Anda di halaman 1dari 19

HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA

Oleh: Yuni Roslaili

PENDAHULUAN
Dalam pemikiran politik Islam, hingga saat sekarang ini, terdapat tiga paradigma tentang
hubungan antara agama (Islam) dan negara. Pertama, Paradigma bersatunya agama dan negara
(integrated paradigm). Aliran ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata- mata agama dalam
pengertian Barat, yakni yang hanya mengurusi hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya
Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Tokoh- tokoh utamanya seperti Jamaluddin
Al-Afgani dengan Pan Islamisme, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridha,
dan lain-lain, yang menginginkan hubungan antara Islam dengan keseluruhan aspek kehidupan
harus dalam bentuknya yang legalistik dan formalistik.

Kedua, Paradigma yang yang memandang agama dan negara berhubungan secara
simbiotik (simbiotik paradigm). Aliran ini menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang
serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan, namun aliran ini juga
menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur
hubungan manusia dengan tuhannya saja. Dalam kaitan ini, negara dan agama sama- sama saling
memerlukan. Di satu sisi agama memerlukan negara agar dapat berkembang dan sebaliknya
negara memerlukan agama untuk mendapatkan bimbingan moral dan etika. Jadi kedua entitas itu
saling berhubungan timbal- balik dan saling memerlukan. Di antara tokoh aliran ini adalah al-
Mawardi dengan kitabnya, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, dan Al-Ghazali dengan bukunya Nasîhât
al-Mulk, Kimîyâyi al-Sa’âdât dan al-Iqtishâd fi al- I’tiqâd. Menurut al-Ghazali bahwa agama dan
negara adalah ibarat saudara kembar yang lahir dari satu ibu.

Ketiga, Paradigma yang bersifat sekularistik (sekularistic paradigm). Aliran ini


berpendirian bahwa Islam adalah sebagaimana dalam pengertian Barat, yang tidak ada
hubungannya dengan urusan kenegaraan. Bagi mereka Nabi Muhammad hanyalah seorang nabi
biasa seperti halnya rasul- rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali
kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan nabi tidak
pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Jadi paradigma ini
mengajukan pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma
sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam atau menolak determinasi Islam atas negara.
Paradigma ini dapat ditemukan dalam pemikiran politik Islam modern, seperti yang
diikemukakan oleh Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein dan Qomaruddin Khan. Dalam bukunya
yang berjudul, al-Islâm wa Ushûl al-hukm: ba’ts fî al-Khilâfah wa al-hukûmah fî al-Islâm, Ali
Abd al-Raziq membangun tesis pemisahan antara agama dan politik. Oleh karena itu berbicara
tentang eksistensi hukum pidana1 Islam dalam sistem hukum nasional secara umum tidak bisa
lepas dari pada posisi mana Indonesia menempatkan dirinya selain tidak terlepas dari kebijakan
politik hukum di Indonesia. Karena itu, memahami perjalanan sejarahnya, kedudukannya, serta
proses formalisasi hukum pidana Islam yang terjadi dalam dinamika politik hukum di Indonesia
menjadi penting, untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang eksistensi hukum pidana
Islam di Indonesia.

Secara historis, perjalanan Indonesia bersama syariat Islam termasuk hukum pidananya
bisa dilihat dari era sebelum kemerdekaan hingga pasca reformasi. Di era pra kemerdekaan atau
lebih tepatnya era kerajaan- kerajaan di Nusantara, hukum pidana Islam sebagaiman disebutkan
kembali oleh Anthony Reid bahwa praktek amputasi sebagai sanksi atas tindakan pencurian
telah dilakukan pada masa Sultan Ageng di Banten (1650-1680). Selain itu praktek hukuman
jinayah ini juga telah terjadi di Aceh pada abad ke-17, bahwa di kerajaan ini telah diberlakukan
hukum potong (amputasi) terhadap siapa saja yang melakukan pencurian berulang-ulang, mulai
dari tangan kanannya, kaki kirinya, tangan kirinya, kaki kanannya, dan kemudian dibuang ke
pulau lepas di pantai Sabang. Urutan-urutan sanksi tersebut, terhadap perbuatan pencurian, jelas
sama persis dengan apa yang terdapat dalam ketentuan fikih Islam. Dengan demikian, jelas tidak
bisa dinafikan bahwa hukuman potong tangan, sebagai sesuatu yang dibawa oleh hukum pidana
Islam, telah diterima dan berlaku di masyarakat Indonesia, terutama di kerajaan Islam pra-
Indonesia.2

1
Hukum Pidana adalah bidang hukum meliputi semua aturan hukum yang mengandung ancaman pidana.
Pidana adalah suatu derita yang diberikan kepada seseorang, agar dirasakan sebagai derita. Yang menjatuhkan derita
itu adalah penguasa (pemerintah), dan arena itu hukum pidana itu digolongkan sebagai hukum publik. Busthanul
Arifin, “Penerapan Syariat Islam dalam Hukum Pidana,” dalam Bukhori Yusuf dan Iman Santoso (eds), Penerapan
Syariat Islam di Indonesia Antara Peluang dan Tantangan, Jakarta: Globalmedia Cipta, 2004, h. 161.
2
M. Arskal Salim GP, “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi Historis, Kontribusi
Fungsional dan Prospek Masa Depan”, dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.), Pidana Islam di
Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke-1, h. 255-256.
Di era kolonialisme, tepatnya setelah bangsa penjajah berhasil menguasai hampir seluruh
wilayah Indonesia, praktis perkembangan hukum Islam mengalami pasang surut. Penjajahan
Belanda atas Indonesia yang pada awalnya bermotifkan perdagangan, pada akhirnya, justru
melakukan politisasi hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan kolonialisme, yaitu melalui
unifikasi (penyatuan) hukum. Dalam artian bahwa hukum yang berlaku di negeri Belanda, juga
diberlakukan pula di Indonesia. Pada saat itulah timbul konflik-konflik hukum, termasuk di
kalangan para ahli hukum Belanda sendiri.3

Konflik hukum tersebut sengaja diciptakan bangsa penjajah untuk menguasai bangsa
Indonesia melalui pemanfaatan politik unifikasi hukum yang diskriminatif. Hal ini bisa dilihat
dari munculnya ‘teori resepsi’ oleh Snouck Horgronje dan Van Vollenhoven untuk mematikan
Syariat Islam di tengah-tengah masyarakat dan upaya-upaya penguasa mengecilkan keberlakuan
hukum Islam dengan mengaitkan keberlakuannya pada hukum adat. Hal ini sekaligus sebagai
counter atas teori ‘receptio in complexu’ Van den Berg, yang mengakui keberadaan Syariat
Islam sebagai hukum yang sudah mengakar kuat di kalangan masyarakat pribumi saat itu.

Selanjutnya tulisan ini akan membahas lebih lanjut bagaimana perjalanan dan bentuk
hukum pidana Islam di Indonesia di era pra kemerdekaan, era kemerdekaan dan era reformasi.
Adapun rumusan masalahya sebagaimana berikut:

1. Bagaimanakah bentuk hukum pidana Islam di Era Pra- Kemerdekaan


2. Bagaimanakah bentuk hukum pidana Islam di Era Kemerdekaan
3. Bagaimanakah bentuk hukum pidana Islam di Era Reformasi
Sedangkan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk hukum pidana Islam di Era Pra- Kemerdekaan
2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk hukum pidana Islam di Era Kemerdekaan
3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk hukum pidana Islam di Era Reformasi

3
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia…, h. 35. Lihat juga Agib Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996), cet.ke-3, h. 9.
PEMBAHASAN
Hukum Pidana Islam Pra Kemerdekaan

Hukum Islam secara menyeluruh pernah berkembang di wilayah Indonesia, yaitu ketika
bangsa Indonesia masih terdiri dari berbagai kerajaan, seperti Samudera Pasai, Kesultanan
Banten, Demak dan Mataram.4 Kenyataan ini, secara tidak langsung, tidak dapat dipisahkan dari
teori politik Islam yang selalu mengatur fungsi dan peran sebuah entitas umat Islam, yang
perilaku mereka kerap terekam ke dalam adat setempat untuk menegakkan hukum dan keadilan. 5

Terkait dengan hukum pidana Islam di Nusantara, Anthony Reid, dengan mengutip
catatan Dampier dan Warwijk dan Bowrey, mengemukakan fakta bahwa praktek amputasi
sebagai sanksi atas tindakan pencurian telah dilakukan pada masa Sultan Ageng di Banten
(1650-1680). Bahkan di Aceh, sepanjang abad ke-17, sebagaimana direkam oleh Reid,
diberlakukan hukum potong (amputasi) terhadap siapa saja yang melakukan pencurian berulang-
ulang, mulai dari tangan kanannya, kaki kirinya, tangan kirinya, kaki kanannya, dan kemudian
dibuang ke pulau lepas di pantai Sabang. Urutan-urutan sanksi tersebut, terhadap perbuatan
pencurian, jelas sama persis dengan apa yang terdapat dalam ketentuan fikih Islam. Dengan
demikian, jelas tidak bisa dinafikan bahwa hukuman potong tangan, sebagai sesuatu yang dibawa

4
Azyumardi Azra, Jaringan Global Lokal IslamNusantara, (Bandung: Mizan, 2002), Cet ke-1, h. 19.
Berdasarkan Seminar slam di Medan pada tahun 1963 ditegaskan, Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad
pertama hijriyah atau abad ketujuh/kedelapan masehi. Pernyataan ini membantah penulis Barat yang menyatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. Pada abad ke-13, Islam di ndonesia telah mengalami panetrasi
dan berkembang di berbagai daerah, terutama pada beberapa kerajaan Islam. Daerah pertama yang didatangi Islam
adalah Peurelak Aceh Timur dan Kerajaan Islam pertama di Samudera Pasei Aceh Utara, lihat Muhammad Daaud
Ali, Kedudukan Hukum I slam dalam Sistem Hukum Nasonal dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (ed),
Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 208, lhat juga Ali Hasjimi, Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h. 40 dan lihat juga Andi Rasdiyanah
Amr (ed), Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1982), h. 37, lihat pula
Departeman Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan
Undang-undangnya yang selanjutnya disebut Peradilan Agama (Jakarta: t. p., 2000), cet. Ke-2, h. 2.
5
Prinsip syara’ bersendi adat dapat dilihat pada praktik bagi sebagian masyarakat di Jawa. Prinsip adat
bersendi syara’, syara’ bersendi adat bisa diamati aktivitas kehidupan masyarakat Aceh. Prinsip adat bersendi
syara’, syara’ bersendi kitabullah dapat dilihat pada sebagian masyarakat Sumatera, dan sebagian juga di Sulawesi
dan Kalimantan, khususnya tercermin pada masyarakat Minang, lihat Samin Raji (S. R) Nur, Politik Hukum Islam
dalam Pembangunan Nasional (Ujung Pandang: t.p., 1992), h. 2-3, lihat juga Bambang Purnomo, Menjalin Hukum
Islam dalam Konsep Hukum Pidana Nasional, dalam Amrullah Ahmad SF et. Al., Dimens Hukum Islam dalam
Hukum Nasional (Jakarta: gema Insani Press, 19986), cet. Ker-1, h. 159. Lihat juga Ichtiyanto, “Prospek Peradilan
Agama sebagai Peradilan Negara dalam Sistem Politik Hukum di Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad SF et. Al.,…,
h. 177.
oleh hukum pidana Islam, telah diterima dan berlaku di masyarakat Indonesia, terutama di
kerajaan Islam pra-Indonesia.6

Meski penelitian tentang hukum di Indonesia belum banyak mengungkap bentuk-bentuk


penerapan hukum Islam dalam kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Nusantara, tetapi
dari gelar-gelar yang diberikan kepada raja-raja Islam, seperti “adipati ing alogo sayyidin
panotogomo”, dapat dipastikan bahwa peranan hukum Islam cukup besar dalam kerajaan-
kerajaan tersebut.7 Dalam hal ini, pemberlakuan dan pelaksanaan hukum pidana Islam di masa
kerajaan Islam Nusantara sepenuhnya tergantung pada tingkat kesadaran dan ketaatan seorang
sultan yang sedang berkuasa terhadap ajaran-ajaran Islam. Di Aceh misalnya, Sultan Iskandar
Tsani menolak pemberlakuan proses pembuktian yang pernah diberlakukan pada masa-masa
sebelumnya (sultan pendahulunya), karena memang tidak dikenal dalam ajaran hukum Islam. 8

Perkembangannya kemudian, nilai-nilai Islam itu diresapi dengan penuh kedamaian tanpa
menghilangkan nilai-nilai adat masyarakat setempat yang telah sesuai dan tidak bertentangan
dengan Syariat Islam. Pertautan kedua sistem nilai tersebut (Islam dan adat) berlaku secara
wajar, tanpa adanya konflik antara kedua sistem hukum tersebut. 9 Bahkan, dalam beberapa suku
bangsa, antara hukum adat dan hukum Islam merupakan satu kesatuan yang integral. Sejarawan
Taufik Abdullah, seperti dikutip Rifyal Ka’bah, melihat bahwa kesatuan yang integral tersebut
hampir merata di seluruh persada Indonesia.10 Dari sini, hukum Islam, terutama sanksi hukum
pidananya dapat dikatakan telah menyatu dengan budaya hukum bangsa (Indonesia) sejak dulu.

6
M. Arskal Salim GP, “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi Historis, Kontribusi
Fungsional dan Prospek Masa Depan”, dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.), Pidana Islam di
Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke-1, h. 255-256.
7
Agus Triyana, “Prospek Hukum Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Fakultas
Hukum UII Yogyakarta, No. 8 Vol. 5, h. 2.
8
Misalnya pencelupan tangan ke dalam minyak panas, atau menjilat besi panas membara bagi pelanggar
hukum. Lihat A.C Miller, Islam and Muslim State,d alam .B Hooker, Islam inSouth East Asia, (The Nederland: E.J
Brill, 1983), h. 26.
9
Hal demikian bisa terjadi karena konversi ke dalam Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik
keagamaan yang lama. Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Jakarta: Mizan, 2002), h. 18.
Baca juga Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, ( Jakarta: Rosda, 1999). Lihat juga
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1996), h. 212.
Menurut Muhammad Daud Ali, yang terjadi adalah “Penetration Pastifigue, Tolerante et Contraktive”, penetrasi
secara damai, toleran dan membangun.
10
Rifyal Ka’bah, “Keputusan Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masail Nahdlatul Ulama
sebagai Keputusan Ijtihad Jama’i di Indonesia”, Disertasi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998), h. 88.
Bahkan, ajaran Islam telah mengubah ikatan masyarakat ketika itu yang bersifat kesukuan
dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Atau dengan kata lain, mengutip
pendapat Daniel S. Lev, Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial politik supralokal
sebelum penjajah Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan
(kolonialisme).11 Di sini, hukum Islam merupakan fase penting dalam sejarah hukum di
Indonesia, yang untuk pertama kalinya telah ada di Indonesia sebagai hukum positif.12

Selanjutnya, pada awal-awal masa penjajahan Belanda, Van Den Berg, seorang sarjana
Belanda, berkesimpulan bahwa orang-orang Indonesia yang muslim ketika itu masih menerima
dan memberlakukan hukum Islam secara keseluruhan, yang kemudian dikenal dengan teori
“receptio in complexu”. Pada masa-masa itu, Peradilan Agama memiliki kompetensi yang luas
untuk memutuskan perkara-perkara yang masuk menurut hukum Islam, termasuk hukum
pidananya.13

Akan tetapi, setelah bangsa penjajah berhasil menguasai hampir seluruh wilayah
Indonesia, praktis perkembangan hukum Islam mengalami pasang surut. Penjajahan Belanda atas
Indonesia yang pada awalnya bermotifkan perdagangan, karena tertarik kepada rempah-rempah
dan hasil bumi lainnya yang amat laris di pasaran Eropa, pada akhirnya, justru melakukan
politisasi hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan kolonialisme, yaitu melalui unifikasi
(penyatuan) hukum. Hal ini berarti hukum yang berlaku di negeri Belanda, juga diberlakukan
pula di Indonesia. Pada saat itulah timbul konflik-konflik hukum, termasuk di kalangan para ahli
hukum Belanda sendiri.14

Konflik-konflik hukum tersebut sengaja diciptakan bangsa penjajah untuk menguasai


bangsa Indonesia melalui pemanfaatan politik unifikasi hukum yang diskriminatif. Hal ini bisa
dilihat dari munculnya ‘teori resepsi’ untuk mematikan Syariat Islam di tengah-tengah
masyarakat dan upaya-upaya penguasa mengecilkan keberlakuan hukum Islam dengan
mengaitkan keberlakuannya pada hukum adat. Hal ini sekaligus sebagai counter atas teori

11
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia (Terj.), (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 122-123.
12
Moh. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 12.
13
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 35. Lihat juga Ropaun Rambe dan Mukri Agafi, Implementasi Hukum Islam,
(Jakarta: PT Perca, 2001), Cet. I, h. 2.
14
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia…, h. 35. Lihat juga Agib Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996), cet.ke-3, h. 9.
‘receptio in complexu’ Van den Berg, yang mengakui keberadaan Syariat Islam sebagai hukum
yang sudah mengakar kuat di kalangan masyarakat pribumi saat itu.

Van Vollenhoven, misalnya, mengatakan hukum yang berlaku di Indonesia bukanlah


hukum Islam, melainkan hukum adat, yaitu hukum yang berakar pada kesadaran hukum
masyarakat sejak dulu dan hukum yang berhasil membuat masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat yang damai dan tertib. Dari sinilah, kemudian teori receptie in complexu diganti
dengan teori receptie. Menurut teori reseptie ini, hukum-hukum Islam yang berlaku di
masyarakat adalah hukum yang memang telah diterima (diresepsi) oleh hukum adat. Pada
akhirnya, muncullah konflik tiga sistem hukum tersebut (Islam, adat dan Barat) yang berlanjut
hingga sekarang.15

Lebih dari itu, pelaksanaan hukum pidana Islam di masa penjajahan Belanda sangat
dipengaruhi oleh kebijakan kolonial saat itu. Pengadilan yang melaksanakannya adalah
pengadilan negeri, yang ketika itu bernama landraad. Para hakim pengadilan yang berbentuk
majelis biasanya diketuai oleh seorang hakim Belanda. Majelis hakim selalu mempunyai seorang
Lid Advisor (anggota penasihat), yang dijabat oleh seorang ahli agama Islam, yaitu penghulu.
Sebelum putusan perkara pidana dijatuhkan, ketua majelis hakim harus menanyakan kepada
penghulu tentang hukum yang akan dijatuhkan.16

Misalnya, jika perkara pembunuhan telah terbukti, sang penghulu akan menjawab
dengan singkat; qishash. Jawaban penghulu dicatat dalam berita acara persidangan. Sebab, jika
tidak tercatat, maka ketua majelis hakim yang bertanya kepada penghulu sebagai Lid Advisor,
putusannya dianggap batal demi hukum. Tapi anehnya, putusan yang dijatuhkan dalam perkara
pidana itu justru berdasarkan KUHP, dan tidak ada sangkut pautnya dengan hukum pidana
Islam.17

Baru kemudian, sejak awal abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan
kodifikasi hukum pidana, yang pada mulanya masih pluralistik, seperti kitab undang-undang
hukum pidana untuk orang-orang Eropa, dan ada pula kitab undang-undang hukum pidana untuk

15
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia…, h. 35.
16
Lihat Busthanul Arifin, “Pikiran-pikiran tentang Hukum Pidana Kita”, Makalah Seminar Nasional
Hukum Pidana Islam: Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif, IAIN Syarif Hidayatullah jakarta,
tanggal 23-24 Juni 1999, h. 12.
17
Busthanul Arifin, “Pikiran-pikiran tentang Hukum Pidana Kita….”, h. 12.
orang Bumiputera dan yang dipersamakan (inlanders). Tepatnya, mulai tahun 1918,
diberlakukan satu kitab undang-undang hukum pidana untuk seluruh golongan yang ada di
Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana). Kitab undang-undang inilah yang berlaku hingga
sekarang, yang sejak kemerdekaan Indonesia, diubah namanya menjadi Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP).18

Pada zaman pendudukan Jepang yang berlangsung selama 3,5 tahun, bisa dikatakan tidak
ada perubahan politk hukum pemerintah terhadap hukum islam. Kalaupun ada mereka hanya
memanfaatkan hukum Islam untuk mengambil hati penduduk Muslim Indonesia, misalnya
membenrtuk semacam Departemen Pengajaran dan Urusan Agama Begitu pula di bidang
kemiliteran, para ulama dilibatkan sebagai komando batalyon (daidancho). Seiring dengan hal
itu, para ulama dan umat Islam menghadapi berbagai ujian dan cobaan di bidang politik masa
penjajahan Jepang.19

Dengan demikian, pelaksanaan hukum Islam, yang selama ini hidup di tengah-tengah
masyarakat Islam masa kerajaan, di masa kolonialisme, secara perlahan tetapi pasti, terus
dibungkam oleh penjajah, melalui sejumlah politik hukumnya, khususnya yang berkenaan
dengan hukum Islam yang bersifat qadhai20 (yuridis). Dalam politik hukumnya, di antaranya
misalnya Belanda memanfaatkan hukum adat yang ditempatkan melebihi hukum (syari`at)
Islam, yang lebih dikenal dengan ‘teori resepsi’. Sehingga berlakulah keadaan di mana hukum
Islam tidak dengan serta merta dapat diakui negara sebelum teresepsi oleh hukum adat. Keadaan
ini oleh Bismar Siregar diistilahkan dengan “Tuhan yang beradat” atau yang oleh Hazairin
disebut sebagai “teori iblis”, yang telah menjauhkan umat Islam dengan hukum agamanya

18
Busthanul Arifin, “Pikiran-pikiran tentang Hukum Pidana Kita…..”, h. 12.
19
A. Timur Djaelani, “Politik Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad, dkk. (Ed.), Dimensi Hukum
Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 142.
20
Disebut Qadai, adalah hukum Islam yang berhubungan dengan permasalahan yuridis dan telah
menyentuh kepentingan sosial masyarakat. Dan disebut Diyani, adalah hukum Islam yang bersifat etis dan secara
pribadi menuntut ketundukan dan kepatuhan. Hukum yang bersifat diyani dapat ditangani secara profesional oleh
mufti melalui fatwa, sedangkan yang bersifat qadhai dilaksanakan oleh hakim melalui peradilan. Namun demikian,
kategori suatu perbuatan termasuk qadai atau diyani akan senantiasa berkembang sesuai dinamika
masyarakatnya. Penjelasan lebih lanjut, lihat Rifyal Ka'bah. "Reformasi Metodologi Pengembangan Hukum Islam",
dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 34, Tahun X 1999, hlm. 46.
sendiri. Inilah kelihaian penjajah dalam mengebiri hukum Islam pada masa pra kemerdekaan
(kolonialisme).21

Hukum Pidana Islam Masa Kemerdekaan


Gagasan seputar dasar negara Indonesia, telah terjadi polemic yang panjang dan alot di
antara para founding father dalam merumuskan dasar konstitusi bagi Negara ini. Tarik menarik
di antara dua kubu, yaitu kubu nasionalis Islam yang menginginkan bahwa Islam dijadikan
sebagai dasar negara, dan kubu nasionalis sekuler yang tidak menginginkan agama sebagai dasar
negara.22

Menjelang kemerdekaan Indonesia, perjuangan menegakkan ajaran agama Islam terus


berlangsung. Bahkan, saat menjelang berdirinya negara RI, Syariat Islam harus melalui
perjalanan yang sangat berat, terutama ketika dibahas dalam sidang BPUPKI ataupun dalam
sidang-sidang konstituante. Hingga akhirnya, lahirlah Piagam Jakarta sebagai rumusan pertama
Mukadimah UUD 1945 atau rumusan pertama Pancasila. Ini adalah hasil dari perjuangan politik
para ulama Islam terkemuka, yang melahirkan Piagam Jakarta sebagai cetusan cita-cita
mendasarkan negara Indonesia pada “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan Piagam Jakarta inilah yang kemudian oleh banyak
kalangan dianggap sebagai ide dasar perjuangan pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia saat
ini.

Pada masa kemerdekaan ini, hambatan-hambatan yang sebelumnya berasal dari


kolonialisme penjajah, kemudian beralih terhadap “perlawanan” kaum nasionalis murni dalam
menentukan arah politik bangsa. Meski perumusan praktek hukum (syariat) Islam terbatas di
antara para pemeluknya, dengan maksud untuk menghargai golongan minoritas yang beragama
non-Islam, para ulama dan pemimpin Islam tetap dikritik bersifat diskriminatif dan merugikan
persatuan bangsa. Oleh karenanya, dengan landasan sikap yang bertanggung jawab, Bung Hatta
mencoret kata-kata “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
dan diganti dengan “Yang Maha Esa” di belakang kata “Ketuhanan”.23

21
Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Bina Cipta, 1987), Cet. I, h. 28. Lihat juga Khaeron
Sirin, “Format Legislasi Syariat Islam”, Koran Tempo, tanggal 22 Mei 2001. Ropaun Rambe dan Mukri Agafi,
Implementasi Hukum Islam…., h. 3
22
Lebih lanjut baca pada Bab II D.
23
A. Timur Djaelani…, . h. 142-143. Dibalik rumusan ini sebenarnya secara implisit menunjukkan bhawa
Syariat Islam diberlakukan hanya kepada bangsa Indonesia yang beragama Islam. Jadi di sini bersifat asas
Namun demikian, lahirnya Pancasila dan UUD 1945, menunjukkan bahwa negara
Indonesia adalah negara yang didirikan berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan bebas dari
politik warisan kolonial. Dalam perspektif Hazairin, kalimat “negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”, secara tidak langsung, menunjukkan bahwa hukum agama merupakan sumber
ajaran dan bagian integral dan unsur mutlak hukum nasional.24

Dengan kata lain, hukum nasional yang dikehendaki negara Indonesia, sebagaimana cita-
cita hukum Pancasila dan UUD 1945, adalah hukum yang menampung dan memasukkan hukum
agama, sekaligus tidak memuat norma hukum yang bertentangan dengan hukum agama. Sebab,
cita-cita batin, suasana kejiwaan dan watak dasar bangsa Indonesia sangat dipengaruhi dan
dibentuk oleh nilai-nilai ajaran agama. 25 Ini menunjukkan bahwa hukum Islam, sebagai
ketentuan-ketentuan hukum agama, bisa dimanfaatkan dan diberdayakan untuk memperkaya
khasanah hukum nasional kita.

Inilah yang dalam hukum nasional dikenal dengan ‘teori eksistensi’, di mana hukum
agama, yaitu Syariat Islam, berada (eksis) dalam hukum nasional, baik tertulis ataupun tidak
tertulis, dalam berbagai aspek kehidupan hukum dan praktek hukum. Bentuk eksistensi Syariat
Islam yang dimaksud adalah; Pertama, ada sebagai bagian yang integral dari hukum nasional;
Kedua, memiliki kemandirian yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum
nasional; Ketiga, ada sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional; dan Keempat, ada sebagai
bahan utama dan unsur utama hukum nasional.26

personalitas. Akan tetapi setelah tujuh kata tersebut mengalami penghapusan dan diganti dengan “Ketuhanan Ynag
Maha Esa”, maka secara implisit dipahami bahwa seluruh bangsaIndonesia mengakui Tuhan yang Esa. Dan itu
semakna dengan Tauhid. Jadi di sini menganut asas territorial. Oleh karena itu di sini seharusnya dipahami bahwa
hokum Islam seharusnya diberlakukan bagi seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali. Wawancara Pribadi dengan
Muhammad Yus, (Anggota DPR RI asal Aceh, 2004-2009), Jakarta 3 Juli 2009.
24
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1981), h. 34.
25
Hal ini, misalnya, dapat dilihat dari tiga hal, (a) watak dan suasana kejiwaan bangsa Indonesia meliputi
suasana batin dan sikap mentalnya dibina oleh ajaran iman dan akhlak agama; (b) pandangan hidup rakyat Indonesia
adalah pandangan hidup yang religius dan banyak dibentuk oleh ajaran agama. Pancasila sebagai falsafah hidup
bangsa dan negara membentuk pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia yang tidak akan lepas dari nilai-nilai
agama; (c) kesadaran hukum dan cita-cita hukum rakyat Indonesia berdasarkan nilai-nilai hukum agama dan menuju
kepada pelaksanaan hukum agama. Lihat Ichtijanto S.A., “Prospek Peradilan Agama sebagai Peradilan Negara
dalam Sistem Politik Hukum di Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad, dkk. (Ed.), Dimensi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 180.
26
Ichtijanto S.A., “Prospek Peradilan Agama sebagai Peradilan Negara”, ….h. 182-183.
Secara politik hukum, kedudukan hukum Islam dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
menurut Ismail Sunny, dapat dibagi menjadi dua periode. Pertama, hukum Islam sebagai sumber
persuasif (persuasive-source). Sumber persuasif berarti sumber yang terhadapnya orang harus
yakin dan menerimanya. Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya
UUD 1945, maka “teori resepsi” (yang diberlakukan di masa kolonial Belanda) kehilangan dasar
hukumnya. Sebab, dasar hukum teori resepsi ini adalah IS (Indische Staatsregeling), sedangkan
dengan berlakunya UUD 1945, IS tidak berlaku lagi. Setelah berlakunya UUD 1945, hukum
Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, karena kedudukan hukum Islam itu
sendiri, bukan karena hukum Islam telah diterima oleh hukum Adat.27

Kedua, hukum Islam sebagai sumber otoritatif (authoritative-source), yaitu sumber yang
mempunyai kekuatan (authority). Setelah Piagam Jakarta ditempatkan dalam Dekrit Presiden 5
Juli 1959, maka kedudukan hukum Islam menjadi sumber otoritatif dalam hukum Tata Negara
Indonesia, bukan sekadar sumber persuasif. Sebagaimana diketahui, semula Piagam Jakarta
adalah pembukaan Rancangan UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam konsiderans Dekrit Presiden tersebut dijelaskan,
“Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-
Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi
tersebut”.28

Secara kongkrit, setelah Indonesia merdeka, upaya untuk melakukan pembaharuan


hukum pidana terus berlangsung. Upaya yang sistematis dalam rangka mengganti KUHP warisan
Hindia Belanda dengan kitab undang-undang yang lebih sesuai dengan falsafah hidup bangsa
Indonesia dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, tidak putus-putusnya dilakukan. Bahkan
sebagian besar produk hukum di bidang hukum pidana materil selama sejak tahun 1946 sampai
1976, pada dasarnya, juga menggambarkan adanya usaha ke arah itu.29

27
Lihat Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Amrullah
Ahmad, dkk. (Ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.
133.
28
Dengan demikian, hukum Islam sebagai sebuah konsiderans, sebagaimana halnya pembukaan dan
penjelasan suatu UUD atau peraturan perundang-undangan, mempunyai kekuatan hukum. Ismail Suny, “Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, h. 134-135.
29
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana…., h. 19-22.
Namun demikian, pembaharuan hukum sebagaimana tersebut di atas masih bersifat
komplementer dan sektoral. Sedangkan usaha sistematis yang secara khusus bermaksud
mengganti secara total adalah rancangan undang-undang hukum pidana (KUHP) yang baru sama
sekali, untuk mengganti KUHP warisan Belanda. Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia (RI)
membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1961, 30 yang kemudian
diganti menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1979.31

Upaya untuk melakukan perombakan total terhadap KUHP yang sudah berlangsung
puluhan tahun agaknya selalu mengalami banyak kendala. Hal ini, menurut Busthanul Arifin,
antara lain disebabkan ada suatu ‘penyakit’ dalam pengajuan RUU di Indonesia selama ini,
terutama sejak tahun 1970-an. Undang-undang dirancang dengan terlalu muluk-muluk, terlalu
terpengaruh oleh perkembangan hukum di negara-negara yang keberadaan hukumnya telah
mapan. Padahal, peratuan-peraturan hukum, terutama UU haruslah berdasarkan keadaan nyata
dari masyarakat itu sendiri pada suatu kurun waktu tertentu.32

Lebih dari itu, upaya-upaya untuk mengakomodasi hukum pidana Islam ke dalam KUHP
yang baru juga masih menjadi hambatan dan diskursus yang tidak ada habis-habisnya. Sehingga,
pada akhirnya, rancangan KUHP yang baru semakin tidak jelas hasilnya. Namun demikian,
upaya ini akan terus dilakukan sampai dapat dirumuskan suatu KUHP yang benar-benar
berwatak dan bercirikan keindonesiaan.33

30
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana….,h. 23. Sayangnya, kitab undang-undang hukum
pidana yang dimiliki oleh negara Indonesia hanya judulnya saja yang resmi, sedang isinya tetap tertulis dalam
bahasa Belanda. Hampir semua hakim, jaksa dan polisi tidak menguasai bahasa Belanda, akan tetapi KUHP yang
mereka terapkan masih berbahasa asing. Padahal, isi dan istilah hukum yang terkandung dalam KUHP memiliki
pengertian-pengertian tertentu, yang sangat ditentukan oleh perkembangan masyarakat dan yurisprudensi.
31
Hingga sekarang rancangan KUHP tersebut terus mengalami perbaikan seiring dengan tuntutan
masyarakat.
32
Misalnya saja, pembuatan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada tahun 1981.
Secara tertulis, KUHAP itu sangat ideal, bahkan sempat dikatakaan sebagai karya agung bangsa Indonesia. Akan
tetapi, belum setahun KUHAP berlaku telah banyak muncul hal-hal yang menimbulkan tanda tanya, sedangkan
Mahkamah Agung sendiri membuat peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan yang pada hakikatnya bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan KUHAP. Salah satu sebabnya, karena ketika membuat KUHAP pikiran para
penyusunnya terfokus kepada isu-isu yang beredar di masyarakat dan di kalangan hukum internasional, seperi isu-
isu seputar HAM. Akibatnya, titik berat pemikiran terfokus secara tidak proporsional pada hak-hak tersangka dan
tertuduh, sehingga hak-hak perlindungan bagi masyarakat terabaikan. Busthanul Arifin, “pikiran-pikiran…”, h. 13-
14.
33
Tentang RUU KUHP yang masih digodok di Parlemen, baca Mohammad Din, Kebijakan Pidana Qanun
Nanggroe Aceh Darussalam Dalam system Hukum Pidana Nasional (Disertasi), Program pascasarjana Universitas
Padjadjaran Bandung, h. 162- 188.
Yang jelas, perjuangan untuk memberlakukan hukum pidana Islam di Indonesia dalam
sistem politik hukum Indonesia, saat ini dan ke depan, akan terus harus melalui perjalanan yang
sangat berat. Meskipun demikian, lahirnya Piagam Jakarta sebagai rumusan pertama Mukadimah
UUD 1945 atau rumusan pertama Pancasila, dalam sejarah kemerdekaan Indonesia,
menunjukkan betapa nilai ajaran agama yang diperjuangkan oleh para ulama dan pemimpin
Islam sangat besar. Rumusan Piagam Jakarta inilah yang kemudian oleh banyak kalangan
dianggap sebagai ide dasar perjuangan pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia saat ini.

Hukum Pidana Islam Masa Reformasi


Syariat Islam yang berkaitan dengan hukum muamalah, tampaknya telah mendapat
perhatian Negara baik bentuk unifikasi maupun kompilasi. Namun, dalam bidang kebijakan
dalam bidang jinayah (pidana) relatif terabaikan atau bahkan diterlantarkan. Besarnya pengaruh
hukum warisan Belanda terhadap system hukum Pidana di Indonesia membuat usaha-usaha
berbagai pihak untuk mengurangi pengaruh Hukum Belanda sampai sekarang belum mendapat
perhatian berhasil. KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi hukum
Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah,
tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan
orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah
antara dua orang yang tidak terikat perkawinan bukan bentuk dari perzinahan. Perumusan
perzinahan dalam KUHP Belanda ini tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat
Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari term hukum Islam, tetapi ketika dalam
pemidanaannya mengambil jenis pemidanaannya dari eks hukum Belanda, yakni pidana
penjara.34

Di era reformasi, kebijakan bidang jinayah atau hukum pidana mengalami


perkembangan, terutama semenjak adanya Otonomi Daerah dan keistimewaan yang diberikan
kepada daerah Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001
tentang OTSUSNAD. Setelah adanya kewenangan yang dimiliki NAD untuk menerapkan
Syariat Islam tahun 2001, telah dibuat sejumlah qanun yang berisikan sejumlah tindak pidana.

34
Yusril Ihza Mahendra, “Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional”, Makalah Seminar
Internasional Islamic Law in Southeast Asia: Opportunity and Challenge Faculty of Shari’a and Law, Syarif
Hidayatullah State Islamic University, Jakarta, Desember 7 – 9, 2007, h. 11.
Ini berarti bahwa bahwa Syariah (hukum Islam) yang diberlakukan di NAD tidak lagi terbatas
pada masalah perdata Islam semata, tetapi yang juga sudah mencakup hukum pidana
(jarimah/jinayah). Sampai saat ini macam-macam tindak pidana yang bersumber dari Syariat
Islam dan sudah diatur dalam Qanun NAD yang mencakup, pertama, minuman khamar dan
sejenisnya, melalu Qanun No.12 tahun 2003, kedua, maisir (perjudian) melalui Qanun No.13
Tahun 2003, dan ketiga, khalwat (mesum) melalui Qanun No.14 Tahun 2003.35

Kebijakan negara dalam bidang jinayah atau hukum pidana Islam pada masa Era
Reformasi dapat disebut bersifat oposisional, meskipun dalam kasus tertentu bersifat akomodasi
terbatas karena pertimbangan politis dengan memberikan keistimewaan bagi daerah Nanggroe
Aceh Darussalam, tetapi kekhususan ini tidak dapat berlaku untuk daerah-daerah lainnya.

Pada sisi lain dapat dilihat bahwa terjadi kecenderungan keberlanjutan (cotinuity)
kebijakan pemerintahan Soeharto pada era reformasi, meskipun di sana sini terjadi perubahan
dan perbaikan dalam sistem politik hukum Islam di Indonesia. Keberlanjutan dan perubahan itu
dapat dilihat misalnya pada persoalan kebijakan penyelenggaraan haji yang merupakan
kelanjutan dari masa kolonial dan masa Orde Baru meskipun kebijakan itu baru berbentuk UU
setelah pemerintahan Habibie menyetujui UU No. 17 Tahun 1999. Begitu pula tentang kebijakan
Zakat yang telah diatur melalui kebijakan Menteri pada masa Orde Baru, kemudian masa
Habibie disetujui menjadi UU No. 38 Tahun 1999. Hal yang sama juga terjadi secara
berkesinambungan dalam hal memberikan kekuatan hukum bagi lembaga peradilan agama yang
dimulai dengan memberikan legal standing bagi peradilan agama melalui UU No. 14 tahun 1970,
kemudian dirubah masa B.J. Habibie dengan UU No. 35 tahun 1999 tentang Amandemen
terhadap UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan
masa Presiden Abdurrahman Wahid dikeluarkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sehingga
otonomi hukum Islam terjadi di Aceh dan pada masa Presiden Megawati Soekarno Putri
dikeluarkan pula Keputusan Presiden No. 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah di
Nanggroe Aceh Darussalam. Perubahan dari ketentuan-ketentuan di atas mengharusan perubahan
UU Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kehakiman. Hal yang paling mutakhir adalah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

35
Pembahasan lebih lanjut pada Bab IV.
Terhadap UU No. 7 Tahun 1989. Perubahan-perubahan mendasar di atas karena adanya
amandemen terhadap UU Dasar 1945 sehingga peraturan lain di bawahnya harus disesuaikan
sesuai dengan dinamika perpolitikan di Indonesia yang semakin demokratis dan responsif.

Meskipun demikian, bilamana suatu produk hukum yang telah diundangkan masih
terdapat pasal-pasal yang kurang proporsional atau secara material dianggap bertentangan
dengan UUD 1945 atau berbenturan dengan produk perundang-undangan yang telah ada, maka
jalurnya adalah melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Di sini posisi Mahkamah Konstitusi
berperan untuk menilai dan mengawasi produk UU yang terkait dengan produk hukum yang
selaras dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dengan demikian, maka alasan untuk mengatakan bahwa legislasi hukum Islam dalam
perundang-undangan Negara dapat mengancam eksistensi negara dan UUD 1945 semakin tidak
relevan karena perangkat uji materil melalui Mahkamah Konstitusi telah disediakan berdasarkan
UUD 1945.

Dalam kaitannya dengan hukum Islam sebagai the living law, maka adopsi hukum Islam
ke dalam hukum nasional merupakan kewajiban berdasarkan amanah konstitusi UUD 1945
melalui mekanisme politik yang demokratis atau minimal hukum Islam harus menjadi referensi
bagi pembentukan hukum nasional di Indonesia. Proses transformasi hukum Islam menjadi
hukum nasional ini di namai sebagai teori konstitusi (the constitusion theory) dan teori adopsi
(the adoption theory).

PENUTUP
Memperbincangkan hukum pidana Islam di Indonesia hari ini tidak terlepas dari tiga
paradigma hubungan antara agama dan negara yang dianut oleh Negara- Negara muslim di
dunia. Untuk konteks Indonesia, hubungan antara negara dan agama menjadi unik, yang mengandung
pengertian bahwa Indonesia bukan negara teokrasi dan juga bukan negara sekuler secara utuh.
Sebagaimana telah dituliskan oleh B.J. Boland bahwa Indonesia bukanlah suatu negara Islam
sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok nasionalis Islam, dan juga bukan negara sekuler yang
memasukkan agama dalam wilayah pribadi terpisah dari negara. Indonesia adalah negara yang
memandang agama dalam frame ikut membangun karakter pembangunan negara dan bangsa.
Negara Indonesia adalah negara Pancasila yang dipandang sebagai jalan tengah (Middle
Way dan Kalimatun Sawa’) bagi hubungan antara agama dan negara oleh para pendiri negeri ini.
Adanya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan bukti bahwa agama di Indonesia
tidak dipinggirkan, dan juga dibuktikan dengan keberadaan institusi Departemen Agama. Akan
tetapi eksistensi institusi ini tidak membuat negara yang berpenduduk mayoritas Islam ini
menjadi Negara Islam. Selain itu, pengakuan negara kepada Aceh untuk melaksanakan Syariat
Islam di wilayahnya melalui sejumlah undang- undang adalah bukti lain bahwa negara Pancasila
adalah bukan negara yang memusuhi agama, namun negara yang memandang agama sebagai
salah satu aset untuk pembangunan negara. Karena itu M. B. Hooker dalam bukunya
”Indonesian Syaria: Defining a National School of Islamic Law” (2008), menjelaskan bahwa
Syariah Islam di Indonesia memiliki karakter yang khas dan berbeda dengan negara- negara lain
yang ada di Timur Tengah, Afrika Utara atau Asia Tenggara lainnya.

Jika dikembalikan kepada tiga paradigma di atas, nampaknya Indonesia lebih dekat
kepada paradigma yang mencoba memposisikan agama dan negara dalam hubungan simbiotik
(simbiotik paradigm), meskipun dalam rentang (range) yang bisa didiskusikan kembali pasang
surutnya. Untuk itu tugas selanjutnya bagi umat beragama adalah memikirkan dan
mengembangkan hubungan- hubungan yang memungkinkan (viable) antara agama dan negara
di negeri ini sehingga agama ini menjadi shalihun li kulli zamanin wa makanin, dapat menjawab
berbagai tantangan zaman dan keadaan.

Namun jika ditarik ke belakang menyusuri perjalan sejarahnya faktanya bahwa hukum
Islam secara menyeluruh pernah berlaku di Indonesia yaitu ketika bangsa Indonesia masih terdiri
dari kerajaan- kerajaan seperti Kerajaan Pasai, Kerajaan Aceh Darussalam, Kesultanan Banten,
Demak dan Mataram. Di era kolonialisme, Belanda merubah dan akhirnya menghapus hukum
Islam yang sebelumnya telah menjadi living law di tengah masyarakat dengan hukum sipil
Belanda termasuk hukum pidananya yang hingga hari ini masih digunakan oleh bangsa
Indonesia yaitu buku Kitab Undang- Undang Hukum Pidana atau KUHP.

Akan tetapi seiring dengan kemunculan era reformasi, keinginan rakyat Aceh untuk
menerapkan hukum Islam secara kaffah di negerinya sebagaimana dalam romantisme sejarah
mereka kembali terwujud setelah Pemerintah RI mensahkan Undang- Undang No 44 Tahun 1999
tentang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-
Undang No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang- Undang No 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh yang telah menjadi payung hukum sebagai legal standing bagi pelaksanaan
hukum pidana Islam di Aceh yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

A.Timur Djaelani, “Politik Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad, dkk. (Ed.), Dimensi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)

A.C Miller, Islam and Muslim State,d alam .B Hooker, Islam inSouth East Asia, (The
Nederland: E.J Brill, 1983),

Agib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996).

Agus Triyana, “Prospek Hukum Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,
Fakultas Hukum UII Yogyakarta, No. 8 Vol. 5.

Ali Hasjimi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif,
1981).

Amrullah Ahmad, dkk. (Ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), h. 180.

Andi Rasdiyanah Amr (ed), Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia (Ujungpandang:
IAIN Alauddin, 1982).

Departeman Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan
Proses Pembentukan Undang-undangnya yang selanjutnya disebut Peradilan Agama
(Jakarta: t. p., 2000), cet. Ke-2.

Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Jakarta: Mizan, 2002).

………………., Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, ( Jakarta:
Rosda, 1999).

Bambang Purnomo, Menjalin Hukum Islam dalam Konsep Hukum Pidana Nasional, dalam
Amrullah Ahmad SF et. Al., Dimens Hukum Islam dalam Hukum Nasional (Jakarta: gema
Insani Press, 19986), cet. Ker-1.

Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Bina Cipta, 1987), Cet. I.
Busthanul Arifin, “Penerapan Syariat Islam dalam Hukum Pidana,” dalam Bukhori Yusuf dan
Iman Santoso (eds), Penerapan Syariat Islam di Indonesia Antara Peluang dan
Tantangan, Jakarta: Globalmedia Cipta, 2004.

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia (Terj.), (Jakarta: LP3ES, 1990).

Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1981).

Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam
Amrullah Ahmad, dkk. (Ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

M. Arskal Salim GP, “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi Historis, Kontribusi
Fungsional dan Prospek Masa Depan”, dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.),
Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), Cet. Ke-1.

Moh. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995).

Mohammad Din, Kebijakan Pidana Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Dalam system Hukum
Pidana Nasional (Disertasi), Program pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

Muhammad Daaud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasonal dalam Taufik
Abdullah dan Sharon Shiddique (ed), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara
(Jakarta: LP3ES, 1989).

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali,
1996).

Rifyal Ka’bah, “Keputusan Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masail Nahdlatul
Ulama sebagai Keputusan Ijtihad Jama’i di Indonesia”, Disertasi, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1998).

Ropaun Rambe dan Mukri Agafi, Implementasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Perca, 2001).

Samin Raji (S. R) Nur, Politik Hukum Islam dalam Pembangunan Nasional (Ujung Pandang:
t.p., 1992).

Yusril Ihza Mahendra, “Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional”, Makalah
Seminar Internasional Islamic Law in Southeast Asia: Opportunity and Challenge Faculty
of Shari’a and Law, Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta, Desember 7 – 9,
2007.

Anda mungkin juga menyukai