BAB I
PENDAHULUAN
Kontrol nyeri pasca operasi masih menjadi suatu hal terpenting dan masalah yang masih
ditekankan karena alasan berikut ini:1
1. Lebih dari seratus juta penduduk dunia yang menjalani operasi per tahun mengalami
nyeri paska operasi dengan berbagai intensitas
2. Pada banyak pasien, nyeri diterapi dengan tidak adekuat mengakibatkan mereka
mengalami penderitaan yang tak seharusnya dan banyak berkembang komplikasi
yang tidak dibutuhkan sebagai konsekuensi dari nyeri
3. Modalitas analgesik bila dipakai secara tepat dapat mencegah atau sekurangnya
meminimalisir derita yang tidak berguna dan timbulnya komplikasi
Lokasi operasi memiliki efek yang amat besar pada derajat nyeri paska operasi yang
mungkin diderita pasien. Operasi pada thorax dan abdomen atas lebih menyakitkan daripada
operasi abdomen bawah, dimana, sebaliknya, adalah lebih nyeri daripada operasi perifer pada
tungkai.1
Nyeri paska operasi akut yang tidak sembuh memiliki efek terhadap kehidupan sehari-
hari pasien paska operasi seperti susah tidur, penurunan nafsu makan, keadaan emosi yang
tidak stabil dan kesulitan untuk berkonsentrasi.1
Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk memperbaiki kualitas
hidup pasien, memfasilitasi penyembuhan segera dan kembali ke fungsi tubuh yang
sempurna, mengurangi morbiditas dan memungkinkan untuk keluar dari rumah sakit sesegera
mungkin.2
Manfaat manajemen nyeri paska operasi yang efektif meliputi kenyamanan pasien dan
oleh karenanya juga kepuasan pasien, mobilisasi lebih awal, komplikasi jantung dan paru
yang lebih sedikit, mengurangi resiko trombosis vena dalam, penyembuhan yang lebih cepat
dengan kurangnya kemungkinan berkembang ke arah nyeri neuropatik dan pengurangan
biaya perawatan.3
BAB II
NYERI
1
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
2
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
C. Menurut berat ringannya nyeri dikategorikan sebagai nyeri ringan, sedang, berat.
Tingkatan ini ditetapkan berdasarkan beberapa parameter yang dijelaskan pada
penilaian skala nyeri.4
2. TRANSMISI
3
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati
kornu dorsalis korda spinalis menuju korteks serebri. Transmisi sepanjang akson
berlangsung karena proses polarisasi depolarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke
pasca sinaps melewati neurotransmitter.
3. MODULASI
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh system saraf, dapat meningkatkan
atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi melalui system analgesia
endogen yang melibatkan bermacam neurotransmitter antara lain golongan endorphin
yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di korda spinalis. Impuls ini bermula dari
area periaquaductusgrey (PAG) dan menghambat transmisi impuls pre maupun pasca
sinaps di tingkat spinalis.
4. PERSEPSI
Persepsi adalah hasil rekontruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri yang
diterima. Rekontruksi merupakan hasil system saraf sensorik, informasi kognitif
( korteks serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala). Persepsi
menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan. Sebagai contoh, terdapat penderita
yang tenang menghadapi pembedahan karena menerima pembedahan sebagai upaya
penyembuhan. Motivasi positif ini memicu pelepasan endorphin dan rangkaian reaksi
yang mengaktifkan system analgesia endogen, hasil akhir adalah rangsang nyeri
berkurang.
4
2.4 Penilaian Skala Nyeri
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
Ada empat skala yang digunakan untuk menentukan derajat intesitas nyeri.2
1. Eskpresi wajah. Skala ini digunakan untuk pasien yang mengalami komunikasi.
Misalnya anak-anak, orang tua, pasien jiwa, pasien ganguan mental atau pasien yeng
tidak dapat berbicara dengan bahasa setempat.
2. Verbal Rating Scale (VRS). Dimana pasien ditanya tentang derajat nyeri. Yaitu nyeri
ringan, sedang, hebat dan sangat hebat
3. Numerical Rating Scale (NRS) terdiri daripada angka 0-5 atau 0-10 dimana pasien
ditanya tentang intensitas nyerinya dalam bentuk angka.
4. Visual Analog Scale (VAS). Terdiri dari pada garis lurus sepanjang 100 ml meter
dimana pasien membuat tanda silang pada garis yang mengambarkan itensitas
nyerinya
kedua adalah pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat
tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan
kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah
ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di
perifer.5
7
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
Analgesik Non-Opioid
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh dunia adalah
aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan
sampai sedang.5
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh dunia. Obat
ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme menjadi asam salisilat
yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam
8
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga
dosis tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat
berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida. Dosis berkisar dari minimal
500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4 g, per oral per hari. Aspirin memiliki efek
samping yang cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan mual, gangguan dan
perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini,
penggunaan aspirin untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia
obat-obatan alternatif lainnya.5
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik dan
antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim
cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang
merupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan
karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada
umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal,
dan permukaan sendi tulang.5
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya tindakan.
Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang panjang maka
dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-
obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang
dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet
sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat
sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan
pendarahan lambung sebagai efek samping. 5
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap riwayat
ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan dengan kehilangan
darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap riwayat
hipersensitif untuk OAINS atau aspirin. Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral
tersedia. Obat ini secara klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih
rendah dibandingkan dengan OAINS dan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia
obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan
sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria dan diserap dengan baik.5
9
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
Tabel 4: NSAIDs5
Daily dose
Drug name Forms available Half life (h)
range
Ibuprofen Tablet, syrup 600- 1200mg 1-2
Diclofenac Tablet, suppository, injection, cream 75- 150mg 1-2
Naproxen Tablet, suspension, suppository 500- 1000mg 14
Piroxicam Capsule, suppository, cream, injection 10- 30mg 35+
Ketorolac Tablet, injection 10- 30mg 4
Indomethacin Capsule, suspension, suppository 50- 200mg 4
Mefenamic
Tablet, capsule 1500mg 4
acid
Opioid Lemah
Codeine
Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti morfin). Codeine
kurang aktif daripada morfin, memi liki efek yang dapat diprediksi bila diberikan secara oral
dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan
parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang
dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg -
60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300 mg setiap hari. Dextropropoxyphene secara
struktural berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal
ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan yang sama
seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan
parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari. Kombinasi
opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna dalam prosedur
pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau
untuk rawat jalan digunakan:
10
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat
digunakan5
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu
dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin. Tramal dapat diberikan secara oral
dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari.6
Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan opioid kuat
sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia pada pasien yang telah sembuh dari
pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfin
sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara
pemberian lain harus dilakukan.5
Tabel 5.Opioid kuat5
pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek bronko kontriksinya. Efek
11
sampingnya juga menyebabkan pruritus, konstipasi dan retensio urin. Morfin dapat
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
diberikan secara sub kutan, intra muskular, intra vena, epidural dan intra tekal. Dosis
anjuran untuk mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara sub kutan,
intra muskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa dapat
diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk megurangi nyeri
dewasa paska bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-
0,2 mg intra tekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam.6
Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda
dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek samping yang mendekati asma.
Perbedaan dengan morfin adalah sebagai berikut:
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.
Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat.
Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan, dan takikardi.
Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter
Oddi lebih ringan.
Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah yang tidak
ada hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa.
Sedangkan morfin tidak.
Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.6
Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali morfin, lebih
larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Efek depresi nafas
lebih lama dibandingkan dengan efek analgesiknya. Dosis 1-3 µg/kgBB analgesiknya
berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya digunakan untuk anestesi
pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.6
Anestesi Lokal
12
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
Respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya perdarahan dan nyeri
yang teratasi dengan baik. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang dapat
dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang efektif.5
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti Bupivacaine dapat
memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam. Apabila nyeri berlanjut, dapat
diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer
akan memberikan analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau
saraf tersebut.5
Table 6: Anastesi local yang digunakan untuk nyeri akut 5
Max. single
% solution %
dose mg/kg.
for Duration solution
Agent (Total mg in Comments
analgesic (hours) for
adults* see
blocks infusion
footnote)
Lignocaine
Infiltration 0.5-1 1-2 7 -
Epidural 1-2 1-2 (500) 0.3-0.7 Rapid onset.
Plexus or Dense motor block.
0.75-1.5 1-3 0.5-1.0
nerve
Mepivacaine
Infiltration 0.5-1 1.5-3 7 - Rapid onset.
Epidural 1-2 1.5-3 (500) 0.3-0.7 Dense motor block.
Plexus or Longer action than
0.75-1.5 2-4 0.5-1.0
nerve lignocaine.
Prilocaine
Infiltration 0.5-1 1-2 8.5 - Rapid onset.
Epidural 2-3 1-3 (600) 0.5-1 Dense motor block.
Least toxic amide
Plexus or
1.5-2 1.5-3 0.75-1.25 agent. Methaema-
nerve
globinaemia >600mg
Bupivacaine
13
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
14
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
BAB15
IV
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
KESIMPULAN
Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
Nyeri paska operasi termasuk nyeri akut yang bila tidak tertangani dengan baik bisa
mengarah kepada nyeri kronik.
Ada 4 tahap dalam fisiologi nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi
Penilaian skala nyeri bisa dilakukan berdasarkan beberapa skala
Manajemen nyeri paska operasi bisa dilakukan melalui manajemen farmakologis dan
non farmakologis
16
DAFTAR PUSTAKA
Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
“MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI”
Oleh : Esi Daktari Nanda (0471110069), Cut Kartika Sari (0471150053), Fajar Ariansyah (0471110015))
Pembimbing : Dr. Azwar Risyad, Sp.An
1. Suza DE., 2007, Pain Experiences and Pain Management of Postoperative Patients,
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007,
http.//www.httplibrary.usu.co.id
2. Andres, Jose, Fischer, J, Ivani, Girgio, et.all. Postoperative Pain Management Good
Clinical Pratice. Of European Society of Regional Anasthesia.2005.
3. Ramsay MA., 2000, Acut Postoperative Pain Manajement, http.//www.bumc.com
4. Wirjoatmodjo, Karjadi, 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional
5. Charlton ED. Postoperative Pain Management. World Federation of Societies of
Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm
6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR., 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Jakarta,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
17