Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPARATOMI ATAS INDIKASI APENDICITIS


DENGAN GENERAL ANESTESI

Disusun Oleh :

BUDIYONO

NIM : P07120721027

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA JURUSAN KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
YOGYAKARTA
2021

1
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP TEORI PENYAKIT


1. Definisi
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm
(94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi
tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002)
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermicularis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia antara 10 sampai 30 tahun. (Mansjoer, Arief,dkk, 2007)
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks
dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis. (Ovedolf, 2006)
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur
yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul
dan multiplikasi. (Chang, 2010)
Appendictomy merupakan suatu pengangkatan appendiks terinflamasi,
dengan mengggunakan pendekatan endoscopy. (Marilynn, E Doengoes,2000)

2. Etiologi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
a. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi
ini terjadi karena:
1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak;
2) Adanya faekolit dalam lumen appendiks;
3) Adanya benda asing seperti biji-bijian;
4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.

2
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus.
c. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid
pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:
1) Appendik yang terlalu panjang;
2) Massa appendiks yang pendek;
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks;
4) Kelainan katup di pangkal appendiks. (Nuzulul, 2009)

3. Tanda dan Gejala


a. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan;
b. Mual, muntah;
c. Anoreksia, malaise;
d. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney;
e. Spasme otot;
f. Konstipasi. (Brunner & Suddart, 1997)

4. Pemeriksaan Diagnostik/Pemeriksaan Penunjang Terkait


a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith
dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
3
pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas
dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-
100% dan 96-97%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis
dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
b. Penatalaksanaan Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks
dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

4
6. WOC Apendisitis

5
B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan .(Sabiston, 2011)
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya
dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan
anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh
saja tanpa menghilangnya kesadaran. (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012)
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
(Morgan, 2011)
Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan
bahwa Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat
pembedahan atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit dengan cara trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.

2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh.
Anestesi umum dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau
melalui inhalasi. (Royal College of Physicians (UK), 2011)
Anestesi umum meliputi:
1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia)
2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia)
Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh sensasi
dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh.
Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur
mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.

6
b. Regional Anestesi
1) Pengertian Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang
intratekal, secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar
region lumbal di bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir.
(Keat, dkk, 2013)
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien
yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses
konduktifitas pada ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh
tertentu. (Rochimah, dkk, 2011)
2) Tujuan Anestesi Spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi spinal dapat
digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri
akut maupun kronik.
3) Kontraindikasi Anestesi Spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional yang
luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi
hipovolemia yang belum terkontrol karena dapat mengakibatkan
hipotensi berat.
4) Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut
Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010, ialah :
a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup;
b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan
memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera;
c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung
pada besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang
digunakan.
5) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang
utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1
jam, dan bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam
(Reeder, S., 2011).

7
3. Teknik Anestesi
Sebelum memilih teknik anestesi yang digunakan, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan diantaranya keselamatan pasien, kenyamanan pasien serta
kemampuan operator di dalam melakukan operasi pada penggunaan anestesi
tersebut. Terdapat dua kategori umum anestesi diantaranya Generał Anesthesia
(GA) dan Regional Anesthesia (RA) dimana pada RA termasuk dua teknik yakni
teknik spinal dan teknik epidural. Teknik anestesi dengan GA biasanya digunakan
untuk operasi yang emergensi dimana tindakan tersebut memerlukan anestesi
segera dan secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga diperlukan apabila terdapat
kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya terdapat peningkatan pada
tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di sekitar vertebra.
Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan
menggunakan teknik RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik
anestesi RA apabila waktu bukan merupakan suatu prioritas. Penggunaan RA
spinal lebih disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan teknik GA pada
sebagian kasus Apendisitis. Salah satu alasan utama pemilihan teknik anestesi RA
dibandingkan dengan GA adalah adanya resiko gagalnya intubasi trakea serta
aspirasi dari isi lambung pada teknik anestesi GA.

4. Rumatan Anestesi
a. Regional Anestesi
1) Oksigen nasal 2 Liter/menit;
2) Obat Analgetik;
3) Obat Hipnotik Sedatif;
4) Obat Antiemetik;
5) Obat Vasokonstriktor.
b. General Anestesi
1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia);
2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia);
3) Obat Pelumpuh Otot;
4) Obat Analgetik;
5) Obat Hipnotik Sedatif;
8
6) Obat Antiemetik.

5. Risiko
Menurut Latief (2002), beberapa risiko yang mungkin terjadi pada pasien
apendiktomi dengan anestesi spinal adalah :
a. Reaksi alergi;
b. Sakit kepala yang parah (PDPH);
c. Hipotensi berat akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’;
d. Bradikardi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas;
e. Trauma pembuluh darah;
f. Mual muntah;
g. Blok spinal tinggi atau spinal total.
C. TINJAUAN TEORI ASKAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang penderita agar dapat mengidentifikasi kebebutuhan
serta masalahnya. Pengkajian meliputi :
a. Data Subjektif
1) Pasien mengeluh nyeri pada bagian perut bawah sebelah kanan
2) Pasien mengatakan takut di operasi
3) Pasien merasa tidak dapat rileks
4) Pasien mengatakan belum pernah menjalani operasi
5) Pasien mengeluh mual dan pusing
6) Pasien mengatakan kedinginan
7) Pasien merasa badan lemas
8) Pasien mengatakan demam
9) Pasien mengeluh mules dan diare
10) Pasien mengatakan kaki sulit digerakkan
b. Data obyektif
1) Skala nyeri sedang sampai berat
2) Wajah pasien tampak grimace
3) Mukosa bibir kering dan pucat
4) Akral teraba dingin
5) CRT >3 detik
9
6) Tekanan darah pasien dibawah batas normal
7) Denyut nadi lemah dan tidak teratur
8) Pasien tampak lemah
9) Suhu tubuh >38,5oC
10) Bromage score >1

2. Masalah Kesehatan Anestesi


Pre Anestesi :
a. Nyeri
b. Ansietas
Intra Anestesi :
a. PK Disfungsi Respirasi
b. PK Disfungsi Kardiovaskular
c. Resiko Cedera Trauma Pembedahan
Post Anestesi :
a. Hipetermia
b. PK Cedera

3. Perencanaan Intervensi
Pre Anestesi :
a. Nyeri
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri hilang atau
terkontrol, klien tampak rileks.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mangatakan nyeri berkurang atau hilang
b) Pasien mampu istirahat atau tidur
c) Ekspresi wajah nyaman atau tenang
d) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-
100 x/mnt R : 16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
3) Rencana tinadakan:
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Identifikasi derajat, lokasi, durasi, frekwensi dan karakteristik
nyeri
10
c) Lakukan Teknik komunikasi terapeutik
d) Ajarkan Teknik relaksasi
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetic
a) Urine output 1-2 cc/KgBB/jam
b) Hasil lab elektrolit darah normal
b. Ansietas
1) Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas
berkurang/hilang.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat
anestesi/pembiusan
b) Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan
c) Pasien mengkomunikasikan perasaan negative secara tepat
d) Pasien tampak tenang dan kooperatif
e) Tanda-tanda vital normal
3) Rencana tindakan :
a) Kaji tingkat ansietas, catat verbal dan non verbal pasien.
b) Jelaskan jenis prosedur tindakan prosedur yang akan dilakukan
c) Berikan dorongan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan
d) Ajarkan teknik relaksasi
e) Kolaborasi untuk pemberian obat sedasi

Intra Anestesi :
a. PK Disfungsi Respirasi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak
terjadi disfungsi respirasi
2) Kriteria hasil :
a) Tidak terjadinya high spinal
b) Pasien dapat bernafas dengan relaks
c) RR normal : 16-20 x/menit
d) SaO2 normal : 95–100 %
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring Vital sign
11
b) Monitoring saturasi oksigen pasien
c) Atur posisi pasien
d) Berikan oksigen
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemasangan alat
ventilasi mekanik (k/p)
b. PK Disfungsi Kardiovaskular
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak
terjadi disfungsi kardiovaskular
2) Kriteria hasil :
a) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 – 80
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
x/menit
b) CM = CK
c) Tidak terjadi edema/asites
d) Tidak terjadi cyanosis
e) Tidak ada edema paru
3) Rencana tindakan :
a) Observasi TTV
b) Observasi kesadaran
c) Monitoring cairan masuk dan cairan keluar
d) Monitoring efek obat anestesi
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam tindakan perioperatif
maintenance cairan intravena dan vasopresor
c. Resiko Cedera Trauma Pembedahan
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak
terjadinya risiko cedera trauma pembedahan
2) Kreteria Hasil
a) Tidak adanya tanda-tanda trauma pembedahan
b) Pasien tampak rilaks selama operasi berlangsung
c) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 – 80
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
x/menit
12
d) Saturasi oksigen >95%
e) Pasien telah teranestesi, relaksasi otot cukup, dan tidak
menunjukkan respon nyeri
f) Tidak adanya komplikasi anestesi selama operasi berlangsung
3) Rencana tindakan :
a) Siapkan peralatan dan obatobatan sesuai dengan perencanaan
teknik anestesi
b) Atur posisi pasien
c) Bantu pemasangan alat monitoring non invasif
d) Monitor vital sign
e) Pantau kecepatan/kelancaran infus
f) Pasang nasal kanul 3 lt/menit
g) Bantu pelaksanaan anestesi (Regional anestesi) sesuai dengan
program kolaboratif spesialis anestesi
h) Atur pasien dalam posisi pembedahan
i) Cek tinggi blok spinal
j) Lakukan monitoring
k) Tidak adanya komplikasi anestesi selama operasi berlangsung
perianestesi
l) Atasi penyulit yang timbul
m) Lakukan pemeliharaan jalan napas
n) Lakukan pemasangan alat ventilasi mekanik
o) Lakukan pengakhiran tindakan anestesi
Post Anestesi :
a. Hipotermia
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
menunjukkan termoregulasi.
2) Kriteria hasil :
a) Akral hangat
b) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5oC)
c) CRT <2 detik
d) Pasien mengatakan tidak kedinginan
e) Pasien tampak tidak menggigil
13
3) Rencana tindakan :
a) Motitoring TTV
b) Berikan selimut hangat
c) Berikan infus hangat
d) Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah/mengurangi
menggigil
b. PK Cedera
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien aman
setelah pembedahan.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Bromage score <1
c) Pasien mengatakan kaki dapat digerakkan
d) Pasien tampak tidak lemah
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan pengaman pada tempat tidur pasien
d) Berikan gelang resiko jatuh
e) Latih angkat atau gerakkan ekstremitas bawah

4. Evaluasi
Pre Anestesi :
a. Nyeri
S : Pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
O : Skala nyeri ringan, TTV dalam batas normal
A : Masalah teratasi sebagian / masalah teratasi
P : Lanjutkan intervensi / pertahankan intervensi
b. Ansietas
S : Pasien mengatakan paham akan tindakan
O : Pasien tampak tidak gelisah lagi
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
14
Intra Anestesi :
a. PK. Disfungsi Respirasi
S:-
O : Pasien dapat bernafas dengan relaks
RR normal : 16-20 x/menit
SaO2 normal : 95–100 %
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
b. Komplikasi potensial syok kardiogenik
S : Pasien mengatakan tidak mual, tidak pusing dantidak lemas
O : Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 – 80 mmhg
Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20 x/menit
CM = CK
Tidak terjadi edema/asites
Tidak terjadi cyanosis
Tidak ada edema paru
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi

c. Resiko Cedera Trauma Pembedahan


S: -
O : - Tidak adanya tanda-tanda trauma pembedahan
- Pasien tampak rilaks selama operasi berlangsung
- Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 – 80
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
x/menit
- Saturasi oksigen >95%
- Pasien telah teranestesi, relaksasi otot cukup, dan tidak
menunjukkan respon nyeri
- Tidak adanya komplikasi anestesi selama operasi berlangsung
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
Post Anestesi :
15
a. Hipotermia
S: Pasien mengatakan sudah tidak kedinginan
O : Akral hangat, TTV dalam batas normal, pasien tampak tidak menggigil,
pasien tampak tidak pucat
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
b. PK Cedera
S : Pasien mengatakan tidak merasa lemas, pasien mengatakan kaki dapat
digerakkan
O : TTV dalam batas normal, bromage score <1, pasien mampu mobilitas
dini
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi

16
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta:
ECG

Carpenito. 2013. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC

Chang, E. dkk. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC

Doenges, Marlynn E. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: ECG

http://nuzulul.fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840
Kep%20PerencanaanAskep%20Apendisitis.html (diakses pada tanggal 9 Oktober 2020)

Keat, Sally.2013. Anaesthesia on the move. Jakarta: Indeks

Latief, Said. dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Medical Mini Notes. 2019. Anesthesia and Intensive Care. MMN

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2011. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange Medical
Books/McGraw-Hill

Nagelhout, John and Plaus. 2010. Handbook Of Nurse Anesthesia. USA: Elsevier.

Sabiston, D. C. 2011. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.

Syamsuhidajat, R & Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta: EGC

17

Anda mungkin juga menyukai