Disusun Oleh:
Niluh Fency Retmiana
N 111 17 084
Pembimbing Klinik:
dr. Ferry Lumintang, Sp.An
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. APPENDISITIS PERFORASI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan
ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendisitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya.5
Apendisitis akut adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang
paling sering ditemukan. Hipotesis penyebab paling umum adalah adanya
obstruksi lumen yang berlanjut kerusakan dinding apendiks dan
pembentukan abses. Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang
sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut
sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah
perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.5
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen
appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya
terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri.
Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan
pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi
appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid Carcinoid atau tumor
lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang parasit 1 Penyebab lain yang
diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh
parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada
pasien appendicitis yaitu7: Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa
Enterococcus Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila
species Lactobacillus species.5
STATICS :
S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope.
T= Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed).
A=Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung
faring(nasofaring) yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan napas.
T =Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut.
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea
mudah dimasukkan.
C =Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia.
S = Suction. Penyedot lendir dan ludah.
1) Induksi Intravena
Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati,
perlahanlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi
dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif. Jenis Induksi intravena:
a) Tiopental (pentotal, tiopenton) (amp 500 mg atau 1000 mg)
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan
kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien
berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi
napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan
likuor, tekanan intrakranial dan diguda dapat melindungi otak
akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
b) Propofol (diprivan, recofol) Dikemas dalam cairan emulsi
lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan
kepekatan 1% (1ml = 10 mg). Suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus
untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun
dan pada wanita hamil.
c) Ketamin (ketalar) Kurang digemari karena sering
menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfat atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10
mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1%
(1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
d) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) Diberikan dosis
tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung.
Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50
mcg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2) Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien
tidur.
3) Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida).
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal
25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada
anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan
salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
mininggikan kadar gula darah.
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih
iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan
teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan
untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. 9
4) Induksi perektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam. 3, 9
c. Rumatan Anestesi (Maintainance)
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat
inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara intermitten
atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan
intravena agar dosis masing-masing obat dapat diperkecil.
Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi umum sampai tingkat
kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita yang tingkat
analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila
mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
a) Gerakan lengan atau kaki
b) Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang
memakai pipa endotrakeal
c) Adanya lakrimasi
d) Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal,
broncospasme
e) Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah
cepat,
f) tekanan darah meningkat, berkeringat
Keadaan ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesi. Pada
operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang
maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik,
untuk operasi yang membuka abdomen maka usus akan bergerak dan
menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar
dilakukan. 3 8
Keadaan relaksasi bila terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga
bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi
adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis
obat, bila hanya menggunakan satu macam obat, keadaan relaksasi dapat
tercapai setelah dosis obat anestesi yang sedemikian tinggi, sehingga
menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan ini
akan mengancam jiwa penderita. 3
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias
anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan
obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya
menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini disebut balance
anestesi.3
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka
otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami
kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas.
Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), karena itu balance
anestesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali atau control
respiration. 3
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh
otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2. 3
d. Pemulihan anestesi
Pada akhir operasi, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anestesi, pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut
oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang
sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian
tekanan parsial obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,
sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat anestesi
inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari
dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan tekanan parsial
tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran penderita juga
berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anestesi dalam
darah. 2 8
Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka
kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat
metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan. Selanjutnya
pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu sadarnya
penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakeal
maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET) ekstubasi bisa
dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga
dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar
membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan napas, batuk,
muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan
naiknya tekanan intrakranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih
teranestesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas dalam
kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar. 2
Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi
dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya
penderita dari pengaruh muscle relaxan maka dilakukan reserve, yaitu
memberikan obat antikolinesterase. 2
B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR: 24 x/menit,
Mallampati: I, Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-) leher
pendek (-), pergerakan leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-),
pernapasan vesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-),
wheezing (-/-)
B2 (Blood)
Akral hangat,TD : 110/80 mmHg, HR : 88x/menit irama reguler, CRT <
2 detik. masalah pada sistem cardiovaskuler (-).
B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis GCS 15 (E4V5M6, Pupil: isokor Ø 3 mm/3mm,
Refleks Cahaya +/+
B4 (Bladder)
BAK lancar, produksi kesan normal, warna kuning jernih, frekuensi 5-6
kali sehari , Masalah pada sistem renal/endokrin (-)
B5 (Bowel)
Keluhan mual (+), muntah (+). Abdomen: Inspeksi tampak cembung,
kesan normal, Auskultasi peristaltik (+), kesan menurun, Palpasi nyeri
tekan (+), tidak teraba massa, Perkusi tympani (+) pada seluruh lapang
abdomen.
B6 Back & Bone
Nyeri (-), krepitasi (-) morbilitas (-), ekstremitas deformitas (-)
Pemeriksaan penunjang
Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Waktu
7.00 4-12 menit m.det
pembekuan/CT
Waktu
2.30 1-4 menit m.det
perdarahan/BT
MONITORING ANESTESI
Keterangan :
= mulai anestesi
= mulai operasi
= selesai operasi
= selesai anestesi
= obat premedikasi Midazolam 3 mg/iv
= obat premedikasi Ondancentron 4 mg/iv
= obat premedikasi Fentanyl 70 mg/iv
= obat premedikasi Dexamethason 5 mg/iv
= obat induksi Propofol 100mg/iv
= obat relaksan Atracurium 25 mg/iv
= obat Ketorolac 30 mg/iv
= cairan masuk 850 cc
= cairan keluar perdarahan 510 cc + urin 150cc = 660 cc
TERAPI CAIRAN
o Cairan masuk :
Pre operatif : Kristaloid RL 200 cc
Durante operatif : Kristaloid RL 650 cc
Total input cairan : 850 cc
o Cairan keluar :
Perdarahan :
kasa 4x4 (14 buah) 15 x 14 = 210 cc
Tabung suction +300 cc
Urin : ± 100 cc
Total output cairan : Perdarahan 510 cc, Urin± 150 cc = 660 cc
E. POST OPERATIF
1. Nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Memasang O2 2 L/menit nasal kanul.
3. Analgetik.
o Nadi : 88 x/menit
o RR: 22 x/menit
o TD: 108/68
o VAS Score: 6
BAB III
PEMBAHASAN
10 kg pertama 4 ml/kg/jam
Sehingga, pada pasien ini didapatkan 4-8 ml/kg = (4-8 ml) x 15 kg = 60 sampai
120 ml. Sedangkan cairan pengganti operasi selama 1 jam 50 menit adalah 1,5 x
(60 120 ) = 90 sampai 180 ml
Cairan yang dapat digunakan sebagai cairan maintenance adalah cairan
kristaloid (asering, RL) dengan perhitungan perbandingan 3:1.
4. Pengganti Perdarahan
Adapun MABL (Maximum Allowed Blood loss) pada pasien ini adalah sebagai
berikut. EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :
EBV = 65 ml/kg x BB kg
= 65 ml/kg x 15 kg
= 975 ml
MABL :
MABL = 536,2 ml
Defisit darah selama 1 jam 50 menit= 510 ml sedangkan pada pasien ini tidak
dilakukan transfusi darah karena kehilangan darahnya tidak mencapai MABL nya.
Sehingga pada pasien ini hanya perlu diberikan cairan kristaloid sesuai dengan
kebutuhan cairannya.
• Total kebutuhan cairan selama 110 menit operasi
= 795 ml
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA