke-17”, Jurnal Tashwirul Afkar, Vol. 38, No. 02, Tahun
2020. h. 235
34
Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan
Rakyat, h. 150.
35
Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan
Rakyat, h. 110-112.
36
Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan
Rakyat, h. 150-152.
14
sebagai pejabat kenegaraan. Sedangkan pejabat satunya lagi,
mengurusi masalah keagamaan, termasuk pengadilan dengan 4
mazhab, yang disebut Qadli Malikul Adil.

3. Untuk menerapkan hal tersebut, maka qanun menetapkan harus ada


pejabat yang mengurusi dan berwenang terhadap hal tersebut,
seperti pejabat setingkat Menteri dengan nama Wazir Mizan.

4. Sebuah lembaga hukum negara dibentuk dengan nama Balai Majlis


Mahkamah, di bawah Kementerian Kehakiman atau Wazir Mizan.

Adapun lembaga-lembaga qanun yaitu: 1. Balai Rong


Sari: sebuah lembaga inti yang anggotakan empat Menteri koordinator
utama dan 7 orang ulama; 2. Balai Gading: sebuah lembaga di bawah
Perdana Menteri, dengan pejabat Menteri serta Ulama; 3. Balai
Majelis Mahkamah Rakyat: adalah semacam dewan perwakilan
rakyat Aceh. Terdiri dari 73 orang yang berasal dari masing-masing
Mukim; 4. Balai Furdah: sebuah lembaga yang mengurusi persoalan
transaksi ekonomi; 5. Balai Laksamana: adalah lembaga militer; 6.
Balai Majelis Mahkamah: adalah Dewan majelis tinggi rakyat yang
diisi oleh 10 ulama berpengaruh, di bawah majelis kehakiman atau
Wazir Mizan; 7. Baitul Mal: lembaga yang mengurusi kegiatan
keuangan kerajaan. Lembaga ini berada dalam pengawasan Wazir
Derheum atau Menteri Keuangan.37

Penerapan hukuman, di Kesultanan Aceh tidak “pandang


bulu”, sampai-sampai Sultan Iskandar Muda kehilangan putra
sekaligus Putra Mahkota Kesultanan Aceh. Sebuah peristiwa
memilukan bagi keluarga Sultan dan kerajaan, di mana Pangeran
Mahkota Aceh, Meurah Peupo, dihukum mati karena kesalahan yang
dibuatnya. Hukuman mati dijatuhkan, sebagai bagian dari penerapan
hukum yang adil dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
UndangUndang Aceh.38

37
Hasan Basori, Hukum Islam Nusantara: Diaspora Undang-Undang Malaka Di
Kesultanan Aceh Abad Ke-17”, Jurnal Tashwirul Afkar, Vol. 38, No. 02, Tahun
2020. h 238 .
38
Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, 1607-1636, h. 118-119.
15
G. Politik Hukum Islam di Kerajaan Demak

Kesultanan Demak atau kerajaan Demak adalah kerajaan


Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa. Demak sebelumnya
merupakan kadipaten dari Kerajaan Majapahit, kemudian muncul
sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit.
Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di
pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya, walau tidak berumur
panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan
kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada masa pemerintahan Sultan
Fatah di Demak adalah awal berlakunya syariat Islam di Jawa. Untuk
pelaksanaannya di seluruh wilayah yuridiksi Kerajaan Demak, Sultan
Fatah telah mengambil sumber dari beberapa kitab fikih madzhab
syafi’i, seperti: Kitab Tuhfah al-Muhtaj, Kitab Muharrar, Kitab Taqrib
dan masih banyak lainnya. Sultan fatah bahkan memulai pelaksanaan
syariat Islam di tanah Jawa dengan menyusun karya besar yang
terkenal dengan kitab Jugul Muda. Kitab ini merupakan kodifikasi
hukum syariat Islam yang diambil dari beberapa kitab fikih, terutama
kitab Muharrar, Taqrib dan Tuhfah sebagai kitab Undan-undang
kesultanan Demak. Dilengkapi salokantara yang berisi 1044 contoh
kasus hukum.39

Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat


Suryangalam merupakan undang-undang resmi kerajaan demak yang
berisi mengenai ketentuan perdata, pidana dan hukum acara yang
bersumber pada tata hukum Islam dan kemudian dijadikan salah satu
sumber hukum kerajaan-kerajaan berikutnya (Pajang dan Mataram).
Ada empat asas yang terdapat dalam Serat Angger-Angger
Suryangalam dan Serat Suryangalam yakni asas legalitas, asas
praduga tak bersalah, asas tak sahnya hukuman karena keraguan dan
prinsip kesamaan di hadapan hukum.40

39
Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum..., hlm. 345-346.
40

16
Daftar Pustaka

Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan


Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998)

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan


Nusantara Abad XVII dan XVIII, cet. I, Bandung: Mizan, 1994.

Ali Abubakar, 2001017106 (2018) Undang-undang Melaka. Undang-


undang Melaka. https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/8288/

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, terj. Sori Siregar
dkk., (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004.

Ayang Utriza Yakin, Sejarah Hukum Islam Nusantara.

C. van Vollenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, (Jakarta:


Penerbit Jurnal Tashwirul Afkar Vol. 38, No. 02, Tahun 2020.
Djambatan, 1981.

Darwis A. Soelaiman, Aceh Dalam Konteks Dunia Melayu.

Hadi W. M., Pusat Kebudayaan dan Kegiatan Intelektual Islam DI


Nusantara.

Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, cet. I, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.

Hasan Basori, Hukum Islam Nusantara: Diaspora Undang-Undang Malaka


Di Kesultanan Aceh Abad Ke-17”, Jurnal Tashwirul Afkar, Vol. 38, No.
02, Tahun 2020.

Hurgronje, Kumpulan Karangan IX, (Jakarta: Indonesian-Netherlands


Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1994.

Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, 1607-1636.

Muhammad Yusoff Hashim, Kesultanan Melayu Melaka, (Kuala Lumpur:


Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia,
1989..

17
Mukmin, Mohd. Jamil bin, Melaka Pusat Penyebaran Islam di Nusantara,
(Kuala Lumpur: Murni Interprise, 1994.

Pratiwi Subian, “Rantai nilai dan perspektif kesadaran masyarakat muslim


akan makanan halal”, Conference on Islamic Management,
Accounting, and Economics, Volume. 1, 2018.

Sunanto, M. (2007). Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.

Tuanku Luckman Sinar Basarsyah, “Saling Pengaruh Budaya Melayu-


Aceh”, dalam Darwis A. Soelaiman (Ed.), Warisan Budaya Melayu Aceh,
(Banda Aceh: Pusat Studi Melayu Aceh, 2003.

Winstedt, “Digest Undang-undang” (terjemahan dari “Digest of Law”,


(JMBRAS, vol. XXXI, part 3, 1958) dalam Abd Jalil bin Borhan,
Sejarah Perundangan Islam di Malaysia, cet. I, (Kuala Lumpur:
Penerbit Amal, 1993.), h 181.

Yock Fang Liaw, Naskah Undang-Undang Melaka: Suatu Tinjauan


(Manuscript of Undang-Undang Melaka: an overview), (Universiti
Kebangsaan Malaysia press, 2007.

Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I, cet. I, (Medan: Iskandar


Muda, 1961.

UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7


Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

18

Anda mungkin juga menyukai