APPENDIKSITIS
Disusun Oleh :
A. KONSEP DASAR
1. Definisi/Pengertian
Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendix, yang
merupakan saluran tersembunyi yang memanjang dari bagian
depan sekum. ((De Jong, 2014).).
Appendicitis adalah inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari
rongga abdomen. (Guyton, 2007).
Appendictomi adalah pengangkatan appendix melalui cara
pembedahan insisi paramedial-kanan (Manjoer, 2010).
2. Klasifikasi
Appendicitis dibagi menjadi 2 yaitu appendicitis akut dan appendicitis
kronik.
a. Appendicitis akut dibagi atas :
1) Appendicitis acute focalis atau segmentalis
Biasanya hanya bagian distal yang meradang, tetapi seluruh
rongga appendix 1/3 distal berisi nanah. Untuk diagnosis yang
penting ialah ditemukannya nanah dalam lumen bagian itu.
2) Appendicitis acute purulenta (supporativa) diffusa
Disertai pembentukan nanah yang berlebihan. Jika radangnya
lebih mengeras, dapat terjadi nekrosis dan pembusukan disebut
appendicitis gangrenosa. Pada appendicitis gangrenosa dapat
terjadi perforasi akibat nekrosis ke dalam rongga perut dengan
akibat peritonitis (De Jong, 2014).
b. Appendicitis chronic dibagi atas:
1) Appendicitis chronic focalis
Secara mikroskopik tampak fibrosis setempat yang melingkar,
sehingga dapat menyebabkan stenosis.
2) Appendicitis chronic obliterativa
Terjadi fibrosis yang luas sepanjang appendix pada jaringan
submukosa dan subserosa hingga terjadi obliterasi (hilangnya
lumen), terutama di bagian distal dengan menghilangnya
selaput lendir pada bagian itu (Guyton, 2007)..
3. Anatomi Fisiologi
Appendix merupakan organ berbentuk tabung yang buntu,
panjangnya kira-kira 10 cm (beranjak 3-15 cm) atau berukuran sekitar jari
kelingkin dan berpangkal di sekum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Tonjolan appendix pada neonatus berbentuk kerucut yang menonjol dari
apeks secum sepanjang 4,5 cm. Pada kanak-kanak, batas appendix dari
sekum semakin jelas dan bergeser ke arah dorsal kiri. Pada orang dewasa
panjang appendix rata-rata 9-10 cm, terletak posteromedial sekum. Posisi
appendix bisa retrosekal, retroileal, subileal atau dipelvis, memberikan
gambaran klinis yang tidak sama.
Fungsi appendix tidak diketahui. Kadang-kadang appendix disebut
“tonsil abdomen” karena ditemukan banyak jaringan limfoid. Diperkirakan
appendix mempunyai peranan dalam mekanisme imunologik. Dengan
berkurangnya jaringan limfoid, terjadi fibrosis dan kebanyakan kasus
timbul konstriksi lumen atau obliterasi. Pada posisi normalnya appendix
terletak pada dinding abdomen, di bawah titik Mc. Burney, dicari dengan
menarik garis dari spina iliaka superior kanan ke umbilikalis. Titik tengah
garis itu merupakan pangkal appendix. Appendix diperdarahi oleh arteria
appendikularis yang merupakan end artery (Guyton, 2007).
4. Etiologi
Faktor utama penyebab appendicitis adalah akibat penyumbatan
pada lumen appendix, hal ini biasanya disebabkan oleh :
a. Fekalit atau feses yang mengeras.
b. Cacing atau parasit.
c. Infeksi bakteri misalnya: E. coli, streptokokus
d. Tumor atau keganasan pada sekum.
e. Makanan yang sulit dicerna seperti: biji-bijian (Manjoer, 2010).
Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi,
mual-muntah, dan nyeri perut kanan bawah. Namun tidak semua
orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat
meriang atau mual-muntah saja.
Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag
di mana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan
terkadang demam yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa
mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke
perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis
akut. Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada letak usus buntu itu
sendiri terhadap usus besar. Apabila ujung usus buntu menyentuh
saluran kencing ureter, nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik
saluran kemih dan mungkin ada gangguan berkemih. Sementara bila
posisi usus buntunya ke belakang, rasa nyeri muncul pada
pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu
yang lain, rasa nyeri mungkin tidak begitu spesifik.
a. Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan bawah pada titik Mc.
Burney.
b. Anoreksia, mual dan muntah
c. Tegang pada perut.
d. Demam
e. Tanda rovsing : nyeri yang timbul dengan melakukan palpasi
kuadran kiri bawah ((De Jong, 2014).
6. Patofisiologi
Sebenarnya sampai saat ini appendix belum diketahui
fungsinya secara pasti. Secara normal appendix dapat berisi makanan
dan mengosongkan diri secara teratur, dengan menyalurkan isinya ke
dalam sekum. Akan tetapi karena berbagai sebab seperti terkumpulnya
fekalit, cacing/parasit, makanan biji-bijian, bakteri yang tertahan di
appendix dapat menyebabkan appendix tersebut terinfeksi dan
mengalami penyumbatan lumen appendix. Apendix ini mengeluarkan
cairan yang berupa secret mukus akibat obstruksi atau penyumbatan
lumen tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendix
mempunyai keterbatasan sehingga mengakibatkan mudah infeksi dan
dari penyumbatan ini lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya
peradangan pada apendix dengan tanda dan gejala nyeri pada titik
MC. Burney, mual, muntah, dan suhunya meningkat. Pada proses
peradangan ini, biasanya pasien dilakukan apendictomi. Pada proses
peradangan ini menyebabkan apendix melakukan pembentukan mukus
yang berlebihan, menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal
menyebabkan oklusi end artery apendikularis. Ini mengakibatkan
terjadinya hipoksia atau kekurangan oksigen dalam jaringan. Akibat
hipoksia timbul iskemia akibat trombosis vena intramural,
mengakibatkan terjadinya nekrosis, lama kelamaan menimbulkan
gangren. Pada gangren ini akan terjadi mukosa edema dan dapat
terlepas sehingga berbentuk tukak. Dinding appendix ini akan
menipis, rapuh dan pecah akan terjadi apendisitis perforasi. Seringkali
perforasi ini terjadi dalam waktu 24-36 jam. Bila proses ini berjalan
lambat maka organ di sekitar illeum terminalis, sekum dan omentum
akan membentuk dinding mengitari apendix sehingga berbentuk abses
yang terlokalisasi (Manjoer, 2010).
8. Komplikasi
Komplikasi utama appendicitis adalah perforasi appendix, yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Gejalanya mencakup
demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, nyeri abdomen yang
terus menerus (Guyton, 2007).
2. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
a. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi.
b. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama: perforasi atau ruptur pada appendix; pembentukan
abses.
c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
muntah pra operasi : status hipermetabolik (contoh demam).
d. cemas berhubungan dengan krisis situasional.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif.
f. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah.
b. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif,
insisi bedah.
c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
pembatasan pasca operasi (puasa).
3. Perencanaan Keperawatan
Pre Operasi
DP 1. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh
inflamasi.
HYD: Pasien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, pasien tampak
rileks dan mampu tidur/istirahat.
Intervensi:
a. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10),
selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
Rasional: Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan
terjadinya abses/peritonitis, memerlukan upaya evaluasi
medik dan intervensi.
b. Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.
Rasional: Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam
abdomen bawah atau pelvis.
c. Anjurkan pasien bedrest di tempat tidur.
Rasional: Mengurangi rasa nyeri dan perawat dapat melakukan
observasi keadaan umum pasien dan gejala yang
dirasakan klien sehingga dapat diberikan intervensi
yang tepat.
d. Berikan aktifitas hiburan.
Rasional: Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi dan
dapat meningkatkan kemampuan koping
e. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam dan batuk efektif.
Rasional: Untuk mengurangi tekanan pada abdomen dan
membantu otot-otot untuk relaksasi.
4. Perencanaan Pulang
4.1. Mobilisasi bertahap sesuai kemampuan seperti dalam waktu 2-4
minggu tidak boleh melakukan kegiatan seperti naik turun tangga,
mengangkat benda-benda berat atau aktivitas berat lainnya, karena
dapat menyebabkan terbuka/robeknya jahitan luka operasi.
4.2. Pada proses penyembuhan luka biasanya luka terasa gatal,
usahakan agar tidak menggaruknya karena dapat menyebabkan
terbukanya jahitan luka operasi dan proses penyembuhan luka pun
bisa terhambat dan bisa menimbulkan terjadinya infeksi.
4.3. Perhatikan pola makan sehari-hari seperti tinggi serat, banyak
minum air putih, diit ditingkatkan secara bertahap: bubur saring,
bubur biasa, nasi tim atau lunak, dan nasi biasa yang mengandung
karbohidrat, protein dan mineral yang penting untuk proses
penyembuhan luka.
4.4. Menghindari makanan yang mengandung gas seperti : kol, buncis,
nangka karena dapat menimbulkan kembung.
4.5. Perhatikan pola hidup yang sehat, seperti: makan makanan tinggi
serat; buah-buahan, banyak minum air putih. Hindari buah-buahan
atau makanan yang sulit dicerna seperti biji-bijian.
4.6. Minum obat sesuai instruksi dan secara teratur.
4.7. Kontrol ke dokter sesuai pesanan.
4.8. Segera ke rumah sakit bila terdapat tanda-tanda infeksi, panas,
merah, nyeri, bengkak dan kehilangan fungsi (Syamsuhidajat.
2007).
PATHWAY
(E. coli, streptokokus)
Fekalit, cacing, infeksi bakteri
Obstruksi
Pelebaran appendix
Mudah infeksi
- Mual, muntah
Appendictomi Peradangan dinding appendix - Suhu meningkat
- Nyeri tekan
Mc.Burney
Insisi Bedah Pembentukan mukus >>>
Nyeri b.d insisi
bedah.
Peningkatan tekanan intraluminal
Hipoksia jaringan
Nekrosis
De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2 . EGC.
Jakarta.
Guyton, AC dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Ed: ke-9 . Jakarta:
EGC
Manjoer, Arif.2010. Kapita Selekta Kedokteran ed.3 cetakan 1 . Media
Aesculapsus:Jakarta
Smeltzer & Suzanne C.2011. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
edisi 8,vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta.
Syamsuhidajat. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah . Jakarta : EGC.