Anda di halaman 1dari 39

Bagian Anestesiologi Laporan Kasus

RSU Undata Februari 2023

“X”

Disusun Oleh:
Muh. Ilham hidayat
N 111 21 079

Pembimbing Klinik:
dr. Muhammad Rizal, Sp.An,, M.Kes

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muh. Ilham Hidayat


No. Stambuk : N 111 21 079
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Laporan Kasus :

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian


Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.

Bagian Anestesiologi
RSU UNDATA
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Februari 2023


Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Muhammad Rizal Sp. An., M.kes Muh. Ilham Hidayat

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
BAB III LAPORAN KASUS 12
BAB IV PEMBAHASAN 22
BAB V KESIMPULAN 29
DAFTAR PUSTAKA iv

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cedera kepala merupakan penyebab mordibitas dan mortalitas di seluruh
dunia. Cedera kepala dapat terjadi akibat trauma mekanik baik secara langsung
maupun tidak langsung yang terjadi karena adanya benturan, guncangan, pukulan
atau luka tembus pada kepala yang menganggu fungsi neurologis yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Salah Satu
cedera kepala yang biasanya terjadi adalah Epidural Hematoma (EDH) yaitu
adanya kumpulan darah ekstra-aksial di dalam ruang potensial di antara tabula
interna dan duramater. Dalam Kasus seperti epidural hematoma ini tentunya
diperlukan penanganan yang cepat dan akurat agar tidak semakin memburuk.
Salah satu penanganan yang dapat dilakukan adalah Tindakan craniotomi. 1
Dalam melakukan tindakan Craniotomi diperlukan adanya manajemen
anastesi yang tepat pada pasien. Anastesi merupakan suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan atau berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Secara garis besar anastesi di
bagi menjadi dua yaitu anastesi umum dan regional. Dalam tindakan ini anastesi
umum merupakan pilihan dengan diberikan anastesi umum keadaan pasien tidak
sadar tanpa nyeri yang reversible akibat pemberian obat-obatan, serta
menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral. 2
Teknik anestesi umum dapat dilakukan dengan anestesi inhalasi, anestesi
intravena, ataupun kombinasi kedua teknik tersebut. Saat memilih teknik dan obat
yang akan digunakan dalam anestesi umum perlu dipertimbangkan berbagai hal,
antara lain adalah keamanan dan kemudahan dalam melakukan teknik tersebut,
kecepatan induksi dan pemulihan, stabilitas hemodinamik, efek samping yang
ditimbulkan, serta biaya yang diperlukan.3,4,5
Laporan Kasus ini bertujuan untuk memahami lebih mendalam mengenai
manajemen general anestesi dengan teknik intubasi menggunakan endotracheal
tube pada tindakan craniotomi pada pasien dengan traumatic intracerebral
hemoragik, epidural hematoma dan fraktur cranium.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Jalan Nafas
Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring,
laring, trachea, dan paru. Laring membagi saluran pernapasan menjadi dua
bagian, yakni saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah. Setelah
melalui saluran hidung dan faring, tempat udara pernapasan di hangatkan dan
di lembabkan oleh uap air, udara inspirasi berjalan menuruni trachea,
kemudian ke bronchiolus, bronchiolus respiratorius, duktus alveolaris sampai
alveolus. Antara trachea dan alveolus terdapat 23 kali percabangan saluran
udara. Enam belas percabangan pertama saluran udara merupakan zona
konduksi yang menyalurkan udara dari dan ke lingkungan luar, bagian ini
terdiri atas bronchus, bronchiolus, dan bronchiolus terminalis. Tujuh
percabangan berikutnya merupakan zona peralihan dan zona respirasi, dimana
proses pertukaran gas terjadi, yang terdiri atas bronchiolus respiratorius,
duktus alveolaris, dan alveolus. Adanya percabangan saluran udara yang
majemuk ini akan meningkatkan luas total penampang melintang saluran
udara, dari 2,5 cm2 di trachea menjadi 11.800 cm 2 di alveoli. Akibatnya,
kecepatan aliran udara didalam saluran udara kecil berkurang ke nilai yang
sangat rendah.6
Tiap alveolus dikelilingi oleh pembuluh kapiler paru. Di sebagian besar
daerah, udara dan darah hanya dipisahkan oleh epitel alveolus dan endotel
kapiler sehingga keduanya hanya terpisah sejauh 0,5 µm. tiap alveolus dilapisi
oleh dua jenis sel epitel yaitu sel tipe 1 dan sel tipe 2. Sel tipe 1 merupakan sel
gepeng sebagai sel pelapis utama, sedangkan sel tipe 2 (pneumosit granuler)
lebih tebal, dan banyak mengandung badan inklusi lamellar dan mensekresi
surfaktan. Surfaktan merupakan zat lemak yang berfungsi untuk menurunkan
tegangan permukaan.6
Gambar 1 : Anatomi Jalan Napas Atas6
2.2 General Anestesi
A. Definisi
Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu “An” yang berarti tidak
dan “Aesthesis” yang berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesia berarti
suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan
hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa tetapi bersifat
sementara dan akan kembali kepada keadaan semula, karena hanya
merupakan penekanan kepada fungsi atau aktivitas jaringan syaraf baik
lokal maupun umum. Pada dasarnya prinsip anastesi mencangkup 3 hal
yaitu: anestesi dapat menghilangkan rasa sakit (analgesia), menghilangkan
kesadaran (sedasi) dan juga relaksasi otot (relaksan) yang optimal agar
operasi dapat berjalan dengan lancer.3,7
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang
reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuh secara sentral. Teknik anestesi umum dapat dilakukan dengan
anestesi inhalasi, anestesi intravena, ataupun kombinasi kedua teknik
tersebut.3,4,5
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara
inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana
akan dilakukan operasi. Obat anestesi yang diberikan secara intravena
lebih popular untuk induksi anestesi karena obat ini lebih cepat dan mulus
dibandingkan dengan yang berkaitan dengan obat inhalasi. Beberapa obat
anestesi intravena : Thiopental, propofol, etomidate, ketamine.8
Teknik general anestesi inhalasi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau
cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke
udara inspirasi. Bebebrapa obat anestesin inhalasi seperti: Halothan,
isofluran, sevofluran, desfluran, Nitrous Oksida.9

B. Jalur Pemberian Anestesi Umum


1. Pramedikasi
Premedikasi merujuk pada pemberian obat apa pun selama periode
sebelum dilakukannya induksi anesthesia, sebagai tambahan dari obat-
obat yang biasanya dikonsumsi pasien. Tujuan dari premedikasi adalah
untuk ansiolisis, amnesia, antiemetik, antasida, antiautonomik, dan
analgesia.2
Tujuan pemberian terapi premedikasi :
a. Diberikan sedatif untuk mengurangi ansietas dan mempermudah
konduksi anestesi.Untuk anak prasekolah dan usia sekolah yang
tidak bisa tenang dan cemas, pemberian penenang dapat dilakukan
dengan pemberian midazolam. Dosis yang dianjurkan adalah
0,5mg/kgBB. Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10
menit setelah pemberian.
b. Diberikan analgetik jika pasien merasa sakit preoperative atau
dengan latar belakang analgesia selama dan sesudah operasi.
c. Untuk menekan sekresi, khususnya sebelum penggunaan ketamine
(dipakai atropine (Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan
maksimal 0,5 mg), yang dapat digunakan untuk mencegah
bradikardia, khususnya pada anak-anak).
d. Untuk mengurangi resiko aspirasi isi lambung, jika pengosongan
diragukan, misalnya pada kehamilan (pada kasus ini diberikan
antasida peroral). 2
2. Induksi
Pemberian anestesi dimulai dengan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung lama operasinya,
untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi
saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu
dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan dosis
tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan, setelah
tindakan selesai pemberian obat anestesi dihentikan dan fungsi tubuh
penderita dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery. 2
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan
goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering
terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.
Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi.
Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi
karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang
sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan
angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea
yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia
miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-
intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi
laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan
terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari
terjadinya hipertensi. 2
3. Maintenance
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai
obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara
intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan
obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat
diperkecil. Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi umum
sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita
yang tingkatan algesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot,
maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
a) Gerakan lengan atau kaki
b) Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang
memakaipipa endotrakeal
c) Adanya lakrimasi
d) Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor
laryngeal,broncospasme
e) Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi
bertambah cepat,
f) Tekanan darah meningkat, berkeringat
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai
trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur
dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat,
relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini
disebut balance anestesi.8
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka
otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami
kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat
bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), karena
itu balance anestesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali
ataucontrol respiration.8
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien
tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioiddosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-
12mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.8
4. Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anestesi, pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut
oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat
yang seblumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian
tekanan parsial obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,
sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat
anestesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anestesi
inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan
tekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran
penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar
obat anestesi dalam darah.8
Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka
kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi
akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu
sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa
endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET)
ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada
keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi
spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya
tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intrakranial. Ekstubasi pada
waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak
terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai
sadar.8
5. Skor Pemulihan Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah
dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang
Recovery room (RR).8
C. General Anestesi Endotrakeal
a. Definisi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui
mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah
tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada
kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea.
Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal
dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.10
b. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi intubasi yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran
udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,
meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap
pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat
sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan
thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi,
memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi
(misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah
dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas, Perawatan
kritis : mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi
terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan
sekret pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma
servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.11
c. Persiapan intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan
memposisikan pasien.ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff
ETT sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika
menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.Berhasilnya
intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus sejajar
dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah
ketegangan pinggang selama laringoskopi.Persiapan untuk induksi dan
intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin.Preoksigenasi dengan
nafas yang dalam dengan oksigen 100 %.
Persiapan alat untuk intubasi antara lain : 12
STATICS
- Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.
Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta
laringoskop untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa
memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar,
dikenal dua macam laringoskop:
1) Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
2) Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa. Pilih bilah
sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah
lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas
terlihat.

- Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea
dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi,
anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah
usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat,
sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan
anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan
untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor.Alasan
lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma
selaput lendir trakea dan postintubation croup.

- Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidungfaring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

- Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut. Introducer Introducer yang dimaksud adalah
RlasticR atau stilet dari kawat yang dibungkus Rlastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan
- Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anesthesia.

- Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan
lainnya.

2.3 Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Bedah Saraf dengan Cedera


Kepala
Manajemen jalan napas cedera kepala terkadang dipersulit beberapa
faktor, termasuk situasi urgensi (karena hipoksia yang telah ada atau
memburuk), status servikal yang tidak jelas, status jalan napas yang tidak jelas
(karena adanya darah, muntahan, atau debris di kavum oral, atau cedera
laringofaringeal atau fraktur dasar tulang kepala/basis cranii), lambung penuh,
hipertensi intrakranial, serta status volume yang tidak jelas. Semua pasien
dengan cedera kepala yang memerlukan pembedahan darurat harus
diasumsikan dengan lambung penuh, dan manajemen jalan napas harus
dengan mengganggap adanya kemungkinan cedera medulla spinalis servikal.13
A. Teknik intubasi
Pemilihan teknik intubasi trakea ditentukan oleh urgensi,
pengalaman individu, sarana dan prasarana yang tersedia, dan umumnya
dilakukan dengan teknik rapid sequence intubation dengan cricoid
pressure, serta stabilisasi in-line. Instrumentasi jalan napas yang lebih
baru seperti video laryngoscope akhir-akhir ini sangat popular digunakan
pada pasien trauma dan sangat berguna untuk kasus kesulitan jalan napas.
Intubasi nasal harus dihindari pada pasien dengan fraktur basis cranii,
fraktur fasialis berat, atau diastesis perdarahan. Pada beberapa kasus,
rencana cadangan harus siap karena bisa saja ditemukan intubasi sulit
yang berisiko signifikan mengakibatkan hipertensi intrakranial hingga
peningkatan volume darah otak karena hipoksemia dan hiperkarbia.13
Pemilihan farmakologi yang tepat penting untuk manajemen jalan
napas. Sodium thiopental, etomidat, dan propofol menurunkan
metabolisme oksigen otak (cerebral metabolic rate for oxygen/ CMRO2 )
dan mencegah peningkatan TIK akibat intubasi. Namun demikian,
propofol dan tiopental bisa menyebabkan depresi kardiovaskuler dengan
akibat hipotensi. Etomidat menawarkan keuntungan stabilitas
hemodinamik selama induksi, namun bisa menyebabkan insufisiensi renal
dengan akibat hipotensi tertunda. Pemilihan pelumpuh otot untuk rapid
sequence induction adalah suksinilkolin dan rocuronium. Suksinilkolin
bisa menyebabkan peningkatan TIK, namun signifikansi kliniknya masih
dipertanyakan. Yang lebih penting dicegah adalah hipoksia dan
hiperkarbia selama intervensi jalan napas yang cenderung lebih bisa
menyebabkan peningkatan TIK yang signifikan secara klinik.13
B. Manajemen Anastesi
Target utama manajemen anestesi untuk cedera kepala adalah
untuk fasilitasi dekompressi yang segera, analgesia dan amnesia yang
adekuat, menangani hipertensi intrakranial dan memelihara perfusi otak
yang adekuat, memfasilitasi kondisi pembedahan yang adekuat, serta
mencegah cedera sekunder, seperti hipoksemia, hiperkarbia, hipokarbia,
hipoglikemia, dan hiperglikemia. Dekompressi dengan evakuasi
hematoma epidural dilakukan dengan segera (6 jam setelah pasien masuk
rumah sakit) demi mencegah edema otak berat.13
C. Teknik Anastesi
Teknik Anestesi intravena, termasuk tiopental, propofol dan
etomidat menyebabkan vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah otak
(ADO), volume darah otak, CMRO2 , dan TIK. Opioid tidak memiliki
efek langsung terhadap hemodinamik saat ventilasi dikontrol. Semua zat
anestetik inhalasi (isofluran, sevofluran, desfluran) menurunkan CMRO2
tapi dapat menyebabkan vasodilatasi otak, hingga menyebabkan
peningkatan TIK. Namun demikian, pada minimum alveolar
concentration (MAC) kurang dari 1, efek vasodilatasi otak minimal
sehingga dapat digunakan dalam konsentrasi rendah untuk pasien dengan
cedera kepala. Efek-efek zat anestetik terhadap luaran pasien cedera
kepala telah banyak diteliti dengan hasil anestetik intravena dan inhalasi
dapat digunakan namun dengan bijaksana.13
Cairan Intravena, Manajemen Tekanan Darah, dan Penggunaan
Vasopressor Hipotensi setelah cedera kepala jelas memperburuk luaran
pasien. Karena itu, manajemen tekanan darah, termasuk pemilihan cairan
dan vasopressor sangat penting. Pedoman untuk manajemen cedera kepala
menganjurkan untuk menghindari hipotensi (TDS < 90 mmHg ) dan
memelihara TPO antara 50–70 mmHg. Hipotensi selama kraniotomi juga
berperan dalam luaran yang buruk dan sering terjadi saat dura dibuka.
Hipotensi dekompressi ini harus diprediksi pada pasien dengan GCS
rendah, tidak adanya sisterna mesensefalon pada CT Scan, dan dilatasi
pupil bilateral. Selain itu, adanya lesi CT multipel, hematoma subdural,
lesi pada CT dengan ketebalan maksimal sebaiknya diketahui oleh ahli
anestesi untuk mengantisipasi dan siap menangani komplikasi masalah
tersebut. Hipotensi perioperatif sebaiknya ditangani dengan secepat
mungkin. Cairan isotonik tanpa glukosa yang hangat lebih dipilih sebagai
cairan intravena untuk pasien dengan cedera kepala. Peranan koloid masih
kontroversi. Penelitian (Saline vs Albumin Fluid Evaluation) SAFE
menunjukkan bahwa resusitasi dengan albumin terkait dengan mortalitas
yang lebih tinggi dan luaran neurologis 24 bulan yang lebih buruk. Salin
hipertonik bisa bermanfaat untuk resusitasi pasien dengan cedera kepala
karena meningkatkan cairan intravaskuler dan menurunkan TIK.Namun
ada penelitian yang menunjukkan bahwa dibandingkan dengan cairan
isotonik pada pasien dengan cedera kepala yang hipotensi, tidak ada
perbedaan dalam hal luaran neurologi 6–bulan. 13
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Berat Badan : 70 kg
Tinggi badan : 170 cm
Alamat : Jl. Megamu, Toli-Toli
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Diagnosa pra bedah : Diagnosis Traumatic Intracerebral Hemoragik
(TICH), dan Epidural Hematoma
Jenis pembedahan : Craniotomy
Tanggal operasi : 02 Februari 2023
Jenis anestesi : General Anastesi
Anestesiology : dr. Imtihanah Amri , Sp. An, M.kes
Ahli bedah : dr. Franklin. L. Sinanu, Sp. BS

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri Kepala
2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien masuk dengan keluhan nyeri kepala
yang sudah dirasakan sejak 9 hari yang lalu setelah mengalami kecelakaan
lalu lintas. Nyeri kepala yang rasakan disertai dengan adanya nyeri yang
menjalar pada wajah dan muntah (+) . BAK dan BAB dalam batas normal
Keluhan lain seperti kelemahan ekstermitas disangkal oleh pasien.
3. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat penyakit jantung : (-)
- Riwayat penyakit hipertensi : (-)
- Riwayat penyakit asma : (-)
- Riwayat alergi obat dan makanan : (-)
- Riwayat diabetes mellitus : (-)
- Riwayat trauma atau kecelakaan : (+)
- Riwayat operasi sebelumnya : (-)
- Riwayat konsumsi obat : (-)
- Riwayat operasi : (-)
Riwayat penyakit keluarga :
- Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
- Riwayat penyakit DM : disangkal
- Riwayat penyakit alergi : disangkal
- Riwayat penyakit asma : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. B1 (Breath)
- gigi palsu (-), gigi goyang (+), gigi ompong(-) gigi lubang (-).
- Mallampati score: 1
- Airway paten (tidak ada sumbatan).
- Inspeksi Thorax : Pengembangan dada simetris antara dada sisi kiri
dan kanan. RR 24 x/menit. 
- Palpasi thorax : benjolan (-), kelainan bentuk (-),vocal fremitus
kanan=kiri
- Auskultasi thorax di dapatkan bunyi pernafasan Vesikuler +/+. Bunyi
nafas tambahan : Rhonkii  -/-, Wheezing -/-, snoring (-), gurgling (-),
stridor(-).
2. B2 (Blood)
- TD : 100/67 mmHg.
- Nadi reguler kuat angkat 68 x/mnt
- Konjungtiva anemis (-/-)
- Akral hangat, CRT < 2detik
3. B3 (Brain)
- Kesadaran : Compos mentis. GCS (E4M6V5)
- Mata : Refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+), sclera
ikterik (-/-)
- Suhu : 36,1 0C
- VAS : 7 (saat pemeriksaan)

4. B4 (Bladder)
- Buang air kecil lancar (pasien tidak menggunakan kateter)
- Urin berwarna kuning
- Nyeri saat berkemih (-)

5. B5 (Bowel)
- Nyeri perut (-), mual (-) muntah (+) jejas (-).
- Peristaltik (+) kesan normal, bising usus (-).
- BAB biasa.

6. B6 (Back & Bone)


- Pergerakan ekstremitas atas kanan (bebas)
- Pergerakan ekstremitas atas kiri (bebas)
- Pergerakan ekstremitas bawah kanan (bebas)
- Pergerakan ekstremitas bawah kiri (bebas)
- Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), edema (-)
- Fraktur atau dislokasi : (-)
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 3. Hasil Laboratorium Darah Lengkap (27 Januari 2023)
Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 11,6 14-18 g/dl
Leukosit 17,3 ↑ 4.0-11.0 103/uL
Eritrosit 4,00 ↓ 4,1-5,1 Juta/ul
Hematokrit 31,4 ↓ 36-47 %
Trombosit 460 ↑ 150-450 103/uL
Waktu pembekuan 3’ 1-15 m.det
Waktu perdarahan 7’ 1-4 m.det

Tabel 4. Hasil Laboratorium Kimia Darah (01 Januari 2023)


Hasil Rujukan Satuan
GDS 181,7 70-200 mg/dl

Tes Hasil Rujukan


SARS Cov-2 (COVID-19) Negatif Negatif
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif
Tabel 5. Hasil Laboratorium Seroimmunologi (27 Januari 2023)

D. Assesment
- Status fisik ASA II E
- Observasi TTV
- Acc. Anestesi
- Diagnosis pra-bedah : Diagnosis Traumatic Intracerebral Hemoragik
(TICH), dan Epidural Hematoma

E. Plan
Terapi
- IVFD Nacl 20 tetes/menit
Jenis anestesi : General Anastesi
Teknik anestesi : Teknik Intubasi menggunakan ETT
Jenis pembedahan : Craniotomy
Laporan Anastesi

MONITORING Sistol Heart Rate Distol

140

120

100

80

60

40

20

0
35 :40 :45 :50 :55 :00 :05 :10 :15 :20 :25 :30 :35 :40 :45 :50 :55 :00 :0 5 :1 0 :15 :2 0 :2 5 :30 :3 5 :4 0 :45 :5 0 :5 5 :00 :0 5
8: 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 1 0 10 10 1 0 10 10 1 0 10 10 1 0 10 10 1 1 11

KETERANGAN
○ = Mulai Anastesi = Selesai Operasi
X = Mulai Operasi = Selesai Anastesi

= Premedikasi

= Propofol 100mg

= Tramus 25 mg + 10 mg

= Ketorolac 30 mg
a) Diagnosis pra-bedah : Traumatic Intracerebral Hemoragik (TICH),
dan Epidural Hematoma
b) Diagnosis post-bedah : Post Tindakan Craniotomy
c) Jenis pembedahan : Craniotomy
d) Persiapan anestesi : Informed consent
e) Jenis anestesi : General Anastesi
f) Teknik anestesi : Intubasi menggunakan Endotracheal Tube
g) Medikasi anestesi : Ondansetron 4 mg, Sedakum 2 mg ,
Dexamethason 10 mg, Fentanyl 120 mcg, Propofol 100 mg, Tramus 35
mg, Fentanyl 50 Mcg/ drips, Ketorolac 30 mg.
h) Maintenance : O2 5 lpm
i) Posisi : Supinasi
j) Respirasi : Sirkuit
k) Anestesi mulai : 08 : 55 WITA
l) Operasi mulai : 10 : 00 WITA
m) Lama operasi : 60 menit
n) Lama anestesi : 120 menit

Persiapan pasien preoperatif :


a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Pasien dipuasakan minimal 6-8 jam pre-operasi
c. IVFD NaCl 400 ml

Persiapan di kamar operasi :


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
● Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan.
● Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
● Alat-alat resusitasi (STATICS)
● Obat-obat anastesia yang diperlukan.
● Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
● Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
● Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
● Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
● Kartu catatan medik anesthesia

Persiapan alat (STATICS)


a. Scope: Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
LaringoScope: pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukup terang.
b. Tube : Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
c. Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas
d. Tape : Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
e. Introducer : stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
g. Suction : Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Prosedur General Anastesi :


a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan
cairan Nacl 0,9 % 20 tpm
b. Memasang monitor untuk melihat heart rate,saturasi oksigen dan laju
respirasi
c. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Ondancentron 4 mg/iv
d. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Sedakum mg/iv
e. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Dexamethasone 10 mg/iv
f. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Fentanyl 120 mcg/iv
g. Diberikan obat induksi yaitu Propofol 100 mcg/iv
h. Memberikan obat relaksan yaitu Tramus 25 mg/iv tunggu 30 menit lalu
di tambah 10 mg
i. Memposisikan kepala dan menjaga agar leher tidak ekstensi, lalu
memberikan ventilasi tekanan positif
j. Melakukan intubasi trachea dengan memasukan laringoskop secara
lembut dengan cara menyisipkan laringoskop ke sisi kanan mulut pasien,
lalu menggusur lidah ke kiri hingga terlihat epiglotis dan menyusuri
hingga pita suara sudah terlihat.
k. Memasukkan ETT dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian
proksimal dari cuff ETT melewati pita suara, pada pasien ini
menggunakan ETT dengan ukuran 7,0
l. Mengangkat laringoskop dan stilet pipa ET dan mengisi balon dengan
udara 10 ml. Waktu intubasi ± 20 detik
m. Menghubungkan pipa ET dengan ambubag dan melakukan ventilasi
sambil melakukan auskultasi, pertama pada lambung (tidak terdengar
bunyi gurgling) artinya udara tidak masuk ke esofagus. Kemudian
mengecek pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan
pengembangan dada, terdengar bunyi napas dan pengembangan paru
yang simetris kiri dan kanan
n. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut di
sebelah kanan mulut pasien
o. Maintenance selama operasi diberikan:
 Sevoflurans 2 vol %
 O2 5 lpm via Endo Trachea Tube (ETT)
p. Diberikan Fentanyl 50 mcg/drips
q. Diberikan Ketorolac 30 mg/iv
r. Operasi selesai,
s. Pasien di transfer ke Recovery Room
Intra Operatif
Laporan Anestesi Durante Operatif
● Jenis anestesi : General Anastesi
● Lama anestesi : 08:55 – 10 :50 (120 menit)
● Lama operasi : 10: 00 – 11 :00 ( 60 menit)
● Anestesiologi : dr. Imtihanah Amri, Sp. An, M.kes
● Ahli Bedah : dr. Franklin. L. Sinanu, Sp. BS

Hasil Monitoring Intraoperatif


Tabel 6. Pemantauan Tanda-Tanda Vital selama Operasi

Tekanan Saturasi
Waktu Nadi Tindakan
Darah Oksigen

08.35 ▪ Pasien Masuk ke kamar


operasi
▪ Infus Nacl 0,9 %
terpasangan di tangan kanan
▪ Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi, saturasi
O2
▪ Evaluasi TTV
▪ Kemudian Injeksi
Ondansetron 4 mg
08.40 111/61 83 100% ▪ Melakukan Persiapan
▪ Evaluasi TTV
08.45 111/61 83 99 % ▪ Melakukan Persiapan
▪ Dilakukan penggantian
cairan dengan RL 500 cc
▪ Evaluasi TTV
08.50 120/70 82 99% ▪ Injeksi Sedakum 2 mg
▪ Injeksi Dexametason 10 mg
▪ Evaluasi TTV
08.55 120/70 82 99%  Injeksi Propofol 100mg
 Injeksi Fentanyl 120 mcg
 Dilakukan General Anastesi
dengan Intubasi
Menggunakan ETT nomor
7, dan terpasang packing.
09.00 125/75 80 100 % ▪ Injeksi Tramus 25 mg
▪ Evaluasi TTV

09.05 125/75 82 100 % Evaluasi TTV


09.10 125/75 82 100 % Evaluasi TTV
09.15 100/60 83 100 % Evaluasi TTV
09.20 100/60 82 100 % Evaluasi TTV
09.25 100/60 82 100 % Evaluasi TTV
09. 30 95/60 83 100%  Injeksi Tramus 10 mg
 Evaluasi TTV
09.35 95/60 83 100% Evaluasi TTV
09.40 95/60 81 100% Evaluasi TTV
09.45 101/57 82 100%  Penggantian cairan Nacl
0,9% 500 CC
 Evaluasi TTV
09.50 95/57 80 100% Evaluasi TTV
09.55 91/56 80 100% Evaluasi TTV
10.00 92/57 80 100%  Insisi dimulai
 Evaluasi TTV
10.05 108/65 83 100% Evaluasi TTV
10.10 108/65 85 100% Evaluasi TTV
10.15 119/70 84 100% Evaluasi TTV
10.20 100/62 96 100% Evaluasi TTV
10.25 91/57 86 100% Evaluasi TTV
10.30 94/58 90 100% Evaluasi TTV
10.35 100/62 89 100% Evaluasi TTV
10.40 100/62 89 100% Evaluasi TTV
10.45 101/60 90 100%  Evaluasi TTV
10.50 101/60 90 100%  Injeksi Ketorolac 30 mg
 Nacl 0,9% 500 CC
 Fentanyl 50 mcg/ drips
 Evaluasi TTV
10.55 131/78 110 100%  Selesai Operasi
 Pasien ditransfer ke
recovery room

11.00 130/60 80 100% Selesai Operasi

Tabel 7. Terapi Cairan


Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre Operasi - BB: 70 Kg Input:
- Maintenance kebutuhan cairan per jam: RL: 500 cc
= (4x 10) + (2x10) + (1x50)
= 110cc/ jam

- Kebutuhan cairan pengganti puasa 8 jam:


Maintenance x Puasa
= 110cc x 8 jam
= 880cc/ 8 jam

Durante Estimate Blood Volume (EBV): Input :


Operasi = BB x Average Blood Volume
= 70 cc x 70 kg RL 500 cc +
= 4.900 cc Nacl 500cc
Jumlah perdarahan selama operasi ±400 cc
% perdarahan : Total
= Jumlah perdarahan : EBV x 100% Perdarahan:
= 400 : 4.900 x 100% 400 cc
= 8,16 %

( Hct Act−Hct Tar) x BB x 70


MABL =
Hct Act
(36−31,4) x 70 x 70
=
36
( 4,6) x 4900
=
36
22,540
=
36
= 626 CC

Defisit MABL = MABL- Total perdarahan


= 626 – 400
= 226 cc

Stress operasi:
Operasi berat
= 8 cc/ kgbb/ jam x BB
= 8 ml x 70
= 560 cc/jam (9,3 cc/ menit)
Operasi berlangsung 60 menit
Stress operasi X lama operasi
= 9,3 cc X 60 menit
= 558 cc
Cairan pengganti yang hilang
Defisit darah 400 cc
= darah yang hilang x 3 cairan kristaloid
= 400 x 3
= 1.200 cc

Perhitungan Input Cairan Durante Operatif


cairan 1000 cc (kristaloid)
Output :
= Stress operasi + Defisit darah selama operasi +

deficit urin selama operasi


= 558 cc + 400 cc + 0
= 958 cc

Keseimbangan Kebutuhan Cairan :


= Input – Output
= 1000cc – 958 cc
= 42 cc
Post Operatif
Tekanan Darah : 125/60mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 20x/menit
SpO2 : 98 %
Glasgow coma scale E4V5M6.
Skor Pemulihan Pasca Anestesi (Aldrete score)
Warna Merah/Normal 2
Pernapasan Dangkal,namun pertukaran udara 2
adekuat
Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20 mmHg 2
dari pre-op
Kesadaran Sadar penuh dan mudah dipanggil 2
Aktivitas Gerak 4 anggota tubuh 2
Total 10
Score > 9 pasien dipindahkan ke ruang perawatan
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien Tn. S usia 46 tahun dengan diagnosis Traumatic
Intracerebral Hemoragik (TICH) dan Epidural Hematoma yang akan dilakukan
tindakan craniotomi pada tanggal 2 februari 2023. Setiap pasien yang akan
menjalani operasi idealnya harus diperiksa oleh ahli anastesi untuk dapat
meminimalisir risiko-risiko yang akan terjadi. Berdasarkan data anamnesis pre
operatif, pasien masuk dengan keluhan nyeri kepala yang sudah dirasakan sejak 9
hari yang lalu setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Nyeri kepala yang
rasakan disertai dengan adanya nyeri yang menjalar pada wajah dan muntah (+) .
BAK dan BAB dalam batas normal Keluhan lain seperti kelemahan ekstermitas
disangkal oleh pasien. Pasien tidak memiliki Riwayat penyakit sistemik seperti
hipertensi, diabetes militus, dan penyakit jantung.
Pemeriksaan fisik menunjukkan terdapat kelainan pada B1, yaitu
terdapat gigi yang goyang akibat dari kecelakaan lalu lintas dan Pada B5
terdapat keluhan muntah. Kemudian pada pemeriksaan penunjang
laboratorium didapatkan kadar HB 11,6 g/dl, WBC 17,3 ribu/uL, RBC 4,00
juta/uL, dan HCT 31,4 %. Pada pemeriksaan radiologi berupa Ct- Scan kepala
tanpa kontras didapatkan kesan subcute epidural hematoma pada regio
frontoparietal sinistra, dan adanya fraktur zigomaticum dextra dan fraktur linear
regio temporal sinistra. dan tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan penunjang
lainnya yang dapat menjadi kontraindikasi untuk dilakukan Tindakan operasi.
Berdasarkan anamnesis. pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
tersebut, pasien digolongkan pada PS ASA II, sebab pasien memiliki
gangguan pada hasil pemeriksaan laboratorium.
Pasien sebelum melakukan operasi diminta untuk berpuasa selama 8
jam sebelum operasi. Hal ini sudah sesuai teori dimana anjuran puasa
perioperative adalah selama 8 jam sebelum operasi. Puasa preoperatif pada pasien
pembedahan elektif bertujuan untuk mengurangi volume lambung tanpa
menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Puasa preoperatif yang disarankan
menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan ringan, 8 jam untuk makanan berat
dan 2 jam untuk air putih. Puasa preoperatif yang lebih lama akan berdampak
pada kondisi pasien preoperatif serta pascaoperatif.
Pada pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general
anestesi dikarenakan lokasi operasi yaitu di kepala, sehingga tidak
memungkinkan untuk dilakukan anestesi spinal. Adapun indikasi dilakukan
general anestesi adalah karena pada kasus ini diperlukan mempertahankan jalan
nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan,
mempermudah pemberian anestesia, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi
isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks
batuk) dan pemakaian ventilasi mekanis yang lama, serta mengatasi obstruksi
laring akut.
Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih
dahulu. Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan
obat-obat pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik,
golongan sedatif, dan golongan analgetik. Tujuan pemberian premedikasi
adalah untuk menimbulkan rasa nyaman, megurangi sekresi kelenjar dan menekan
refleks vagus, memperlancar induksi, mengurangi dosis anestesia, serta
mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah. Salah satu tujuan premedikasi
berguna meredakan kecemasan dan ketakutan. Pada pasien diberikan premedikasi
berupa ondacentron 4 mg/iv, fentanyl 130 mcg//iv, dexamethasone 10mg/iv, dan
sedacum 2mg/ iv.
Diberikan ondacentron 4 mg sebagai obat antiemetik untuk mencegah
mual dan muntah, dimana Ondansentron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang
mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan dalam mengantogonisasi reseptor 5-
HT yang terdapat pada chemoreceptor trigger zone di area postrema otak dan
mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Pasien diberikan Fentanyl 130
mgc/iv diberikan sebagai analgesia, karena fentanyl memiliki sifat analgesia
yang baik, onset yang cepat dan durasi yang singkat, sedikit mendepresi
kardiovaskular serta tidak menyebabkan pelepasan histamin, maka fentanyl sering
kali menjadi pilihan utama sebagai agen premedikasi dan induksi dalam anestesi
umum. Pemberian injeksi dexamethasone 10 mg bertujuan sebagai
antiinflamasi. Postoperative sore throat (POST) terjadi akibat proses inflamasi
pada mukosa faring dan trakea setelah intubasi.
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu
Propofol 10 mcg I.V karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi
dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi
neuron yang hancur oleh GABA. Pemberian tramus 25 mg sebagai pelemas
otot untuk mempermudah pemasangan Endotracheal Tube dan untuk
relaksasi otot rangka selama proses pembedahan atau ventilasi terkendali.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan
laringoskop blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien
dengan metode head tilt dan chin-lift yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas
antara mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah
dimasukkan pipa endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff
nomor 7,0 serta terpasang packing. Pemasangan ETT pada pasien ini 1 kali
dilakukan.
Setelah diintubasi dengan menggunakan endotracheal tube, maka
dialirkan sevofluran 2 vol%. Sevofluran merupakan halogen eter yang memiliki
proses induksi dan pemeliharaan paling cepat. Sevofluran relatif stabil dan tidak
menimbulkan aritmia selama anestesi berlangsung.
Pasien menggunakan aliran oksigen sekitar 5lpm sebagai anestesi rumatan.
Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah
operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi
perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien
dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir selesai. Kemudian
dilakukan ekstubasi endotrakeal secara cepat dan pasien dalam keadaan sadar
untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Sebelum operasi selesai dilakukan Penambahan obat medikasi
tambahan adalah Sebagai analgetik digunakan Ketorolac 30 mg/iv. Ketorolac
merupakan NSAID (Non Steroid Anti Inflamasi Drug) dengan efek analgesik kuat
disertai aktivitas anti inflamasi sedang. Ketorolac sebagai analgesik pascabedah
memperlihatkan evektifitas sebanding dengan morfin/meperidin dosis umum;
masa kerjanya lebih panjang dan efek sampingnya lebih ringan. Dosis pemberian
secara IV 15-30 mg. Pada pasien ini diberikan ketorolac 30 mg/iv.
Pada pasien ini, saat operasi berjalan pasien diberikan cairan ringer
laktat 500 cc kemudian ditambahkan dengan Nacl 0,9 % 500cc. Mengapa
digunakan Nacl Lebih banyak karena Nacl memiliki Sifat yang isotonik artinya
sifat larutan yang Konsentrasi zat terlarutnya sama dengan larutan plasma. Maka
bila Nacl di transfusikan osmolaritas ekstra seluler tidak akan berubah Sehingga
tidak akan terjadi pertukaran air melewati membran . Sedangkan RL ternyata
memiliki sifat yang relatif hipotonik terhadap plasma. Dimana tekanan
osmotiknya lebih rendah daripada larutan lainnya sehingga bila RL di transfusikan
akan menyebabkan osmolaritas akan berkurang dan air akan berpindah dari
vaskular ke intrasel.
Oleh sebab itu pemberian RL pada pasien bedah saraf dibatasi karena
perbedaan omolaritas RL dan Nacl terhadap plasma darah. Dimana RL lebih
hipoosmolar (Osmolaritasnya rendah) dibandingkan dengaan osmolaritas plasma
sehingga menyebabkan perubahan osmotik yang akan mendorong air dari
vaskuler ke jaringan otak, akhirnya terjadi peningkatan kandungan air di otak
yang bisa menyebabkan edema serebral dan terjadi peningkatan TIK
Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi, dengan lama anestesi
2 jam dan lama operasi 1 jam. pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan
(recovery room). Pada saat di ruang recovery di dapatkan tekanan darah 125/60
mmHg , Nadi 80 kali permenit, pernafasan 20x permenit, dan hasil Alderete
score 10, sehingga pasien dipindahkan ke ruang perawatan.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :
1. Pada kasus ini dilakukan operasi Craniotomy pada pasien laki-laki
dengan diagnosis Traumatic Intracerebral Hemoragik (TICH) dan
Epidural Hematoma dengan usia 46 tahun, dan setelah dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik dan pemerikaan penunjang, maka
ditentukan status fisik ASA II karena pasien memiliki gangguan pada
pemeriksaan laboratorium.
2. Pada pasien ini dilakukan jenis anestesi dengan General Anestesi dengan
teknik Intubasi ETT. Pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general
anestesi dikarenakan pasien lokasi yang akan dilakukan operasi adalah
pada daerah kepala sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan
anestesi spinal.
3. Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan
dipantau tanda-tanda vitalnya serta penilaian skor pemulihan anestesi
pada pasien ini dengan Aldrette Score dengan hasil 10 sehingga pasien
dipindahkan ke ruang perawatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Toriqoh, Lailatut. "Manajemen Anestesi pada Operasi Craniotomi Pasien
Cedera Kepala Sedang Akibat Epidural Hematoma: Sebuah Laporan
Kasus." Medical Profession Journal of Lampung 12.2 (2022): 297-301.
2. Gugule A.S, Posangi J, Mariati N.W.Gambaran Efek Pemberian Anestesi
Lokal Dengan Teknik Blok Mandibula FisherPada Peminum Alkohol.
Jurnal e-Gigi (eG),Volume 1, Nomor 1, Maret 2015
3. Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta
4. Morgan Ge Et Al. Clinical Anesthesiology. 6th Edition. New York: Lange
5. Okta, I.B,. Subagiartha, I.M,. Wiryana,M. 2017. Perbandingan Dosis
Induksi Dan Pemeliharaan Propofol Pada Operasi Onkologi Mayor Yang
Mendapatkan. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 9(3) : 137-145
6. Arvianto,. Oktaliansah, E,. Surahman, E. 2017. Perbandingan antara
Sevofluran dan Propofol Menggunakan Total Intravenous Anesthesia
Target Controlled Infusion terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan
Pasien pada Ekstirpasi Fibroadenoma Payudara. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 5(1) : 24-31.
7. Purmono A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC; 2015.

8. Amri Imtihanah, Kuliah Umum Manajemen Jalan napas. 2020


9. Rajagopal, S. buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Tangerang Selatan : karisma
publishing group. 2014
10. Reksoprodjo. Himpunan Makalah Prof. Dr.H.Reksoprodjo, SpB.,SpOT.
Jakarta : Pelangi Warna Kreasondo Print . 2006
11. Sari A. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Keterlambatan
Berobat Pada Pasien Patah Tulang Yang Menggunakan Sistem
Pembiayaan Jamkesmas [skripsi].Semarang : Universitas Diponogoro.
2012.
12. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI. 2009.
13. Syah, Bau Indah Aulyan, et al. "Penatalaksanaan anestesi pada pasien
cedera kepala berat akibat hematoma epidural akut disertai
kehamilan." Jurnal Neuroanestesi Indonesia 6.3 (2017): 169-77.

Anda mungkin juga menyukai