Anda di halaman 1dari 40

Presentasi Kasus

ANESTESI UMUM PADA ESOFAGOGRAFI ATAS INDIKASI


DISFAGIA ec SUSPEK MASA ESOFAGUS

Oleh:
Shinta Andi Sarasati
G99141026

PEMBIMBING:
Ardhana Tri Arianto, dr., M.Si, Med, Sp.An.

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Esofagoskopi merupakan suatu tindakan pemeriksaan esofagus dengan


menggunakan alat esofagoskop. Esogoskopi diperlukan untuk membuktikan
diagnosis dari berbagai penyakit esofagus, terutama pada pasien dengan penyakit
saluran cerna yang etiologi dan proses patologinya tidak diketahui dengan jelas.
Tujuan dari tindakan ini ialah untuk melihat secara langsung isi lumen esofagus,
keadaan dinding atau mukosa esofagus serta bentuk lumen esofagus.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan esofagoskopi yaitu: (1)
dinding esofagus tipis dan licin sehingga mudah terjadi perforasi, (2) daerah
anterior esofagus berbatasan dengan trakea, dinding ini disebut trachea-esofageal
party wall , (3) Panjang rata-rata esofagus dari gigi incisivus tergantung usia, (4)
Terdapat beberapa penyempitan di daerah esofagus. Penyempitan pertama terletak
pada bagian proksimal disebabkan oleh otot krikofaring (sphincter atas
esophagus /upper esophageal sphincter) dan kartilago krikoid memiliki diameter
transversal 23 mm dan anteroposterior 17 mm. Pada penyempitan kedua setinggi
arkus aorta yang menyilang ke esofagus, diameter transversal esofagus 23 mm
dan anteroposteriornya 19 mm. Penyempitan ketiga yaitu pada daerah dinding
anterior kiri akibat penekanan bronkus kiri dengan diameter transversal 23 mm
dan anteroposterior 17 mm. Penyempitan keempat pada waktu esofagus
menembus diaphragma.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis
hipotalamus pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk
menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.

Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi


terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap
penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan
pasca anestesi.

2
Prosedur tindakan esofagoskopi ini dapat dilakukan dengan analgesia
topikal, analgesia neurolep atau dalam narkosis, tergantung pada keadaan pasien
atau alat yang akan digunakan. Agar pemeriksaan esofagoskopi ini dapat
berlangsung dengan baik dan untuk menghindari komplikasi yang mungkin
timbul, perlu diperhatikan persiapan yang optimal, baik dari segi pasien, operator,
alat dan ruangan pemeriksaan.

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara
sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau
reversible. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah
yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi
eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak
menyenangkan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka
1. Pilhan cara anestesi
a. Umur
1) Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
2) Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipermudahkan dilakukan dengan anestesi local atau umum
b. Status fisik
1) Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui
apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat
mengetahui apakah ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.
2) Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
3) Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan
jiwa sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
4) Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering
timbul gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan
induksi anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau
anestesi umum endotrakeal.

4
c. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi
memerlukan anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi
selama pembedahan. Demikian juga pembedahan yang berlangsung
lama.
d. Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik
hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
e. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
f. Keinginan pasien
g. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak
eksplosif adalah pilah utama pada pembedahan dengan alat
elektrokauter.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum:
a. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke
dalam paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu
tekanan parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi
melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat
disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama
dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang
mempengaruhi hal tersebut adalah:
1) Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin
tinggi konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat
anestesika dalam alveolus.
2) Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin
cepat meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan
sebaliknya pada hipoventilasi.

5
b. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Factor-faktor yang
mempengaruhi:
1) Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam
alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat
anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui
vena.
2) Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat
anestesika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah
keduanya dalam keadaan seimbang.
3) Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin
banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat
anestesika yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus
turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.
c. Faktor jaringan
1) Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2) Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar
zat anestesika, kecuali halotan.
3) Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung
hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan
cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah
jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon.

6
d. Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang
berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya
MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar
minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)
terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi
potensi zat anestesika tersebut.
3. Tahapan Tindakan Anestesi Umum
a. Penilaian dan persiapan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Tujuan dari kunjungan
tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.
1) Penilaian pra bedah
a) Anamnesis
(1) Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll.
(2) Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
(3) Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus,
penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia,
bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit
ginjal.
(4) Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi
obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat
menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti
kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,
antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.
(5) Riwayat anestesi dan operasi yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan
intensif paska bedah.

7
(6) Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi
tindakan anestesi seperti merokok, alkohol, obat
penenang, narkotik, dan muntah.
(7) Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti
hipertensi maligna.
(8) Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan
umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal,
gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
(9) Makanan yang terakhir dimakan.
b) Pemeriksaan fisik
(1) Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama
dan sesudah pembedahan.
(2) Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi
pernafasan, serta suhu tubuh.
(3) Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk
mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya
gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan
mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan
atau tidaknya dalam melakukan intubasi.
Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharyngeal
Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior
Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
Mallampati IV: palatum durum saja
(4) Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.

8
(5) Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan
mengi.
(6) Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites,
hernia, atau tanda regurgitasi.
(7) Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal,
sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di
tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf
regional.
c) Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat
sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah
kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan)
dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
d) Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu
untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar,
sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.
e) Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai
kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The
American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi
fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampak
samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak
samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang.

9
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari
24 jam.
f) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam
jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa)
selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil
4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi anestesia. Minuman
bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan
minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.
2) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum
induksi anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
a) Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b) Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c) Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d) Memberikan analgesia, misal pethidin
e) Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid

10
f) Memperlancar induksi, misal : pethidin
g) Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h) Menekan reflek yang tidak diinginkan, misal: sulfas atropin.
i) Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas
atropin
Pemberian obat premedikasi secara subkutan tidak akan
efektif dalam 1 jam, secara intramuscular minimum harus
ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu
tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan
secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan.
Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat
menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal
ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan
diencerkan. Obat-obat yang sering digunakan:
a) Analgesik narkotik
(1) Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
(2) Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
(3) Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB
b) Analgesik non narkotik
(1) Ponstan
(2) Tramol
(3) Toradon
c) Hipnotik
(1) Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
(2) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
d) Sedatif
(1) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10 mg) 0.1
mg/kgBB
(2) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg)
0.1mg/kgBB

11
(3) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg) 2.5
mg/kgBB
(4) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg) 0.1
mg/kgBB
e) Anti emetic
(1) Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25
mg),dosis 0,001 mg/kgBB
(2) Narfoz, rantin, primperan.
3) Peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari
kelengkapan peralatan anestesi yang baik. Baik tidak berarti
harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai
dengan tujuan kita memberi anesthesia yang lancar dan aman.
a) Mesin anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan
gas atau campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian
sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan
membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin
anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari yang sangat
sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang
aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan
berikut:
(1) Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
(2) Ruang rugi (dead space) minimal
(3) Mengeluarkan CO2 dengan efisien
(4) Bertekanan rendah
(5) Kelembaban terjaga dengan baik
(6) Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:
(1) Sumber O2, N2O, dan udara tekan.
Dapat tersedia secara individual menjadi satu
kesatuan mesin anestetik atau dari sentral melalui pipa-

12
pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan O2,
N2O, dan udara tekan secara sentral untuk disalurkan ke
kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan, ruang
obstetric, dll.
(2) Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok.
Kalau tekanan gas O2 berkurang, maka akan ada bunyi
tanda bahaya (alarm)
(3) Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok
yang masih tinggi, sesuai karakteristik mesin anestesi.
(4) Meter aliran gas (flowmeter)
Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
(5) Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.
(6) Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
Kendali O2 darurat (oxygen flush control).
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan
O2 murni sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter
aliran gas.
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap
diberi warna khusus untuk menghindari kecelakaan yang
mungkin timbul. Kode warna internasionalnya ialah:
O2 N2 Udara CO2 Halota Enflura Isoflura Desflura Sevoflura
O n n n n n
Puti Biru Putih- Abu Merah Jingga Ungu Biru kuning
h hitam -abu
kunin
g

b) Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem
anestesi ialah alat yang bukan saja menghantarkan gas atau
uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas

13
pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan
mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan
menghisapnya dengan kapur soda. Sirkuit anestesi umumnya
terdiri dari:
(1) Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
(2) Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory
loaded spring valve, pop-off valve, APL, adjustable
pressure limiting valve)
(3) Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir
tube)
(4) Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent
anti static, anti tertekuk
(5) Kantong cadang (reservoir bag)
(6) Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh
gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya
tekanan gas yang mendadak tinggi, katup membatasi
tekanan sampai 50 cm H2O
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah
sirkuit lingkar (circle system), sirkuit Magill, sirkuit Bain,
dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.
b. Tatalaksana Jalan Nafas
1) Manuver tripel jalan napas terdiri dari:
a) Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
b) Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus
mandibula
c) Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan
napas bebas, sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea
lewat hidung atau mulut.
2) Jalan napas faring

14
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang
jalan napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway)
atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).
3) Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau
system anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat
sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas
spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk
semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
4) Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari
pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang
pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa
trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau
lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
a) Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
b) Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas
standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya
berhubungan dengan esophagus.
5) Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea
dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui
hidung (nasotracheal tube).
6) Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru.
Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat
laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa
trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop:

15
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-
dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke
dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Kelainan
anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya
saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan intubasi terjadi pada leher pendek berotot,
mandibula menonjol, maksila/gigi depan menonjol, uvula tak
terlihat, gerak sendi temporo-mandibular terbatas, dan gerak
vertebra servikal terbatas
Komplikasi intubasi yang terjadi selama intubasi antara lain,
trauma gigi geligi, laserasi bibir, gusi, laring, merangsang saraf
simpatis, intubasi bronkus, intubasi esophagus, aspirasi, spasme
bronkus. Setelah intubasi dapat terjadi komplikasi antara lain
spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glottis-subglotis,
infeksi laring, faring, trakea,
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika
intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan, pasca ekstubasi
ada risiko aspirasi. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada
anestesi sudah ringan dengan catatan tak akan terjadi spasme
laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring
dari sekret dan cairan lainnya.
c. Induksi Anastesi

16
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi
anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia
sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun
(blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukup terang.
T : Tube  Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon
(cuffed).
A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway)
atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway).
Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
1) Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah

17
harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien
yang kooperatif.
Obat-obat induksi intravena:
a) Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah
otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat
anti-analgesi.
b) Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi
untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun
dan pada wanita hamil.
c) Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin
0,01 mg/kg.

18
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.
ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml =
10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
d) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil
dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
2) Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
3) Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus
disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya
kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik
lain seperti halotan.
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks
baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan

19
menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula
darah.
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang
menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik disbanding halotan.
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang
jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi
anestesi.
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental
atau midazolam.
5) Induksi mencuri

20
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi
inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka
pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien
tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.
6) Pelumpuh otot nondepolarisasi  Tracurium 20 mg (Antracurium)
a) Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkna depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
b) Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB,
durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.
c) Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
(1) Cegukan (hiccup)
(2) Dinding perut kaku
(3) Ada tahanan pada inflasi paru
d. Rumatan Anestesi (Maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama
dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien
tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan
O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau
enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4%

21
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau
dikendalikan.
e. Pemberian Oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat–obat narkotik,
anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor–faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
1) Turunnya kemampuan paru – paru untuk menyimpan O2
2) Naiknya konsumsi oksigen
3) Airway closure
4) Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena :
1) Memperbaiki keadaan asam–basa bayi yang dilahirkan
2) Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
3) Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan
f. Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu
jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan kaena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada
ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka
bakar dan lain – lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam
24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi dehidrasi
ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap

kenaikan suhu 1o Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 –


15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
a. Ringan = 4 ml / kgBB / jam

22
b. Sedang = 6 ml / kgBB / jam
c. Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana
perdarahan kurang dari 10% EBV maka cukup digantikan
dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang
hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran
dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan
defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari –
hari pasien.
g. Pemulihan
Paska anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau
recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau
anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien paska operasi atau anestesi dapat
terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah
anestesi dan pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.
Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage skor ≤ 2 boleh pindah ke ruang perawatan

23
24
B. ESOFAGOSKOPI
Esophagoskopi adalah prosedur di mana mengunakan sebuah tabung
esofagoskop dimasukkan melalui mulut, atau lebih jarang, melalui hidung, dan
masuk ke kerongkongan atau esofagus. Alat esofagoskop menggunakan
perangkat charge-coupled untuk menampilkan gambar diperbesar pada layar
video
1. INDIKASI DIAGNOSTIK
Esofagoskopi diindikasikan untuk mengetahui penyebab sebenarnya
berdasarkan gambaran radiografik yang abnormal.

Indikasi diagnostik dilakukannya esofagoskopi antara lain:


a. Menyelediki penyebab terjadinya disfagia atau odinofagi ketika gambaran
dari barium yang tertelan tidak menunjukkan kelainan.
b. Pemeriksaan pada faring dan sfingter atas esofagus dilakukan bila
dipikirkan adanya kemungkinan neoplasma, ulserasi, cedera, divertikulum,
dan kelainan radiologis yang tidak dapat dijelaskan
c. Pemeriksaan pada esofagus torakal dilakukan apabila terdapat
kemungkinan adanya striktur akibat inflamasi, ulserasi mukosa, tumor
benign dan maligna, kelainan perkembangan, benda asing, infeksi, retensi
makanan, kelainan radiologis dan disfagia yang tidak dapat dijelaskan
d. Pemeriksaan pada esofagus bagian distal dilakukan untuk membuktikan
adanya refluks atau esofagitis, striktur benigna atau maligna, divertikulum,
varises.
2. INDIKASI TERAPI
Indikasi esofagoskopi sebagai salah satu alat terapi adalah sebagai berikut:
a. Pengambilan benda asing
b. Dilatasi akibat striktur benigna atau maligna
c. Injeksi dengan menggunakan larutan sklerosing pada varises esofagus
d. Pemasangan pipa pada karsinoma esofagus.
e. Penggunaan obat-obatan atau agen fisik untuk lesi tertentu (laser atau
krikoterapi).

25
3. KONTRAINDIKASI ESOFAGOSKOPI3
a. Perforasi esofagus
b. Varises esofagus
c. Sindroma Mallory-Weiss
d. Ankilosis atau trauma servikal
Ankilosis merupakan kontraindikasi pada penggunaan
esofagoskop kaku tetapi bukan merupakan kontraindikasi pada
penggunaan esofagoskop lentur.
e. Trismus
f. Aneurisma aorta
g. Kantong faring
4. INSTRUMEN UNTUK ESOFAGOSKOPI
Terdapat dua kategori alat esofagoskopi yaitu esofagoskop kaku
atau esofagoskop serat optic (lentur). Kebanyakan pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan esofagoskop lentur, karena penggunaan alat ini
mengurangi rasa tidak nyaman, memberikan gambaran yang lebih baik,
dan bisa memeriksa sampai ke pylorus dan duodenum.
Esofagoskop lentur memiliki panjang yang bervariasi mulai dari
100-110 cm dan diameter mulai dari 7,8 sampai 12 mm. Masing-masing
alat tersebut juga dilengkapi dengan suction, air insufflation, dan forsep
biopsi.
Esofagoskop kaku memiliki dua ukuran. Ukuran 50 cm untuk
memeriksa esofagus torakal dan sfingter bagian bawah, dan ukuran 20-30
cm untuk memeriksa faring dan esofagus servikal.
5. KEUNTUNGAN PENGGUNAAN ESOFAGOSKOP KAKU
a. Pemeriksaan faring bagian bawah, sfingter bagian atas dan esofagus
servikal dapat dilakukan dibawah control dan penglihatan yang lebih
baik
b. Tekanan atmosfir yang menetap selama pemeriksaan memungkinkan
untuk melihat fungsi sfingter bawah secara lebih akurat.
c. Lebih mungkin untuk mendapatkan specimen biopsi yang lebih besar,
dalam dan lebih informatif.

26
d. Memungkinkan untuk melihat gambaran dilatasi striktur esofagus
dengan lebih baik
e. Pengambilan benda asing lebih mudah dilakukan karena ukuran forsep
yang lebih besar.
f. Penggunaan protesa endoluminal pada striktur malignansi dan pipa
esofagus lebih mudah dilakukan.
g. Injeksi larutan skrelosing pada varises esofagus yang aktif berdarah
dapat dilakukan dengan bantuan suction yang membuat lingkungan
sekitar perdarahan tetap bersih.
h. Instrumen yang digunakan relatif lebih murah, mudah dijaga dan
disterilisasikan.
6. KEUNTUNGAN PENGGUNAAN ESOFAGOSKOP LENTUR
a. Penggunaan esofagoskop lentur dilakukan pada kebanyakan kasus
dimana tidak terdapat faktor-faktor pertimbangan diatas.
b. Memungkinkan pemeriksaan pylorus dan duodenum
c. Pemeriksaan yang lebih akurat terhadap lesi di mukosa
d. Pengambilan gambaran secara endoskopik dapat dilakukan secara
rutin sebagai tambahan informasi pada catatan medis perjalanan
penyakit.
e. Memungkinkan para mahasiswa untuk belajar dengan lebih baik
karena tersedianya fasilitas eyepiece yang dapat disambungkan ke
video.
f. Prosedur hampir selalu dapat dilakukan tanpa anestesi umum.

7. PERSIAPAN ESOFAGOSKOPI
Persiapan esofagoskopi meliputi persiapan operator dan persiapan
pasien. Persiapan operator meliputi pengetahuan operator tentang indikasi,
metoda dan jenis anestesi yang akan dilakukan dan anatomi serta
gambaran radioopak pada esofagus pada bagian servikal harus dilakukan
sebelum dilakukannya esofagoskop. Esofagoskop yang dilakukan tanpa
adanya gambaran mengenai obstruksi meningkatkan kemungkinan
terjadinya perforasi.

27
Pasien dipuasakan 4-6 jam sebelum esofagoskopi dilakukan. Khusus untuk
pasien dengan riwayat sumbatan esofagus seperti akalasia, maka 5 hari
sebelum tindakan, pasien hanya diberikan makanan cair.
Pemeriksaan darah dan urin terutama untuk hal-hal yang berhubungan
dengan faktor pembekuan dan perdarahan. Pemeriksaan fisik ditujukan
khusus untuk jantung, paru, dan ginjal

8. ANESTESI UNTUK ESOFAGOSKOPI


a. Anestesi topical
Orofaring disemprot dengan Benzocain 20% atau cetacain 20%.
Pasien diminta untuk berkumur-kumur dengan menggunakan 10 ml
lidokain 2%. Apabila efek anestesi yang dihasilkan tidak adekuat, pasien
dapat menelan beberapa SIP lidokain. Tehnik ini biasanya cukup adekuat
untuk endoskopi lentur. Bila pasien merasa gelisah, maka dapat
ditambahkan dengan 5 mg diazepam dan 50 mg meperidine IV.
b. Anestesi Lokal

Pemakaian esofagoskopi kaku dengan anestesi lokal, dapat dengan


menggunakan 1 ml lidokain 1% yang disuntikkan ke dinding orofaring
lateral pada titik dibelakang pertengahan pillar tonsil posterior. Bungkus
carotid terbentang di dekat daerah tersebut, sehingga perlu dilakukan
aspirasi sebelum dilakukan injeksi.
c. Anestesi Umum
Indikasi penggunaan anestesi umum adalah:
1) Untuk bayi dan anak-anak atau untuk orang dewasa yang gelisah dan
tidak kooperatif setelah pemberian premedikasi dan sedasi.
2) Penggunaan esofagus kaku pada keadaan striktur esofagus.

9. TEHNIK MELAKUKAN ESOFAGOSKOPI3


Posisi pasien pada esofagoskop kaku sama dengan posisi pada saat
dilakukan bronkoskop dengan bronkoskop kaku. Pasien terlentang dengan
leher fleksi ke arah dada dan kepala ekstensi terhadap leher. Verteks
pasien kira-kira terletak 15 cm dari bagian teratas meja, sehingga

28
esofagoskop memasuki daerah esofagus servikal dan 2 cm dari bagian
teratas meja sehingga esofagoskop dapat melewati daerah esofagus
abdominal. Posisi ini menyebabkan kepala tidak terletak di atas meja,
tetapi harus dipegang oleh seorang asisten dan seorang asisten lagi
memegang bagian bawah bahu.
Ujung dan badan esofagus dilumasi dengan minyak mineral steril
sebelum digunakan. Bibir atas diangkat dengan jari ketiga dan keempat
tangan kiri operator (operator tidak kidal). Esofagoskop ditahan dengan
jari telunjuk dan telunjuk tangan kiri. Ujung proksimal esofagoskop
dipegang seperti memegang pensil dengan jari-jari tangan kanan.
Digunakan mata kanan untuk melihat ke dalam esofagoskop.
Jika esofagoskop telah masuk sampai pada batas hipofaring dan
esofagus, dapat dilakukan tekanan ringan ke sisi posterior dari bagian
cincin kartilago krikoid, dengan menggunakan ibu jari tangan kiri melalui
ujung esofagoskop. Pada waktu melihat introitus esofagus pada posisi ini,
otot krikofaring tampak membuka dan menutup secara periodic pada
pasien dengan anestesi lokal. Pada saat otot krikofaring relaksasi, lumen
esofagus dapat terlihat. Esofagoskop didorong masuk perlahan-lahan
hanya pada saat otot krikofaring relaksasi, dan tidak boleh dipaksakan
pada saat otot krikofaring sedang kontraksi. Esofagoskop tidak boleh
diteruskan bila tidak terlihat lumen dengan jelas. Daerah ini paling sering
terjadi perforasi.
Pada saat esofagus servikal dilalui dan masuk ke bagian atas
esofagus torakal, esofagoskop dipertahankan pada posisi hampir vertikal.
Jika esofagoskop dimajukan lagi, akan mengenai dinding posterior dari
esofagus. Kepala diturunkan sedikit demi sedikit, sehingga esofagoskop
dapat dimasukkan ke bagian tengah esofagus torakal. Pada saat ini kepala,
leher dan dada berada pada satu bidang yang sama pada meja operasi.
Pada sepertiga bawah esofagus, esofagoskop mulai mengenai
dinding posterior esofagus lagi, dan kepala harus diturunkan sehingga
esofagoskop dapat dimasukkan. Kepala perlu diturunkankan karena
jalannya esofagus agak ke anterior pada 1/3 bawah. Pada posisi ini kepala

29
reltif lebih randah daripada toraks dan kepala perlu digeser ke kanan,
karena esofagus membelok ke kiri pada 1/3 bawah. Jalannya esofagus
sampai melalui diaphragma dan pertemuan esofagos-gaster harus dilalui
dengan perlahan-lahan dan hanya diteruskan bila terlihat lumen di muka
esofagoskop.
Lumen esofagus tampak sebagai celah atau roset pada saat
menembus diaphragma. Pada beberapa pasien terutama bila terdapat
dilatasi esofagus thorakal mungkin tedapat kesukaran menemukan hiatus
esofagus. Biasanya tampak sebagai celah oblik antara pukul 10 ke pukul 4.
Dalam keadaan normal, bila hiatus ditemukan, esofagus abdominal dan
kardia akan mudah dilalui.

10. KOMPLIKASI ESOFAGOSKOPI


Komplikasi pada esofagoskopi terdiri dari komplikasi pada saat
esofagus dan komplikasi setelah esofagoskopi. Komplikasi pada saat
esofagoskopi yang mungkin terjadi adalah dispnu. Dispneu pada anak
terjadi karena penggunaan tube yang terlalu besar yang akan menekan
lumen trakea pada daerah party wall
Komplikasi setelah esofagoskopi yang terjadi antara lain cedera
pada persendian krikoaritenoid yang akan menstimulasi paralisis
rekurent. Paralisis posticus dapat terjadi karena penekanan nervus
rekuren atau nervus vagus dikarenakan esofagoskop yang salah arah.
Perforasi dinding esofagus dapat menyebabkan kematian karena sepsis
mediastinitis. Mediastinitis ditandai dengan rasa nyeri pada bagian tulang
belakang, bagian kepala belakang, dan di balik sternum. Dan semua
gejala ini disertai dengan demam sedang. Pus dapat masuk ke bagian
pleura yang menyebabkan pyopneumothoraks yang memerlukan
thoracotomy dan biasanya disertai dengan gastrotomi.

30
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. YM
Umur : 75 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No RM : 01304359
Diagnosis pre operatif : Disfagia ec suspek masa esofagus
Macam Operasi : Esofagografi
Macam Anestesi : GAET
Tanggal Masuk RSDM : 12 Juni 2016 (Ranap di bangsal Anggrek2 2D)
Tanggal Operasi : 18 Juni 2016 jam 08.00 WIB
Tanggal Pemeriksaan : 17 Juni 2016 jam 13.00 WIB
B. Pemeriksaan Pra Anestesi
1. Anamnesa
a. Keluhan utama : Sulit menelan
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
5 hari SMRS pasien mengeluhkan sulit menelan. Apabila makan
dan minum pasien muntah, sebelumnya pasien tidak ada keluhan
makan minum. Selama 5 hari ini intake berkurang. Tenggorokan
mengganjal sebelumnya (-). Pasien merupakan rujukan dari RS
Boyolali. Riwayat tertelan makanan (korpal) (-) sesak (-) riwayat
batuk lama (-) suara serak (-) telinga berdenging (-) mimisan (-)
benjolan di leher, selangkangan dan ketiak (-) riwayat muntah darah
(-)
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Merokok : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal

31
 Riwayat Operasi : disangkal
 Riwayat makan minum terakhir : pukul 21.00 WIB
 Riwayat pemasangan gigi palsu : disangkal
 Riwayat gigi goyah : disangkal
2. Pemeriksaan Fisik
KU : Baik, CM, Gizi kesan cukup, berat badan 70 kg
Vital Sign : T: 130/80 mmHg RR: 20x/menit
HR: 96x/menit Suhu: 36,80C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil isokor
3mm/3mm
Telinga : auris dextra : liang telinga lapang, discharge (-) membran
timpani intak
Auris sinistra : liang telinga lapang, discharge (-)
membran timpani intak
Hidung : cavum nasi dextra : lapang, discharge (-) septum deviasi
(-) concha inferior eutrofi
cavum nasi sinistra : lapang, discharge (-) septum deviasi
(-) concha inferior eutrofi
Tenggorok : ovula di tengah, tonsil T1-T1, dinding posterir pharing
tenang, reflek muntah (-)
Mulut : Buka mulut >3cm, Mallampati I, bibir kering (-)
Leher : JVP tidak meningkat, KGB servikal tidak membesar,
gerak leher bebas, TMD > 6 cm
Thoraks : Retraksi sela iga (-)
Cor : Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi: Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: BJ I-II intensitas normal reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi: Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi: Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi: sonor/sonor

32
Auskultasi: Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan
(-/-)
Abdomen : Darm Contour (-), Darm Steifung (-), NT (-), BU (+),
distended (-).
Ekstremitas : CRT <2 detik
Oedem
Akral dingin Sianosis ujung jari
a
- - - - - -
- - - - - -

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium tanggal 13 Mei 2016 Pre-Operasi 22.00 WIB
 Hb : 13,1 gr/dl
 Hct : 42 %
 AE : 5,69.106/ul
 AL : 12,6.103/ul
 AT : 258.103/ul
 PT : 13,8 detik
 APTT : 29,2 detik
 INR : 1.050
 Gol. Darah :O
 HBsAg : Non reaktif
 Albumin : 3,2 gr/dl
 Ur : 13
 Cr : 0,9
 Na : 134
 K : 3,6
b. Pemeriksaan radiologi esofagografi
Pengambilan foto di RSUD Boyolali pada tanggal 11.06.2015 terlihat
masa pada esofagus.
4. Kesimpulan

33
Seorang laki-laki, 75 tahun, dengan disfagia et causa suspek masa
esofagus yang akan dilakukan esofagoskopi dengan status fisik ASA II.

34
LAPORAN ANESTESI

A. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa > 6 jam pre op
c. Infus Asering 20 tetes / menit
2. Jenis Anestesi : General Anestesi dengan Endotrakeal Tube
(GAET)
3. Teknik Anestesi : General anestesi dengan intubasi oral
B. Tata Laksana Anestesi
1. Di ruang Persiapan
a. Cek persetujuan operasi
b. Periksa tanda vital dan keadaan umum
c. Lama puasa > 6 jam
d. Cek obat-obat dan alat anestesi
e. Infus RL 20 tetes/menit
f. Posisi terlentang
g. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
2. Di ruang Operasi
a. Jam 07.45 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang
b. Jam 08.00 mulai dilakukan anestesi umum dengan prosedur sebagai
berikut :
 Pasien diminta posisi supine, pasang monitor.
 Dibertikan premedikasi : Midazolam 2 mg, fentanyl 75 mcg,
 Diberikan induksi propofol 30mg, Atracurium 35 mg intravena
 Pemasangan ET
 Diberikan maintenance : Isofluran vol 1,5 %, O2 :
No2 : 2
2. Monitoring : tanda vital selama operasi tiap 5 menit, cairan,
perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi.

35
Jam Tensi (mmHg) Nadi (x/menit) Sp O2 (%)
08.00 140/80 86 99%
08.05 140/80 88 99%
08.10 130/80 80 99%
08.15 130/80 82 100%
08.30 120/80 83 100%
08.45 120/80 88 100%
09.00 120/80 84 100
C. Maintenance anestesi dengan Oksigen : No2= 1 : 1, dan agen sevofluran 1-2
vol%. Diberikan injeksi fentanyl 25mcg durante esofagoskopi dan ketorolac
70mg.
D. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan

4. Intruksi pasca anestesi


a. Oksigen 2 liter/menit.
b. Bila muntah, berikan Metoclopramid 10 mg. Bila kesakitan,
berikan Ketorolac 30 mg.
c. BU (+)  makan minum sedikit-sedikit
d. Infus Asering 20 tpm
e. Injeksi ceftriakson 1gr/ 12jam, ranitidine 1gr/ 8jam.
f. Lain-lain
 Puasa sampai dengan flatus
 Kontrol balance cairan
 Monitor vital sign

36
BAB IV
PEMBAHASAN

Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan tindakan medis


tertentu. Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi khusunya
penggunaan obat-obatan anestesi memiliki risiko tersendiri. Oleh karena itu, dari
hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas
masalah atau risiko yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.
A. Permasalahan dari Segi Anestesi
1. Pemeriksaan pra anestesi dan Anestesi Epidural
Hasil pemeriksaan pra anestesi tidak menunjukkan adanya masalah
airway, breathing, dan circulation yang dapat menjadi potensial problem
dalam pemberian anestesi. Pemeriksaan umum seperti berat badan pasien
digunakan untuk menentukan dosis dan mempertimbangkan kehilangan dan
kebutuhan cairan pasien.
Pada pasien ini telah dilakukan persiapan pra anestesi berupa puasa
selama 10 jam dan pemeriksaan laboratorium darah. Puasa dimaksudkan
untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah dan aspirasi dapat
dihindarkan. Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan untuk mengetahui
apakah ada kelainan seperti anemia dan gangguan keseimbangan elektrolit
yang menyebabkan pasien tidak boleh melaksanakan operasi atau menjadi
penyulit operasi.
2. Premedikasi
Obat premedikasi yang digunakan adalah Midazolam 2 mg IV dan
fentanyl 75 mg IV.
3. Induksi
Induksi anestesi menggunakan propofol 30 mg, Midazolam 2 mg IV
karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi
yang cepat. Dilanjutkan injeksi Atracurium 35 mg sebagai fasilitasi
intubasi.
4. Rumatan

37
a. Pada rumatan anestesi, digunakan O2 dan No2 dengan perbandingan 2
liter : 2 liter untuk oksigenasi.
b. Penggunaan isofluran 1,5 vol% dikarenakan efek untuk pulih sadar
lebih cepat dan jarang menyebabkan batuk, serta efek pada
kardiovaskularnya cukup stabil.
5. Terapi Cairan
a. Defisit cairan karena puasa 5 jam
2 cc x 70 kg x 10 jam = 1400 cc
b. Kebutuhan cairan selama operasi dan karena trauma operasi selama 1
jam (4cc/kgBB/jam)
= (4 cc x 70 kg x 1 jam) = 280 cc
c. EBV = 70 cc x 70 kg = 4900 cc
Perdarahan yang terjadi = 5 cc

38
BAB V
KESIMPULAN

Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada


esofagoskopi pada penderita laki-laki, usia 75 tahun, status fisik ASA II dengan
diagnosis disfagia et causa suspek masa esofagus teknik anestesi anestesi umum
semi closed dengan ET nomor 7,5 respirasi terkontrol.
Prosedur anestesi umum pada esofagoskopi dalam kasus ini tidak
mengalami hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan
operasinya. Selama di ruang pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik stabil,
dan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Kebutuhan cairan telah
terpenuhi dengan pemberian kristaloid.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Desai AM. 2011. General anesthesia.


http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview. Diunduh pada 17
April 2013
2. Dobson MB. 1994. Penuntun praktis anestesi, cetakan I. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
3. Jackson, Jackson. Esophagoscopy. In Bronchoesofagology.Philladephia,
London. WB Saunders;1955.p. 233-44
4. Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; pp: 34-7,
72-80
5. Morgan E, Maged M. 2006. Geriatrik anestesi. Dalam: Clinical anesthesia
3rd ed. Connecticut: Aplleton and Lange; pp: 905-915
6. Roesli M, Tampubolon OE. 1989. Pendidikan anestesiologi mahasiswa.
Dalam: Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Jakarta: CV Infomedika; pp: 9
7. Skinner BD, Belsey RHR. Endoscopy:Instruments, Anesthesia, Techniques.
In Management Esophageal Disease. Philladelphia. WB Saunders Company;
1988.p.65-76
8. Soepardi EA. Esofagoskopi. In Iskandar N, Soepardi EA, editors. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok, Kepala Leher . 5th ed. Jakarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003.p.258-60

40

Anda mungkin juga menyukai