Disusun oleh :
Zahira Rikiandraswida
22010117220054
Pembimbing :
dr. Tatuk Himawan
2018
HALAMAN PENGESAHAN
NIM : 22010116220214
Pembimbing
PENDAHULUAN
sadar menjadi tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian anestesi
dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri saat pembedahan. Secara garis besar
anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi lokal.
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible akibat
pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral.
Perbedaan dengan anestesi lokal adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan
penting dari suatu tindakan anestesi yang ideal dan berpengaruh terhadap rencana
pengelolaan anestesi. Penggunaan obat untuk induksi anestesi merupakan salah satu
terjadi vasodilatasi perifer. Efek anestesi ini bisa berlanjut menjadi komplikasi yang
hipotensi, disritmia, PONV (Post Operative Nausea and Vomiting) namun hal-hal
hidung dan sinus paranasalis. Rinosinusitis adalah istilah yang lebih tepat karena
sinusitis jarang tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan inflamasi mukosa
hidung. Inflamasi sering bermula akibat infeksi bakteri, virus, jamur, infeksi dari
gigi, serta dapat pula terjadi akibat tumor dan fraktur. FESS adalah singkatan dari
Functional Endoscopic Sinus Surgery yaitu bedah sinus yang dilakukan dengan
fungsi sinus itu sendiri. Operasi ini di masukan dalam kategori operasi minimal
invasif yaitu seminimal mungkin untuk merusak jaringan yang sehat, dan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi invasif minimal yang dilakukan pada
dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui
ostium alami. Tindakan ini hampir menggantikan semua jenis bedah sinus terdahulu
karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal
2.1.2 Indikasi
perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal, tetapi bedah ini juga efektif pada
penyakit yang lain seperti sinusitis akut berulang, seringkali disertai adanya
poliposis di daerah meatus media atau adanya polip yang sudah meluas ke rongga
hidung.
Indikasi lain BSEF termasuk mukokel sinus, sinusitis alergi yang
berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia. BSEF juga dilakukan
untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran cairan
koana), mengontrol epitaksis dan untuk mengeluarkan benda asing. Selain itu,
teknik dan penggunaan instrumen yang lebih canggih. Adakalanya, bedah ini juga
Secara umum, indikasi untuk BSEF dibahgikan kepada dua yaitu absolut
dan relatif. Absolut berarti operasi BSEF pasti dilakukan pada penderita manakala
relatif berarti bahwa ahli bedah dan penderita harus mempertimbangkan potensi
resiko dan keuntungannya, tetapi operasi BSEF dapat dianggap sebagai pilihan
Naso-endoskopi prabedah
Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung,
anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus media sempit karena
deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus media, dan lainnya.
Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan
kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.
Persiapan kondisi pasien.
Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika
ada inflamasi atau edema, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada
polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi
medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat
antikoagulansia juga harus diperhatikan. Sebelum dilakukan operasi, pasien
dapat diberi anaestesi umum ataupun lokal yaitu injeksi anestasi lokal yaitu
lidocaine 1% dan epinefrin dengan perbandingan 1:100 000. Ini dapat
menstabilkan tekanan darah pasien dan meminimalkan pendarahan ketika
operasi.
2.2 Anestesi Umum
Anestesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu “an”
dan “esthesia”, dan bersama-sama berarti “hilangnya rasa sakit atau hilangnya
sensasi”. Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai
kehilangan rasa secara patologis pada bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi
dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes (1809-1894) untuk proses
eterisasi Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri
sewaktu pembedahan.6
1. sedasi (tidur)
A. Melalui Inhalasi
Intramuskuler : ketamin
C. Melalui Rektal
1. Stadium 1 (analgesia)
Pernapasan menjadi dangkal, cepat, dan teratur, seperti pada keadaan tidur
(pernapasan perut)
Gerakan mata dan refleks mata hilang / gerakan bola mata tidak menurut
kehendak
Otot menjadi lemas, misal; kepala dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri
dengan bebas; lengan diangkat lalu dilepaskan akan jatuh bebas tanpa
ditahan
4. Stadium IV (paralisis medula oblongata)
• Open drop method: zat anestesi diteteskan pada kapas yang diletakkan di
depan hidung penderita sehingga kadar zat anestesi yang dihisap tidak
diketahui dan pemakaiannya boros karena zat anestesi menguap ke udara
terbuka.
• Semiopen drop method: cara ini hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestesi maka digunakan masker.
• Semiclosed method: udara yang dihisap diberikan bersamaan oksigen yang
dapat ditentukan kadarnya. Keuntungan cara ini adalah dalamnya anestesi
dapat diatur dengan memberikan zat anestesi dalam kadar tertentu dan
hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.
2. Anestesi Intravena. Beberapa obat digunakan secara intravena (baik sendiri atau
dikombinasikan dengan obat lain) untuk menimbulkan anestesi, atau sebagai
komponen anestesi berimbang (balanced anesthesia), atau untuk menenangkan
pasien di unit rawat darurat yang memerlukan bantuan napas buatan untuk
jangka panjang. Untuk anestesi intravena total biasanya menggunakan
propofol.6,7
Indikasi Anestesi Umum
a. Anestesi Inhalasi
Halothan
Halogenated hidrocarbon.
Bioransformasi : di hepar
Enfluran
Isofluran (Forane)
Desfluran
Dosis untuk bayi 1 tahun : KAM 10 %. usia 18-30 tahun : KAM 7,2 % usia
31- 65 tahun : 6%.
Bila digunakan bersama 60% N2O Usia 18- 30 tahun : KAM 4%, usia 31-
65 tahun : KAM 2,8 %.
Desfluran memerlukan vaporizer elektrik karena tekanan uap desfluran
sangat tinggi sehingga pada suhu kamar pada permukaan laut akan mendidih.
Kelarutannya yg tinggi dan potensinya yg hanya 1/5 dari agen lain
menimbulkan masalah unik.
1. Vaporizer yg dibutuhkan utk GA harus menghasilkan efek pendingin.
2. Karena penguapannya yg sgt luas, diperlukan aliran udara segar yg sgt
banyak untuk mencairkan gas pembawa pd konsentrasi yg relevan. Hal
tsb diatasi dgn vaporizer elektronik.
Efek Kardiovaskuler : peningkatan ringan pada Heart Rate, CVP. Dapat
diatasi dgn pemberian fentanyl, esmolol atau
clonidin. Desfluran tdk meningkatkanaliran darah
arteri koroner, tdk spt isofluran
Sevofluran
b. Anestesi gas
1. Potensi ringan
3. N2O
• gas tidak berwarna, tidak berbau, tidak berwarna lebih berat daripada
udara, dikombinasi dengan O2 , tdk meledak dan tdk mudah terbakar,
dapat mempercepat pembakaran spt oksigen.
potensi anestetik lemah, induksi cepat
efek analgesik baik (N2O 20%)
c. Anestesi Intravena
Barbiturat
Indikasi :
Rocuronium6,7,9
Golongan benzodiazepine
Midazolam6,7,9
Larut dalam air, tidak menimbulkan nyeri pada suntikan, sifatnya ansiolitik
sedative, antikonvulsif, dan antrogade amnesia.
Dosis :
Dosis untuk premedikasi dewasa : 0,07 – 0,1 mg/kgBB
Dosis untuk premedikasi 1-5 tahun : 0,3 mg/kgBB
Kemasan : dalam ampul
1. Ampul berisi 5 ml mengandung 5 mg midazolam
2. Ampul berisi 3 ml mengandung 15 mg midazolam
Mekanisme kerja obat
Absorbsinya cepat, metabolisme terjadi di dalam hepar, dalam microsomal
hati mengalami hidroxylasi mengalami αhidroksi midazolam dan 4 hidroksi
midazolam, keduanya cepat mengalami konjugasi. Eksresi melalui ginjal,
sebagian besar bentuk glucoronid kurang dari 1% bentuk asli.
Kontra indikasi : pada penyakit hepar dan ginjal.
Indikasi :
- sebagi obat untuk induksi
Propofol6,7,9
Merupakan cairan emulsi berwarna putih yang terdiri dari gliserol, phopatid
dari telur, sodium hidroksida, minyak kedelai dan air.
Sangat larut dalam lemak sehingga setelah disuntikan melalui intravena
dengan cepat mendistribusikan ke jaringan.
Dosis
Induksi : pasien dewasa usia < 55 tahun : 2-2,5 mg/kgBB
Maintenance : 4 -12 mg/kgBB
Kemasan :
Tersedia dalam ampul yang berisi 20 cc tiap cc mengandung 10 mg propofol.
Efek kardiovaskuler : terjadi penurunan tekanan darah dan perubahan
sedikit pada nadi. Obat ini memiliki vagolitik
sehingga dianjurkan untuk memberi antikolinergik
sebelum pemakaian propofol sehingga tidak terjadi
bradikardi.
Analgetik
Tramadol6,7,9
Fentanyl6,7,9
Fentanyl ini jauh lebih poten sekitar 80 – 100 kali dibandingkan dengan
morfin. Fentanyl yang diinjeksikan melalui intravena sering digunakan sebagai
anestesia dan analgesia. Selama anestesi berlangsung sering penggunaannya
digunakan bersamaan dengan propofol dan dapat juga sebagai salah satu
campuran yang digunakan dalam anestesi epidural maupun spinal.
Efek merugikan dari fentanyl ini yaitu dapat terjadi diare, mual, konstipasi,
mulut yang kering, bingung, kelemahan dan berkeringat, nyeri perut, sakit
kepala, cemas, dan halusinasi dapat terjadi. Fentanyl juga sering menyebabkan
depresi pernafasan daripada analgesik opioid yang lain.
- Onset : 5 menit
- Durasi : 30 – 40 menit
- Waktu paruh : 10 – 20 menit pada injeksi intravena
- Metabolisme : Hepar melalui CYP3A4
- Ekskresi : Ginjal (60% sebagai metabolit & <10 % tidak berubah)
Ketorolac6,7,9
Golongan antiserotonergenik
Ondansentron6,7,9
Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif dan dapat menekan
mual muntah.
Mekanisme kerja : mengantagonisasi resptor 5 –HT yang terdapat pada
chemoreceptor trigger zone di area postrema otak dan mungkin juga pada
aferen vagal saluran cerna. Ondansentron juga cepat mengosongkan lambung
.
Dosis : 0,1 – 0,2 mg /kg IV
Indikasi : untuk pencegahan mual muntah sebelum operasi
Kontraindikasi :
- Pasien alergi terhadap ondansentron
- Pasien dengan penyakit hepar.
- Pada ibu hamil dan menyusui.
d. Klasifikasi ASA
Klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiologist) merupakan
deskripsi yang mudah menunjukkan status fisik pasien yang berhubungan
dengan indikasi apakah tindakan bedah harus dilakukan segera/cito atau elektif.
Klasifikasi ini sangat berguna dan harus diaplikasikan pada pasien yang akan
dilakukan tindakan pembedahan, meskipun banyak faktor lain yang berpengaruh
terhadap hasil keluaran setelah tindakan pembedahan. Klasifikasi ASA dan
hubungannya dengan tingkat mortalitas tercantum pada tabel di bawah ini.10
Klasifikasi Angka
Deskripsi Pasien
ASA Kematian (%)
Kelas I Pasien normal dan sehat fisik dan mental 0,1
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan 0,2
dan tida ada keterbatasan fungsi
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik sedang 1,8
hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik berat 7,8
yang mengancam hidup dan menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas V Pasien yang tidak dapat hidup/ bertahan 9,4
dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi
Kelas E Bila operasi dilakukan darurat/ cito
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. E
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Semarang
Pekerjaan : Wiraswasta
Ruang : Rajawali 1B
Tanggal masuk : 20 Maret 2018
3.2 ANAMNESIS
D. Riwayat Pengobatan
-
COR
PULMO
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, retraksi dinding dada (+)
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
- Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
ABDOMEN
Hasil Nilai
Pemeriksaan Satuan
(01/09/2016) Rujukan
Hematologi Paket
Hemoglobin 15.2 g/dL 13.00-16.00
Hematokrit 42.9 % 40-54
Eritrosit 5.14 106/uL 4,4-5,9
MCH 29.6 pg 27.00-32.00
MCV 83.5 fL 76-96
MCHC 35.4 g/dL 29.00-36.00
Leukosit 7.4 103/uL 3.8-10.6
O: -
Ip Rx :
- Antibiotik
- Antiinflmasi topikal
- Analgetik
- Rujuk sejawat THT
Ip Mx :
Ip Ex :
- Keluarga di edukasi mengenai penyakit yang diderita oleh pasien
- Edukasi mengenai tindakan operasi yang akan dilakukan kepada
pasien, manfaatnya, prosedur, prognosis, dan komplikasi yang
mungkin terjadi
Penatalaksanaan
1. Premedikasi
- Obat : Midazolam 3 mg iv
- Oksigenasi : 6 L/menit selama 2 menit
2. Anestesi general secara intravena intermitten menggunakan :
- Propofol 1000 mg
- Rocuronium 30 mg
- Fentanil 100 mg
- Tramadol 100mg
Maintenance : Sevoflurane, O2 , N2O
Posisi pasien : Terlentang
Mulai anestesi : 20.30 WIB
Selesai anestesi : 23.00 WIB
Lama anestesi : 150 menit
3. Teknik Anestesi
- I.V : Intermiten
4. Terapi Cairan
BB : 48 kg
EBV : 65 cc/kgBB × 48 kg = 3120 cc
Jumlah perdarahan : 200 cc
Kebutuhan cairan :
PEMBAHASAN
Kasus ini menyajikan seorang pria 55 tahun dengan keluhan hidung tersumbat
bulan yang lalu. Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan
nyeri wajah sekitar hidung. Nyeri dirasakan seperti mencengkram, disertai pilek
dengan warna kekuningan kental, mata berarir, dan tidak bisa menerima bau. Pasien
composmentis dengan GCS 15. TD: 120/80 mmHg, MAP: 83 mmHg, HR:
80x/menit, RR: 20x/menit, SpO2: 95%. Pada pemeriksaan mata dan kepala
didapatkan hasil dalam batas normal. Pada pemeriksaan hidung didapatkan nyeri
tekan sekitar hidung (+), discharge (+/+), konkha hipertrofi (+/+), septum deviasi
Pada pemeriksaan fisik cor, pulmo, abdomen, dan ekstremitas atas bawah
konkha hipertrofi
Pada dokter THT dilakukan FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery) untuk
umum. Anestesi umum dipilih sebagai teknik anestesi yang dipakai pada kasus ini
karena merupakan teknik anestesi yang paling tepat pada tindakan operasi pasien
tersebut
saat akan dilakukan prosedur operasi. Selain itu juga memberikan efek amnesia
cairan pada waktu puasa, pembedahan, dan perdarahan. Proses pembedahan pada
kasus ini tergolong derajat operasi sedang. Jumlah cairan yang diberikan pada
s a a t operasi yang berlangsung selama kurang lebih 150 menit sebesar 2320 cc
dengan jumlah perdarahan 200 cc (6,41% dari EBV). Terapi cairan yang
Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik, pasien
tanda vital yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan saturasi oksigen.
Kemudian dilakukan penilaian Bromage score yaitu salah satu indikator respon
motorik pasca anestesi. Jika skor kurang dari sama dengan 2 pasien boleh keluar dari
2003, p 300-305
Howley JE, Roth PA: Anesthetia Delivery Systems dalam Stoelting RK,
Miller RD : basic of anesthesia, 5th ed. Philadelphia, Churchill Livingstone , 2007,
p 185-206