Anda di halaman 1dari 20

KOMPETENSI DAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

KELOMPOK V
M. Fathan Arsyad Hsb : 2006200199
Adrian Suwandhana : 2006200200
Rafiqatuh husna F : 2006200201
Johan Bhagaskara M : 2006200202
Achmad Farizi Nst : 2006200203
Tiara Panjaitan : 2006200204
Aldi Aufa Tobing : 2006200205
Widya Syafitri K : 2006200206
Murtadha Murtahhari : 1606200505

Mata Kuliah Hukum Islam


Dosen : Umul Aiman Lubis, S.HI. MA.

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.WB.

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Dengan berkat rahmat dan karunia Allah SWT,
sehingga kami dapat menyusun makalah dengan judul “KOMPETENSI DAN HUKUM
ACARA PERADILAN AGAMA” ini tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Bapak Umul
Aiman Lubis, S.HI. MA. yang telah memberikan tugas ini kepada kami dan juga kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya
mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Medan, 26 Desember 2020

Kelompok V

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………….. 3

1.3 Tujuan……………………………………………………………………………………..3

1.4 Metode……………………………………………………………………………………..3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Peradilan Agama…………………………………………………………….4

2.2 Asas-Asas Umum Peradilan Agama……………………………………………………..5

2.3 Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif di Peradilan Agama……………………8

2.4 Pihak-Pihak Berperkara di Peradilan Agama…………………………………………11

2.5 Proses Beracara di Peradilan Agama…………………………………………………...12

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan………………………………………………………………………………16

3.2. Saran……………………………………………………………………………………...16

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….17

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Hukum Islam di Indonesia telah telah lama menjadi bagian dari norma hukum dan
sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perkembangannya terus berkesinambungan.
baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan
kekuatan sosial budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Keanekaragaman pemahaman orang Islam Indonesia di dalam memahami hukum Islam


memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam identik dengan syari’ah dan identik dengan
fiqh. Ini banyak terjadi bukan hanya di kalangan ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan
akademisi dan praktisi hukum Islam.

Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang
Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya. Oleh karea
itu dalam penerapanya didasarkan pada beberapa dasark hukum yaitu kitab-kitab fiqh,
keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri
muslim dan fatwa-fatwa ulama.

Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses
transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah
berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang beriaku
dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat..

Mulai sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses
transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di
Indonesia. Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara
kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat.
Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat
aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara.
Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin)
hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia di


samping tiga peradilan yang lain, yakni Peradilan Negeri, Peradilan Militer, dan Peradilan

1
Tata Usaha Negara. Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia sudah dimulai sejak Indonesia
belum merdeka (Marzuki, 2003: 1).

Kemudian pada masa orde baru, peradilan agama, berada di bawah kekuasaan
Departemen Agama, belum menjadi peradilan yang mandiri, karena belum bisa secara
langsung memutuskan perkara (incrach) melainkan harus mendapatkan putusan Peradilan
Umum (excecutoire verklaring) untuk kasus-kasus tertentu, terutama menyangkut persoalan
harta benda, termasuk juga adanya hakopsi untuk persoalan kewarisan (Moh Sutomo,
Syarifah Marwiyah, dan Nur Mawaddah Warohmah, 2016: 269).

Setelah memasuki era reformasi, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum
maka badan peradilan agama sejajar dengan badan-badan peradilan lainnya yang ada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini terjadi setelah di undangkannya Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang
Kehakiman, 2004: 17).

Peradilan Agama merupakan proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam


kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama. Keberadaan Peradilan Agama dalam sistem peradilan nasional
Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Daud Ali, merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Demikian ini, karenadi samping Peradilan
Agama, di Indonesia terdapat tiga lembaga peradilan lain yang mempunyai kedudukan yang
sama dan sederajat dengan kekuasaan yang berbeda, yaitu Peradilan Umum (Peradilan
Negeri), Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (Ali, 1996: 251).

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama hanyalah


dipandang sebagai peradilan semu, kemudian eksistensi Peradilan Agama semakin menguat
setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.Dalam perjalanannya, Peradilan Agama di Indonesia
mememiliki peranan yang sangat penting bagi pemeluk agama Islam di Indonesia dan
memiliki kewenangan yang berbeda dengan peradilan yang lain dalam sistem hukum di
Indonesia.

2
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :


1. Apakah yang dimaksud dengan P Peradilan Agama?
2. Apa Saja Asas-Asas Umum Peradilan Agama?
3. Analisis Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Peradilan Agama?
4. Jelaskan Bagaimana Pihak-Pihak Berperkara Di Pengadilan Agama?
5. Bagaimana Proses Beracara Di Pengadilan Agama?

1.3. Tujuan

Dalam penyusunan makalah ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang :


1. Mengetahui Pengertian dari Peradilan Agama.
2. Menjelaskan Asas-Asas Umum Peradilan Agama.
3. Mengetahui Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Peradilan Agama.
4. Mengetahui Pihak-Pihak Berperkara Di Pengadilan Agama.
5. Menjelaskan Proses Beracara Di Pengadilan Agama.

1.4. Metode

Metode penulisan yang digunakan dalam dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Browsing Internet yaitu pengambilan data dari internet.
Demikian metode yang digunakan dalam makalah ini, yang kesemuanya membantu kami
dalam menyelesikan makalah ini.

3
BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam
UU Peradilan Agama. Peradilan agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu
diantara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di
Indonesia. Peradilan agama merupakan salah satu diantara peradilan khusus di indonesia, dua
peradilan khususus lainnya adalah peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Dikatakan peradilan khusus karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau
mengenai golongan rakyat tertentu. Peradilan agama adalah peradilan islam di indonesia,
sebab dari jenis perkara yg boleh di adilinya, selusruhnya adalah jenis perkara menurut
agama islam di rangkaikannya kata-kata peradilan islam dengan di indonesia adalah karena
jernis perkara yang boleh diadilinya, tidaklah mencakup segala macam perkara menurut
peradilan islam secafra universal. Tegasnya peradilan agama adalah peradilan islam liminatif,
yang telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.

Peradilan agama adalah salah satu dari peradilan negara di indonesia yang sah, yang
bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata islam tertentu. Pada
tahun 1982 menjadi wacana yg sangat berkembang ketika itu dimana ada yg berpendapat
tentang istilah peradilan agama itu sendiri sesbenarnya kurang tepat pemakaiannya. Maka
oleh karena itu, kata peradilan agama kiranya kurang tepat, sekalipun istilah tersebut sudah
salah kaprah undang-undang pun menyebutkan demikian. Ketika itu tidak terlihat rumus-
rumus nama atau istilah lain yang muncul sebagai pengganti istilah peradilan agama, hal ini
di ungkap setidaknya untuk penulisan sejarah peradilan agama di indonesia perlu kiranya di
jelaskan.

Peradilan Agama menjadi penting untuk dibahas karena sebagian besar Warga Negara
Indonesia (WNI) beragama Islam. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tetang
Peradilan Agama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (UU Peradilan Agama).

4
2.2. Asas-Asas Umum Peradilan Agama

A. Asas Personalitas Keislaman


 Dasar kewenangan PA mengadili ditentukan dengan keislaman subyek hukum. PA hanya
dapat mengadili mereka yang beragam islam dan yang menundukkan diri pada hukum
islam.
 Berdasarkan UUPA, asas personalitas keislaman yang melekat pada PA dilandasari oleh
tiga syarat :
a. Agama yang dianut kedua belah pihak saat terjadinya peristiwa hukum adalah agama
islam.
b. Perkara perdata yang dipersengketakan merupakan kompetensi absolute PA.
c. Hubungan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum islam.

Pengertian “ Antara orang-orang yang Beragama islam” disini termasuk orang atau
badan hukum yang menundukkan diri dengan sukarela pada hukum islam tentang hal
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama.

B. Asas Kebebasan
a. Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.
b. Bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ektra judicial
(Pihak lain diluar kekuasaan kehakiman).
c. Kebebasan melaksanakan wewenang yudisial (menerapkan, menafsirkan, menemukan
hukum).
C. Asas Wajib Mendamaikan
a. Perdamaian lebih utama dari putusan : islah, win-win solution.
b. Peradilan agama sebagai peradilan keluarga, tidak hanya melaksanakan kekuasaan
kehakiman yang menerapakan hukum keluarga secara kaku, tetapi lebih diarahkan
pada penyelesaian sengketa keluarga dengan memperkecil kerusakan rohani dan
keretakan sosial.
D. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan.
a. Sederhana, prosedur penerimaan sampai dengan penyelesaian suatu perkara.
b. Cepat, alokasi waktu yang tersedia dalam proses peradilan.
c. Biaya Ringan, keterjangkauan biaya perkara oleh pencari keadilan.

5
E. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum.
a. Bahwa setiap pemeriksaan yang berlangsung dalam sidang pengadilan
memperkenankan siapa saja yang menhadiri, mendengarkan dan menyaksikan
jalannya persidangan.
b. Ada transparansi.
c. Tidak semua sidang pemeriksaan perkara terbuka untuk umum.

Pengecualian asas terbuka untuk umum :


Lihat pasal 59 ayat (1) UU No.7 tahun 1989
Pemeriksaaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup, demikian juga untuk
cerai talak. Perkara perceraian, menjaga kerahasian hubungan kerumahtanggaan lebih
penting tertutup meliputi pemeriksaan dan pembuktian Putusan tetap diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.

F. Asas Legalitas dan Persamaan


a. Asas legalitas, semua tindakan berdasarkan hukum (rule of law).
b. Asas Persamaan, setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama dimuka
hukum.
Akibat pelanggaran asas terbuka untuk umum, Seluruh pemeriksaan beserta penetapan
atau putusannya batal demi hukum (pasal 59 ayat (2) UU No.7/1989 jo Pasal 19 ayat (2)
UU No.4 tahun 2004)

G. Asas Aktif memberi bantuan.


Pengadilan (hakim) yang memimpin persidangan bersifat aktif dan bertindak sebagai
fasilitator Pasal 58 ayat (2) UU No.7/1989 : “pengadilan membantu para pencari
keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi hambatan dan rintangan untuk
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

H. Asas Hakim bersifat menunggu


Inisiatif berperkara datangnya dari pihak yang berkepentingan dan hakim hanya bersifat
menunggu datangnya atau masuknya perkara, tidak ada hakim jika tidak ada tuntutan hak
(proses berpekara baru aka nada jika yang berkepentingan mengajukan kepada hakim
dan oleh hakim perkara yang masuk diproses sesuai hukum yang berlaku.

6
I. Asas Ius Curia Novit
Jika inisiatif telah datang dari pihak yang berkepentingan serta tuntutan hak telah
diajukan kepada hakim atau pengadilan, maka hakim tidak boleh menolak suatu perkara
dengan alasasn tidak ada hukumnya atau hukumnya belum jelas, dalam hal ini hakim
dianggap tahu hukumnya.

J. Asas Hakim Aktif dan Pasif


Hakim dalam memeriksa suatu perkara adalah bersikap pasif, ruang lingkup atau luas
perkara yang diajukan ke pengadilan untuk diperiksa oleh hakim adalah ditentukan oleh
para pihak yang berperkara (bukan oleh hakim).

Dalam asas hakim pasif ini mengandung juga asas hakim aktif, misalahnya dalam hal
hakim berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, menjaga agar persidangan
berjalan dengan aman dan lantjar, menunda persidangan, memerintahkan pembuktian,
menjelaskan mengenai upaya hukum dan sebagainya.

K. Asas actor sequituur forum rei


Bahwa gugatan diajukan pada pengadilan diwilayah hukum dimana tergugat bertempat
tinggal asas ini mengenal pengecualian, akan dibahas lebih lanjut dalam materi
kompetensi/kewenangan mengadili.

L. Asas Audi et Alteram


Bahwa para pihak harus diperlakukan sama didepan hukum (hakim harus obyektif) dan
tidak boleh memihak atau bersikap subyektif (Para pihak harus diberikan kesempatan
yang sama baik pada saat pemeriksaan persidangan maupun pada saat pembuktian)

M. Asas putusan pengadilan disertai alasan


Hakim dalam menjatuhkan putusan harus disertai dengan alasan, bertujuan agar hakim
bersifat obyektif dengan memberikan alasan dan pertimbangan yang cukup terhadap
putusan yang dijatuhkan.

Dengan disertai alasan yang kuat dalams suatu putusan, berarti putusan mempunyai
wibawa dan tidak mudah untuk dibatalkaan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

N. Asas biaya perkara dan prodeo


Biaya-biaya perkara diperuntukkan untuk : biaya kepaniteraan, biaya pemanggilan dan
pemberitahuan, biaya materai dll.

7
Bagi mereka yang tidak mampu, dapat berperkara cuma-cuma tanpa biaya (prodeo) Pasal
271-274 Rbg/235-238 HIR) Sudah tentu harus dilengkapi dengan surat keterangan tidak
mampu dari aparat yang berwenang untuk itu.

O. Asas wakil dan kuasa


Menurut sistem HIR/Rbg, setiap orang yang berperkara tidak ada kaharusan menunjuk
kuasa atau wakil yang maju kedalam persidangan. Namun, jika memang
menginginkannya juga dapat menunjuk wakil atau kuasa dalam persidangan pengadilan,
jika menunjuk kuasa maka sikuasa tidak dapat mengajukan gugatan tidak tertulis.

Berbeda dengan sistem BRV (sebagai sumber hukum acara perdata), mengharuskan para
pihak yang mempunyai perkara wajib mewakilkan pada kuasa dengan akibat batalnya
gugatan jika gugatan tidak diwakilkan pada seorang kuasa dan ditentukan harus seorang
sarjana hukum.

2.3. Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Peradilan Agama

1. Kewenangan/Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan
Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah. Contoh
Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi. Dalam hal ini
antara Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dan Pengadilan Agama Ngawi adalah satu
jenis dalam satu lingkungan dan satu tingkatan yaitu tingkat pertama.
Kompetensi relatif yang berlaku pada setiap peradilan dilihat pada hukum acara yang
digunakan, dalam hal ini Pengadilan Agama dalam hukum acaranya adalah Hukum Acara
Perdata. Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
menerangkan bahwa dalam Peradilan Agama berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku di
Peradilan Umum. Untuk itu dasar kompetensi relatif Pengadilan Agama adalah Pasal 118
Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.

Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan bahwa suatu gugatan itu harus diajukan sesuai
dengan daerah hukum tergugat berada. Namun dalam hal ini ada pengecualian sebagaimana
dalam Pasal 118 Ayat 2, 3, dan 4 yaitu :
a. Apabila terdapat 2 tergugat maka gugatan boleh diajukan pada salah satu dari dua daerah
tergugat berada.

8
b. Apabila tergugat tidak diketahui, gugatan diajukan pada daerah penggugat.
c. Apabila gugatan yang diajukan terkait benda tidak bergerak maka gugatan diajukan di
mana letak benda tidak bergerak tersebut berada.
d. Apabila ada tempat tinggal yang disebut dalam suatu akad maka gugatan diajukan pada
tempat yang dipilih dalam akad tersebut.

Kewenangan/kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar badan


peradilan yang sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para pihak (distributie
van rechtsmacht), terutama tergugat. Kewenangan relatif ini menggunakan asas actor
sequitor forum rei yang berarti yang berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal
Tergugat.

Terhadap kewenangan/kompetensi relatif, jika pihak Tergugat tidak mengajukan


jawaban yang berisi eksepsi mengenai kewenangan/kompetensi relatif terhadap perkara
yang sedang diadili, maka perkara tersebut dapat dilanjutkan pemeriksaannya hingga
majelis hakim menjatuhkan putusan akhir.

Terhadap kewenangan/kompetensi relatif, apabila Tergugat tidak mengajukan jawaban


yaitu eksepsi mengenai kewenangan relatif, maka perkara tetap dapat dilanjutkan
pemeriksaannya karena tidak menyangkut hal krusial, yaitu hanya mengenai lokasi
pengadilan seharusnya.

Contoh terhadap kewenangan/kompetensi relatif, yaitu Penggugat mengajukan gugatan


ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan diketahui bahwa Tergugat bertempat tinggal
di daerah Jakarta Timur. Hal tersebut tidak sesuai dengan asas actor sequitor forum rei.

2. Kewenangan/Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan Pengadilan Agama yang
berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi kewenangannya.
Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2019
Tentang Pengadilan Agama serta asas personalitas keislaman menjadi dasar kompetensi
absolut Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara.

Kewenangan/kompetensi absolut merupakan pemisahan kewenangan yang menyangkut


pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan,

9
menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht). Pasal 24
ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Terhadap kewenangan absolut, walaupun Tergugat tidak mengajukan eksepsi


kewenangan absolut atas perkara yang diajukan ke suatu badan pengadilan, maka majelis
hakim tetap harus memeriksa terkait kewenangan absolutnya untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Apabila terbukti bahwa perkara tersebut
bukan merupakan kewenangan absolut pengadilan yang bersangkutan, maka majelis hakim
wajib menghentikan pemeriksaan.

Contoh terhadap kewenangan/kompetensi absolut, yaitu pengajuan gugatan oleh


Penggugat ke Pengadilan Negeri. Dimana diketahui sebelumnya dalam perjanjian pihak-
pihak yang bersengketa terdapat perjanjian arbitrase yang menegaskan pilihan forum
penyelesaian sengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Terhadap kewenangan pengadilan yang dianggap tidak sesuai maka Tergugat dapat
menyampaikannya melalui eksepsi. Eksepsi mengenai kewenangan Pengadilan tersebut
diajukan apabila pihak Tergugat merasa gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat bukan
merupakan perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus.

Berdasarkan Pasal 136 HIR, apabila terdapat pengajuan eksepsi mengenai kewenangan


absolut maka hakim akan memeriksa dan memutus terlebih dahulu mengenai eksepsi
tersebut. Terhadap pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut tersebut hakim akan
menunda pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut disebabkan oleh pemeriksaan serta
pemutusan mengenai eksepsi tersebut diambil dan dijatuhkan sebelum pemeriksaan pokok
perkara.
Tindakan yang demikian bersifat imperatif dimana tidak dapat dibenarkan memeriksa
pokok perkara sebelum ada putusan yang menegaskan apakah Pengadilan Negeri yang
bersangkutan berwenang atau tidak untuk memeriksanya.

Apabila hakim berpendapat, bahwa ia berwenang memeriksa dengan mengadili perkara


dengan alasan, apa yang diperkarakan termasuk yuridiksi absolut Pengadilan Negeri yang
bersangkutan, maka eksepsi tergugat ditolak, penolakan dituangkan dalam bentuk putusan

10
sela (interlocutory) dan amar putusan, berisi penegasan bahwa Pengadilan Negeri
berwenang mengadili dan memerintahkan kedua belah pihak melanjutan pemeriksaan
pokok perkara. Apabila eksepsi kompetensi yang diajukan tergugat beralasan dan dapat
dibenarkan oleh hakim bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara, maka
eksepsi dikabulkan. Hakim menjatuhkan putusan akhir (final judgement) sehingga
pemeriksaan perkara dianggap selesai pada tingkat pertama.

Kompetensi absolut Peradilan Agama tertuang dalam Pasal 49 UU Peradilan Agama.


Berdasarkan ketentuan tersebut, Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang :
1. Perkawinan yang dilakukan menurut syariah Islam
2. Waris.
3. Wasiat.
4. Hibah.
5. Wakaf.
6. Zakat.
7. Infaq.
8. Sedekah.
9. Ekonomi syariah.

Selain dari yang tersebut di atas Pengadilan Agama juga diberi kewenangan :
1. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat Hukum Islam kepada Institusi
Pemerintah didaerahnya apabila diminta.
2. Pun demikian diberi tugas tambahan atau yang didasarkan pada undang-undang seperti
pengawasan pada advokad yang beracara dilingkungan Pengadilan Agama, Pegawai
Pencatat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.

2.4. Pihak-Pihak Berperkara Di Pengadilan Agama

1) Penggugat dan Tergugat


Syarat untuk mengajukan sebuah gugatan adalah adanya kepentingan hukum (sengketa)
yang melekat pada penggugat, dalam hal ini maka tidak semua orang dapat mengajukan
gugatan, dalam hal ini orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung dapat

11
memperoleh kuasa dari orang yang kepentingannya dilanggar untuk mengajukan sebuah
gugatan. 

Penggugat adalah orang yang menuntut hak perdataannya kemuka pengadilan perdata.
Tergugat adalah orang yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan. Tergugat bisa per
orangan, atau beberapa orang. Perkara perdata yang terdiri dari 2 pihak yaitu dengan adanya
penggugat dan tergugat yang mana saling berlawanan disebut contentieuse juridictie
(peradilan sungguhan), dalam hal ini maka produk hukumnya adalah putusan.

2) Pemohon dan Termohon


Pemohon adalah seorang yang memohon kepada pengadilan untuk ditetapkan atau
mohon ditegaskan suatu hak bagi dirinya tentang situasi hukum tertentu.
Contoh perkara permohonan di Pengadilan Agama adalah permohonan dispensasi kawin,
permohonan istbath nikah, namun ini tidak berlaku bagi perkara cerai talaq sebagaimana
dalam SEMA No.2 tahun 1990 menyebutkan asasnya cerai talaq adalah merupakan
sengketa perkawinan yang meliatkan kedua belah pihak, sehingga walaupun pihak yang
berkera disebut dengan pemohon dan termohon akan tetapi merupakan perkara contentious
dan produk hakim berupa putusan dengan amar dalam bentuk penetapan.

Termohon dalam arti yang sebenarnya bukanlah sebagai pihak namun perlu halnya
dihadirkan didepan sidang untuk didengar keterangan dan untuk kepentingan pemeriksaan.
Peradilan yang menyelesaikan perkara permohonan disebut voluntaire jurisdictie (peradilan
tidak sesungguhnya), produk hukum dari peradilan tersebut adalah penetapan.

2.5. Proses Beracara Di Pengadilan Agama

1. Proses Pengajuan Perkara


Proses beracara di Pengadilan Agama diatur dengan pelayanan sistem meja dalam
penanganan perkara mulai dari pendaftaran sampai perkara putus dan selesai.

a. Meja 1
 Menerima gugatan/permohonan dan salinannya.
 Menaksir biaya panjar biaya sesuai dengan radius yang ditetapkan.
 Membuat surat kuasa membayar (SKUM).
b. Kasir
 Menerima biaya panjar dan mencatat dalam pembukuan.

12
 Menandatangani SKUM.
 Memberi nomor dan tanda lunas pada SKUM.
 Memberi keterangan terkait legalisir dokumen dan jadwal pelaksanaan sidang.
c. Meja 2
 Mencatat perkara dalam buku register perkara.
 Memberi nomor register pekara pada gugatan/permohonan yang masuk.
 Meyerahkan salinan gugatan/permohonan, jadwal sidang, dan rangkap 2 SKUM,
serta memasukkannya dalam amplop kepada penggugat/pemohon.
d. Ketua Pengadilan Agama
 Menenetukan penetapan majlis hakim (PMH).
 Menetapkan hari sidang (PHS).
e. Panitera dan Wakil Panitera
 Menunjuk penitera sidang.
 Meyerahkan berkas perkara kepada majlis.
f. Majelis Hakim
 Menyidangkan perkara yang diajukan penggugat/pemohon.
 Memerintahkan kepada juru sita untuk memanggil para pihak.
 Berkoordinasi dengan meja 1, kasir, meja 2, dan meja 3 berkenaan dengan
administrasi perkara yang disidangkan.
 Memutus perkara yang ditangani.
g. Meja 3
 Menerima berkas perkara yang telah di putus oleh majlis hakim.
 Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak.
 Menyerahkan berkas perkara yang telah minutasi kepada Panitera Muda Hukum.

3. Tahapan Pemeriksaan dalam Perkara Perdata


Proses pemeriksaan perkara perdata di sidang pengadilan dilakukan dengan tahapan-
tahapn yang diatur dalam hukum acara perdata, dan hal ini dilakukan setelah hakim tidak
dapat mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa.

4. Kemungkinan yang Terjadi pada Sidang Pertama


a. Para pihak datang
 Hakim akan mendamaikan kedua belah pihak.
 Hakim akan meneruskan sidang dengan pembacaan gugatan.
13
 Tergugat dibolehkan untuk meminta penundaan sidang.
b. Para pihak tidak datang
 Apabila penggugat tidak hadir maka gugatannya digugurkan.
 Apabila tergugat tidak hadir.
 Satu kali tidak hadir, dipanggil sekali lagi.
 Dua kali tidak hadir, diputus verstek.

 Hukum Acara Peradilan Agama


Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku di Lingkungan Peradilan Agama adalah
hukum acara yang berlaku di lingkungan umum, kecuali hal-hal yang telah di atur secara
khusus dalam peraturan tersebut.

Hal-hal yang telah diatur khusus, antara lain :


1. Gugatan dalam perkara cerai talak dan cerai gugat diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon atau tergugat, kecuali apabila
termohon atau tergugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan
bersama tanpa izin pemohon atau penggugat, gugatan diajukan di tempat tinggal
penggugat (Pasal 73 & 66 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989).
2. Pemanggilan bagi tergugat ghaib (tidak jelas alamatnya di Indonesia) maka
pemanggilannya dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman
di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass
media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. Pengumuman dilakukan sebanyak 2 kali
dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang
waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3
bulan. Jika tergugat tidak hadir gugatan diputus dengan tanpa hadirnya tergugat
(verstek). (Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).
3. Pemeriksaan perkara perceraian (baik cerai gugat atau cerai talak) dilakukan secara
tertutup, sedangkan pembacaan putusan tetap dilakukan dalam sidang terbuka untuk
umum (Pasal 33 & 34 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989).Kecuali Pembacaan Putusan
4. Perdamaian wajib dilaksanakan oleh hakim dalam perkara perceraian pada setiap saat
sidang dilakukan sampai perkara diputus. Pada sidang pertama suami isteri harus dating
secara pribadi dalam sidang perdamaian tersebut, kecuali salah satu pihak berada di luar

14
negeri dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dilakukan untuk keperluan
tersebut (Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989).
5. Gugatan dalam bidang perceraian wajib menghadirkan keluarga atau orang dekat
masing-masing pihak untuk diminta keterangan dan sekaligus dijadikan saksi dalam
perkara tersebut. (Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Jo 76 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989).
6. Gugatan LI’AN terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina atau mengingkari anak
dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan
dan atau mengingkarin tersebut.

Tata caranya sebagai berikut :


1. Suami bersumpah empat kali dengan tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut,
diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan
atau pengingkaran tersebut dusta”.
2. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali
dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpai kelima
dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
benar”.
3. Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
4. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak
terjadi li’an.
5. Biaya perkara dalam sidang perkara perkawinan dibebankan kepada penggugat atau
pemohon, bukan pada pihak yang kalah.
6. Ikrar Talak.
7. Kumulasi Perkara

Qulu. Qulu istri mengajukan talak dengan membayar sejumlah uang (uang iwald) untuk
diberikan suami (sighot taklik talak) apabila dilanggar suami. Talak yang di ucapkan suami
atas tebusan istri. kalau qului dibayar kan kepada lembaga social Rp 10000 karena melanggar
sighot taklik talak.

15
BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Peradilan Agama merupakan proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam


kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama.

Kompetensi absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis


perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain. Hal ini
diatur oleh Undang-Undang atau peraturan yang mengaturnya. Kekuasaan pengadilan di
lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama
Islam.

Tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara


perdata bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
c. Wakaf dan sedekah.

Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan


Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah. Contoh Pengadilan
Agama Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi.

3.2. Saran

Akhir dari rangkaian penyusunan makalah ini akan disampaikan saran-saran bahwa
seorang praktisi hukum wajib menjalankan tugasnya harus sesuai dengan peraturan yang
telah ditetapkan dalam kode etik profesi hukum.

Apabila di dalam makalah ini terdapat kata-kata yang salah ataupun kurang tepat, kritik
dan saran dari pembaca yang bersifat membagun sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

https://fhukum.unpatti.ac.id/hukum-acara-peradilan-agama/

https://pa-sidoarjo.go.id/informasi-pengadilan/227-kompetensi-absolut-peradilan-agama-dan-
permasalahannya

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/
ab71daa2fa4f0861ce1b9ca4525aaf1a.pdf

https://pa-magetan.go.id/artikel/215-sumber-hukum-dan-kompetensi-absolut-dan-
kompetensi-relatif-di-pengadilan-agama

http://lbhpengayoman.unpar.ac.id/kewenangan-pengadilan-agama/

https://bahasan.id/mengenali-kewenangan-atau-kompetensi-pengadilan-dalam-menangani-
perkara/

https://www.pa-rumbia.go.id/berita-seputar-peradilan/260-hukum-acara-peradilan-
agama.html

17

Anda mungkin juga menyukai