Anda di halaman 1dari 30

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan
sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Kerajaan
islam di Indonesia”, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang
dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan, Walaupun
makalah ini kurang sempurna dan memerlukan perbaikan tapi juga memiliki detail yang
cukup jelas bagi pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun.
Terima kasih.

Lamno, Januari 2018


Penulis

TIM
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................


Daftar Isi .............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................


1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................
1.3 Manfaat ..............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................


2.1 Sejarah Awal Mula ............................................................................
2.2 Masunya Kolonialisme Barat ............................................................
2.2.1 Masa Keemasan di Masa Sultan Iskandar Muda ............................
2.2.2 Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam .....................................
2.3 Silsilah ...............................................................................................
2.4 Wilayah Kekuasaan ...........................................................................
2.4.1 Wilayah Aceh Raja .........................................................................
2.4.2 Wilayah Luar Aceh raja ..................................................................
2.4.3 Daerah yang Berdiri Sendiri ...........................................................
2.4.4 Sistem Pemerintahan ......................................................................
2.4.5 Kondisi Sosial-Ekonomi .................................................................

BAB III Penutup ................................................................................................


3.1 Kesimpulan ........................................................................................
3.2 Saran ..................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Aceh yang terkenal dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah” merupakan tempat
di mana berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia. Diperlihatkan dari letak
geografisnya, dimana Aceh sendiri terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan dekat
dengan Selat Malaka yang saat itu menjadi pintu pusat lalu lalangnya kapal-kapal
saudagar antara belahan bumi Barat dan Timur dapat diperhitungkan sejak awal abad ke
1.
Namun dengan sendirinya meningkat lalulintas perdagangan dan kemampuan
hidup masyarakat sekaligus memungkinkan terbangunnya suatu pemerintahan atau
kerajaan-kerajaan terutama di Aceh seperti Kerajaan Jeumpa, Lamuri, Samudra Pasai
dan lain-lain yang menganut agama Islam. Pada saat itu Sumatera sudah kaya akan hasil
Bumi dan Alamnya jadi tidak salah pada masa itu bangsa India menyebutnya dengan
sebutan Swarnadwipa (Pulau Emas).
Selain berdagang, para saudagar-saudagar tersebut juga pelan-pelan
menyebarkan agama yang mereka pahami dan dibawa dari bangsa mereka, salah
satunya yaitu agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih dahulu
sudah ada agama serta kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan budha di Aceh.

1.2 Rumusan Masalah


Dari penjelasan diatas rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan Kerajaan Aceh ?
2. Hal Apa saja yang mengakibatkan Kerajaan Aceh mengalami kemunduran?

1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan bermanfaat, baik dari aspek teoritis maupun praktis.
Secara teoritis tergambar dalam materi tulisan ini. Adapun secara praktis, tulisan ini
diharapkan dapat berguna bagi individu, masyarakat, dan pemerintah. Semoga menjadi
bahan pembelajaran yang baik bagi tunas bangsa yang ingin mempelajarinya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Awal Mula


Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan
Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh
Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya
pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-
benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun
di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya,
seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra,
dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri). Dari penemuan yang dilacak berdasarkan
penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman
Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat
keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri
sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507
Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin
terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali
Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada
di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah
meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530.
Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam ayah
Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah
wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta
Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari
Sultan Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal
dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30
November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah
yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh
Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya
Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal yang
ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti untuk
dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh dalam masa-
masa yang dimaksud.
Aceh adalah wilayah yang besar dan dihuni oleh beberapa pemerintahan besar
pula. Selain Kesultanan Aceh Darussalam dan Samudera Pasai, di tanah ini telah berdiri
pula Kerajaan Islam Lamuri selain Kesultanan Malaka yang memiliki peradaban besar
di Selat Malaka. Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam tidak lepas dari eksistensi
Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam
Lamuriadalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap
sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan Iskandar
Muda. Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan
tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam,
yang dalam perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam.
Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah
Islam pada umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. Dalam hikayat Aceh seperti
yang dianalis Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman
Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam
hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan, satu batu dari gedung yang lebih besar,
tetapi tertumpu pada tokoh satu orang, yaitu Sultan Iskandar Muda. Sultan terbesar dari
Aceh ini justru bukan merupakan pemimpin dari generasi awal Kesultanan Aceh
Darussalam. Meski siapa penulis Hikayat Aceh tidak diketahui dan tidak tersimpan pula
tanggal mengenai penyusunan karyanya, namun bisa dikatakan bahwa Hikayat Aceh
tersebut disusun selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan
bahwa raja itu menyuruh salah seorang pujangga istananya untuk menyusun riwayat
hidupnya.
Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena,
selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh
masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah
mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar
diperiksa kebenarannya.
Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang dikisahkan oleh
seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis, nama musafir itu,
mencatat bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka keturunan dari Imael dan Hagar
(Nabi Ismail dan Siti Hajar). Tiga abad kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan
bahwa dia telah mendengar cerita tentang seorang ulama sekaligus hulubalang
bernama Teungku Kutakarang (wafat pada November 1895), yang menganggap orang
Aceh lahir dari percampuran dari orang Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis
Lombard, hegemoni semacam ini sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan
terhadap penjajah Eropa.
Dalam buku karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang berjudul “Kerajaan-
kerajaan Islam di Aceh” (2006), dikemukakan bahwa yang disebut Aceh ialah daerah
yang sempat dinamakan sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebelumnya
bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh). Tetapi pada masa Aceh masih sebagai
sebuah kerajaan/kesultanan, yang dimaksud dengan Aceh ialah yang sekarang dikenal
dengan Kabupaten Aceh Besar atau dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk Untuk
nama ini, ada juga yang menyebutkan nama “Aceh Lhee Sagoe” (Aceh Tiga Sagi).
Selain itu, terdapat pula yang menggunakan Aceh Inti (Aceh Proper) atau “Aceh yang
sebenarnya” karena daerah itulah yang pada mulanya menjadi inti Kesultanan Aceh
Darussalam dan juga letak ibukotanya,” untuk menamakan Aceh.
Nama Aceh sering juga digunakan oleh orang-orang Aceh untuk menyebut
ibukota kerajaannya, yakni yang bernama Bandar Aceh atau secara lengkapnya
bernama Bandar Aceh Darussalam. Tentang nama Aceh belum ada suatu kepastian
dari mana asal dan kapan nama Aceh itu mulai digunakan. Orang-orang asing yang
pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang-orang
Portugis dan Italia menyebutnya dengan nama “Achem”, “Achen”, dan “Aceh”, orang
Arab menyebut “Asyi”. “Dachem”, “Dagin”, dan Dacin”, sedangkan orang Cina
menyebutnya dengan nama “Atje” dan “Tashi”.
Dalam karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang lain, yaitu yang
terangkum dalam buku dengan judul “Ragam Sejarah Aceh” (2004), disebutkan bahwa
selain sebagai penyebutan nama tempat, Aceh juga merupakan nama salah satu suku
bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Bumi Aceh. Terdapat cukup
banyak etnis yang bermukim di wilayah Aceh, yakni etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang,
Aneuk, Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Suku-suku bangsa yang mendiami wilayah
Aceh, termasuk suku bangsa Aceh, itu telah eksis semenjak Aceh masih berupa sebuah
kerajaan/kesultanan.
Sementara itu, menurut penelitian K.F.H. van Langen yang termaktub dalam
karya ilmiah berjudul “Susunan Pemerintahan Aceh Masa Kesultanan” (1986),
dituliskan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut Ureueng
Mante. Sejauh mana riwayat itu dapat dianggap benar dan apakah Mante itu termasuk
juga dalam suku Mantra yang mendiami daerah antara Selangor dan Gunung Ophir di
Semenanjung Tanah Melayu, menurut van Langen, ini adalah pertanyaan-pertanyaan
yang harus dipecahkan lagi dalam studi perbandingan bahasa Melayu-Polinesia. Tetapi
sejauh masalah itu belum dapat dipecahkan, maka tetaplah bisa dianggap
bahwa Mante adalah penduduk asal daerah Aceh, terutama karena nama itu tidak
merujuk pada penduduk asal suku-suku bangsa lain.

 Masuknya Kolonialisme Barat


Kedatangan bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis selaku bangsa Eropa yang
pertama kali tiba di Aceh, menjadi salah satu faktor utama runtuhnya Kerajaan
Samudera Pasai, selain juga disebabkan serangan Majapahit. Pada 1508, atau kurang
dari setahun setelah Sultan Ali Mughayat Syah memproklamirkan
berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis pertama yang
dipimpin Diogo Lopez de Sequeira tiba di perairan Selat Malaka. Armada de Sequeira
ini terdiri dari empat buah kapal dengan perlengkapan perang. Namun, kedatangan
rombongan calon penjajah asal Portugis yang pertama ini tidak membuahkan hasil yang
gemilang dan terpaksa mundur akibat perlawanan dari laskar tentara Kesultanan
Malaka.
Kedatangan armada Portugis yang selanjutnya pun belum menunjukkan
peningkatan yang menggembirakan. Pada Mei 1521, penguasa Kesultanan Aceh
Darussalam yang pertama, Sultan Ali Mughayat Syah, memimpin perlawanan dan
berhasil mengalahkan armada Portugis yang dipimpin Jorge de Britto yang tewas
dalam pertempuran di perairan Aceh itu. Dalam menghadapi Kesultanan Aceh
Darussalam dan keberanian Sultan Ali Mughayat Syah, Portugis membujuk Kerajaan
Pedir dan Samudera Pasai untuk mendukungnya.
Setelah mengalami kekalahan dari Kesultanan Aceh Darussalam, armada
Portugis kemudian melarikan diri ke Kerajaan Pedir, namun pasukan Aceh Darussalam
tetap mengejar dan sukses menguasai wilayah Kerajaan Pedir. Pihak Portugis bersama
Sultan Ahmad, Raja Kerajaan Pedir, melarikan diri lagi dan mencari perlindungan ke
Samudera Pasai. Pasukan Sultan Ali Mughayat Syah meneruskan pengejarannya dan
berhasil mematahkan perlawanan Pasai pada 1524. Sejumlah besar rampasan yang
berupa alat-alat perang, termasuk meriam, digunakan tentara Aceh Darussalam untuk
mengusir Portugis dari bumi Aceh.
Kekalahan Portugis tersebut sangat memalukan karena pasukan Aceh
Darussalam mendapat barang-barang rampasan dari alat-alat perang milik Portugis yang
lebih memperkuat Aceh Darussalam karenanya. Sultan Ali Mughayat Syah memang
dikenal sebagai sosok pemimpin yang pemberani dan penakluk yang handal.
Selain berhasil mengusir Portugis serta menundukkan Kerajaan Pedir dan
Samudera Pasai, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat
Syah, juga meraih kegemilangan dalam menaklukkan beberapa kerajaan lainnya di
Sumatra, seperti Kerajaan Haru, Kerajaan Deli, dan Kerajaan Daya.
Beberapa catatan dari Barat, salah satunya yang ditulis oleh C.R. Boxer,
mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada perang Kesultanan Aceh Darussalam
sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap dan mutakhir. Bahkan,
sejarawan Portugis sendiri, Fernao Loper de Costanheda, menyebut bahwa Sultan
Aceh (Ali Mughayat Syah) lebih banyak memperoleh pasokan meriam dibandingkan
dengan benteng Portugis di Malaka sendiri. Selain itu, menurut pejalan dari Barat
lainnya, Veltman, salah satu rampasan paling berharga dari Samudera Pasai yang
berhasil dibawa pulang oleh Sultan Ali Mughayat Syah adalah lonceng besar yang
kemudian diberi nama “Cakra Dunia”. Lonceng bersejarah merupakan hadiah
dari Laksamana Cheng Ho kepada Raja Samudera Pasai ketika panglima besar dari
Kekaisaran Tiongkok itu berkunjung ke Pasai pada awal abad ke-15.
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam hanya
selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan Ali Mughayat
Syah, pemimpin pertama Aceh Darussalam ini meninggal dunia pada 12 Dzulhijah
Tahun 936 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1530 Masehi. Kendati
masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil
membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Sultan Ali Mughayat Syah juga
meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kesultanan Aceh Darussalam, antara lain :
 Mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak lain.
 Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di
nusantara.
 Bersikap waspada terhadap kolonialisme Barat.
 Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
 Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Sepeninggal Sultan Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap
dijalankan oleh sultan-sultan penggantinya. Sebagai penerus tahta Kesultanan Aceh
Darussalam, diangkatlah putra sulung almarhum Sultan Mughayat Syah yang
bernama Salah ad-Din sebagai penguasa Aceh Darussalam yang baru. Di bawah
pemerintahan Sultan Salah ad-Din, Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Malaka
pada 1537 tetapi tidak berhasil. Tahun 1539, kepemimpinan Kesultanan Aceh
Darussalam dialihkan kepada anak bungsu Mughayat Syah, yaitu Ala ad-Din Ri`ayat
Syah al-Kahar atau yang sering dikenal juga dengan nama Sultan Mansur Syah. Adik
dari Salah ad-Din ini perlahan-perlahan mengukuhkan kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam dengan melakukan beberapa gebrakan. Tidak lama setelah dinobatkan, pada
tahun yang sama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar menyerbu orang-orang Batak
yang tinggal di pedalaman. Menurut Mendez Pinto, pengelana yang singgah di Aceh
pada 1539, balatentara Kesultanan Aceh di bawah pimpinan Sultan Ala ad-Din Ri`ayat
Syah al-Kahar, terdiri atas laksar-laskar yang antara lain berasal dari Turki, Kambay,
dan Malabar.
Hubungan Kesultanan Aceh Darussalam pada era Sultan Ala ad-Din Ri`ayat
Syah al-Kahar dengan kerajaan-kerajaan mancanegara tersebut memang cukup solid.
Pada 1569, misalnya, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar mengirimkan utusannya
ke Istanbul untuk meminta bantuan meriam. Tidak hanya memberikan meriam beserta
ahli-ahli senjata untuk dikirim ke Kesultanan Aceh Darussalam, penguasa Turki juga
mengirimkan pasukan perang untuk mendukung Aceh melawan Portugis. Bahkan,
Sultan Turki juga memerintahkan Gubernur-Gubernur Yaman, Aden,
serta Mekkahuntuk membantu laskar Turki yang sedang bertolak menuju Aceh.
Laksamana Turki, Kurt Oglu Hizir, diserahi memimpin ekspedisi tersebut dengan
tugas khusus mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam, dan merampas
benteng-benteng kafir.
Selain terus berteguh melawan kaum penjajah dari Barat, Sultan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar juga melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan lokal
yang membantu Portugis. Pasukan Aceh Darussalam menyerbu Kerajaan
Malaka sebanyak dua kali (tahun 1547 dan 1568), menawan Sultan Johor karena
membantu Portugis, serta berhasil mengalahkan Kerajaan Haru (Sumatra Timur) pada
1564.
Untuk melegalkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam atas Kerajaan Haru,
maka diangkatlah Abdullah, putra pertama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar,
untuk memegang kendali pemerintahan Kerajaan Haru yang sudah takluk dan menjadi
bagian dari kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Namun, berbagai peperangan
besar antara Kesultanan Aceh Darussalam melawan Portugis memakan banyak korban
dari kedua belah pihak yang berseteru. Dalam suatu pertempuran yang terjadi pada 16
Februari 1568, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar kehilangan putra tercintanya,
Sultan Abdullah yang memimpin bekas wilayah Kerajaan Haru.
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar tutup usia pada 8 Jumadil Awal
tahun 979 Hijriah atau 28 September 1571 Masehi. Karena putra mahkota, Abdullah,
gugur dalam sebuah pertempuran melawan Portugis, maka yang diangkat untuk
meneruskan tampuk tertinggi tahta Kesultanan Aceh Darussalam adalah anak kedua
almarhum yang bergelar Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah atau yang
juga sering dikenal dengan nama Ali Ri`ayat Syah. Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin
Ri`ayat Syah merupakan sosok pemimpin yang pengasih dan penyayang rakyatnya. Di
bidang politik serta pertahanan dan keamanan, Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin
Ri`ayat Syah berusaha meneruskan perjuangan ayahandanya dalam upaya mengusir
kolonialis Portugis dari bumi Aceh.
Akan tetapi, pergerakan Sultan ini tidak segemilang sang ayah kendati dia sudah
melalukan penyerangan ke Malaka hingga dua kali selama kurun 1573-1575. Ketahanan
Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah semakin limbung ketika Aceh
Darussalam menyerang Johor pada 1564, di mana Sultan ditangkap dan menjadi
tawanan perang. Akhir pemerintahan Sultan Husin Ibnu Sultan `Ala`uddin Ri`ayat
Syah, yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 7 tahun, berakhir ketika
sang Sultan wafat pada 12 Rabi`ul Awal tahun 987 Hijriyah atau bertepatan dengan
tanggal 8 Juni 1578 dalam tahun Masehi.
Sepeninggal Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah, Kesultanan Aceh
Darussalam memasuki masa-masa suram. Pengganti Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah
dipercayakan kepada anaknya, Sultan Muda, namun pemerintahannya hanya bertahan
selama 7 bulan. Karena ketika wafat Sultan Muda masih berusia belia dan belum
memiliki keturunan, maka yang diangkat sebagai penggantinya adalah Sultan Sri Alam
yang merupakan anak dari Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, penguasa ke-4
Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, Sultan Sri Alam, yang sebelumnya menjadi
raja kecil di Pariaman (Sumatra Barat), ternyata tidak becus dalam mengelola
Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam waktu singkat, hanya 2 bulan memerintah, Sultan
Sri Alam pun mati terbunuh.
Roda pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya dijalankan
oleh Sultan Zainal Abidin. Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam kali ini adalah
cucu dari Sultan `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau anak dari Sultan Abdullah,
pemimpin wilayah Haru yang tewas ketika pertempuran melawan Portugis. Sama
seperti penguasa sebelumnya, Sultan Zainal Abidin juga tidak mampu memimpin
Kesultanan Aceh Darussalam dengan baik. Bahkan, Sultan ini merupakan sosok yang
bengis, kejam, dan haus darah. Sultan Zainal Abidin tidak segan-segan membunuh demi
memuaskan nafsu dan ambisinya. Sultan yang memerintah dengan tangan besi ini
memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 10 bulan sebelum tewas pada 5
Oktober 1579.
Setelah era tirani Sultan Zainal Abidin berakhir, penerus kepemimpinan
Kesultanan Aceh Darussalam sempat bergeser dari garis darah yang mula-mula.
Dikisahkan, pada sekitar tahun 1577 Kesultanan Aceh Darussalam menyerang
Kesultanan Perak dan berhasil menewaskan pemimpin Kesultanan Perak, yakni Sultan
Ahmad. Permaisuri Sultan Ahmad beserta 17 orang putra-putrinya dibawa ke Aceh
sebagai bagian dari rampasan perang. Putra tertua Sultan Ahmad, bernama Mansur,
dikawinkan dengan seorang putri Sultan Aceh Darussalam yang bernama Ghana. Tidak
lama kemudian, Mansur ditabalkan menjadi pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam
menggantikan Sultan Zainal Abidin, dengan gelar Sultan Ala al-Din Mansur Syah,
dinobatkan pada 1579.
Sultan yang bukan berasal dari keturunan langsung sultan-sultan pendiri
Kesultanan Aceh Darussalam ini, berasal dari etnis Melayu Perak, adalah sosok yang
alim, shaleh, adil, tapi juga keras dan tegas. Pada masa kepemimpinan Sultan Mansur
Syah, Kesultanan Aceh Darussalam nuansa agama Islam sangat kental dalam kehidupan
masyarakatnya.
Untuk mendukung kebijakan itu, Sultan Mansur Syah mendatangkan guru-guru
agama dan ulama ternama dari luar negeri. Namun, kepemimpinan agamis yang
diterapkan Sultan Mansur Syah ternyata tidak membuat Aceh Darussalam berhenti
bergolak. Pada 12 Januari 1585, ketika rombongan Kesultanan Aceh Darussalam
dalam perjalanan pulang dari lawatannya ke Perak, Sultan Mansur Syah terbunuh.
Gugurnya Sultan Mansur Syah membuat garis tahta Kesultanan Aceh
Darussalam kembali rumit untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin
Aceh Darussalam yang selanjutnya. Atas mufakat para orang besar (tokoh-tokoh adat
dan kesultanan yang berpengaruh dan dihormati), maka diputuskan bahwa yang berhak
menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam untuk menggantikan Sultan Mansur
Syah adalah Sultan Buyong dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra yang
merupakan anak dari penguasa Inderapura, Sultan Munawar Syah. Namun, lagi-lagi
kekuasaan pucuk pimpinan Kesultanan Aceh Darussalam tidak langgeng. Sultan Ali
Ri`ayat Syah Putra meninggal dunia pada 1589 dalam suatu peristiwa pembunuhan.
Sebenarnya, yang akan dijadikan pemimpin Aceh Darussalam sebelumnya adalah Raja
Ayim, cucu Sultan Mansur Syah, akan tetapi calon sultan muda ini juga tewas terbunuh.
Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam yang berikutnya adalah Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604).
Pada era Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal berkuasa, kolonialisme
Eropa kian merasuki bumi nusantara dengan mulai masuknya Inggris dan Belanda.
Tanggal 21 Juni 1595, armada dagang Belanda yang dipimpin de
Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick, tiba di Aceh. Cornelis memimpin kapal
“De Leeuw” sementara Frederick bertindak sebagai kapten kapal “De Leeuwin”. Pada
awalnya kedatangan orang-orang Belanda disambut hangat oleh penduduk Aceh. Akan
tetapi, kemunculan kaum pedagang Belanda di Aceh ternyata dianggap menimbulkan
ancaman tersendiri bagi orang-orang Portugis yang sudah berada di sana sebelumnya.
Portugis sendiri pada akhirnya dapat dilenyapkan dari bumi Aceh Darussalam
pada 1606 berkat kegemilangan serangan yang dipimpin oleh Perkasa Alam yang
kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam dan mashyur dengan nama Sultan Iskandar
Muda.

2.2.1 Masa Keemasan di Masa Sultan Iskandar Muda


Pada awal abad ke-16 Aceh adalah daerah kekuasaan pedir. Akibat jatuhnya
kekuasaan Malaka ke tangan Portugis, perkembangan Aceh dari kota pelabuhan
semakin cepat karena perdangan-perdagangan islam pada umumnya memilih aceh
sebagai tempat berdagang, ketika diperintah oleh Sultan Ibrahim, Aceh memisahkan diri
dar Pedir. Sejak itu aceh berkembang sebagai kerajaan islam yang mempunyai peranan
penting dalam perdagangsn karena letaknya yang sangat strategis karena di jalur
perdagangan. Dengan demikian aceh, menjadi saingan bagi portugis di malaka maupun
kerajaan lain di sekitarnya. Puncak kejayaan aceh terjadi ketika diperintah oleh Sultan
Iskandar Muda yang memerintah dari tahun 1607 sampai tahun 1636 wilayahnya sangat
luas sampai ke semenanjung Malaya. Pada masa pemerintahannya, agama islma
berkembang pesat.
Ketika Houtman bersaudara beserta rombongan armada Belanda tiba di Aceh,
hubungan yang terjalin antara Aceh dan Belanda berlangsung dengan kedudukan yang
setara, terutama dalam hal urusan perniagaan dan diplomatik (Isa Sulaiman, eds.
2003:5). Mengenai hubungan perdagangan, de Houtman bersaudara atas nama kongsi
dagang Belanda, meminta kepada Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal
sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam, agar diperbolehkan membawa lada
dan rempah-rempah dari Aceh. Sebagai gantinya, de Houtman berjanji akan
membantu Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal untuk memukul Johor
yang saat itu sedang berseteru dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Selama Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintah selama 20 tahun, Kesultanan
Aceh Darussalam terus-menerus terlibat pertikaian besar dengan Kesultanan Johor.
Perselisihan antara Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal dan de Houtman
mulai timbul ketika orang-orang Belanda yang berada di Aceh mulai bersikap tidak
sopan. Frederick de Houtman beberapa kali mengatakan kebohongan ketika berbicara
dengan Sultan Aceh Darussalam.
Salah satu tindakan dusta yang dilakukan Frederick de Houtman adalah ketika
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal menanyakan di mana letak negeri
Belanda dan berapa luasnya.
Frederick de Houtman lalu membuka peta bumi dan ditunjukkanlah pada Sultan
bahwa negeri Belanda itu besar, meliputi hampir seluruh benua Eropa, yakni antara
Moskow (Rusia) sampai dengan Venezia (Italia). Akan tetapi Sultan Ala`udin Ri`ayat
Syah Said Al-Mukammal tidak begitu saja percaya terhadap bualan Frederick de
Houtman itu. Secara diam-diam, Sultan bertanya kepada orang Portugis bagaimana
sebetulnya negeri Belanda itu. Orang Portugis tersebut tentu saja menjawab yang
sebenarnya bahwa negeri Belanda hanya satu bangsa kecil, bahwa negeri Belanda
adalah negeri yang tidak punya raja (karena pada waktu itu Belanda merupakan negara
republik yang baru saja dicetuskan, yakni Bataafsche Republik.
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tentu saja murka karena telah
diperdayai oleh orang asing yang menetap di wilayahnya. Maka kemudian Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintahkan tentaranya untuk mencari,
menangkap, dan kemudian memenjarakan Frederick de Houtman. Konon, lima orang
anak buah kapal Frederick de Houtman dibebaskan karena bersedia masuk Islam.
Rakyat Kesultanan Aceh Darussalam bertambah geram terhadap awak-awak kapal
Belanda karena kelakuan mereka yang dinilai melewati batas. Ketika salah satu kapal
Belanda merapat ke Pulau Malavidam yang terletak di Lautan Hindia antara Sumatra
dan Srilangka, Cornelis de Houtman, saudara laki-laki Frederick, berkelakuan tidak
sopan. Diceritakan, Cornelis telah memaksa istri dari seorang tokoh masyarakat di pulau
itu supaya berjalan di hadapan orang-orang Belanda dalam keadaan telanjang bulat.
Setelah itu, Cornelis dengan paksa merampas barang-barang perhiasan yang menempel
di tubuh perempuan malang tersebut.
Kekejaman orang-orang Belanda belum berhenti. Tidak lama setelah peristiwa
memalukan di Pulau Malavidam, terjadi perampasan yang dilakukan oleh para awak
kapal Belanda terhadap kapal-kapal dan perahu-perahu milik nelayan Aceh. Laksamana
van Caerden, pemimpin kapal Belanda itu, tidak segan-segan menyerang dan
menenggelamkan kapal-kapal Aceh yang ditemuinya.
\Kelakuan orang-orang Belanda tersebut jelas menimbulkan ketegangan dengan
pihak Kesultanan Aceh Darussalam dan kondisi ini ternyata menyulitkan pihak
Belanda. Jika bermusuhan terus dengan Aceh, kerugiannya teramat besar, selain
keamanan pelayaran laut, juga sumber perdagangan di bagian itu tidak dapat direbut
Belanda dari Portugis.
Ketika Portugis dan Belanda berebut pengaruh di tanah Aceh, Kesultanan Aceh
Darussalam justru mengalami konflik internal. Pada April 1604, anak kedua Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, yaitu Sultan Muda, melakukan kudeta
terhadap ayahnya sendiri, lalu memproklamirkan dirinya menjadi sultan dengan gelar
Sultan Ali Ri`ayat Syah. Sebelumnya, Sultan Muda pernah diangkat sebagai wakil
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, untuk memimpin Pedir yang telah
berhasil ditaklukkan.
Namun, karena kinerja Sultan Muda dinilai tidak memuaskan, maka kemudian ia
ditarik kembali ke Aceh Darussalam untuk membantu ayahnya sekaligus mendalami
pengalaman dalam mengelola pemerintahan. Kedudukan Sultan Muda di Pedir
digantikan oleh saudaranya, Sultan Husin, yang sebelumnya diserahi tugas untuk
mengkoordinir wilayah Pasai. Dari sinilah mulai timbul keinginan dari Sultan Muda
untuk merebut tahta ayahnya, terlebih lagi sang putra mahkota, anak pertama Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal yang bernama Mahadiradja, telah gugur
dalam suatu pertempuran. Tidak lama kemudian, masih di tahun 1604 itu, Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal akhirnya menutup mata.
Pemerintahan baru di bawah komando Sultan Muda alias Sultan Ali Ri`ayat
Syah ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa pihak, termasuk dari
saudaranya sendiri, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir. Rasa tidak puas atas
kepemimpinan Sultan Ali Ri`ayat Syah di Kesultanan Aceh Darussalam juga
ditunjukkan oleh seorang anak muda yang pemberani, bernama Darma Wangsa atau
yang dikenal juga dengan panggilan kehormatan: Perkasa Alam. Karena Sultan Ali
Ri`ayat Syah memandang bahwa pergerakan Perkasa Alam cukup membahayakan,
maka kemudian Sultan Ali Ri`ayat Syah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap
Perkasa Alam. Namun, Perkasa Alam terlebih dulu mengetahui rencana itu dan lantas
meminta perlindungan kepada Sultan Husin di Pedir.
Sultan Ali Ri`ayat Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan
yang cukup besar terhadap Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap dan
dipenjarakan. Daro balik kurungan, Perkasa Alam mendengar bahaya-bahaya yang
terjadi akibat agitasi Portugis dan tidak stabilnya kondisi rakyat Kesultanan Aceh
Darussalam karena ketidakbecusan Sultan Ali Ri`ayat Syah. Maka dari itulah, Perkasa
Alam kemudian mengirimkan pesan kepada Sultan Ali Ri`ayat Syah bahwa sekiranya
dia dibebaskan dari penjara dan diberi perlengkapan senjata, dia berjanji akan dapat
mengusir Portugis dari Bumi Serambi Mekkah. Boleh jadi karena Sultan Ali Ri`ayat
Syah sudah frustasi dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh Portugis, maka
permintaan Perkasa Alam tersebut dikabulkan.
Perkasa Alam kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-
habisan dan hasilnya memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis
tewas akibat serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang diduduki
Portugis dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam. Karena mengalami
kekalahan terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari Aceh dan mundur ke Malaka.
Namun, di tengah jalan mereka berpapasan dengan armada Belanda yang kemudian
menyerang mereka sehingga Portugis benar-benar terpukul mundur dan hancur.
Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah sedikit
ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang berhak menyandang
gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa Alam muncul sebagai
kandidat terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat yang berpengaruh. Tidak
seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat menjadi
penguasa Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan baru inilah yang kemudian terkenal
dengan nama Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Kendati
suasana berlangsung sedikit tegang, namun dalam waktu yang relatif tidak lama,
Perkasa Alam atau yang bergelar sebagai Sultan Iskandar Muda, mampu menguasai
keadaan dengan mengkoordinir alat-alat pemerintah, sipil, dan militer, sehingga
kedudukannya sebagai Sultan Aceh Darussalam semakin teguh.
Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah perkasa ini adalah keturunan
dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-
Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama lain, di
antaranya Darmawangsadan Tun Pangkat. Setelah memegang tampuk kepemimpinan
Kesultanan Aceh Darussalam dan menyandang nama Sultan Iskandar Muda, gelarnya
pun bertambah sebagai Mahkota Alam.
Selain itu, Sultan Aceh Darussalam yang terbesar ini juga dikenal dengan nama
kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat. Kadang-kadang orang menyebutnya
dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam Maharaja
Darmawangsa Tun Pangkat.
Berbagai nama dan gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar
Muda, baik di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan nusantara,
sejak masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini. Di dalam negeri
Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal nama ini dari masa itu.
Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar Muda, demikian sejak beratus-
ratus tahun hingga sekarang.
Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh
Darussalam, Perkasa Alamyang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang
program untuk meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang
diusung dalam rangka program tersebut adalah antara lain :
1. Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat Malaka,
dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu sehingga tidak
mungkin kemasukan taktik licik pemecah-belah “devide et impera” yang
diterapkan kaum penjajah dari Barat.
2. Memukul Johor supaya tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun
Belanda.
3. Memukul negeri-negeri di sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan
pedagang-pedagang Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari
musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
4. Memukul Portugis dan merampas Malaka.
5. Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan
pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya
mengadakan pengawasan yang sempurna sedemikian rupa sehingga kepentingan
kerajaan tidak dirugikan.
Semenjak Sultan Iskandar Muda memegang kendali pemerintahan Kesultanan
Aceh Darussalam, wilayah Aceh sendiri di sebelah timur sampai ke Tamiang disusun
kembali, dan di sebelah barat, terutama daerah-daerah di luar Aceh yang sudah dikuasai,
seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman, Salida, dan Inderapura, kembali
dipercayakan kepada pembesar-pembesar yang cukup berwibawa dan ahli menjalankan
tugas untuk mengatur cukai-cukai dan pendapatan lain bagi pemasukan Kesultanan
Aceh Darussalam.
Sementara itu, setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir ulang
dalam meneruskan usahanya untuk menduduki Aceh karena memperhitungkan
posisi Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu, sejak tahun 1606, Belanda lebih
memusatkan perhatiannya ke tempat-tempat lain di luar Aceh. Mau tidak mau, Belanda
harus memasang siasat dengan mendahulukan kepentingan untuk menguasai tempat-
tempat lain, terutama Jawa dan Maluku. Belanda, di bawah kendali Gubernur Jenderal
Jan Pieterszoon Coen, memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni pada
1619–1623 dan 1627–1629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak akan bisa dihadapi
dengan cara militer. Coen menganggap lebih baik menjalankan politik adu domba atau
pemecah belah saja. Tidak hanya Belanda saja yang gentar melihat kebesaran
Kesultanan Aceh Darussalam di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun
merasakan kecemasan yang sama. Untuk itulah kemudian Inggris lebih berkonsetrasi
untuk beroperasi di daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan
Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga
mendukung upaya Sultan Iskandar Muda untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam
masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulu telah
berada dalam kuasa Aceh Darussalam. Di tempat-tempat tersebut, terutama di
pelabuhannya seperti Pariaman, Tiku, Salida, Indrapura, dan lain-lainnya,
ditempatkanlah seorang panglima untuk memimpin masing-masing daerah taklukan.
Kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda juga sudah
meluas di seluruh Sumatra Timur. Dengan jatuhnya Pahang, Kedah, Patani,
dan Perak, boleh dikatakan masa itu Semenanjung Melayu dengan Sumatra Timur,
termasuk Siak, Indragiri, Lingga, serta wilayah-wilayah di selatannya, di mana di
dalamnya terdapat Palembang dan Jambi, sudah menjadi bagian dari
imperium Kesultanan Aceh Darussalam.
Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam
mengalami puncak masa keemasan. Permintaan akan lada, yang kala itu menjadi
komoditas yang cukup laku di pasaran Eropa, terus meningkat sehingga harganya pun
melambung tinggi. Dalam keadaan demikian, bisa dikatakan hampir seluruh bandar
dagang dan pelabuhan yang menghasilkan lada di seantero Sumatra dan Malaya,
demikian juga dengan hasil-hasil lainnya, termasuk timah, telah berada di dalam
koordinasi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Tidaklah mengherankan jika
perekonomian Kesultanan Aceh Darussalam semakin mantap. Kas kesultanan
bertambah penuh, pembangunan angkatan perang dapat diselenggarakan dengan lancar,
demikian juga dengan pembangunan di sektor-sektor lain.
Di sisi lain, Sultan Iskandar Muda ternyata masih penasaran dengan Portugis
yang berlindung di Malaka. Aceh melihat kedudukan Portugis di Malaka merupakan
suatu ancaman besar. Kendati sudah dalam kondisi terdesak, Portugis masih saja
melakukan kegiatannya dengan menghubungi negeri-negeri kecil yang sudah berada
dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Jadi, mau tidak mau Malaka dan
Portugis harus dikalahkan dan untuk itu rencana menyerang Malaka tetap merupakan
program yang selalu harus dijalankan dengan segera. Realisasi dari rencana itu terjadi
pada 1629 di mana angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam menyiapkan pasukan
berkekuatan 236 buah kapal dengan 20.000 prajuritnya.
Ketika armada perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka,
terlibatlah pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang telak dalam
perang ini sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut Portugis. Hal yang sama juga
terjadi dalam pertempuran darat. Angkatan perang Aceh Darussalam yang perkasa
mengurung laskar tentara Portugis selama berbulan-bulan hingga tidak berkutik. Meski
di atas angin, namun Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai juga. Karena terlalu
berkonsentrasi dalam upaya pengepungan, angkatan perang Aceh Darussalam tidak
memperhitungkan, dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat di laut, adanya
bantuan-bantuan dari luar kepada Portugis. Portugis sendiri telah mengantisipasi strategi
pengepungan oleh Aceh Darussalam dengan menyediakan bahan makanan di dalam
benteng untuk berbulan-bulan lamanya.
Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda,
akhirnya meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636
Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun. Menurut T.H. Zainuddin seperti
yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya bertajuk “Aceh Sepanjang
Abad” (Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar Muda mempunyai 3 orang anak.
Pertama adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan
buah hati Sultan dengan Permaisuri dari Reubee.
Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi, Sultan Iskandar Muda memperoleh
anak lelaki bernama Imam Hitam, yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak
terakhir Sultan Iskandar Muda adalah Meurah Peupok, diperoleh dari istri selir yang
berasal dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu, anak dari
selir tidak bisa diangkat menjadi raja. Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi
Kesultanan Aceh Darussalam masih terus berlanjut kendati belum bisa mencapai
kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.

2.2.2 Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam


Kesultanan Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja
perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat, sebagai penggantinya
adalah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari Sultan Iskandar
Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda. Ratu yang dikenal juga dengan
nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini memerintah Kesultanan Aceh Darussalam
selama 34 tahun (1641-1675). Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup
banyak upaya tipu daya dari pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam
istana. Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak
akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanan dan keluarbiasaan yang dimiliki
oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa membanggakan sejarahnya
karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar biasa di tengah rongrongan kolonialis
Belanda yang semakin kuat.
Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam
Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin
perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan
gelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat
dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang
selanjutnya. Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu
Naqi al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan
kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu
Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu
menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin Kesultanan
Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih dilakoni kaum
perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan kemudian Sri
Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).
Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium
peluang untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh
mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah
kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh
Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873,
Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut,
Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus,
namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh.
Memasuki abad ke-20, dilakukanlah berbagai cara untuk dapat menembus
kokohnya dinding ideologi yang dianut bangsa Aceh, termasuk dengan menyusupkan
seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan Belanda, Dr. Snouck Hugronje, ke dalam
masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat serius menjalankan tugas ini, bahkan
sarjana dari Universitas Leiden ini sempat memeluk Islam untuk memperlancar
misinya. Di dalaminya pengetahuan tentang agama Islam, demikian pula tentang
bangsa-bangsa, bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan perihal yang khusus mengenai
pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk.
Snouck Hugronje menyarankan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda
agar mengubah fokus serangan yang selama ini selalu berkonsentrasi ke Sultan dan
kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama. Menurut Snouck Hugronje, tulang
punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh sebab itu, untuk
melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada kaum
ulama Aceh tersebut. Secara lebih detail, Snouck Hugronje menyimpulkan hal-hal yang
harus dilakukan untuk dapat menguasai Aceh, antara lain :
1. Hentikan usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
2. Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif,
terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
3. Rebut lagi Aceh Besar.
4. Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan
perdagangan.
5. Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya memberi
mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat
dan negeri Aceh.
7. Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh
dan membikin korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah.
Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan
menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar
Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses
menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam semakin
melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Setahun
kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda.
Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap
penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat tetap
berlangsung.
Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang yang bukan berasal dari
kalangan kerajaan, sebut saja: Chik Di Tiro, Panglima Polim, Cut Nya`
Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lainnya. Akhir kalam, sepanjang
riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam telah dipimpin lebih dari tigapuluh
sultan/ratu. Jejak yang panjang ini merupakan pembuktian bahwa Kesultanan Aceh
Darussalam pernah menjadi peradaban besar yang sangat berpengaruh terhadap riwayat
kemajuan di bumi Melayu.

2.3 Silsilah
Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh
Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah
para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
 Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
 Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
 Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
 Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
 Sulthan Muda (1575)
 Sulthan Sri Alam (1575-1576)
 Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
 Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
 Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
1. Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
2. Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
3. Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
4. Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
5. Sulthanah (Ratu) Tsafiatu’ ddin Taj ‘Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
6. Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
7. Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
8. Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
9. Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
10. Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
11. Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
12. Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
13. Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
14. Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
15. Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
16. Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
17. Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
18. Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
19. Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
20. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
21. Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
22. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
23. Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
24. Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
25. Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
26. Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
27. Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

2.4 Wilayah Kekuasaan


Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda,
mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir,
Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye.
Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh
negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan
pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar
Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru
(Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak,
Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh
Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga
Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu
menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan
Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:

2.4.1. Wilayah Aceh Raja


Dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara
dengan kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar
Panglima Sagoe, yaitu:
 Sagoe XXII Mukim,
 Sagoe XXV Mukim
 Sagoe XXVI Mukim.
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa Uleebalang dengan
daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif yang kira-
kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang terdapat beberapa Mukim
yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Imeum. Mukim terdiri dari beberapa
kampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.

2.4.2 Daerah Luar Aceh Raja


Daerah ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang
kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama
dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.

2.4.3 Daerah yang Berdiri Sendiri


Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga daerah-
daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar
Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan oleh uleebalang untuk tunduk
kepada Sultan Aceh Darussalam.
2.4.4 Sistem Pemerintahan
Ketika dipimpin oleh Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1577-1589),
Kesultanan Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam
kitab Qanun Syarak Kesultanan Aceh Darussalam. Undang-undang ini berbasis pada
Al-Quran dan Hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya,
terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat
pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan, walaupun Aceh
Darussalam telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya
sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Pada era kepemimpinan Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal
Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604), Kesultanan Aceh Darussalam memiliki susunan
pemerintahan yang sudah cukup mapan. Kesultanan diperintah oleh Sultan dengan
bantuan lima orang besar (tokoh-tokoh yang dihormarti), bendahara, empat syahbandar.
Pada saat itu, angkatan perang yang dimiliki Kesultanan Aceh Darussalam cukup kuat,
yaitu mempunyai 100 kapal perang di mana setiap kapal bisa ditempatkan sekitar 400
orang prajurit. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga mempunyai banyak sekali
meriam-meriam besar yang terbuat dari baja. Kekuatan pertahanan darat diperkuat juga
dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh para hulubalang.
Selanjutnya, pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) merupakan masa kebanggaan dan kemegahan, tidak
hanya dalam hal pengaruh dan kekuasaan, tetapi juga di bidang penertiban susunan
pemerintahan, terutama dalam hal mengadakan penertiban perdagangan, kedudukan
rakyat sesama rakyat (sipil), kedudukan rakyat terhadap pemerintah, kedudukan sesama
anggota pemerintahan, dan sebagainya. Sultan Iskandar Muda telah merumuskan
perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan Adat Makuta Alam yang disadur
dan dijadikan landasan dasar oleh sultan-sultan setelahnya.
Penertiban hukum yang dibangun Sultan Iskandar Muda memperluas
kebesarannya sampai ke luar negeri, antara lain India, Arab, Turki, Mesir, Belanda,
Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Banyak negeri tetangga yang mengambil
aturan-aturan hukum di Aceh untuk ditiru dan diteladani, terutama karena peraturan itu
berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Dengan
demikian, Adat Makuta Alam yang dicetuskan pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda adalah adat yang bersendi syara`. Hukum yang berlaku di Kesultanan
Aceh Darussalam ada dua yakni hukum Islam dan hukum adat.
Dalam makalah bertajuk “Ichtisar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di
Zaman Sultan Iskandar Muda” (1961) yang ditulis oleh A. Hasjmy disebutkan, susunan
pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda
menempatkan Sultan sebagai penguasa tertinggi pemerintahan, baik dalam bidang
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebagai penguasa tertinggi, Sultan memiliki
hak-hak istimewa, antara lain:
1. Pembebasan orang dari segala macam hukuman.
2. Membuat mata uang.
3. Memperoleh hak panggilan kehormatan “Deelat” atau “Yang Berdaulat”.
4. Mempunyai kewenangan untuk mengumumkan dan memberhentikan perang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan Aceh Darussalam dibantu oleh
beberapa lembaga pendukung kesultanan, yaitu antara lain:
1. Majelis Musyawarah
Ketua dari majelis ini adalah Sultan Aceh Darussalam sendiri, sedangkan
wakilnya adalah Wazir A`am (Menteri Pertama), dan anggota-anggotanya diangkat dari
kalangan beberapa menteri serta dari kaum cerdik-pandai.
2. Pengadilan Sultan (Mahkamah Agung)
Sultan Aceh Darussalam juga menjadi ketua dari lembaga pengadilan tertinggi
ini, sedangkan sebagai wakil adalah Ketua Kadhi Malikul Adil, dan anggota-anggotanya
diangkat dari kalangan ulama dan cerdik-pandai.
3. Majelis Wazir (Dewan Menteri)
Sultan Aceh Darussalam duduk sebagai ketua majelis ini, sedangkan Wazir
A`am (Menteri Pertama) bertindak sebagai wakilnya, dan anggota-anggotanya adalah
dari kalangan para menteri kesultanan.
Selain itu, Sultan Aceh Darussalam bertindak sebagai Panglima Tertinggi
Angkatan Perangdan dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang yang
bergelar Laksamana sebagai wakilnya. Sultan juga berposisi sebagai Pemimpin
Tertinggi Kepolisian yang dibantu oleh Kepala Polisi Negara selaku wakilnya. Ibukota
Kesultanan Bandar Aceh Darussalam (termasuk istananya) berada langsung di bawah
pimpinan Sultan yang dibantu oleh pejabat dengan gelar Teuku Panglima Kawaj
sebagai wakilnya. Di samping itu, Sultan dibantu pula oleh dua orang Sekretaris
Kesultanan yang terdiri dari dua gelar, yaitu (1) Teuku Keureukon Katibumuluk Sri
Indrasura (jabatan ini kira-kira seperti Menteri Sekretaris Negara), dan (2) Teuku
Keureukon Katibulmuluk Sri Indramuda.

2.3.5. Kondisi Sosial-Ekonomi


Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang karena
memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain itu, kebanyakan
masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di antara penduduk Aceh
yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang
besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan juga suka membuat berbagai macam
minuman. Mengenai alat transaksi yang digunakan, pada sekitar abad ke-16, masyarakat
Aceh yang bernaung di bawah pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sudah
mengenal beberapa jenis mata uang.
Uang yang digunakan di Aceh kala itu terbuat dari emas, kupang, pardu, dan tahil.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Aceh
merupakan kerajaan bercorak Islam yang letaknya sangat strategis di jalur pelayaran
dan perdagangan internasional. Aceh juga memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas,
sehingga Kerajaan ini sangan maju terutama di bidang perekonomiannya.
Perkembangannya sangat pesat terlebih saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Dibawah kepemimpinannya, kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan
berkuasa atas perdagangan Islam. Bahkan telah menjadi Bandar transito yang dapat
menghubungkan seluruh pedagang dunia barat.

Saran
Makalah yang ditulis adalah makalah yang jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dari pembaca demi kemajuan dari makalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

 Hasjmy, A. 1961. Ichtiar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan
Iskandar Muda. Banda Aceh: Tidak Diterbitkan.
 Langen, van, K.F.H. 1986. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan. Alih
Bahasa oleh Aboe bakar. Banda Aceh: Dokumentasi dan Informasi Aceh
 Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
 Said, Mohammad, H., a. 1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Pertama). Medan: PT
Percetakan dan Penerbitan Waspada medan.
 _______, b. 1985. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Kedua). Medan: PT Percetakan dan
Penerbitan Waspada medan.
 Sufi, Rusdi & Wibowo, Agus Budi, a. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh.
Banda Aceh: Badan Perpustakaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
 _______, b. 2004. Ragam Sejarah Aceh. Badan Perpustakaan Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
 Sulaiman, Isa. 1997. Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
 _______, & A.R., Madjid, A. (eds.). Belanda dan Aceh, Sebuah Bibliografi Sejarah.
Aceh: Dinas Kebudayaan Aceh.
 Sumardianta, J. dkk. 2007. Sejarah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai