DISUSUN OLEH :
FANGKY DIMAS SYAFEI
(2019040017)
2. Etiologi
Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya tetapi menghasilkan
lender 1-2 ml per hari yang normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya
mengalir kesekum. Hambatan aliran lendir dimuara apendiks tampaknya berperan di
dalam pathogenesis dalam pathogenesis apendiks (Wim de jong at ala.2016)
3. Tumor appendiks.
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis yang dapat menyebabkan sumbatan..
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada darah
lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan
neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam
setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum
protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning
(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94%
dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan
mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
yaitu 90-100% dan 96-97%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan
hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium
enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma
colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus
atau batu ureter kanan.
5. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna
untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi
dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
b. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka
dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan
intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi
intra-abdomen.
C. Pertimbangan Anestesi
1.Definisi Anestesi
Anestesia adalah suatu keadaan narcosis, analgesia, relaksasi dan hilangnya reflek
(Smeltzer, S C, 2002). Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis
kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangakan anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian
tubuh saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2011)
2.Jenis Anestesi
Menurut Potter & Perry tahun 2006, pasien yang mengalami pembedahan akan menerima
anestesi dengan salah satu dari tiga cara sebagai berikut:
a. Anestesi Umum Klien yang mendapat anestesi umum akan kehilangan seluruh
sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota
tubuh. Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur
mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.
b. Anestesi Regional Induksi anestesi regional menyebabkan hilangnya sensasi
pada daerah tubuh tertentu. Anestesi regional terdiri dari spinal anestesi,
epidural anestesi, kaudal anestesi. Metode induksi mempengaruhi bagian alur
sensorik yang diberi anestesi. Ahli anestesi memberi regional secara infiltrasi
dan lokal. Pada bedah mayor, seperti perbaikan hernia, histerektomi vagina,
atau perbaikan pembuluh darah kaki, anestesi regional atau spinal anestesi
hanya dilakukan dengan induksi infiltrasi. Blok anestesi pada saraf
vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan motoric menimbulkan
vasodilatasi yang luas sehingga klien dapat mengalami penurunan tekanan
darah yang tiba – tiba
c. Anestesi Lokal Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat
yang diinginkan. Obat anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat
terdifusi ke dalam sirkulasi. Anestesi lokal umumnya digunakan dalam prosedur
minor pada tempat bedah sehari.
3.Teknik Anestesi
General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan dengan 3
teknik, yaitu:
a. General Anestesi Intravena Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
b. General Anestesi Inhalasi Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
c. Anestesi Imbang Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi
obat- obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias
anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
i. Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum
atau obat anestesi umum yang lain.
ii. Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik
opiat atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
iii. Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh
otot atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.
Obat-obat
General Anestesi
Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah
general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi,
berikut obat-obat yang dapat digunakan pada kedua teknik tersebut.
Anestesi Intravena:
a. Atropine sulfat
b. Pethidin
c. Atrakurium
d. Ketamine hcl
e. Midazolam
f. Fentanyl
g. Rokuronium bromide
h. Prostigmin
Anestesi Inhalasi:
1. Nitrous Oxide
2. Halotan
3. Enfluren
4. Isofluran
5. Sevofluran
5. Resiko
WOC
E. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Pengkajian
Pengkajian Keperawatan
1. Data demografi Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register.
2. Riwayat kesehatan
(a) Keluhan utama Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
(b) Riwayat kesehatan sekarang Klien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan
bawah yang menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami
demam tinggi
(c) Riwayat kesehatan dahulu Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya
pada colon.
(d) Riwayat kesehatan keluarga Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis
penyakit yang sama.
3. Pemeriksaan fisik ROS (review of system)
(a) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai,
konjungtiva anemis.
(b) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD
>110/70mmHg; hipertermi.
(c) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada simetris, ada
tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping hidung, tidak
terpasang O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.
(d) Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi dan pendarahan.
(e) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancer.
(f) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena
proses perjalanan penyakit.
(g) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis, pucat.
(h) Abdomen : terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus ditandai dengan distensi
abdomen.
4. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon.
(a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Adakah ada kebiasaan merokok,
penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olahraga (lama
frekwensinya), karena dapat mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
(b) Pola nutrisi dan metabolism. Klien biasanya akan mengalami gangguan
pemenuhan nutrisi akibat pembatasan intake makanan atau minuman sampai
peristaltik usus kembali normal.
(c) Pola Eliminasi. Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi
kandung kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan
mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami
gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh anastesi sehingga terjadi
penurunan fungsi.
(d) Pola aktifitas. Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena
rasa nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya
setelah pembedahan.
(e) Pola sensorik dan kognitif. Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan
serta pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi
terhadap orang tua, waktu dan tempat.
(f) Pola Tidur dan Istirahat. Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang
sangat sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
(g) Pola Persepsi dan konsep diri. Penderita menjadi ketergantungan dengan
adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami
kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang
tidak stabil.
(h) Pola hubungan. Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak
bisa melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
(i) Pemeriksaan diagnostic.
1) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut.
2) Foto polos abdomen dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan non
spesifik seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau untuk
mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan.
3) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.
4) Pemeriksaan Laboratorium.
3. Rencana Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh
inflamasi)
Setelah dilakukan asuhan kepenataan, diharapkan nyeri klien berkurang dengan
kriteria hasil:
a) Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c) Tanda vital dalam rentang
normal Rencana Intervensi:
a) Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
b) Jelaskan pada pasien tentang penyebab nyeri
c) Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat / napas dalam
4. Evaluasi
Evaluasi Keperawatan Menurut (Setiadi, 2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan
keperawatan tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan
cara berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
Terdapa dua jenis evaluasi:
1. Evaluasi Formatif (Proses) Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera
setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini
meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP :
a) S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali pada klien yang
afasia.
b) (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh perawat.
c) A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis atau dikaji
dari data subjektif dan data objektif.
d) P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang dengan tujuan
memperbaiki keadaan kesehatan klien.
2. Evaluasi Sumatif (Hasil) Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah
semua aktivitas proses keperawatan selesi dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan
menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Ada 3
kemungkinan evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan (Setiadi,
2012), yaitu:
a) Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan perubahan sesuai
dengan standar yang telah ditentukan.
b) Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien masih dalam
proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian
kriteria yang telah ditetapkan.
c) Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya menunjukkan
sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Aru W, Sudoyo, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.5 Jilid 2. Jakarta :
Internal Publishing
Brunner, Suddarth. 2006. Keperawatan Medikal Bedah volume 2. Jakarta : EGC
Corwin, Elisabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Gallo, Hudak. 2010. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik Edisi 6 Volume 2. Jakarta :
EGC
Kidd, Pamela. 2011. Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC.
Krisanty, Paulina. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC.
Suratun. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal cet.1. Jakarta :
Trans Info Media.
Wilson, Iorraine dan Sylvia A. Prince. 2006. Patpfisiologi Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC