YUSRIANI YUSUF
2014301158
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D IV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2020
A. Konsep dasar
1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum). Infeksi ini bisa
mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (Wim de Jong et al, 2010).
Apendisitis merupakan inflamasi akut pada apendisitis verniformis dan merupakan
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. (Brunner&Suddarth, 2014).
Usus buntu atau apendisk merupakan bagian usus yang terletak dalam pencernaan.
Untuk fungsinya secara ilmiah belum diketahui secara pasti, namun usus buntu ini
terkadang banyak sekali sel-sel yang berfungsi untuk mempertahankan atau imunitas
tubuh. Dan bila bagian usus ini mengalami infeksi akan sangat terasa sakit yang luar
biasa bagi penderitanya (Saydam Gozali, 2011).
Klasifikasi apendisitis menurut Nurafif & Kusuma (2013) terbagi menjadi 3 yaitu:
a. Apendisitis akut, radang mendadak di umbai cacing yang memberikan tanda,
disertai maupun tidak disertai rangsangan peritoneum lokal.
b. Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang di perut bagian
kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi
bila serangan apendisitis akut pertama sembuh spontan.
Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih
dari dua minggu (sumbatan di lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
di mukosa), dan keluhan hilang setelah apendiktomi.
2. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal menjadi faktor
penyebabnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor pencetus disamping
hyperplasia jaringan limfe, batu feses, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat juga
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis yaitu
erosimukosa apendiks karena parasite seperti E.Histolytica (Sjamsuhidajat, 2010).
3. Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinis menurut Lippicott Williams & wilkins (2011) Nyeri
periumbilikal atau epigastik kolik yang tergeneralisasi maupun setempat. Pada
kasus apendisitis dapat diketahui melalui beberapa tanda nyeri antara lain :
Rovsing’s sign, Psoassign dan Jumpsign.
a. Apendiksitis
1. Nyeri samar-samar
2. Terkadang terasa mual dan muntah
3. Anoreksia.
4. Disertai demam dengan suhu 37,5-38,5 ̊C
5. Diare
6. Konstipasi
7. Nilai leukosit meningkat dari rentang normal.
4. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait
a. Laboratorium Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90%
anak dengan appendicitis akuta.Jumlah leukosit pada penderita appendicitis
berkisar antara 12.000-18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrophil
(shifttotheleft) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis
appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien
dengan appendicitis.
b. Pemeriksaan Urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan
pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan
pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi didekat ureter.
c. Ultrasonografi Abdomen (USG) Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah
satu pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan
gejala appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG
lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang
merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan
diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith,
adanya cairan atau massa peri appendix. False positif dapat muncul
dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau
inflammatory bowel disease. False negative juga dapat muncul karena letak
appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang
menghalangi appendiks.
d. CT-scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas. Sensitifitas dan spesifisitasnya
kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas,
dan curiga adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test
diagnostik. Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix
dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang
terinfeksi akan mengecil.
5. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan apendicitis dibagi menjadi tiga (Brunner & Suddarth,
2010), yaitu:
a. Sebelum operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat
karena tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah
baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai
adanya apendisitis. Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada
kuadran kanan bawah setelah timbulnya keluhan.
2) Antibiotik Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi
memerlukan antibiotik, kecuali apendisitis tanpa komplikasi tidak
memerlukan antibiotik. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau preforasi.
3) Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi.
Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko
perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum
dengan pembedahan abdomen bawah atau dengan laparoskopi.
Laparoskopi merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Brunner
& Suddarth, 2010). Apendiktomi dapat dilakukan dengan
menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara teknik terbuka
(pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi
yang merupakan teknik pembedahan minimal invasive dengan metode
terbaru yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010).
A. PertimbanganAnestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi berarti “hilangnya rasa atau sensasi”. Istilah yang digunakan
para ahli saraf dengan maksud untuk menyatakan bahwa terjadi kehilangan rasa
secara patologis pada bagian tubuhtertentu, atau bagian tubuh yang dikehendaki
(Boulton,2012).
Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit atau nyeri
ketika melakukan tindakan pembedahan dan berbagai prosedur lainya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Amarta, 2012). Anestesi dibagi menjadi
dua, anestesi umum dan anestesi lokal. Anestesi umumadalahsuatu kondisiyang
ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat,
dalam hal ini selain hilangnya rasa nyeri dankesadaran juga hilang (Sriwijaya,
2008).
Anestesi lokal merupakan hilangnya sensasi rasa sakit dengan cara
aplikasi atau injeksi obat anestesi yang dapat menghambat konduksi saraf
(terutama nyeri) secara sementara pada daerah tertentu di bagian tubuh tanpa
disertai dengan hilangnya kesadaran (Hasanah, 2015). Anestesi lokal dalam
bidang kedokteran gigi, secara umum diindikasi untuk berbagai tindakan bedah
yang dapat menimbulkan rasa sakit yang tidak dapat tertahankan oleh pasien
(Putri, 2015).
2. Jenis Anestesi
a. Regional Anestesi
Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai
analgesik. Anestesi regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien tetap
dalam keadaan sadar. Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi trias
anestesi karena hanya menghilangkan persepsi nyeri saja (Pramono, 2017).
b. General Anestesi
Anestesi umum menurut American Association of
Anestesiologistmerupakan pemberian obat yang menginduksi hilangnya
kesadaran dimana pasien tidak arousable, meskipun dengan stimulasi yang
sangat menyakitkan. Kemampuan untuk mengatur fungsi pernafasan juga
terganggu. Pasien seringkali membutuhkan bantuan untuk menjaga patensi
jalan nafas, dan tekanan ventilasi positif dibutuhkan karena hilangnya
ventilasi spontan atau hilangnya fungsi neuromuskular. Fungsi
kardiovaskular juga terganggu (ASA., 2013).
3. Teknik Anestesi
a. Jenis Anestesi Regional menurut Pramono (2017) digolongkan sebagai
berikut :
1) Anestesi Spinal Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang
subaraknoid disegmen lumbal 3-4 ataulumbal 4-5. Untuk mencapai
ruang subaraknoid, jarum spinal menembus kulitsubkutan lalu
menembus ligamentum supraspinosum, ligamen interspinosum,
ligamentum flavum, ruang epidural, durameter, dan ruang
subaraknoid. Tanda dicapainya ruang subaraknoid adalah dengan
keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS). Menurut Latief (2010)
anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi abdomen bawah dan
ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular karena sederhana,
efektif, aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam plasma
yang tidak berbahaya serta mempunyai analgesi yang kuat namun
pasien masih tetap sadar, relaksasi otot cukup, perdarahan luka
operasi lebih sedikit, aspirasi dengan lambung penuh lebih kecil,
pemulihan saluran cerna lebih cepat (Longdong, 2011).
Anestesi spinal memiliki komplikasi. Beberapa komplikasi yaitu
hipotensi terjadi 20-70% pasien, nyeri punggung 25% pasien,
kegagalan tindakan spinal 3-17% pasien dan post dural punture
headachedi Indonesia insidensinya sekitar 10% pada pasien paska
spinal anestesi (Tato,2017). Kekurangan dari anestesi spinal dibahas
dalam sub bab komplikasi anestesi spinal.
2) Anestesi Epidural Anestesi yang menempatkan obat diruang
epidural (peridural, ekstradural). Ruang ini berada diantara
ligamentum flavum dan durameter. Bagian atas berbatasan dengan
foramen magnum di dasar tengkorak dan bagian bawah dengan
selaput sakrokoksigeal. Kedalaman ruang rata-rata 5 mm dan di
bagian posterior kedalaman maksimal terletak pada daerah lumbal.
Anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada saraf spinal
yang terletak di bagian lateral. Onset kerja anestesi epidural lebih
lambat dibanding anestesi spinal. Kualitas blokade sensoris dan
motoriknya lebih lemah.
3) Anestesi Kaudal Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi
epidural,karena kanalis kaudalis adalah kepanjangan dari ruang
epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus
sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum sakrokoksigeal.
Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale,
dan kantong dura. Teknik ini biasanya dilakukan pada pasien anak-
anak karena bentuk anatominya yang lebih mudah ditemukan
dibandingkan daerah sekitar perineum dan anorektal, misalnya
hemoroid dan fistula perianal.
b. Jenis General Anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat
dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
1) General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan
obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
2) General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke
udara inspirasi.
3) Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi
atau kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat
hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain.
Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat
analgetik opiat atau obat generalanestesiatau dengan cara
analgesia regional.
Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat
pelumpuh otot atau generala nestesi, atau dengan cara analgesia
regional.
4. Obat Anestesi
a. Premedikasi secara IV dengan obat-obat sebagai berikut:
1) Midazolam :0,04-0,10 mg/kgBB
2) Ondansentron :4-8 mg
3) Fentanyl : 1-2 mcg/kgBB
b. Induksi dengan menggunakan obat-obat sebagai berikut:
1) Pentothal : 3-5 mg/kgBB/IV
2) Propofol : 2-3 mg/kgBB/IV
c. Rumatan selama anestesi:
N2O : O2 = 50% : 50% dengan Isofluran (0,5-1 %) atau Sevofluran (1-2,5%)
d. Obat pelumpuh otot golongan non depol.
e. Obat reverse:
1) Opioid: Nalokson
2) Benzodiazepine: Flumazenil
3) Muscle Relaxan: Neostigmine : Sulfas Atropin
f. Terapi cairan
1) Jika perdarahan yang terjadi <20% dari EBV (Estimated Blood Volume),
berikan cairan pengganti kristaloid 2-3x jumlah perdarahan atau koloid sesuai
jumlah perdarahan atau campuran kristaloid + koloid. Tetapi apabila terjadi
perdarahan >20% dari EBV harus diberikan transfusi darah.
2) Kebutuhan Cairan Perioperatif
Maintenance = 1,5-2 cc/KgBB/jam
Stres operasi = 6-8 cc/kgBB/jam
5. Resiko
Beberapa efek samping anestesi seperti juga prosedur medis lainnya, anestesi berisiko
menimbulkan efek samping, baik ringan maupun berat. Berikut ini adalah efek
samping yang bisa terjadi akibat pemberian anestesi, berdasarkan jenis anestesinya:
a. Efek samping anestesi local :
1) Rasa nyeri, ruam, serta pendarahan ringan di area suntikan.
2) Sakit kepala
3) Pusing
4) Kelelahan
5) Mati rasa pada area yang disuntik
6) Kedutan pada jaringan otot
7) Penglihatan kabur.
b. Efek samping anestesi regional:
1) Sakit kepala
2) Menggigil / hipotermi
3) Reaksi alergi
4) Nyeri punggung
5) Perdarahan
6) Kejang
7) Sulit buang air kecil
8) Penurunan tekanan darah
9) Infeksi tulang belakang.
c. Efek samping anestesi umum:
1) Mual dan muntah
2) Mulut kering
3) Sakit tenggorokan
4) Suara serak
5) Rasa kantuk
6) Menggigil
7) Timbul nyeri dan memar di area yang disuntik atau dipasangkan infus
8) Kebingungan
9) Sulit buang air kecil
10) Kerusakan gigi.
Risiko untuk mengalami efek samping anestesi akan semakin tinggi apabila
pasien memiliki penyakit atau kondisi kesehatan tertentu, misanya penyakit
jantung atau obesitas. Usia yang terlalu muda atau terlalu tua, kebiasaan
merokok dan mengkonsumsi alkohol, serta konsumsi obat-obatan tertentu juga
akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping anestesi.
B. Web of caution (WOC)
b. Ansietas
1) Tujuan: setelah dilakukan implementasi selama 1x40 menit masalah
ansietas teratasi.
2) Kriteria hasil :
- Kriteria hasil:
- Pasien mengatakan paham dengan penjelasan tentangprosedur
operasi dan anestesi
3) Rencana Tindakan
– Observasi KU dan TTV pasien
– Berikan dukungan kepada pasien untuk mengungkapkan
kegelisahannya secara verbal
– Jelaskan mengenai prosedur anestesi dan tindakan pembedahan