Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bisnis adalah suatu kegiatan perdangan namun meliputi unsur-unsur yang lebih luas yaitu
pekerjaan, profesi, penghasilan, mata pencarian, dan keuntungan. Dalam perkembangannya
bisnis menjadi suatu hal yang sangat penting sehingga tidak dapat dipisahkan dengan berbagai
macam ancaman bahkan perselisihan didalamnya.

Sengketa bisnis sudah menjadi hidangan yang bisa dinikmati, dalam artian semakin
berkembangnya sebuah bisnis semakin besar resiko sengketa yang terjadi dalam bisnis itu,
sehingga diperlukannya penyelesaian sengketa bisnis yang cepat lugas dan akurat.

Secara konvensional, penyelsaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau


penyelsaian sengketa dimuka pengadilan.. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan
waktu yang lama mengakibatkan perusahaan atau para pihak yang bersengketa mengalami
ketidakpastian. Cara penyelesaian seperti itu tidak diterima dunia binis melalui lembaga
peradilan tidak selalu menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Sengketa Bisnis dan bagaimana penyelesaiannya
2. Hukum perindustrian/ Industri Penyalahan
3. Hukum kegiatan perusahaan multinasional meliputi import/ekspor
4. Hukum pertambangan
5. Hukum perbankan dan surat – surat berharga
6. Hukum real estate, bangunan dan perumahan
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahuai apa saja sengketa bisnis dan bagaimana penyelesaiannya
2. Mengetahuin Hukum perindustrian/ Industri Penyalahan
3. Mengetahuin Hukum kegiatan perusahaan multinasional meliputi import/ekspor
4. Mengetahuin Hukum pertambangan
5. Mengetahuin Hukum perbankan dan surat – surat berharga
6. Mengetahuin Hukum real estate, bangunan dan perumahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. SENGKETA BISNIS

Pengertian sengketa bisnis menurut Maxwell J. Fulton “a commercial disputes is one


which arises during the course of the exchange or transaction process is central to market
economy”. Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik
berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek
permasalahan.

Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu – individu atau
kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.

Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal
dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan
akibat hukum antara keduanya.

Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan
antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan
karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya. Pertumbuhan
ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja sama bisnis.
mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya
sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dna
masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya conflict of interest diantara para
pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan
bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis.

Secara rinci sengketa bisnis. Secara rinci sengketa bisnis dapat berupa sengketa sebagai
berikut :

1. Sengketa perniagaan
2. Sengketa perbankan
3. Sengketa Keuangan
4. Sengketa Penanaman Modal
5. Sengketa Perindustrian
6. Sengketa HKI
7. Sengketa Konsumen
8. Sengketa Kontrak
9. Sengketa pekerjaan
10. Sengketa perburuhan
11. Sengketa perusahaan
12. Sengketa hak
13. Sengketa property
14. Sengketa Pembangunan konstruksi

Banyak cara menyelesaikan suatu pertikaian diantaranya yaitu dengan Negosiasi, Mediasi,
dan Arbitrase. Ketiga cara penyelesaian ini bisa digunakan agar pertikaian dapat segera
teratasi.bermula dari penyelesaian dengan membicarakan baik – baik diantara kedua pihak yang
bertikai, berlanjut bila pertikaian tidak dapat diselesaikan diantara mereka maka dibutuhkan
pihak ketiga yaitu sebagai mediasi, selanjutnya jika tidak dapat melalui mediasi maka
dibutuhkan pihak yang tegas untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Jika tidak dapat
diselesaikan juga maka membutuhkan badan hokum seperti pengadilan untuk menyelesaikan
masalah tersebut, cara ini bisa disebut dengan Ligitasi. Secara keseluruhan cara – cara tersebut
dapat digunakan sehingga pertikaian dapat terselesaikan.

A. PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF (ADR)

1. Negosiasi (Negotiation)
a. Pengertian Negosiasi :

Proses yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah (atau tak mengubah) sikap dan
perilaku orang lain.Proses untuk mencapai kesepakatan yang menyangkut kepentingan timbal
balik dari pihak-pihak tertentu dengan sikap, sudut pandang, dan kepentingan-kepentingan yang
berbeda satu dengan yang lain.Negosiasi adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak
kita dan pihal lawan dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi
kepentingan kedua pihak.

b. Pola Perilaku dalam Negosiasi:


a. Moving against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui,
menunjukkan kelemahan pihak lain.
b. Moving with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui,
membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
c. Moving away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi
pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
d. Not moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here
and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.

c. Ketrampilan Negosiasi:

a. Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
b. Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat
dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
c. Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan
di luar perhitungan.
d. Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memahami
sepenuhnya gagasan yang diajukan.
e. Cepat memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan
keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.

d. Fungsi Informasi dan Lobi dalam Negosiasi

(1) Informasi memegang peran sangat penting. Pihak yang lebih banyak memiliki informasi
biasanya berada dalam posisi yang lebih menguntungkan.
(2) Dampak dari gagasan yang disepakati dan yang akan ditawarkan sebaiknya
dipertimbangkan lebih dulu.

(3) Jika proses negosiasi terhambat karena adanya hiden agenda dari salah satu/ kedua pihak,
maka lobyingdapat dipilih untuk menggali hiden agenda yang ada sehingga negosiasi dapat
berjalan lagi dengan gagasan yang lebih terbuka.

2. Mediasi

a. Pengertian Mediasi:

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang
esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan
atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak
sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus
memperoleh persetujuan dari para pihak.

b. Prosedur Untuk Mediasi


1.Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis
hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
2.Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut
pihak-pihak yang berperkara tersebut.
3.Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini
diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak
yang berperkara.
4.Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22
harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.
5.Jika terdapat perdamaian, penetapan perdamaian tetap dibuat oleh majelis.

c. Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri-ciri penting dari mediator adalah :

1. Netral

2. membantu para pihak

3. tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Jadi, peran mediator hanyalah membantu para pihak dengan cara tidak memutus atau
memaksakan pandangan atau penilaiannya atas masalah-masalah selama proses mediasi
berlangsung kepada para pihak.

Tugas Mediator, antara lain:

1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para p


ihakuntuk dibahas dan disepakati.

2. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam
proses mediasi.

3. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan


terpisah selama proses mediasi berlangsung.

4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka
dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

Daftar Mediator

Demi kenyamanan para pihak dalam menempuh proses mediasi, mereka berhak untuk memilih
mediator yang akan membantu menyelesaikan sengketa.
1. Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan
daftar mediator yang sekurang-kurangnya memuat 5(lima) nama dan disertai
dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman dari para mediator.

2. Ketua Pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat


dalam daftar mediator.

3. Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada hakim dan bukan
hakim yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilanyang bersangkutan dapat
ditempatkan dalam daftar mediator.

4. Kalangan bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada


ketua pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator pada pengadilan
yang bersangkutan

5. Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan


menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.

6. Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator.

7. Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator


berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain karena mutasi tugas, berhalangan
tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku.

Honorarium Mediator

1. Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya.

2. Uang jasa mediator bukan Hakim ditanggung bersama oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan para pihak.

3. Arbitrase

a. Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.

1. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa
oramg arbiter.

2. Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara


musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;

3. Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase,
yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak;

4. Asa final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang
tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada
prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.

Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan
perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan
mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil,Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang
berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.

Berdasarkan pengertian arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1990 diketahui bahwa.

1. Arbitrase merupakan suatu perjanjian ;

2. Perjajian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;

3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa untuk


dilaksanakan di luar perdilan umum.

Dalam dunia bisnis,banya pertimbangan yang melandasi para pelaku bisnis untuk memilih
arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan atau yang dihadapi.Namun
demikian,kadangkala pertimbangan mereka berbeda,baik ditinjau dari segi teoritis maupun segi
empiris atau kenyataan dilapangan.

b. Dasar Hukum Arbitrase

Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia di atur dalam Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945. Yaitu, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD
ini.” Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda
masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan
Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut. dan juga dijelaskan dalam pasal 377 HIR, yaitu:Pasal
377 HIR, Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal
705 RBG yang menyatakan bahwa :

“Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus
oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku
bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi
Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata
yang diatur dalam RV.

C. CARA PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MENURUT SUDUT PANDANG

1. Dari sudut pandang pembuat keputusan

a. Adjudikatif

mekanisme penyelesaian yang ditandai dimana kewenangan pengambilan keputusan


pengambilan dilakukan oleh pihak ketiga dalam sengketa diantara para pihak.

b. Konsensual/Kompromi

cara penyelesaian sengketa secara kooperatif/kompromi untuk mencapai penyelesaian yang


bersifat win-win solution.
c. Quasi Adjudikatif

merupakan kombinasi antara unsur konsensual dan adjudikatif.

2. Dari sudut pandang prosesnya

a. Litigasi

merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dengan menggunakan


pendekatan hukum.

b. non Litigasi

merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan tidak menggunakan


pendekatan hukum formal.

D. LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI INDONESIA

1. Pengadilan Umum
2. Pengadilan Niaga
3. Arbitrase
4. Penyelesaian Sengketa Alternatif, melalui mekanisme :
a.Negosiasi
b.Mediasi
c.Konsiliasi
d.Konsultasi
e. Penilaian Ahli

E. PENGADILAN UMUM

Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai karakteristik :

1. Prosesnya sangat formal


2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)
5. Orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
6. Persidangan bersifat terbuka

F. PENGADILAN NIAGA

Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum
yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI. Pengadilan Niaga
mempunyai karakteristik sebagai berikut :

Prosesnya sangat formal, Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim),
Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan, Sifat keputusan memaksa dan mengikat
(coercive and binding), dan waktu singkat.

B. PENGERTIAN HUKUM INDUSTRI

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan
masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial
antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan
cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi
penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara
perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.

Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah,


sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan
mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan
bahwa “Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan
tirani yang merajalela.

Definisi Hukum menurut Utrecht adalah himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan
yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota
masyarakat. menurut Utrecht penyebab hukum ditaati adalah:
 Karena orang merasakan peraturan dirasakan sebagai hukum.
 Karena orang harus menerimanya supaya ada rasa tentram.
 Karena masyarakat menghendakinya.
 Karena adanya paksaan (sanksi) sosial.

Sedangkan definisi Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang mengolah barang mentah,
bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi untuk dijadikan barang yang lebih tinggi
kegunaannya atau secara garis besar dapat disimpulkan bahwa industri adalah kumpulan dari
beberapa perusahaan yang memproduksi barang-barang tertentu dan menempati areal
tertentu dengan output produksi berupa barang atau jasa.

Jadi Hukum industri adalah ilmu yang mengatur masalah perindustrian yang berada di
Indonesia bahkan dunia. Mengatur bagaimana cara perusahaan mengatur perusahaannya dan
sanksi-sanksi apa saja yang akan diterima jika perusahaan tersebut melanggar sanksi tersebut.

Undang-Undang Perindustrian di Indonesia

Undang-undang mengenai perindustrian di atur dalam UU. No. 5 tahun 1984, yang mulai
berlaku pada tanggal 29 juni 1984. Undang-undang no.5 tahun 1984 mempunyai sistematika
sebagai berikut :

Bab I. ketentuan umum pada pasal I UU. No 1 tahun 1984 menjelaskan mengenai
peristilahan perindustrian dan industi serta yang berkaitan dengan kedua pengertian pokok
tersebut. Dalam uu no.5 tahun 1984 yang dimaksud dengan :

a. Perindustrian adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan industry

b. Industri dimana merupakan suatu proses ekonomi yang mengolah bahanmetah, bahan
baku dan bahan setengah jadi menjadi barang jadi yang mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi.

c. Kelompok industri sebagai bagian utama dari perindustrian yang terbagi dalam tiga
kelompok yakni industri kecil, industri madia dan industri besar.
Kemudian pada pasal 2 uu no 5 tahun 1984 mengatur mengenai landasan dari
pembangunan industri, dimana landasan pembangunan industri di Indonesia berlandaskan pada :

a. Demokrasi ekonomi, dimana sedapat munkin peran serta masyarakat baik dari swasta
dan koprasi jangan sampai memonopoli suatu produk.

b. Kepercayaan pada diri sendiri, landasan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat
membangkitkan dan percaya pada kemampuan diri untuk dalam pembnagunan industri.

c. Manfaat dimana landasan ini mengacu pada kegiatan industri yang dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi masyarakat.

d. Kelestarian lingkungan hidup pada prinsipnya landasan ini mengharapkan adanya


keseimbangan antara sumber daya alam yang ada serta kelestarian lingkungan guna
masa depan generasi muda.

e. Pembangunan bangsa dimaksudkan dalam pembangunan industri harus berwatak


demokrasi ekonomi

Manfaat Hukum Industri

Adapun tujuan-tujuan dari dibuatnya hukum industri adalah :

Hukum sebagai sarana pembaharuan/ pembangunan di bidang industri dalam


perspektif ilmu-ilmu yang lain

Hukum industri dalam sistem kawasan berdasarkan hukum tata ruang

Hukum industri dalam sistem perizinan yang bersifat lintas lembaga dan yurisdiksi
hukum industri dalam perspektif global dan lokal

Hukum alih teknologi, desain produksi dan hukum konstruksi serta standardisasi

Masalah tanggungjawab dalam sistem hukum industri

Keuntungan Hukum Industri bagi Perusahaan


Hukum dibuat tentunya harus memberikan nilai-nilai positif agar hukum. Berikut
beberapa keuntungan hukum industri bagi perusahaan :

a. Sebagai suatu pengembangan dalam mengembangkan suatu industri menjadi lebih


maju dengan adanya hukum industri,dan para pelaku industri pun harus mampu
menegakan hukum tersebut dalam industry karena itu suatu tanggung jawab industri
tersebut dan sebagai bukti industri tersebut menjalankan hukum industri sesuai undang-
undang dari pemerintah

b. Para usaha industri dapat meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang
lebih besar bagi pertumbuhan produk nasional.

c. Pembinaan kerja sama antara industri kecil, industri menengah dan industri besar dapat
saling bekerja sama agar masing-masing industri bisa memonopoli suatu industri yang
sifatnya menguntungkan satu sama lain

Mengenai Tujuan dari Pembangunan Industri

Dalam pasal 3 mengenai tujuan dari pembangunan industri setidaknya ada sekitar 8 tujuan
dari pembangunan industri yakni :

a. meningkatkan kemakmuran rakyat

b. meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga adanya keseimbangan dalam


masyarakat yakni dalam hal ekonomi.

c. Dengan miningkatnmya pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat pula menciptakan


kemampuan dan penguasaan terhadap tehnologi yang tepat guna.

d. Dengan meningkatnya kemampuan dari lapisan masyarakat sehingga peran aktif


tehadap pembangunan industri juga semakin meningkat.

e. Denngan semakin meningkatnya pembnagunan industri diharapkan dapat memperluas


lapangan kerja

f. Selain meningkatnya lapangan kerja dengan adanya pembangunan industri dapat pula
meningkatkan penerimaan devisa .
g. Selain itu pembangunan dan pengembangan industri merupakan sebagai penunjang
pembangunan daerah

h. Dengan semakin meningkatnya pembanguna daerah pada setiap propinsi di harapkan


stabilitas nasional akan terwujud.

Keuntungan Bagi Masyarakat

Masyarakat sangat terbantu dengan adanya suatu industri, bisa dibuktikan bahwa 80 %
penduduk di Indonesia berprofesi sebagai pekerja dalam industry atau pabrik, pertumbuhan
industri di indonesia sangatlah pesat, selain sebagai karyawan dalam industri ditambah lagi
dengan adanya hukum industri sebagai pengatur didalam industri tersebut, dengan adanya hukum
industri para karyawan dengan perusahaan akan terjalin suatu sistem kerjasama yang baik demi
kepentingan semua aspek dalam suatu perusahaan.

Kerugian Bagi Masyarakat

Didalam suatu hukum tidak mutlak harus memberikan keuntungan, hukm juga
memberikan kerugian, misal para pelaku industri menyalahgunakan wewenang dan tidak amanah
terhadap tanggung jawab yang diterimanya, malah para pelaku industri seringkali tidak
mematuhi aturan yang diberikan oleh hukum industri, sehingga yang menjadi korban adalah para
karyawan dalam industri tersebut. Dalam hal ini maka diatur dalam pasal 21 uu no.5 tahun 1984
dimana perusahan industri di wajibkan :

a. Melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian suber daya alam serta pencegahan
kerusakan terhadap lingkungan.

b. Pemerintah wajib membuat suatu peraturan dan pembinaan berupa bimbingan dan
penyuluhan mengenai pelaksanaan enemaran lingkungan yang diakibatkan oleh proses
industri.

c. Kewajiban ini dikecualikan bagi para industri kecil.


C. HUKUM KEGIATAN PERUSAHAAN MULTINASIONAL

1. Pengertian perusahaan multinasional

Perusahaan multinasional merupakan suatu bentuk asosiasi bisnis yang paling banyak
dibicarakan dalam rangka globalisasi dunia dan ekonomi. Peran dari globalisasi sebagai
ideologi dan perkembangan kebijakan peraturan terkait dengan perusahaan
multinasional.Menurut Kamus Ekonomi,Multinasional Corporatio (MNC) adalah sebuah
perusahaan yang wilayah operasionalnya meliputi sejumlah negara dan memiliki fasilitas
produksi dan servicedi luar negaranya sendiri Perusahaan multinasional mengambil keputusan
pokoknya dalam suatu konteks global tadi dengan negara-negara dimana perusahaan
tersebut bekerja. Pertumbuhan perusahaan-perusahaan multinasional yang cepat serta
kemungkinan bahwa dapat timbul adanya konflik-konflik antara kepentingan perusahaan
multinasional dengan kepentingan negara individual tempat mereka beroperasi telah
menimbulkan macam-macam perdebatanantara para ahli ekonomi pada tahun-tahun belakangan
ini, disebut “International Enterprise”.

Istilah multinasional diperkenalkan pertama kali oleh David E. Lilienthal pada bulan
April tahun 1960 dalam makalahnya tentang manajemen dan perusahaan yang diperuntukkan
untuk acara pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh Carnegie Institute of Technology on
‘Management and Corporations’.Makalah Lilienthal kemudian dipublikasikan dengan istilah
The Multinational Corporation (MNC)Lilienthal memberikan pengertian perusahaan
multinasional sebagai perusahaan yang mempunyai kedudukan di satu negara tetapi
beroperasi dan menjalankan perusahaannya berdasarkan hukum-hukum dan kebiasaan-
kebiasaan negara lain.
Menurut Robert L. Hulbroner, yang dimaksud dengan perusahaan multinasional
adalah perusahaan yang mempunyai cabang dan anak perusahaan yang terletak di berbagai
negara. Demikian J. Panglaykim,menyatakan bahwa perusahaan transnasional adalah suatu
jenis perusahaan yang terdiri dari bermacam-macam kelompok perusahaan yang bekerja dan
didirikan di berbagai negara, tetapi semuanya diawasi oleh satu pusat perusahaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (selanjutnya UUPT) tidak dikenal istilah
perusahaan multinasional, karena di dalam UUPT hanya mengenal istilah perseroan terbatas
yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UUPT sebagai berikut :“Perseroan Terbatas yang
selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaan.”

Ciri – ciri perusahaan multinasional

Perusahaan multinasional secara garis besar memiliki ciri sebagaimana berikut ini, yaitu :
a. Membentuk cabang-cabang di luar negeri

b. Visi dan strategi yang digunakan untuk memproduksi suatu barang bersifat global
(mendunia), jadi perusaan tersebut membuat atau menghasilkan barang yang dapat
digunakan di semua negara.
c. Lingkup kegiatan income generating (perolehan pendapatan) perusahaan
multinasional melampaui batas-batas negara.
d. Lebih cenderung memilih kegiatan bisnis tertentu, umumnya manufaktur.

e. Perdagangan dalam perusahaan multinasional kebanyakan terjadi di dalam lingkup


perusahaan itu sendiri, walaupun antarnegara.
f. Menempatkan cabang pada negara-negara maju

g. Kontrol terhadap pemakaian teknologi dan modal sangat diutamakan mengingat


kedua faktor tersebut merupakan keuntungan kompetitif perusahaan multinasional
Pengembangan sistem managemen dan distribusi yang melintasi batas-batas negara, terutama
sistem modal ventura, lisensi, franchise.

Bentuk – bentuk perusahaan multinasional

 Induk perusahaan (parent company)


Induk perusahaan adalah suatu perusahaan memiliki dan mengawasi penanaman
modal asing secara langsung, biasanya memiliki anak perusahaannya yang dinamakan
perusahaan affiliated di dua negara atau lebih negara tempat modal ditanam. Induk
perusahaan merupakan pusat pembuat keputusan perusahaan yang menentukan tujuan-
tujuan dan pengawasan-pengawasan berjalannya suatu sistem secara keseluruhan dalam
satu perusahaan.

 Kantor cabang atau cabang perusahaan (branch atau branch office)

Dari segi hukum cabang perusahaan atau kantor cabang ini hanya merupakan
perpanjangan secara fisik dari induk perusahaan dan tidak mempunyai status hukum yang
terpisah dari induk perusahaan.

 Kantor pusat (the headquarters atau head office)

Kantor pusat adalah suatu kantor yang didirikan oleh suatu perusahaan
multinasional yang mempunyai kedudukan sebagai kantor pusat atau pusat organisasi
suatu perusahaan multinasional yang biasanya berlokasi di negara tempat induk
perusahaan itu berada atau di negara penanam modal.
a. Anak perusahaan affiliate (daughter atau affiliated company)

Anak perusahaan affiliate atau daughter company adalah perusahaan holding dari
penanaman modal di luar negeri, tanpa melihat bentuk hukum, tetapi biasanya merupakan
suatu anak perusahaan atau suatu subsidiary atau perusahaan gabungan atau associate,
yang didirikan berdasarkan hukum dari negara tempat modal asing itu dilakukan.
Pendiriannya sama dengan pendirian suatu perusahaan domestik di negara yang
bersangkutan, biasanya berbentuk suatu perseroan terbatas.43
b. Anak perusahaan subsidiary

Anak perusahaan adalah sebuah perusahaan yang dikendalikan oleh sebuah


perusahaan yang terpisah yang lebih tinggi (induk perusahaan). Perusahaan yang
dikendalikan disebut sebagai perusahaan korporasi, atau perseroan terbatas, dan dalam
beberapa kasus dapat menjadi pemerintah atau perusahaan milik negara.

Bentuk pelaksanaan bisnis perusahaan multinasional

a. Bentuk kontraktual (contractual forms)

Pendirian anak perusahaan dalam praktiknya penyebaran produk yang dilakukan


oleh anak-anak perusahaan multinasional tersebut dilakukan dengan membuat suatu
kontrak, baik kontrak itu dilakukan diantara induk dan anak perusahaan atau anak
perusahaan dengan perusahaan domestik atau induk perusahaan dengan perusahaan di
negara tempat modal ditanam. Hubungan kontraktual tersebut dapat dibagi dalam 3 (tiga)
bentuk, yaitu :
1) Perjanjian distribusi (distribution agreement)

2) Perjanjian produksi (production agreement)

3) Kerja sama antara perusahaan publik dan perusahaan swasta (public


private partnership)
b. Kepemilikan berdasarkan grup atau kelompok (eqiuty based corporate group)

Terdapat beberapa bentuk kepemilikan berdasarkan grup atau kelompok


perusahaan. Bentuk-bentuk tersebut yaitu :
4) The anglo-american ‘pyramid group’

5) Bentuk anglo-american ‘pyramid group’ adalah suatu bentuk perusahaan yang


induk perusahaannya memiliki dan mengawasi jaringan secara keseluruhannya
atau sebagian besar anak-anak perusahaan, yang kemudian akan menjadi suatu
perusahaan holding Transnasional merger perusahaan Eropa (European
transnational mergers)
Bentuk kepemilikan ini berupa kelompok perusahaan yang diketuai oleh satu induk
perusahaan dan berpatungan dengan perusahaan-perusahaan yang berdiri sendiri,
perusahaan-perusahaan semacam ini memulai dengan usaha patungan, kemudian
membentuk suatu gabungan perusahaan internasional dengan cara merger antara
perusahaan multinasional dan kemudian mengembangkan struktur perusahaan
internasional terpadu
h. Usaha patungan (joint venture)

Usaha patungan atau joint venture yang dalam bentuk hukumnya adalah suatu
kontrak, baik usaha patungan biasa secara kontraktual atau usaha patungan dengan
mendirikan suatu perseroan terbatas yang baru. Joint venture atau usaha patungan
internasional ini dilakukan antara perusahaan-perusahaan multinasional dari lebih dari
satu negara dan sering cara ini digunakan untuk memperluas perusahaan multinasional
dalam menjalankan bisnisnya.

i. Penggabungan non formal antara perusahaan multinasional

Bentuk ini adalah bentuk hukum yang dibuat oleh induk perusahaan multinasional
dengan mendirikan anak-anak perusahaan secara intern baik dengan cara merger
transnasional dan usaha patungan. Hubungan kontraktual dengan pembentukan anak
perusahaan baru ini lebih banyak digunakan untuk joint produksi

atau produk tertentu atau usaha patungan di bidang jasa. Biasanya penggabungan anak-
anak perusahaan ini juga dilakukan dalam bidang bisnis yang resikonya sangat besar.

a. Perusahaan multinasional milik negara

Kepemilikan perusahaan multinasional pada perusahaan publik di


suatunegara dilakukan melalui privatisasi yang ditawarkan oleh negara yang
bersangkutan.Kepemilikan ini bisa hanya sebagian tetapi bisa juga mayoritas.
Kepemilikan perusahaan publik oleh perusahaan multinasional dapat terjadi karena :

1) Perusahaan milik negara tersebut mengambil strategi perluasan


perusahaan secara internasional; atau
2) Perusahaan multinasional yang ada dinasionalisasi
Prinsip yang memengaruhi struktur hukum dari perusahaan publik yang dimiliki
oleh perusahaan multinasional adalah hubungan antara negara dengan perusahaan,
khususnya tingkat pengawasan dari negara terhadap perusahaan multinasional.

b. Perusahaan multinasional yang sifatnya supranasional

Perusahaan multinasional yang sifatnya supranasional adalah perusahaan- perusahaan


yang dibentuk berdasarkan hukum yang bertujuan meningkatkan kerja sama antara perusahaan-
perusahaan yang terdiri lebih dari satu negara. Bentuk- bentuk perusahaan tersebut antara lain :
3) Perusahaan supranasional yang dibentuk oleh Masyarakat Eropa
(European Community)
4) Perusahaan multinasional andean (the andean multinational enterprise)

The andean multinational enterprise (AME) adalah suatu perusahaan tingkat regional yang
didirikan oleh ANCOM (the andean common market) yaitu suatu organisasi pasar regional
bersama antara negara-negara, seperti Bolivia, Columbia, Chile, Ecuador, Peru, dan Venezuela.
AME dibentuk dengan tujuan untuk peningkatan pengembangan kerja sama industri. Bentuk
hukum dari AME adalah suatu perusahaan yang modalnya berasal dari investor nasional lebih
dari satu negara anggota yang bersama-sama memiliki lebih dari 60% modal
perusahaan.Perusahaan internasional publik (public international corporation) Perusahaan ini
didirikan oleh 2 negara atau lebih melalui perjanjianinternasional (international treaty).
Perusahaan ini menjalankan fungsi ekonominya yang penting bagi kebijakan publik negara-
negara pendiri dan dijalankan oleh perusahaan yang sifatnya antar-pemerintah (inter
governmental). Perusahaan ini biasanya bergerak dalam bidang energi, transportasi, dan satelit
komunikasi. Perbedaan penting antara perusahaan internasional publik dan perusahaan publik
yang dimiliki oleh perusahaan multinasional adalah bahwa perusahaan internasional publik
diatur oleh suatu perjanjian internasional, tidak diatur oleh suatu (sistem) hukum nasional
tertentu.

Pendirian perusahaan multinasional menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007


tentang Perseroan Terbatas Pendirian perusahaan multinasional yang didirikan di Indonesia
tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
yang selanjutnya disebut UUPT sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 7 sampai dengan 14
UUPT. Syarat yang harus dipenuhi dalam pendirian perusahaan multinasional sebagai badan
hukum yang sah di Indonesia, terdiri atas :

a. Harus didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih


b. Akta pendirian berbentuk akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia
c. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham
d. Memperoleh keputusan pengesahan status badan hukum dari menteri

Hukum Perusahaan Multinasional

Hukum perusahaan multinasional menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007


tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya UUPT) sebagai badan hukum di Indonesia karena
perusahaan multinasional yang berkedudukan di Indonesia berbentuk perseroan terbatas. Hal
ini sebagaimana di atur dalam Pasal 1 angka 1 UUPT sebagai berikut :
“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksanaan.”

Kedudukan hukum perusahaan multinasional menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007


tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya UUPT) sebagai badan hukum di Indonesia karena
perusahaan multinasional yang berkedudukan di Indonesia berbentuk perseroan terbatas. Hal ini
sebagaimana di atur dalam Pasal 1 angka 1 UUPT sebagai berikut :

“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksanaan.”
Ketentuan yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UUPT secara jelas menyebut bahwa perusahaan
multinasional yang ada di Indonesia dalam hal ini berbentuk perseroan terbatas merupakan badan
hukum. Namun status badan hukum perusahaan multinasional ini tidak otomatis diperoleh saat
perusahaan multinasional didirikan, status badan hukum perusahaan multinasional yang
berbentuk perseroan terbatas tersebut menurut Pasal 7 ayat (4) UUPT diperoleh pada tanggal
diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan.

D.HUKUM PERTAMBANGAN

Usaha Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,pengelolaan
dan pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi penyelidikan umum,eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang (Pasal 1
butir 6 Undang-Undang No.4 tahun 2009tentang Pertambangan Mineral dan Batubara). Pertambangan
mempunyai beberapa karakteristik, yaitu tidak dapat diperbaharui (non renewable), mempunyai resiko relatif
lebih tinggi dan pengusahaannya mempunyai dampak lingkungan baik fisik maupun lingkungan yang relatiflebih
tinggi dibandingkan pengusahaan komoditi lain pada umumnya. Pentingnya penerapan kegiatan industri dan/atau
pembangunan yang berbasis lingkungan, perlu disadari oleh setiap elemen bangsa, karena persoalan lingkungan
merupakan permasalahan bersama.

Usaha Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi,studi kelayakan, konstruksi, penambanganpengolahan dan pemurnian,
pengangkutandan penjualan serta kegiatan pasca tambang(Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No.4
tahun2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara). Pertambangan mempunyai
beberapakarakteristik, yaitu tidak dapat diperbaharui (non renewable), mempunyai resiko relatif
lebih tinggi dan pengusahaannya mempunyai dampak lingkungan baik fisik maupun lingkungan
yang relatif lebih tinggi dibandingkan pengusahaan komoditi lainpada umumnya. Pada dasarnya,
karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui tersebut pengusaha pertambangan selalu mencari
cadangan terbukti (proven reserves) baru. Cadangan terbukti berkurang dengan produksi dan
bertambah dengan adanya penemuan.

Ada beberapa macam resiko dibidang pertambangan, yaitu resiko geologi (eksplorasi)
yang berhubungan dengan ketidakpastian penemuan cadangan (produksi), resiko teknologi yang
berhubungan dengan ketidakpastian biaya,resiko pasar yang berhubungan perubahan harga dan
resiko kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan perubahan pajak dan
harga domestic. Resiko-resiko tersebutberhubungan dengan besaran yangmempengaruhi
keuntungan usaha, yaituproduksi, harga, biaya dan pajak usaha yangmempunyai resiko lebih
tinggi menuntut pengembalian keuntungan (rate of return)yang lebih tinggi.Walaupun demikian,
terdapat dampak lingkungan pada waktu eksplorasi,tetapi dampak lingkungan pertambangan
utama adalah pada waktu eksploitasi danpemakaiannya untuk yang bisa digunakansebagai energi
(minyak, gas dan batu bara). Dampak lingkungan pertambanganberbeda antara jenis tambang
yang satu dengan yang lain. Tambang yang adaberada jauh di bawah permukaan bumiseperti
tambang minyak dan gas (migas) sehingga penambangannya daerah yang luas di permukaan.
Tambang ada yang digali di permukaan atau tambang dengan membuat terowongan dekat
permukaan seperti batu bara, tembaga, emasdan lain-lain sehingga relatif membutuhkan daerah
yang luas di permukaannya dan sebagai akibat dampak lingkungan fisik maupun sosialnya lebih
besar. Apalagi tambang tersebut tadinya merupakan mata pencaharian penduduk setempat. Dasar
kebijakan publik di bidang pertambangan adalah Undang-Undang Dasartahun 1945 (UUD 1945)
pada Pasal 33 ayat(3) yang menyatakan bahwa bumi dan airdan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Peraturan pelaksana dalam kegiatan pertambangan khususnya antara lain Undang-


Undang No.11 tahun1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang
No. 4 tahun2009 tentang Pertambangan Mineral danBatubara, Undang-Undang No. 32
tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tetang
Pengelolaaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah
No.2 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba,yang telah diubah
dengan Peraturan pemerintah No. 26 tahun 2012 dikelompokkan atas pertambangan mineral dan
pertambangan batubara (antara lain bitumen padat, batuan aspal, batubara dan gambut).

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN YANG BERDAMPAK LINGKUNGAN


DIINDONESIAJEANNE DARC NOVIAYANTI MANIK SH.,M.HUM

a. Pengaturan Perizinan Batubara Sebelum Keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun


2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (Minerba)
Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara pengaturan perizinan batubara menggunakan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan juga menggunakan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Peraturan Pelaksanaan Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 pengaturan perizinan
pertambangan diberikan oleh Keputusan Menteri melalui kuasa pertambangan yaitu wewenang
yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Kuasa
Pertambangan diberikan dengan Keputusan Menteri. Dalam Keputusan Menteri itu dapat
diberikan ketentuan-ketentuan khususnya disamping apa yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Kuasa pertambangan dapat dipindahkan kepada perusahaan atau perseorangan lain
bilamana memenuhi ketentuan-ketentuan dan mendapatkan persetujuan dari menteri. Adapun
yang bisa mendapatkan kuasa pertambangan adalah bentuk dan organisasi perusahaan sebagai
berikut:3 1) Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri; 2) Perusahaan Negara; 3)
Perusahaan Daerah; 4) Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah; 5)
Koperasi; 6) Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat;4 7) Perusahaan
dengan modal bersama antara Negara dan/atau Daerah dengan Koperasi dan/atau
Badan/Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat-syarat;5 8) Pertambangan rakyat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, pengelolaan bahan galian strategis dan vital
masih dilakukan oleh negara melalui menteri (terpusat), tetapi terdapat pengandaian bagi bahan
galian vital (poin b) yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah tingkat I bila diberikan kuasa
oleh menteri. Sedangkan bahan galian yang tidak termasuk keduanya (poin c)7 dikelola oleh
pemerintah daerah tingkat I. Perusahaan rakyat pada undang-undang ini telah diperbolehkan
untuk mengelola seluruh golongan bahan galian asalkan hanya dalam skala kecil. Selain
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, pengaturan perizinan batubara terdapat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Peraturan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Dalam Peraturan Pemerintah ini kuasa pertambangan dibagi menjadi tiga yakni
Surat Keputusan Penugasan Pertambangan (untuk Instansi Pemerintah), Surat Keputusan Izin
Pertambangan Rakyat, dan Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan (untuk perusahaan
negara, daerah, atau perseorangan). Dalam peraturan ini Pemerintah dati I hanya dapat mengatur
penambangan bahan galian selain bahan galian strategis dan vital. Mengenai pertambangan
rakyat, Izin Pertambangan Rakyat diajukan kepada Gubernur yang bersangkutan. Masa izin
pertambangan rakyat paling lama 5 tahun dengan perpanjangan 5 tahun.

b. Setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan


Mineral Dan Batubara (Minerba)

Disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah untuk menggantikan


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman ditingkat nasional maupul
global. Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 problem terbesar yaitu sistem perjanjian
atau kontrak tambang. Dalam pertambangan mineral, dikenal istilah Kontrak Karya (KK).
Sementara dalam industri tambang batubara ada istilah Perjanjian Karya Pengusaha
Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kuasa Pertambangan (KP). Sistem kontrak ini
memposisikan negara dan korporasi tambang secara sejajar. Dalam rezim kontrak, negara
dipandang sebagai mitra bisnis perusahaan tambang yang tidak memiliki sifat superior. Hal ini
yang menyebabkan negara selalu lemah ketika berhadapan dengan korporasi dalam perumusan
pembaruan kontrak, penarikan royalty dan pajak, juga saat kasus-kasus lingkungan dan sosial
bermunculan.

Adapun latar belakang pengaturan sistem Kontrak Karya pada awal kebijakan
pertambangan pada tahun 1967 adalah sebagai upaya pemerintah dalam mendatangkan capital
(modal) untuk melakukan pembangunan melalui sektor pertambangan dengan cara memberikan
kontrak karya bagi pelaku usaha yang hendak melakukan kegiatan usaha pertambangan di
Indonesia. Posisi negara yang lemah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 inilah yang
berusaha untuk dirubah oleh pemerintah dan DPR melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Maka, dalam undang-undang
Minerba terjadi perubahan rezim dalam tata kelola industri tambang nasional. Sehingga istilah-
istilah seperti KK, PKP2B dan KP diganti menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam
rezim perizinan atau IUP ini, negara berada dalam posisi yang superior dibandingkan dengan
perusahaan tambang. Negara berwenang menerapkan sanksi administratif mulai dari penghentian
sementara kegiatan tambang hingga pencabutan IUP dalam Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009.
c. Kewenangan Pemerintah Provinsi Setelah Berlakunya Undang-Undang Pertambangan
Mineral dan Batubara

Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam hal pengelolaan pertambangan mineral dan


batubara tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara adalah sebagai berikut:

a. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;


b. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha
pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil
sampai dengan 12 (dua belas) mil;
c. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha
pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
d. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha
pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau
wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
e. Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka
memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya;
f. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara,
serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi;
g. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi;
h. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi;
i. Pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;
j. Pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah
tambang sesuai dengan kewenangannya;
k. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian serta
eksplorasi kepada Menteri dan bupati/walikota;
l. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada
Menteri dan bupati/walikota;
m. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan
n. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. Sedangkan kewenangan dari
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 antara lain
adalah sebagai berikut: a. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah; b.
Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan
usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4
(empat) mil; c. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya d. Berada di
wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; e.
Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka
memperoleh data dan informasi mineral dan batubara; f. Pengelolaan informasi geologi,
informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah
kabupaten/kota; g. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah
kabupaten/kota; h. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha
pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; i. Pengembangan dan
peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal; j.
Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta
eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur; k. Penyampaian informasi hasil
produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur; l.
Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan m. Peningkatan
kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan
usaha pertambangan.
d. Pengawasan Terhadap Eksploitasi Izin Pertambangan Batubara

a. Inspektur tambang Kegiatan pertambangan yang diselenggarakan secara baik dan benar,
tentunya dengan tetap menjamin keselamatan pertambangan dan perlindungan lingkungan,
niscaya menghasilkan produk bahan tambang yang sesuai target. Demi mewujudkan kondisi
itu, inspektur tambang (IT), sebagai pejabat fungsional yang bertugas melakukan
pengawasan secara independen di bidang pertambangan, memiliki peran krusial. Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
menjelaskan lingkup pengawasan oleh IT. Lingkupnya meliputi: teknis pertambangan,
konservasi sumber daya minerba, keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan,
keselamatan operasi pertambangan, pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan
pascatambang, serta penerapan teknologi pertambangan. IT diangkat oleh Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangan masing-
masing. Berdasarkan Pasal 140 ayat (1), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pengawasan
pertambangan mineral dan batubara menjadi tanggung jawab menteri dimana menteri
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang
dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya. Pengawasan tersebut meliputi administarasi/tata laksana; operasional;
kompetensi aparatur; dan pelaksanaan program pengelolaan usaha pertambangan.

b. Pejabat pengawas Kegiatan penjualan terhadap pembayaran royalti dan iuran tetap.
Menteri dapat melimpahkan kepada Gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan yang dilaksanakan
oleh pemerintah kabupaten/kota.16 Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh pemegang IUP, IPR atau IUPK17. Pengawasan tersebut dilakukan melalui
mekanisme evaluasi terhadap laporan rencana dan pelaksanaan usaha pertambangan dari
pemegang ijin (IUP, IPR dan IUPK), dan/atau inspeksi ke lokasi ijin (IUP, IPR dan IUPK).

E. HUKUM PERBANKAN

Perbankan merupakan inti dari suatu keuangan setiap negara, bank merupakan lembaga
keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, badan-badan pemerintahan dan swasta
maupun perorangan menyimpan dana-dananya baik melalui kegiatan perkreditan dan
berbagai jasa yang dapat diberikan, baik melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan
mekanisme sistem pembangunan bagi semua sektor perekonomian. Dengan memberikan
kredit kepada beberapa sektor perekonomian, bank melancarkan arus barang-barang dan jasa
dari produsen kepada konsumen. Bank merupakan supplier dari sebagian besar uang yang
beredar dengan digunakan sebagai alat tukar, sehingga mekanisme kebijaksanaan moneter
dapat berjalan. Dengan demikian bank merupakan suatu lembaga keuangan yang sangat
penting dalam menjalankan kegiatan perekonomian dan perdagangan.
Di dalam Islam, masalah perbankan tidak diatur dalam nash secara tegas dan jelas,
sehingga merupakan masalah ijtihadiyah dan terdapat kontroversial dalam kepastian
hukumnya. Kontroversial ini terjadi karena sistem yang dianut perbankan konvensional
menggunakan sistem bunga (interest foregone), sementara dalam agama Islam setiap
investasi yang mengandung unsur riba adalah haram. Terlepas dari hal tersebut, kebutuhan
masyarakat terhadap jasa perbankan sangat besar karena bank sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat. Demikian pula dalam perbankan terdapat pihak penerima jasa dan
pemberi jasa. Oleh karena itu pemerintah merespon masalah tersebut berupa diterbitkannya
peraturan Pemerintah RI No. 72 Tahun 1992. Tentang Pendirian Bank berdasarkan prinsip
bagi hasil (Bank Syariah). Keadaan ini memberikan nuansa semakin bervariasinya landasan
operasional bank di Indonesia dan memberikan pilihan kepada masyarakat muslim
khususnya untuk menggunakan jasa perbankan syariah.

Perbankan syariah merupakan lembaga keuangan sebagai penghimpun dana dan penyalur
dan masyarakat khususnya masyarakat muslim menetapkan imbalan berdasarkan sistem bagi
hasil tergolong masih baru berdiri di Indonesia dan masih terbatas di beberapa tempat
tertentu saja di Indonesia, sehingga masyarakat belum begitu banyak tahu tentang mekanisme
kerja dan sistem operasional bank syariah sehingga menimbulkan keuangan masyarakat
untuk menggunakan jasa perbankan syariah.

HUKUM PERBANKAN DALAM SISTEM OPERASIONAL BANK KONVENSIONAL DAN BANK SYARIAH
Moh. ALI WAFA. KORDINAT Vol. XVI No. 2 Oktober 2017

Untuk menjaga agar bank dapat menjalankan usahanya dengan baik, maka peran lembaga
pengawasan sangat penting untuk mengontrol atau mengawasi kegiatan bank yang bersangkutan,
agar uang nasabah yang disimpan dalam suatu bank tetap terjamin keamanannya. Pada awalnya
tugas pengawasan bank dilakukan oleh bank Indonesia, sebelum terbentuknya lembaga khusus
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang – Undang Nomor 23 tentang Bank Indonesia,
sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (disingkat UUBI).
Menurut Pasal 34 ayat (1) UUBI, tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sector jasa keuangan.
Lembaga pengawasan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank
merupakan lembaga yang bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya
berada diluar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Bank Pemeriksa
Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya lembaga ini melakukan
koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Lembaga pengawas ini
dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan tugas pengawasan Bank dengan
berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia dan
keterangan data makro yang diperlukan. Pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank
Indonesia kepada lembaga pengawasan sector jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah
dipenuhinya syarat – syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi,
sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan – peraturan pelaksanaan berupa
perangkat hokum serta dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Realiasasi pembentukan lembaga pengawasan bank sebagaimana dimaksud dalam pasal


34 ayat (1) UUBI ditandai dengan diundangkannya Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (disingkat UU.OJK), pada tanggal 22 November 2011.
Pertimbangan dibentuknya OJK adalah untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sector jasa keuangan yang
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem
keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat.

Perlindungan Nasabah Bank Oleh Otoritas Jasa Keuangan

Perlindungan nasabah bank diatur dalam BAB VI di bawah judul PERLINDUNGAN


KONSUMEN DAN MASYARAKAT, Pasal 28 sampai dengan 31 UU OJK. Sehubungan
dengan perlindungan konsumen (selanjutnya disebut nasabah) bank untuk mencegah agar
nasabah tidak mengalami kerugian, ada beberapa hal yang harus dilakukan OJK, yakni:

1. Ketentuan pasal 28 UU OJK, merumuskan beberapa tindakan yang harus dilakukan oleh
OJK dalam upaya melindungi nasabah, yakni: a. Memberikan informasi dan edukasi
kepada masyarakat atas karakteristik suatu bank serta layanan produknya. Hal tersebut
dilakukan oleh OJK secara terbuka dan rutin kepada masyarakat agar masyarakat dapat
menentukan bank yang akan dijadikan bank untuk menyimpan dananya atau bank untuk
mengajukan permohonan kredit. Sehingga dengan demikian meminimalkan terjadinya
permasalahan dikemudian hari. b. Bilamana suatu bank berpotensi merugikan nasabah,
maka OJK meminta agar bank tersebut menghentikan kegiatannya sebeleum terlanjur
merugikan nasabah. Misalnya suatu bank memperlihatkan gejala dari waktu ke waktu
menurun tingkat kesehatannya dan menunjuknya adanya kecenderungan bank tersebut
pailit.
2. Ketentuan Pasal 29 UU OJK menentukan bahwa OJK melakukan pelayanan pengaduan
konsumen yang meliputi: a. Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan
pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; b.
Membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh Pelaku di Lembaga Jasa
Keuangan; dan c. Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh
Pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.
3. Kemudian, dalam ketentuan pasal 30, dikatakan “untuk kepentingan nasabah dan
masyarakat OJK berwenang memberikan pembelaan hokum”, yang meliputi: a.
Memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada bank untuk menyelesaikan
pengaduan nasabah yang dirugikan oleh bank yang dimaksud; b. OJK mengajukan
gugatan kepada bank yang merugikan nasabah, agar bank tersebut mengembalikan harta
kekayaan nasabah, baik yang berada dibawah penguasaan pihak bank yang dimaksud
maupun penguasaan pihak lain dengan itikat tidak baik; c. Menggugat bank agar
mengganti kerugian kepada nasabah yang dirugikannya, sebagai akaibat dari pelanggaran
atas peraturan perundang – undangan di sector perbankan. Ketentuan mengenai
perlindungan nasabah sebagaimana diatur dalam UU OJK, kemudian di tindak lanjuti
dengan diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
perlindungan konsumen sector jasa keuangan (selanjutnya ditulis POJK.07/2013).

SURAT BERHARGA

Pengertian menurut beberapa ahli

1. Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya
sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi yang berupa pembayaran
sejumlah uang, tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang,
melainkan dengan menggunakan alat bayar lain.

2. Sedangkan menurut Purwosutjipto, surat berharga adalah surat bukti tuntutan utang yang sukar
diperjualbelikan.

Dalam dunia usaha di kenal bermacam-macam surat yang pada umumnya orang
mengatakan bahwa itu sebagai surat berharga. Orang mengatakan itu surat berharga berdasarkan
kenyataan bahwa surat itu mempunyai nilai uang atau dapat ditukar dengan sejumlah uang, atau
apa yang tersebut dalam surat itu dapat dinilai atau ditukar dengan uang. Surat-surat itu berupa
wesel, aksep, cek, saham, obligasi, konosemen, ceel, karcis kereta api, surat penitipan barang dan
lain-lain. Pengertian orang tentang surat berharga seperti tersebut di atas ini sebenarnya tidak
tepat. Yang di maksud dengan surat berharga dalam pengertian Hukum Dagang tidaklah
demikian. Supaya dapat dikatakan surat berharga menurut pengertian Hukum Dagang, perlu
dipenuhi syarat-syarat tertentu yang merupakan ciri dari surat itu sebagai surat berharga.

Tentang apakah yang di maksud dengan surat berharga itu, dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang sendiri tidak terdapat definisinya. Hanya dapat disimpulkan dari ciri-ciri atau
syarat-syarat yang ditetapkan dalam pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Dagang, bahwa
surat itu dapat dikatakan surat berharga. Sebaliknya surat yang mempunyai harga atau nilai,
bukan alat pembayaran yang penerbitannya tidak untuk diperjualbelikan, melainkan sekedar
sebagai alat bukti diri bagi pemegang bahwa dia sebagai orang yang berhak atas apa yang
disebutkan atau untuk menikmati hak yang disebutkan di dalam surat itu. Bahkan bagi yang
berhak, apabila surat bukti diri itu lepas dari penguasaannya, ia masih dapat memperoleh barang
atau haknya itu dengan menggunakan alat bukti lain misalnya surat titipan sepeda motor hilang
yang berhak masih dapat memperoleh sepeda motornya dengan menunjukkan nomor bukti
kendaraannya (STNK) atau buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB).

Sedangkan pada surat berharga apabila suratnya itu lepas dari penguasaan pemegangnya
yang bersangkutan sama sekali tidak dapat mewujudkan hak tagihnya itu. Diterbitkannya surat
itu oleh penerbit maka pemegangnya diserahi hak untuk memperoleh pembayaran dengan jalan
menunjukkan dan menyerahkan surat itu yang mempunyai hak tagih atas sejumlah uang yang
tersebut didalamnya. Keberadaan surat berharga berdasarkan uraian diatas tentunya memiliki
peran tersendiri bagi dunia perdagangan dan untuk dapat membedakan peran dan jenis surat
berharga yang beredar di masyarakat bisnis adalah menarik untuk dikaji dan dianalisis dan
disajikan dalam bentuk jurnal sebagai karya tulis ilmiah.

DEASY SOEIKROMO. PENGATURAN HUKUM SURAT BERHARGA YANG BERSIFAT KEBENDAAN


DALAM TRANSAKSI BISNIS DI INDONESIA. LEX ET SOCIETATIS, VOL. V/NO. 1/JAN-FEB/2017

Berdasarkan isi perikatan dasarnya, Scheltema menggolongkan surat berharga ke dalam


surat-surat tagihan hutang (schuldvorderingspapieren), yakni surat yang isi perikatan dasarnya
ialah untuk membayar sejumlah uang, artinya pemegang surat itu berhak mendapatkan
pembayaran sejumlah uang yang tersebut di dalamnya dari penandatangan. Termasuk dalam
golongan ini ialah surat yang diatur dalam Buku l Titel 6 dan 7 KUHD. Titel 6 mengatur tentang
surat wesel dan surat sanggup, sedangkan Titel 7 mengatur tentang surat cek, surat promes atas
tunjuk dan kuitansi atas tunjuk. Latar belakang penerbitan surat wesel, surat sanggup, cek,
promes atas tunjuk dan kuitansi atas tunjuk sebagai surat berharga adalah karena sebelumnya
telah terjadi sebuah perjanjian yang disebut ”perikatan dasar” yang menimbulkan kewajiban
membayar sejumlah uang (Emmy Pangaribuan, 1987:6).

Dalam perkembangannya, selain surat-surat yang diatur dalam KUHD tersebut telah
tumbuh dalam praktik perusahaan dan perdagangan beberapa jenis surat berharga, antara lain
surat berharga komersial atau Commercial Paper (selanjutnya disingkat CP). Jika dalam surat
berharga yang diatur dalam KUHD digunakan sebagai alat bayar dalam suatu transaksi, maka CP
dipergunakan oleh penerbitnya sebagai alternatif pembiayaan perusahaan yang berasal dari luar
perusahaan. Menurut Bambang Riyanto, untuk mendukung aktifitas perusahaan agar dapat
berjalan lancar, maka perusahaan dapat menggali sumber dana dari luar perusahaan (Bambang
Riyanto, 2002 : 4).

Salah satu sumber pembiayaan dari luar perusahaan dapat digali melalui penerbitan CP
(Rudjiono, 1995:7). Di Indonesia kata Commercial Paper diterjemahkan menjadi Surat Berharga
Komersial dan disingkat SBK (dalam tulisan menggunakan istilah CP) adalah hanya merupakan
salah satu jenis dari seluruh kumpulan surat berharga, yakni surat sanggup (promissory notes).
CP hanyalah salah satu jenis surat berharga yang tumbuh dalam peraktik, disamping jenis
lainnya (Djoni S Gazali:, 2010: 259). Mengingat bank sebagai lembaga intermediasi banyak
terlibat di dalam pemanfaatan CP, maka tahun 1995 Bank Indonesia mengeluarkan surat
keputusan yang berkaitan dengan CP, yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.28/52/KEP/DIR Tentang Persyaratan Penerbitan dan Perdagangan Surat Berharga Komersial
(Commercial Paper) Melalui Bank Umum di Indonesia, tanggal 11Agustus 1995 (selanjutnya
disingkat SK Dir BI No.28/52/KEP/DIR/1995) yang diedarkan kepada Bank Umum di seluruh
Indonesia melalui Surat Edaran Bank Indonesia No. 28/ 49/UPG Tentang Persyaratan Penerbitan
dan Perdagangan Surat Berharga Komersial (Commercial Paper) Melalui Bank Umum di
Indonesia, tanggal 11 Agustus 1995 (selanjutnya disingkat SE- BI No. 29/48/UPG/ 1995). Dalam
tata urut peratutaran perundangan di Indonesia, pengaturan dalam bentuk surat keputusan
semacam ini sebenarnya tidak termasuk dalam hirarki tata urut peraturan perundangan.

Konsep Kemampuan Sistem Hukum dalam Mencapai Tujuan Hukum.

Untuk dapat memahami persoalan yang berkaitan dengan hukum secara lebih baik, maka
hukum hendaknya dilihat sebagai suatu sistem. Lawrence M Friedman, menjelaskan secara
panjang lebar mengenai unsur-unsur dalam sistem hukum yang intinya bahwa unsur-unsur
hukum terdiri dari substansi, struktur dan kultur hukum (Lawrence M Friedman, 2009:12).
Unsur-unsur itu dapat dijelaskan sebagai berikut: (Ahmad Ali, 2009:204)

1) Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi
antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan
para hakimnya dan lain-lain;

2) Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan azas hukum, baik yang tertulis
maupun ang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;

3) Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan- kepercayaan (keyakinankeyakinan), kebiasaan-


kebiasaan, cara berfikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga
masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

E. Hukum real estate, bangunan dan perumahan


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A.KESIMPULAN

Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu
diantara keduanya.penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara Litigasi atau penyelesaian
sengketa di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa
sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain) Penyelesaian sengketa bisnis model tidak
direkomendasaikan. Saat ini, Arbitrase masih dianggap sebagai satu-satunya yang paling tepat
untuk menyelesaikan sengketa transaksi internasional. Kini belum kita dapati peradilan yang
dapat memeriksa sengketa komersial internasional. Adanya kekhawatiran dan keengganan para
pengusaha internasional yang bersengketa melawan pengusaha nasional karena kekhawatiran
hakimnya akan memihak. Oleh karena itu sering kita lihat bahwa dalam perjanjian dagang
internasional, selalu memilih forum hukum asing. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu
semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain
dinilai tidak membuahkan hasil.
B.SARAN
Perlu ditekankan dalam melakukan perikatan dengan kontrak atau perjanjian harus dibuat
secara matang dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan resiko yang terjadi. Dalam
pembuatannya pun perlu melibatkan pihak hukum yang ahli sehingga jika terjadi hal di luar
perjanjian dapat langsung diselesaikan.
DAFTAR PUSAKA

Fuadi, Munir. Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi. Bandung.
PT Citra Aditya Bakti, 2008.
Saidin, S.H, M.Hum. 1997. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Rajawali Pers.
Jakarta.
An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional Liberalisasi Hukum
Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal (Bandung : Alumni, 2011), hlm.
151.
JURNAL PANORAMA HUKUM. TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN
PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENERBITAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN
BATUBARA. NAZARUDDIN LATHIF. VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2017 ISSN : 2527-
665
SISTEM HUKUM DALAM PENERBITAN DAN PERDAGANGAN COMMERCIAL
PAPER (TELAAH TERHADAP KETERBATASAN KEMAMPUAN HUKUM). KINGKIN
WAHYUNINGDYAH. YUSTISIA. VOL. 4 NO. 3 SEPTEMBER – DESEMBER 2015

Anda mungkin juga menyukai