ASPERGER
Oleh :
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
Ilustrasi Kasus
"Marc" adalah seorang pria berusia 15 tahun yang datang bersama orang
tuanya untuk dievaluasi karena gejala kecemasan dan suasana hati yang depresi.
Marc merespons secara verbal ketika disambut di ruang tunggu tetapi menghindari
kontak mata. Ia memiliki IQ di atas rata-rata, dengan kemampuan verbal dan
nonverbal yang jauh lebih tinggi. Kesulitan akademik di sekolah dasar
menyebabkan Marc didiagnosis ketidakmampuan belajar nonverbal pada usia 8
tahun. Marc terus berjuang secara akademis, akan tetapi semakin tertinggal di
sekolah. Dia memiliki minat yang kuat pada Titanic dan baseball yang melibatkan
pembacaan fakta, tanggal, dan angka. Dia akan berbicara panjang lebar tentang
topik-topik ini, sering menggunakan bahasa yang lebih formal dari yang diharapkan
untuk usianya, tetapi dia tidak dapat mempertahankan percakapan tentang topik lain.
Meskipun Marc lebih suka berinteraksi dengan orang dewasa, ia menggambarkan
dirinya memiliki teman; kemudian orang tuanya mengungkapkan bahwa dia tidak
berinteraksi dengan teman sebaya di luar sekolah, dan ketika ditanya, Marc tidak
dapat menggambarkan apa artinya menjadi teman. Orang tua Marc sangat prihatin
dengan kesenjangan yang semakin lebar antara perkembangan sosial Marc dan
perkembangan teman-temannya. Riwayat Marc termasuk masalah perinatal, dan
riwayat keluarganya termasuk gangguan spektrum autisme.
I. Pendahuluan
Asperger’s Syndrome atau Gangguan Asperger (GA) merupakan subtipe
dari gangguan spektrum autism dimana terjadi gangguan perkembangan dalam
hubungan sosial, komunikasi verbal dan nonverbal, pola perilaku, minat, dan
aktivitas yang terbatas dan berulang-ulang. Pertama kali gangguan ini dikemukakan
oleh Hans Asperger dari Austria pada tahun 1944, akan tetapi baru pada tahun 1994
American Psychological Association mengklasifikasian GA menjadi pervasive
developmental disorder.1
II. Definisi
III. Epidemiologi
Prevalensi dari sindrom asperger sangat bervariasi. Pada beberapa studi dari US
dan Canada, prevalensi bervariasi dari 1 kasus dari 250 anak sampai 1 kasus dari
10.000 anak. Studi lain menunjukkan prevalensi sindrom asperger berkisar dari
3/1000 anak hingga 2,5/10.000 anak sampai 1/100.000 anak.
Sebuah studi populasi di Swedia memperkirakan prevalensi dari sindrome
asperger sebanyak 1 kasus pada 300 anak. Perkiraan ini sangat meyakinkan karena
rekam medis komplit tersedia untuk semua warga negara dan populasinya
homogen.4
Sindrome asperger tidak memiliki predileksi ras. Estimasi rasio laki – laki
berbanding perempuan adalah 4-9:1. Sindrom ini umumnya terdiagnosis pada masa
awal sekolah > 3 tahun dan lebih jarang pada masa kanak awal atau pada masa
dewasa. Di Indonesia,belum ada data pasti.5,6,7
IV. Etiologi
Etiologi sindrom asperger diduga multifaktorial.
a) Kelainan struktur otak
Anak dengan sindrom asperger memiliki lebih sedikit substansia grisea di dan
thalamus, sedikit frontal-corpus-callosalwhite-matter di hemisfer dekstra
dengan banyak substansia alba di lobus parietal. Ditemukan pula gangguan
hubungan antara amigdala dengan struktur otak lain. Dibandingkan kontrol,
anak dengan sindrom asperger memiliki volume substansia alba lebih besar di
sekitar lobus parietal inferior hemisfer sinistra, tetapi kekurangan substansi alba
terutama di sisi kanan. Anak dengan sindrom asperger memiliki sulkus terdalam
di antara kontrol, yaitu di sulkus intraparietal kiri.8,9
b) Problem obstetrik
Penyebab dari sindrom asperger tidak diketahui. Beberapa individu dengan
sindrom asperger memiliki riwayat problem obstetrik pada masa prenatal,
persalinan, dan neonatal, namun hubungan antara komplikasi obstetrik dan
sindrom asperger masih belum jelas.
Adanya kelainan pada masa prenatal, perinatal, dan postnatal meningkatkan
terjadinya kemungkinan sindrom asperger. Pada sebuah studi di Swedia,
kejadian selama masa perinatal didokumentasikan pada 2/3 dari 100 laki – laki
dengan sindrom asperger, dan ditemukan para ibu mengalami peningkatan
kejadian infeksi, perdarahan vagina, preeklamsia, dan kejadian – kejadian
obstetrik lain.10
c) Faktor genetik
Pola sindrom asperger banyak dijumpai pada beberapa anggota keluarga
sekaligus. Studi dari keluarga dengan anggota keluarga multipel memenuhi
kriteria sindroma asperger menunjukkan adanya kontribusi genetik pada
perkembangan penyakit ini. Beberapa regio kromosom berhubungan secara
spesifik dengan sindrom asperger mencakup 5q21.1, 3p14.2, 3q25, and
3p23. Duplikasi maternal pada locus 15q11-13 dan delesi atau duplikasi pada
locus 16p11 telah diamati pada 1% - 3% pasien dengan ASD.11
Studi lain dengan analisis struktural-fungsional gen di dua 17p breakpoints
t(13;17) dan t(17;19) mengungkap candidate sequences fenotip sindrome asperger.
Fenotip sindrom asperger hasil dari efek posisional dari breakpoints kromosom 17;
berdasarkan karakterisasi molekuler dua chromosome breakpoints, berhasil
teridentifikasi daerah baru yang rentan sindrome asperger, yaitu 17p13. Secara
umum lebih dari 15% dari semua penyakit ASD dapat dijelaskan oleh penyebab
genetik.12
V. Patofisiologi
Meskipun kelainan bicara yang signifikan tidak khas pada individu dengan AS,
ada setidaknya tiga aspek dari pola komunikasi individu ini yang menarik secara
klinis.25 Pertama, ucapan dapat ditandai dengan sajak yang buruk, meskipun infleksi
dan intonasi mungkin tidak sekaku dan monoton seperti pada autisme. Mereka
sering menunjukkan serangkaian pola intonasi terbatas yang digunakan dengan
sedikit memperhatikan fungsi komunikatif ucapan (misalnya, pernyataan fakta,
komentar lucu). Laju bicara mungkin tidak biasa (mis., Terlalu cepat) atau mungkin
kurang lancar (mis., ucapan tersentak-sentak), dan sering ada modulasi volume
yang buruk (mis., Suara terlalu keras meskipun kedekatan fisik dengan mitra
percakapan). Gambaran yang terakhir mungkin sangat terlihat dalam konteks
kurangnya penyesuaian dengan pengaturan sosial yang diberikan (mis., Di
perpustakaan, di tengah kerumunan yang bising). Kedua, pembicaraan sering kali
bersifat tangensial dan tidak langsung, menyampaikan secara lambat, dan tidak
koheren. Meskipun dalam sejumlah kecil kasus, gejala ini dapat menjadi indikator
kemungkinan gangguan pikiran, kurangnya kemungkinan dalam berbicara adalah
akibat gaya bicara sepihak dan egosentris (mis., Monolog yang tak henti-hentinya
tentang nama, kode, dan atribut stasiun TV yang tak terhitung banyaknya di negara
ini), kegagalan untuk memberikan latar belakang untuk komentar dan untuk
membatasi perubahan topik, dan kegagalan untuk menekan output vokal yang
menyertai pemikiran internal. Ketiga, gaya komunikasi individu dengan AS sering
ditandai dengan kata kerja yang nyata. Anak atau orang dewasa dapat berbicara
tanpa henti, biasanya tentang subjek favorit, sering dengan mengabaikan apakah
pendengar mungkin tertarik, terlibat, atau mencoba untuk menyela komentar, atau
mengubah topik pembicaraan. Meskipun monolog bertele-tele seperti itu, individu
mungkin tidak pernah sampai pada titik atau kesimpulan. Upaya oleh lawan bicara
untuk menguraikan masalah konten atau logika, atau untuk mengalihkan pertukaran
ke topik terkait, sering kali tidak berhasil.
multipel seperti tatapan mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak-
1. Preokupasi dengan satu atau lebih pola minat yang stereotipik, dan
C. Gangguan ini menyebabkan gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi
perilaku adaptif yang sesuai dengan usia (selain dalam interaksi sosial), dan
VII. Penatalaksanaan
Terapi Medikamentosa
Terapi psikofarmaka diberikan sesuai dengan indikasi, misalnya golongan
antipsikotik dapat mengurangi repetitive and self-injurious behaviours,
aggressive outbursts and impulsivity, dan memperbaiki stereotypical
patterns of behavior and social relatedness. Golongan SSRI cukup efektif
untuk mengatasi restricted and repetitive interests and behaviours.
Terapi Non Medikamentosa
Fokus utama penatalaksanaan Asperger syndrome adalah meningkatkan
kompetensi sosialnya. Keterampilan sosial bertujuan untuk mengajarkan
anak dengan keterampilan dalam berinteraksi dengan anak-anak
sebayanya. Penderita AS mempunyai kecenderungan menggantungkan
diri pada aturan yang kaku dan rutinitas. Keadaan ini dapat digunakan
untuk mengembangkan kebiasaan yang positif dan meningkatkan
kualitas hidup. Penderita AS diajarkan teknik coping dari perilakku
orang-orang di sekelilingnya, dengan mencontoh perilaku orang individu
juga strategi menyelesaikan masalah diajarkan untuk menangani keadaan
yang sering terjadi, situasi sulit seperti terlibat dengan hal baru,
kebutuhan sosial dan frustasi. Di samping itu, juga dilatih untuk
mengenal situasi sulit dan memilih strategi yang pernah dipelajari untuk
situasi baru.
Selain itu, bisa juga dilakukan cognitive behavioral therapy (CBT)
yang bertujuan untuk membantu anak dalam memanage emosinya
sehinggga anak dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya, terapi ini juga
berguna untuk mengendalikan perilaku mengulang dan rutinitas. Terapi
ini dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Dilakukan juga
terapi komunikasi dan Bahasa meliputi perilaku nonverbal, mengenal
dan membaca perilaku nonverbal pada orang lain, kesiagaan diri, dan
interpretasi komunikasi.
VIII. Prognosis
DAFTAR PUSTAKA