Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PASIEN Tn. K DENGAN APPENDISITIS DILAKUKAN


TINDAKAN OPERASI APPENDICTOMY DENGAN REGIONAL ANESTESI DI RUANG IBS
RS PKU MUHAMMADIYAH SRAGEN PADA TANGGAL
10 MEI 2023

DISUSUN OLEH :
FANGKY DIMAS SYAFEI
(2019040017)

PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN
PKU MUHAMMADIYAH
SURAKARTA 2022/2023
A. FORMAT LAPORAN PENDAHULUAN
B. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus
ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi
dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian
cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi
hancur. (Aru W, Sudoyo, dkk. 2017).
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pemanahan. Bila infeksi bertambah parah,
usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan
menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar
kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus
Iainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan
lendir. (Suratun. 2015).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2016)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab
yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahya (Corwin, 2018).

2. Etiologi
Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya tetapi menghasilkan
lender 1-2 ml per hari yang normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya
mengalir kesekum. Hambatan aliran lendir dimuara apendiks tampaknya berperan di
dalam pathogenesis dalam pathogenesis apendiks (Wim de jong at ala.2016)

1. Hiperplasia dan folikel limfoid.

2. Adanya fekalit (tinja/batu) dalam lumen appendiks.

3. Tumor appendiks.
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis yang dapat menyebabkan sumbatan..

5. Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histilitica.

Menurut penelitian, epidemlologi menunjukkan kebutuhan asaan makanan


rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan appendiksitis. Hal
tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional
appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.

3. Tanda dan Gejala


a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada darah
lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan
neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam
setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum
protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning
(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94%
dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan
mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
yaitu 90-100% dan 96-97%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan
hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium
enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma
colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus
atau batu ureter kanan.
5. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna
untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi
dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
b. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka
dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan
intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi
intra-abdomen.
C. Pertimbangan Anestesi

1.Definisi Anestesi

Anestesia adalah suatu keadaan narcosis, analgesia, relaksasi dan hilangnya reflek
(Smeltzer, S C, 2002). Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis
kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangakan anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian
tubuh saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2011)

2.Jenis Anestesi
Menurut Potter & Perry tahun 2006, pasien yang mengalami pembedahan akan menerima
anestesi dengan salah satu dari tiga cara sebagai berikut:
a. Anestesi Umum Klien yang mendapat anestesi umum akan kehilangan seluruh
sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota
tubuh. Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur
mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.
b. Anestesi Regional Induksi anestesi regional menyebabkan hilangnya sensasi
pada daerah tubuh tertentu. Anestesi regional terdiri dari spinal anestesi,
epidural anestesi, kaudal anestesi. Metode induksi mempengaruhi bagian alur
sensorik yang diberi anestesi. Ahli anestesi memberi regional secara infiltrasi
dan lokal. Pada bedah mayor, seperti perbaikan hernia, histerektomi vagina,
atau perbaikan pembuluh darah kaki, anestesi regional atau spinal anestesi
hanya dilakukan dengan induksi infiltrasi. Blok anestesi pada saraf
vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan motoric menimbulkan
vasodilatasi yang luas sehingga klien dapat mengalami penurunan tekanan
darah yang tiba – tiba
c. Anestesi Lokal Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat
yang diinginkan. Obat anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat
terdifusi ke dalam sirkulasi. Anestesi lokal umumnya digunakan dalam prosedur
minor pada tempat bedah sehari.
3.Teknik Anestesi
General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan dengan 3
teknik, yaitu:
a. General Anestesi Intravena Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
b. General Anestesi Inhalasi Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
c. Anestesi Imbang Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi
obat- obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias
anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
i. Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum
atau obat anestesi umum yang lain.
ii. Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik
opiat atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
iii. Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh
otot atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.

Teknik Anestesi Regional Meliputi 2 cara,yaitu :

1. Blok sentral (blok spinal,epidural,dan kaudal)


2. Blok perifer (blok pleksus,brachialis,aksiller,anestesi regional intravena)
Anestesi spinal merupakan pemberian obat anestestik lokal ke dalam
ruangsubarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestesi
lokal kedalam ruang subarachnoid sehingga terjadi blok saraf yang revesibel 12
pada radiks anterior dan radiks posterior,radiks ganglion,dan sebagian medulla
spinalis yang menyebabkan hilangnya aktivasi sensoris ,motoris,dan otonom
4. Rumatan Anestesi

Obat-obat

General Anestesi

Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah
general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi,
berikut obat-obat yang dapat digunakan pada kedua teknik tersebut.

Anestesi Intravena:

a. Atropine sulfat
b. Pethidin
c. Atrakurium
d. Ketamine hcl
e. Midazolam
f. Fentanyl
g. Rokuronium bromide
h. Prostigmin

Anestesi Inhalasi:

1. Nitrous Oxide
2. Halotan
3. Enfluren
4. Isofluran
5. Sevofluran

5. Resiko

Gangguan Pasca Anestesi (Potter dan Perry, 2010):

1. Pernapasan Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena hipoksia


sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi. Penyebab yang sering
dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa anastesi (penderita tidak sadar kembali)
dan sisa pelemas otot yang belum dimetabolisme dengan sempurna, selain itu lidah jatuh
kebelakang menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini menyebabkan
hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih beratmenyebabkan apnea.
2. Sirkulasi Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini
disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak cukup diganti. Sebab
lain adalah sisa anastesi yang masih tertinggal dalam sirkulasi, terutama jika tahapan
anastesi masih dalam akhir pembedahan.
3. Regurgitasi dan Muntah Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama
anastesi. Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
4. Hipotermi Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain itu juga
karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga memengaruhi ketiga elemen
termoregulasi yang terdiri atas elemen input aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat
dan juga respons eferen, selain itu dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta
mengganggu mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas
ambang untuk respons proses vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi, dan juga
berkeringat.
5. Gangguan Faal Lain Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan
oleh kerja anestesi yang memanjang karena 14 dosis berlebih relatif karena penderita
syok, hipotermi, usia lanjut dan malnutrisi sehingga sediaan anestesi lambat
dikeluarkan dari dalam darah.
D. Web of caution (WOC)

WOC
E. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Pengkajian
Pengkajian Keperawatan
1. Data demografi Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register.
2. Riwayat kesehatan
(a) Keluhan utama Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
(b) Riwayat kesehatan sekarang Klien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan
bawah yang menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami
demam tinggi
(c) Riwayat kesehatan dahulu Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya
pada colon.
(d) Riwayat kesehatan keluarga Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis
penyakit yang sama.
3. Pemeriksaan fisik ROS (review of system)
(a) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai,
konjungtiva anemis.
(b) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD
>110/70mmHg; hipertermi.
(c) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada simetris, ada
tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping hidung, tidak
terpasang O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.
(d) Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi dan pendarahan.
(e) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancer.
(f) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena
proses perjalanan penyakit.
(g) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis, pucat.
(h) Abdomen : terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus ditandai dengan distensi
abdomen.
4. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon.
(a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Adakah ada kebiasaan merokok,
penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olahraga (lama
frekwensinya), karena dapat mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
(b) Pola nutrisi dan metabolism. Klien biasanya akan mengalami gangguan
pemenuhan nutrisi akibat pembatasan intake makanan atau minuman sampai
peristaltik usus kembali normal.
(c) Pola Eliminasi. Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi
kandung kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan
mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami
gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh anastesi sehingga terjadi
penurunan fungsi.
(d) Pola aktifitas. Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena
rasa nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya
setelah pembedahan.
(e) Pola sensorik dan kognitif. Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan
serta pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi
terhadap orang tua, waktu dan tempat.
(f) Pola Tidur dan Istirahat. Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang
sangat sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
(g) Pola Persepsi dan konsep diri. Penderita menjadi ketergantungan dengan
adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami
kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang
tidak stabil.
(h) Pola hubungan. Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak
bisa melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
(i) Pemeriksaan diagnostic.
1) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut.
2) Foto polos abdomen dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan non
spesifik seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau untuk
mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan.
3) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.
4) Pemeriksaan Laboratorium.

2. Masalah Kesehatan Anestesi


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi(inflamasi appendicitis).
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (Infeksi pada appendicitis).
3. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif (muntah).
4. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
5. Resiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur infasive

3. Rencana Intervensi

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh
inflamasi)
Setelah dilakukan asuhan kepenataan, diharapkan nyeri klien berkurang dengan
kriteria hasil:
a) Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c) Tanda vital dalam rentang
normal Rencana Intervensi:
a) Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
b) Jelaskan pada pasien tentang penyebab nyeri
c) Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat / napas dalam

2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (Infeksi pada appendicitis).


Setelah dilakukan asuhan kepenataan diharapkan termoregulasi membaik dengan
Kriteria Hasil :
(a) Menggigil menurun.
(b) Takikardi menurun.
(c) Suhu tubuh membaik.
(d) Suhu kulit membaik
Rencana Keperawatan:
(a) Identifikasi penyebab hipertermia.
(b) Monitor suhu tubuh.
(c) Kolaborasikan untum pemberian obat melalui intravena
3. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif (muntah).
Setelah dilakukan asuhan kepenataan Status cairan membaik dengan Kriteria Hasil:
(a) Kekuatan nadi meningkat.
(b) Membrane mukosa lembap.
(c) Frekuensi nadi membaik.
(d) Tekanan darah membaik.
(e) Turgor kulit membaik
Rencana Intervensi:
(a) Periksa tanda dan gejala hipovolemia.
(b) Monitor intake dan output cairan.
(c) Berikan asupan cairan oral
4. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat ansietas menurun dengan Kriteria
Hasil :
(a) Verbalisasi kebingungan menurun.
(b) Verbalisasi khawatir akibat menurun.
(c) Prilaku gelisah menurun.
(d) Prilaku tegang
menurun. Rencana
Intervensi:
(a) Identivikasi saat tingkat ansietas berubah.
(b) Monitor tanda tanda ansietas verbal non verbal.
(c) Temani klien untuk mengurangi kecemasan jika perlu.
(d) Dengarkan dengan penuh perhatian.
5. Resiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur infasive
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat infeksi dengan Kriteria Hasil :
(a) Kebersihan tangan meningkat.
(b) Kebersihan badan meningkat.
(c) Demam, kemerahan, nyeri, bengkak
menurun. Rencana Intervensi:
(a) Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik.
(b) Batasi jumlah pengunjung
(c) Berikan perawatan kulit pada area edema.
(d) Cuci tangan seblum dan sesudah kontak dengan klien dan lingkungan klien.
(e) Pertahankan teknik aseptic pada klien beresiko tinggi.

4. Evaluasi
Evaluasi Keperawatan Menurut (Setiadi, 2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan
keperawatan tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan
cara berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
Terdapa dua jenis evaluasi:
1. Evaluasi Formatif (Proses) Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera
setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini
meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP :
a) S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali pada klien yang
afasia.
b) (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh perawat.
c) A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis atau dikaji
dari data subjektif dan data objektif.
d) P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang dengan tujuan
memperbaiki keadaan kesehatan klien.
2. Evaluasi Sumatif (Hasil) Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah
semua aktivitas proses keperawatan selesi dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan
menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Ada 3
kemungkinan evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan (Setiadi,
2012), yaitu:
a) Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan perubahan sesuai
dengan standar yang telah ditentukan.
b) Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien masih dalam
proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian
kriteria yang telah ditetapkan.
c) Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya menunjukkan
sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA

Aru W, Sudoyo, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.5 Jilid 2. Jakarta :
Internal Publishing
Brunner, Suddarth. 2006. Keperawatan Medikal Bedah volume 2. Jakarta : EGC
Corwin, Elisabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Gallo, Hudak. 2010. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik Edisi 6 Volume 2. Jakarta :
EGC
Kidd, Pamela. 2011. Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC.
Krisanty, Paulina. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC.
Suratun. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal cet.1. Jakarta :
Trans Info Media.
Wilson, Iorraine dan Sylvia A. Prince. 2006. Patpfisiologi Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai