KELOMPOK V
M. Fathan Arsyad Hsb : 2006200199
Adrian Suwandhana : 2006200200
Rafiqatuh husna F : 2006200201
Johan Bhagaskara M : 2006200202
Achmad Farizi Nst : 2006200203
Tiara Panjaitan : 2006200204
Aldi Aufa Tobing : 2006200205
Widya Syafitri K : 2006200206
Murtadha Murtahhari : 1606200505
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.WB.
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Dengan berkat rahmat dan karunia Allah SWT,
sehingga kami dapat menyusun makalah dengan judul “KOMPETENSI DAN HUKUM
ACARA PERADILAN AGAMA” ini tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Bapak Umul
Aiman Lubis, S.HI. MA. yang telah memberikan tugas ini kepada kami dan juga kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya
mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Kelompok V
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………………..3
1.4 Metode……………………………………………………………………………………..3
BAB II PEMBAHASAN
3.1. Kesimpulan………………………………………………………………………………16
3.2. Saran……………………………………………………………………………………...16
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum Islam di Indonesia telah telah lama menjadi bagian dari norma hukum dan
sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perkembangannya terus berkesinambungan.
baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan
kekuatan sosial budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang
Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya. Oleh karea
itu dalam penerapanya didasarkan pada beberapa dasark hukum yaitu kitab-kitab fiqh,
keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri
muslim dan fatwa-fatwa ulama.
Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses
transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah
berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang beriaku
dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat..
Mulai sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses
transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di
Indonesia. Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara
kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat.
Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat
aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara.
Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin)
hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
1
Tata Usaha Negara. Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia sudah dimulai sejak Indonesia
belum merdeka (Marzuki, 2003: 1).
Kemudian pada masa orde baru, peradilan agama, berada di bawah kekuasaan
Departemen Agama, belum menjadi peradilan yang mandiri, karena belum bisa secara
langsung memutuskan perkara (incrach) melainkan harus mendapatkan putusan Peradilan
Umum (excecutoire verklaring) untuk kasus-kasus tertentu, terutama menyangkut persoalan
harta benda, termasuk juga adanya hakopsi untuk persoalan kewarisan (Moh Sutomo,
Syarifah Marwiyah, dan Nur Mawaddah Warohmah, 2016: 269).
Setelah memasuki era reformasi, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum
maka badan peradilan agama sejajar dengan badan-badan peradilan lainnya yang ada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini terjadi setelah di undangkannya Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang
Kehakiman, 2004: 17).
2
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Metode
Metode penulisan yang digunakan dalam dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Browsing Internet yaitu pengambilan data dari internet.
Demikian metode yang digunakan dalam makalah ini, yang kesemuanya membantu kami
dalam menyelesikan makalah ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam
UU Peradilan Agama. Peradilan agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu
diantara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di
Indonesia. Peradilan agama merupakan salah satu diantara peradilan khusus di indonesia, dua
peradilan khususus lainnya adalah peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Dikatakan peradilan khusus karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau
mengenai golongan rakyat tertentu. Peradilan agama adalah peradilan islam di indonesia,
sebab dari jenis perkara yg boleh di adilinya, selusruhnya adalah jenis perkara menurut
agama islam di rangkaikannya kata-kata peradilan islam dengan di indonesia adalah karena
jernis perkara yang boleh diadilinya, tidaklah mencakup segala macam perkara menurut
peradilan islam secafra universal. Tegasnya peradilan agama adalah peradilan islam liminatif,
yang telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.
Peradilan agama adalah salah satu dari peradilan negara di indonesia yang sah, yang
bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata islam tertentu. Pada
tahun 1982 menjadi wacana yg sangat berkembang ketika itu dimana ada yg berpendapat
tentang istilah peradilan agama itu sendiri sesbenarnya kurang tepat pemakaiannya. Maka
oleh karena itu, kata peradilan agama kiranya kurang tepat, sekalipun istilah tersebut sudah
salah kaprah undang-undang pun menyebutkan demikian. Ketika itu tidak terlihat rumus-
rumus nama atau istilah lain yang muncul sebagai pengganti istilah peradilan agama, hal ini
di ungkap setidaknya untuk penulisan sejarah peradilan agama di indonesia perlu kiranya di
jelaskan.
Peradilan Agama menjadi penting untuk dibahas karena sebagian besar Warga Negara
Indonesia (WNI) beragama Islam. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tetang
Peradilan Agama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (UU Peradilan Agama).
4
2.2. Asas-Asas Umum Peradilan Agama
Pengertian “ Antara orang-orang yang Beragama islam” disini termasuk orang atau
badan hukum yang menundukkan diri dengan sukarela pada hukum islam tentang hal
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
B. Asas Kebebasan
a. Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.
b. Bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ektra judicial
(Pihak lain diluar kekuasaan kehakiman).
c. Kebebasan melaksanakan wewenang yudisial (menerapkan, menafsirkan, menemukan
hukum).
C. Asas Wajib Mendamaikan
a. Perdamaian lebih utama dari putusan : islah, win-win solution.
b. Peradilan agama sebagai peradilan keluarga, tidak hanya melaksanakan kekuasaan
kehakiman yang menerapakan hukum keluarga secara kaku, tetapi lebih diarahkan
pada penyelesaian sengketa keluarga dengan memperkecil kerusakan rohani dan
keretakan sosial.
D. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan.
a. Sederhana, prosedur penerimaan sampai dengan penyelesaian suatu perkara.
b. Cepat, alokasi waktu yang tersedia dalam proses peradilan.
c. Biaya Ringan, keterjangkauan biaya perkara oleh pencari keadilan.
5
E. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum.
a. Bahwa setiap pemeriksaan yang berlangsung dalam sidang pengadilan
memperkenankan siapa saja yang menhadiri, mendengarkan dan menyaksikan
jalannya persidangan.
b. Ada transparansi.
c. Tidak semua sidang pemeriksaan perkara terbuka untuk umum.
6
I. Asas Ius Curia Novit
Jika inisiatif telah datang dari pihak yang berkepentingan serta tuntutan hak telah
diajukan kepada hakim atau pengadilan, maka hakim tidak boleh menolak suatu perkara
dengan alasasn tidak ada hukumnya atau hukumnya belum jelas, dalam hal ini hakim
dianggap tahu hukumnya.
Dalam asas hakim pasif ini mengandung juga asas hakim aktif, misalahnya dalam hal
hakim berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, menjaga agar persidangan
berjalan dengan aman dan lantjar, menunda persidangan, memerintahkan pembuktian,
menjelaskan mengenai upaya hukum dan sebagainya.
Dengan disertai alasan yang kuat dalams suatu putusan, berarti putusan mempunyai
wibawa dan tidak mudah untuk dibatalkaan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
7
Bagi mereka yang tidak mampu, dapat berperkara cuma-cuma tanpa biaya (prodeo) Pasal
271-274 Rbg/235-238 HIR) Sudah tentu harus dilengkapi dengan surat keterangan tidak
mampu dari aparat yang berwenang untuk itu.
Berbeda dengan sistem BRV (sebagai sumber hukum acara perdata), mengharuskan para
pihak yang mempunyai perkara wajib mewakilkan pada kuasa dengan akibat batalnya
gugatan jika gugatan tidak diwakilkan pada seorang kuasa dan ditentukan harus seorang
sarjana hukum.
1. Kewenangan/Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan
Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah. Contoh
Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi. Dalam hal ini
antara Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dan Pengadilan Agama Ngawi adalah satu
jenis dalam satu lingkungan dan satu tingkatan yaitu tingkat pertama.
Kompetensi relatif yang berlaku pada setiap peradilan dilihat pada hukum acara yang
digunakan, dalam hal ini Pengadilan Agama dalam hukum acaranya adalah Hukum Acara
Perdata. Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
menerangkan bahwa dalam Peradilan Agama berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku di
Peradilan Umum. Untuk itu dasar kompetensi relatif Pengadilan Agama adalah Pasal 118
Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.
Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan bahwa suatu gugatan itu harus diajukan sesuai
dengan daerah hukum tergugat berada. Namun dalam hal ini ada pengecualian sebagaimana
dalam Pasal 118 Ayat 2, 3, dan 4 yaitu :
a. Apabila terdapat 2 tergugat maka gugatan boleh diajukan pada salah satu dari dua daerah
tergugat berada.
8
b. Apabila tergugat tidak diketahui, gugatan diajukan pada daerah penggugat.
c. Apabila gugatan yang diajukan terkait benda tidak bergerak maka gugatan diajukan di
mana letak benda tidak bergerak tersebut berada.
d. Apabila ada tempat tinggal yang disebut dalam suatu akad maka gugatan diajukan pada
tempat yang dipilih dalam akad tersebut.
2. Kewenangan/Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan Pengadilan Agama yang
berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi kewenangannya.
Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2019
Tentang Pengadilan Agama serta asas personalitas keislaman menjadi dasar kompetensi
absolut Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara.
9
menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht). Pasal 24
ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Terhadap kewenangan pengadilan yang dianggap tidak sesuai maka Tergugat dapat
menyampaikannya melalui eksepsi. Eksepsi mengenai kewenangan Pengadilan tersebut
diajukan apabila pihak Tergugat merasa gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat bukan
merupakan perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus.
10
sela (interlocutory) dan amar putusan, berisi penegasan bahwa Pengadilan Negeri
berwenang mengadili dan memerintahkan kedua belah pihak melanjutan pemeriksaan
pokok perkara. Apabila eksepsi kompetensi yang diajukan tergugat beralasan dan dapat
dibenarkan oleh hakim bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara, maka
eksepsi dikabulkan. Hakim menjatuhkan putusan akhir (final judgement) sehingga
pemeriksaan perkara dianggap selesai pada tingkat pertama.
Selain dari yang tersebut di atas Pengadilan Agama juga diberi kewenangan :
1. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat Hukum Islam kepada Institusi
Pemerintah didaerahnya apabila diminta.
2. Pun demikian diberi tugas tambahan atau yang didasarkan pada undang-undang seperti
pengawasan pada advokad yang beracara dilingkungan Pengadilan Agama, Pegawai
Pencatat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.
11
memperoleh kuasa dari orang yang kepentingannya dilanggar untuk mengajukan sebuah
gugatan.
Penggugat adalah orang yang menuntut hak perdataannya kemuka pengadilan perdata.
Tergugat adalah orang yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan. Tergugat bisa per
orangan, atau beberapa orang. Perkara perdata yang terdiri dari 2 pihak yaitu dengan adanya
penggugat dan tergugat yang mana saling berlawanan disebut contentieuse juridictie
(peradilan sungguhan), dalam hal ini maka produk hukumnya adalah putusan.
Termohon dalam arti yang sebenarnya bukanlah sebagai pihak namun perlu halnya
dihadirkan didepan sidang untuk didengar keterangan dan untuk kepentingan pemeriksaan.
Peradilan yang menyelesaikan perkara permohonan disebut voluntaire jurisdictie (peradilan
tidak sesungguhnya), produk hukum dari peradilan tersebut adalah penetapan.
a. Meja 1
Menerima gugatan/permohonan dan salinannya.
Menaksir biaya panjar biaya sesuai dengan radius yang ditetapkan.
Membuat surat kuasa membayar (SKUM).
b. Kasir
Menerima biaya panjar dan mencatat dalam pembukuan.
12
Menandatangani SKUM.
Memberi nomor dan tanda lunas pada SKUM.
Memberi keterangan terkait legalisir dokumen dan jadwal pelaksanaan sidang.
c. Meja 2
Mencatat perkara dalam buku register perkara.
Memberi nomor register pekara pada gugatan/permohonan yang masuk.
Meyerahkan salinan gugatan/permohonan, jadwal sidang, dan rangkap 2 SKUM,
serta memasukkannya dalam amplop kepada penggugat/pemohon.
d. Ketua Pengadilan Agama
Menenetukan penetapan majlis hakim (PMH).
Menetapkan hari sidang (PHS).
e. Panitera dan Wakil Panitera
Menunjuk penitera sidang.
Meyerahkan berkas perkara kepada majlis.
f. Majelis Hakim
Menyidangkan perkara yang diajukan penggugat/pemohon.
Memerintahkan kepada juru sita untuk memanggil para pihak.
Berkoordinasi dengan meja 1, kasir, meja 2, dan meja 3 berkenaan dengan
administrasi perkara yang disidangkan.
Memutus perkara yang ditangani.
g. Meja 3
Menerima berkas perkara yang telah di putus oleh majlis hakim.
Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak.
Menyerahkan berkas perkara yang telah minutasi kepada Panitera Muda Hukum.
14
negeri dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dilakukan untuk keperluan
tersebut (Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989).
5. Gugatan dalam bidang perceraian wajib menghadirkan keluarga atau orang dekat
masing-masing pihak untuk diminta keterangan dan sekaligus dijadikan saksi dalam
perkara tersebut. (Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Jo 76 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989).
6. Gugatan LI’AN terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina atau mengingkari anak
dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan
dan atau mengingkarin tersebut.
Qulu. Qulu istri mengajukan talak dengan membayar sejumlah uang (uang iwald) untuk
diberikan suami (sighot taklik talak) apabila dilanggar suami. Talak yang di ucapkan suami
atas tebusan istri. kalau qului dibayar kan kepada lembaga social Rp 10000 karena melanggar
sighot taklik talak.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Akhir dari rangkaian penyusunan makalah ini akan disampaikan saran-saran bahwa
seorang praktisi hukum wajib menjalankan tugasnya harus sesuai dengan peraturan yang
telah ditetapkan dalam kode etik profesi hukum.
Apabila di dalam makalah ini terdapat kata-kata yang salah ataupun kurang tepat, kritik
dan saran dari pembaca yang bersifat membagun sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan makalah ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
https://fhukum.unpatti.ac.id/hukum-acara-peradilan-agama/
https://pa-sidoarjo.go.id/informasi-pengadilan/227-kompetensi-absolut-peradilan-agama-dan-
permasalahannya
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/
ab71daa2fa4f0861ce1b9ca4525aaf1a.pdf
https://pa-magetan.go.id/artikel/215-sumber-hukum-dan-kompetensi-absolut-dan-
kompetensi-relatif-di-pengadilan-agama
http://lbhpengayoman.unpar.ac.id/kewenangan-pengadilan-agama/
https://bahasan.id/mengenali-kewenangan-atau-kompetensi-pengadilan-dalam-menangani-
perkara/
https://www.pa-rumbia.go.id/berita-seputar-peradilan/260-hukum-acara-peradilan-
agama.html
17