Anda di halaman 1dari 37

Referat

Mekanisme Terapi Farmakologis pada Nyeri

Pembimbing :
dr. Ihyan Amri, Sp. B

Oleh :
Siti Sulaihah 2016.04.2.0160
Stefani 2016.04.2.0162
Syafika Biscay Jayanti 2016.04.2.0167

BAGIAN ILMU BEDAH

RSUD dr. MOHAMAD SOEWANDI

SURABAYA

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. KONSEP NYERI

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan. Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya
kerusakan atau penyakit di dalam tubuh.

Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :

 Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan,


berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang
nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.
 Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan
kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini
disebut sebagai nyeri kronis.

Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi,


defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri
memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri
sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme
defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau
patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.

Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri
pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya, nyeri
yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut
menderita radang usus buntu. Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan,
mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda bahwa proses
persalinan sudah dimulai.

2
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke
berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang dirasakanya tidak lagi
berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau diagnostik, tetapi akan menambah
penderitaannya semakin berat.

Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan


penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk
mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu
kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga
maupun lingkungannya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI NYERI

Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP,
1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan
dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui
bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai.
Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur
dan jenis kelamin.

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri
yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan
sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang


memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri
dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

4
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.

Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada
pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman
dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko
tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.

Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska
pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu
sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua
sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat
timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti:

• Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus


asa
• Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka
• Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi
sehingga meningkatkan kepekaan nyeri
• Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi
• Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme

5
Gambar 2.1-1. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut
akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan atau trauma

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan


itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses
pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan
zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh
jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang
berperan pada proses transduksi dari nyeri.

6
2.2 MEKANISME NYERI

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai
oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla
spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan,
maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan


kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius
ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan
menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.

2.2.1 Sensitisasi Perifer

Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan


kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya
seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,
chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang
nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor
menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi


nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor
spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara
bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan
menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang
dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

7
Gambar 2.2-1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral.

2.2.2 Sensitisasi Sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses
ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam
beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif
kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis
menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri.

8
2.3 NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian,
viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran
stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal.
Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi
yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah
perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan
saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang
otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa
beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut
bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan.
Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena
iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada
saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit
bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C
tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang
lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta
mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat–serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan
untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi
inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena
sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai
reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak.
Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan
nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan
mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini
biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk
mempertahankan fungsi.

9
2.4 Neurotransmiter
Neurotransmiter merupakan zat kimia yang disintesis didalam neuron dan berfungsi untuk
meneruskan informasi elektrik dari sebuah neuron ke neuron lain dalam sel saraf.
Sifat neurotransmiter adalah sebagai berikut :
 Disintesis di neuron presinaps,
 Disimpan di vesikel dalam neuron presinaps,
 Dilepaskan dari neuron di bawah kondisi fisiologis,
 Segera dipindahkan dari sinaps melalui uptake atau degradasi,
 Berikatan dengan reseptor menghasilkan respon biologis.

Neurotransmiter dibedakan menjadi dua tipe, yaitu eksitasi dan inhibisi.


1. Eksitasi, antara lain :
 Asetilkolin
 Aspartat
 Dopamin
 Histamin
 Norepinefrin
 Epinefrin
 Glutamat
 Serotonin

10
2. Inhibisi, antara lain :
 GABA
 Glycine

a. Asetilkolin
Fungsi utama asetilkolin adalah mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan
pemusatan perhatian. Berperan pula pada proses penyimpanan dan pemanggilan
kembali ingatan, atensi dan respon individu, mengatur atensi, memori, rasa haus,
pengaturan mood, memfasilitasi perilaku seksual dan tonus otot.
Di otak, asetilkolin ditemukan pada cerebral cortex, hippocampus (terlibat dalam
fungsi ingatan), basal ganglia (terlibat dalam fungsi motoris), dan cerebrum
(koordinasi bicara dan motoris). Ach merupakan neurotransmitter yang tidak
diproduksi didalam neuron. Ia
ditransportasikan ke otak dan ditemukan pada seluruh bagaian otak. Asetilkolin
memiliki
konsentrasi tinggi di basal ganglia dan cortex motorik.
Kekurangan asetilkolin : kurangnya inhibisi, berkurangnya fungsi memori,
antisosial, penurunan fungsi bicara.
Kelebihan asetilkolin : over-inhibisi, ansietas, depresi dan keluhan somatik.
b. Dopamin
Dopamin di produksi pada inti-inti sel yang terletak dekat dengan sistem
aktivasi retikuler. Dopamin dibentuk dari asam amino tirosin, yang berfungsi
membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan dan meningkatkan
kewaspadaan mental. Walaupun dopamin diproduksi oleh otak, individu tetap
membutuhkan asupan tirosin yang cukup guna memproduksi dopamin. Tirosin di
temukan pada makanan berprotein seperti daging, produk-produk susu (seperti keju),
ikan , kacang panjang, kacang-kacangan dan produk kedelai. Dengan 3-4 ons protein
sehari, energi kita akan lebih terjaga.
c. Fungsi Dopamin sebagai neururotransmiter kerja cepat disekresikan oleh neuron-
neuron yang berasal dari substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir
pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya sebagai inhibisi
d. Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area tapi juga eksitasi pada beberapa
area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi menyebar ke setiap area otak,

11
sementara serotonin dan dopamin terutama ke regio ganglia basalis dan sistem
serotonin ke struktur garis tengah (midline)
e. Ada empat jaras dopamin di otak, yaitu tuberoinfundobulair, nigrostriatal,
mesolimbik, mesokorteks-mesolimbik. Sistem ini berfungsi untuk mengatur
motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas yang bertujuan, terarah dan kompleks,
serta tugas-tugas fungsi eksekutif. Penurunan aktivitas dopamin pada sistem ini
dikaitkan dengan gangguan kognitif, motorik, dan anhedonia yang merupakan
manifestasi simptom depresi.

f. Histamin
g. Norepinefrin
h. Norepinephrine memiliki konsentrasi tinggi di dalam locus ceruleus serta dalam
konsentrasi sekunder dalam hippocampus, amygdala, dan kortex cerebral. Selain
itu ditemukan juga dalam konsentrasi tinggi di saraf simpatis.
i. Norepinephrine dipindahkan dari celah synaptic dan kembali ke penyimpanan
melalui proses reuptake aktif.
j. Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi;
mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan memory.
k. Gejala Defisit : Ketumpulan. Kurang energi (Fatique), Depresi
l. Gejala Berlebihan : Anxietas. kesiagaan berlebih. Penurunan rasa awas, Paranoia,
Kurang napsu makan. dan Paranoid
m. Badan sel neuron adrenergik yang menghasilkan norepinefrin terletak di locus
ceruleus(LC) batang otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal
ganglia, hipotalamus dan talamus. Ia berperan dalam mulai dan mempertahankan
keterjagaan (proyeksi ke limbiks dan korteks). Proyeksi noradrenergik ke
hipokampus terlibat dalam sensitisasi perilaku terhadap stressor dan pemanjangan
aktivasi locus ceruleus dan juga berkontribusi terhadap rasa ketidakberdayaan
yang dipelajari. Locus ceruleus juga tempat neuron-neuron yang berproyeksi ke
medula adrenal dan sumber utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah
perifer.
n. Stresor akut dapat meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi aktivasi fungsi LC,
fungsi vegetatif seperti makan dan tidur menurun. Persepsi terhadap stressor
ditangkap oleh korteks yang sesuai dan melalui talamus diteruskan ke LC,
selanjutnya ke komponen simpatoadrenalsebagai respon terhadap stressor akut

12
tsb. Porses kognitif dapat memperbesar atau memperkecil respon simpatoadrenal
terhadap stressor akut tersebut.
o. Rangsangan terhadap bundel forebrain (jaras norepinefrin penting di otak)
meningkat pada perilaku yang mencari rasa senang dan perilaku yang bertujuan.
Stressor yang menetap dapat menurunkan kadar norepinefrin di forbrain medial.
Penurunan ini dapat menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada
depresi.
p. Hasil metabolisme norepinefrin adalah 3-methoxy-4-
hydroxyphenilglycol (MHPG). Penurunan aktivitas norepinefrin sentral dapat
dilihat berdasarkan penurunan ekskresi MHPG. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa MHPG mengalami defisiensi pada penderita depresi. Kadar MHPG yang
keluar di urin meningkat kadarnya pada penderita depresi yang di ECT (terapi
kejang listrik).
q. Epinefrin
r. Glutamat
s. Asam amino glutamat dan glisisn merupakan neurotransmiter utama di SSP, yang
terdistribusi hampir di seluruh otak. Ada 5 reseptor glutamat, yaitu NMDA,
kainat, L-AP4, dan ACPD. Bila berlebihan, glutamat bisa menyebabkan
neurotoksik. Obat-obat yang antagonis terhadap NMDA mempunyai efek
antidepresan.
t. Glutamat merupakan neurotransmitter excitatory utama pada otak dimana hampir
tiap area otak berisi glutamate. Glutamat memiliki konsentrasi tinggi di
corticostriatal dan di dalam sel cerebellar. Gangguan pada neurotrasmitter ini akan
berakibat gangguan atau penyakit bipolar afektif dan epilepsi.
u. Fungsi Utama Glutamat adalah pengaturan kemampuan memori dan memelihara
ufngsi automatic.
v. Gejala Defisit : Gangguan memori, Low energy, Distractibilitas. Schizophrenia
w. Gejala Berlebihan : Kindling, Seizures dan Bipolar affective disorder.

x. Serotonin
Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke korteks
serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan hipokampus. Proyeksi ke
tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya dalam gangguan-gangguan psikiatrik.

13
Ada sekitar 14 reseptor serotonin, 5-HT1A dst yang terletak di lokasi yang berbeda di
susunan syaraf pusat.
Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido. Sistem serotonin
yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi mengatur ritmik
sirkadian (siklus tidur-bangun, temperatur tubuh, dan fungsi axis HPA). Serotonin
bersama-sama dengan norepinefrin dan dopamin memfasilitasi gerak motorik yang
terarah dan bertujuan. Serotonin menghambat perilaku agresif pada mamalia dan
reptilia.
Kelainan Serotonin (5HT) berimplikasi terhadap beberapa jenis gangguan jiwa yang
mencakup ansietas, depresi, psikosis, migren, gangguan fungsi seksual, tidur, kognitif,
dan gangguan makan.
Banyak tindakan dalam perawatan gangguan jiwa adalah dengan jalan mempengaruhi
sistem serotonin tersebut.
Fungsi Utama dari Serotonin (5HT) adalah dalam pengaturan tidur, persepsi nyeri,
mengatur status mood dan temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi
atau marah dan libido.
Gejala Defisit : Irritabilitas & Agresif, Depresi & Ansietas, Psikosis, Migren,
Gangguan fungsi seksual, Gangguan tidur & Gangguan kognitif, Gangguan makan.
Obsessive compulsive disorder (OCD)
Gejala Berlebihan : Sedasi, Penurunan sifat dan fungsi aggresi Pada kasus yang
jarang: halusinasi
Neurotransmiter serotonin terganggu pada depresi. Dari penelitian dengan alat
pencitraan otak terdapat penurunan jumlah reseptor pos-sinap 5-HT1A dan 5-HT2A
pada pasien dengan depresi berat. Adanya gangguan serotonin dapat menjadi tanda
kerentanan terhadap kekambuhan depresi.
Dari penelitian lain dilaporkan bahwa respon serotonin menurun di daerah prefrontal
dan temporoparietal pada penderita depresi yang tidak mendapat pengobatan. Kadar
serotonin rendah pada penderita depresi yang agresif dan bunuh diri.
Triptofan merupakan prekursor serotonin. Triptofan juga menurun pada pasien
depresi. Penurunan kadar triptofan juga dapat menurunkan mood pada pasien depresi
yang remisi dan individu yang mempunyai riwayat keluarga menderita depresi.
Memori, atensi, dan fungsi eksekutif juga dipengaruhi oleh kekurangan triptofan.
Neurotisisme dikaitkan dengan gangguan mood, tapi tidak melalui serotonin. Ia
dikaitkan dengan fungsi kognitif yang terjadi sekunder akibat berkurangnya triptofan.

14
Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA (hidroxyindolaceticacid). Terdapat
penurunan 5-HIAA di cairan serebrospinal pada penderita depresi. Penurunan ini
sering terjadi pada penderita depresi dengan usaha-usaha bunuh diri.
Penurunan serotonin pada depresi juga dilihat dari penelitian EEG tidur dan HPA
aksis. Hipofontalitas aliran darah otak dan penurunan metabolisme glukosa otak
sesuai dengan penurunan serotonin. Pada penderita depresi mayor didapatkan
penumpulan respon serotonin prefrontal dan temporoparietal. Ini menunjukkan bahw
adanya gangguan serotonin pada depresi.
Pada penderita bulimia nervosa (BN), dan terkait pesta-purge sindrom, faktor
serotonin pusat (5-hydroxytryptamine, 5-HT) berkontribusi tidak hanya untuk
disregulasi appetitive tetapi juga untuk manifestasi temperamental dan kepribadian.
Pada temuan dari studi neurobiologis, molekul-genetik, dan otak-pencitraan, telah
diungkapkan model integratif peran 5-HT fungsi dalam sindrom bulimia.

y. GABA (γ-Aminobutyric acid)


z. GABA merupakan neurotransmitter yang memegang peranan penting dalam
gejala-gejala pada gangguan jiwa. Hampir tiap-tiap area otak berisi neuron-neuron
GABA.
aa. GABA (gamma-aminobutyric acid) memiliki efek inhibisi terhadap monoamin,
terutama pada sistem mesokorteks dan mesolimbik.
bb. Pada penderita depresi terdapat penurunan GABA. Stressor khronik dapat
mengurangi kadar GABA dan antidepresor dapat meningkatkan regulasi reseptor
GABA.Banyak pathway di otak menggunakan GABA dan merupakan
Neurotransmitter utama untuk sel Purkinje. GABA dipindahkan dari synaps
melalui katabolism oleh GABA transaminase
cc. Fungsi Utama adalah menurunkan arousal dan mengurangi agresi, kecemasan dan
aktif dalam fungsi eksitasi.
dd. Gejala Defisit : Irritabilitas, Hostilitas, Tension and worry, Anxietas, Seizure.
ee. Gejala Berlebihan : Mengurangi rangsang selular, Sedasi dan Gangguan memori

ff. Glisin

15
2.5 PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang


disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang
nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat
diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).

2.5.1 Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu
stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas
listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena
trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin,
dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor
nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

2.5.2 Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi
melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls
tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus
dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa
rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri
yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini
mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.
Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan
dirasakan sebagai persepsi nyeri.

16
2.5.3 Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis
dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh
tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan
proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin,
serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat
subjektif pada setiap orang.

2.5.4 Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan
modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi
dari sensorik.

Gambar 2.4-1. Pain Pathway

17
2.6 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK

Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan
obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas
enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik
opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis
sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi.

Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami


metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan
gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan
(eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf
terhadap suatu rangsangan nyeri (nosiseptif).

Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis


prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang
menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni
baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan
perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu
ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan
inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan
platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan
mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan
diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi,
demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam
merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral.

2.7 KLASIFIKASI NYERI

Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika cedera
fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan, depresi dan
kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat

18
sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu
pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi
(akut, kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,
kanker).

2.7.1 Nyeri Akut dan Kronik

Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah
nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat. Nyeri akut ini dialami segera
setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai
malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik
malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting
disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik
kemungkinan mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan
(nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis
yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada
spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit.

Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem
saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat
nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia.
Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada
atau tidaknya nyeri.

Nyeri akut Nyeri kronik


- Lamanya dalam hitungan menit - Lamannya sampai hitungan bulan
- Sensasi tajam menusuk - Sensasi terbakar, tumpul, pegal
- Dibawa oleh serat A-delta - Dibawa oleh serat C
- Ditandai peningkatan BP, nadi, dan - Fungsi fisiologi bersifat normal
respirasi
- Kausanya spesifik, dapat diidentifikasi - Kausanya mungkin jelas mungkin tidak
secara biologis - Tidak ada keluhan nyeri, depresi dan
- Respon pasien : Fokus pada nyeri, kelelahan

19
menangis dan mengerang, cemas - Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon
- Tingkah laku menggosok bagian yang terhadap nyeri
nyeri - Respon terhadap analgesik : sering
- Respon terhadap analgesik : kurang meredakan nyeri
meredakan nyeri secara efektif

2.7.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik

Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif
adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang
menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung
jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap
analgesik opioid atau non opioid.

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada
saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan
perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami
nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid.

2.7.3 Nyeri Viseral

Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari
tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri
viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering
bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi,
dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.

Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot
lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada
peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering
digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri
tajam bila organ padat terkena.

20
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos,
distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi pada
organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi
pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan.

Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar
melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana rangsang
dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari
struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls
nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical,
ganglion stellate, dan bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem
simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab
impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim
otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat
sensitif pada nyeri.

2.7.4 Nyeri Somatik

Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi
dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot
skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau
iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang
menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding
parietal menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi
pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri
sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada
daerah yang rusak.

Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri dari
viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri
berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke
rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus
dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri

21
berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen,
rangsangan ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri
menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan
bawah.

2.8 PENILAIAN NYERI

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska
pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk
menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat
berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.

Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:

1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan
gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada
pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 2.7-1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale

22
2. Verbal Rating Scale (VRS)

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ;
tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Gambar 2.7-2. Verbal Rating Scale

3. Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien
ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 –
10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri
yang hebat.

Gambar 2.7-3. Numerical Rating Scale

4. Visual Analogue Scale (VAS)

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan
skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis
(10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk

23
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan
lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS
telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga
secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah,
hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan.
Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik
kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data
dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah
dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri
sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat
analgesic penyelamat (rescue analgetic).

Gambar 2.7-4. Visual Analogue Scale

2.9 PENANGANAN NYERI

Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus memahami


tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri ini terdapat
prinsip-prinsip umum yaitu :

1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama

2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat

3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga

4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan

24
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi

6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan

7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multi disiplin

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-


besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk
terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non farmakologik.

Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan
pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi
(multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik
dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).

2.9.1 Farmakologis

Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik oral


parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal.

Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur
dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk
penanganan nyeri paska pembedahan.

25
Tabel 2.8-1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri

Tabel 2.8-2. Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenis operasi

26
Pedoman terapi pemberian analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan
berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan penderita yang direkomendasikan oleh WHO
dan WFSA. Dimana terapi analgesia yang diberikan pada intensitas nyeri yang lebih rendah,
dapat digunakan sebagai tambahan analgesia pada tingkat nyeri yang lebih tinggi.

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder.
Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari :

1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat
opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu :

1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3


2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

2.9.1.1 Analgesia Multimodal

Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa
dijumpainya peningkatan efek samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu
obat saja. Dimana analgesi multimodal melakukan intervensi nyeri secara berkelanjutan
pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni:

• Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan AINS


• Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional)
• Peningkatan proses modulasi dengan opioid

Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan dengan


penggunaan parasetamol dan AINS sebagai kombinasi dengan opioid atau anestesi lokal

27
untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang mengalami nyeri paska
pembedahan ditingkat sedang sampai berat. Analgesia multimodal selain harus diberikan
secepatnya (early analgesia), juga harus disertai dengan inforced mobilization (early
ambulation) disertai dengan pemberian nutrisi nutrisi oral secepatnya (early alimentation).

2.9.1.2 Analgesia Preemptif

Analgesia preemptif artinya mengobati nyeri sebelum terjadi, terutama ditujukan


pada pasien sebelum dilakukan tindakan operasi (pre-operasi). Pemberian analgesia sebelum
onset dari rangsangan melukai untuk mencegah sensistisasi sentral dan membatasi
pengalaman nyeri selanjutnya. Analgesia preemptif mencegah kaskade neural awal yang
dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang
ditimbulkan oleh rangsangan luka. Dengan cara demikian keluhan nyeri paska bedah akan
sangat menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri paska pembedahan tanpa memakai cara
analgesia preemptif. Bisa diberikan obat tunggal, misalnya opioid, ketorolak, maupun
dikombinasikan dengan opioid atau AINS lainnya, dilakukan 20 – 30 menit sebelum
tindakan operasi.

2.9.1.3 PCA (Patient Control Analgesia)

Pasien dikontrol nyerinya dengan memberikan obat analgesik itu sendiri dengan
memakai alat (pump), dosis diberikan sesuai dengan tingkatan nyeri yang dirasakan. PCA
bisa diberikan dengan cara Intravenous Patient Control Analgesia (IVPCA) atau Patient
Control Epidural Analgesia (PCEA), namun dengan cara ini memerlukan biaya yang mahal
baik peralatan maupun tindakannya.

2.9.1.4 Parasetamol

Parasetamol banyak digunakan sebagai obat analgetik dan antipiretik, dimana


kombinasi parasetamol dengan opioid dapat digunakan untuk penanganan nyeri berat paska

28
pembedahan dan terapi paliatif pada pasien-pasien penderita kanker. Onset analgesia dari
parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena, efek puncak tercapai dalam 30 – 45 menit
dan durasi analgesia 4 – 6 jam serta waktu pemberian intravena 2 – 15 menit. Parasetamol
termasuk dalam kelas “aniline analgesics” dan termasuk dalam golongan obat antiinflamasi
non steroid (masih ada perbedaan pendapat). Parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang
sedikit dibandingkan dengan obat AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja dengan
mekanisme yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat sintesa prostaglandin).
Parasetamol juga lebih baik ditoleransi dibandingkan aspirin dan obat AINS lainnya pada
pasien-pasien dengan sekresi asam lambung yang berlebihan atau pasien dengan masa
perdarahan yang memanjang.

Gambar 2.8-1. Rumus Bangun Parasetamol

Dosis pada orang dewasa sebesar 500 – 1000 mg, dengan dosis maksimum
direkomendasi 4000 mg perhari. Pada dosis ini parasetamol aman digunakan untuk anak-anak
dan orang dewasa.

Mekanisme kerja utama dari parasetamol adalah menghambat siklooksigenase (COX)


dan selektif terhadap COX-2. Analgetik dan antipiretik dari parasetamol sebanding dengan
aspirin dan obat AINS lainnya, akan tetapi aktifitas anti inflamasi perifernya dibatasi oleh
beberapa faktor, dimana diantaranya terdapat kadar peroksida yang tinggi di lesi inflamasi.
Oleh karena itu selektifitas akan COX-2 tidak secara signifikan menghambat produksi pro-
clotting tromboxane. Parasetamol menurunkan bentuk oksidasi dari enzim COX, yang
melindungi dari pembentukan kimiawi bentuk pro-inflammatory. Ini juga akan menurunkan
jumlah dari prostaglandin E2 di SSP, akibatnya menurunkan batas ambang hipotalamus di
pusat termoregulasi.

Parasetamol menghambat kerja COX dengan dua jalur, yang pertama bekerja dengan
cara menghambat COX-3 (variant dari COX-1). Enzim COX-3 ini hampir sama dengan
enzim COX lainnya dengan menghasilkan kimiawi pro-inflammatory dan penghambat
selektif oleh parasetamol. Jalur kedua bekerja seperti aspirin dengan memblok

29
siklooksigenase, dimana didalam lingkungan inflamasi dengan konsentrasi peroksida yang
tinggi dan melindungi aksi kerja parasetamol dalam keadaan oksidasi tinggi. Ini berarti
bahwa parasetamol tidak memiliki efek langsung pada tempat inflamasi, akan tetapi bereaksi
di SSP dimana keadaan lingkungan tidak teroksidasi. Namun mekanisme kerja pasti dari
parasetamol di COX-3 masih diperdebatkan.

Bioavailibilitas dari parasetamol adalah 100%. Parasetamol dimetabolisme di hati


dengan tiga jalur metabolik, yakni glucuronidation 40%, sulfation 20-40% dan N-
hydroxylation serta GSH konjugasi 15%, dengan obat dan metabolitnya diekskresikan
melalui ginjal.

Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, tidak


mempengaruhi koagulasi darah atau fungsi ginjal. Parasetamol dipercaya aman digunakan
pada wanita hamil (tidak mempengaruhi penutupan ductus arteriosus), tidak seperti efek yang
ditimbulkan oleh penggunaan obat AINS. Tidak seperti aspirin, parasetamol tidak
berhubungan dengan resiko penyebab sindroma Reye pada anak-anak dengan penyakit virus.
Satu-satunya efek samping dari penggunaan parasetamol adalah resiko terjadi hepatotoksik
dan gangguan gastrointestinal pada penggunaan dosis tinggi, yaitu diatas 20.000 mg perhari.

2.9.1.5 Ketorolak

Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti inflamasi non
steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic acid dimana secara
struktur kimia berhubungan dengan indometasin. Ketorolak menunjukkan efek analgesia
yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang sedang bila diberikan secara
intramuskular atau intravena.

Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat tunggal
maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi nosiseptif dari
opioid.

30
Gambar 2.8-2. Rumus Bangun Ketorolak

(±) – 5 – benzoyl - 2,3 – dihydro - 1H – pyrrolizine – 1 – carboxylic acid,

2 - amino – 2 (hydroxymethyl) - 1,3 – propanediol

Mekanisme kerja utama dari ketorolak adalah menghambat sistesa prostaglandin


dengan berperan sebagai penghambat kompetitif dari enzim siklooksigenase (COX) dan
menghasilkan efek analgesia. Seperti AINS pada umumnya, ketorolak merupakan
penghambat COX non selektif. Efek analgesianya 200 – 800 kali lebih poten dibandingkan
dengan pemberian aspirin, indometasin, naproksen dan fenil butazon pada beberapa
percobaan di hewan.

Sedangkan efek anti inflamasinya kurang dibandingkan efek analgesianya, dimana


efek anti inflamasinya hampir sama dengan indometasin11,66. Setelah injeksi intramuskular
dan intravena, onset analgesia tercapai dalam waktu 10 menit dengan efek puncak 30 – 60
menit dan durasi analgesia 6 – 8 jam dengan waktu pemberian intravena > 15 detik.
Bioavailibilitas dari ketorolak 100% dengan semua jalur pemberian baik intravena maupun
intramuskular. Metabolisme berkonjugasi dengan asam glukoronik dan para hidroksilasi di
hati. Obat dan hasil metabolitnya akan diekskresikan melalui ginjal 90% dan bilier sekitar
10%66,68. Efek samping dari ketorolak bisa bermacam-macam, yaitu:

1. Secara umum

Bronkospasme yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit nasal poliposis,
asma dan sensitif terhadap aspirin. Dapat juga terjadi edema laring, anafilaksis, edema lidah,
demam dan flushing.

31
2. Fungsi platelet dan hemostatik

Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen sehingga mencetuskan


agregasi platelet sehingga waktu perdarahan dapat meningkat pada pasien yang mendapatkan
anestesi spinal, akan tetapi tidak pada pasien yang mendapat anestesi umum. Perbedaan ini
dimungkinkan karena reflek status hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin
karena stress pembedahan berbeda pada anestesi umum dan anestesi spinal. Dapat juga
terjadi purpura, trombositopeni, epistaksis, anemia dan leukopeni.

3. Gastrointestinal

Dapat menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal, perforasi, mual, muntah, dispepsia,


konstipasi, diare, melena, anoreksia dan pankreatitis.

4. Kardiovaskuler

Hipertensi, palpitasi, pallor dan syncope

5. Dermatologi

Ruam, pruritus, urtikaria, sindroma Stevens-Jhonson, sindroma Lyell

6. Neurologi

Nyeri kepala, pusing, somnolen, berkeringat, kejang, vertigo, tremor, halusinasi,


euforia, insomnia dan gelisah.

7. Pernafasan

Dispnu, asma, edema paru, rhinitis dan batuk

8. Urogenital

Gagal ginjal akut dan poliuri.

32
2.9.2 Non-Farmakologis

Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan
dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait
keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik
untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku.
Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau
digunakan sebagai adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.

Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk membantu


penanganan nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang
dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk nyeri kronik (gangguan muskuloskletal,
nyeri kepala), terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan
rangsangan elektrik pada sistem saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral
Stimulation).

1. Terapi dan Modalitas Fisik

Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat,
stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas atau dingin, olahraga).
Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk
“menutup gerbang” bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga
nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh
mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.

Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah pemijatan
atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi
terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan
meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila
dilakukan oleh individu yang penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang
positif.

Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari suatu alat
yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang

33
diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan bagian
yang nyeri. TENS digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri
pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis
rematoid.

Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai
titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasif lain untuk
merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang
disebut akupresur.

Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk
melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan
kekakuan dan imobilitas.

Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui sebagai
metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat disalurkan melalui
konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi
(whirpool, sitz bath, berendam air panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat
memar, spasme otot, dan artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh
darah dan meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera traumatik
saat masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas mungkin
meredekan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin,
histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.

Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi dingin efektif
untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat, terkilir). Dingin dapat
disalurkan dalam bentuk berendam atau komponen air dingin, kantung es, aquamatic K pads,
dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema
serta perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan
memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih
sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan
mengurangi persepsi nyeri.

34
2. Strategi kognitif-perilaku

Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap nyeri,


mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang lebih mampu untuk
mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan
(imagery), hipnosis, dan biofeedback. Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku
menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan, pada praktik keduanya tidak dapat
dipisahkan.

Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan bernafas dalam,
meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan
mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus
nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.

Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan perhatian pasien


pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi, membaca buku, mendengar musik,
dan melakukan percakapan.

Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan fasilator yang
mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan pemandangan atau sensasi yang
menyenangkan untuk mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Tehnik ini sering
dikombinasikan dengan relaksasi.

Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana


memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga bergantung pada kemampuan
ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan-bayangan yang paling konstruktif.

Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan untuk
memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada pasien sehingga
pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot,
kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak.

35
BAB III

KESIMPULAN

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu kerusakan


atau gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen
nyeri pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan. Manajemen
nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang lebih baik tetapi juga
pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam menangani nyeri pascaoperasi,
dapat digunakan obat-obatan seperti opioid, OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat
dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing
individu adalah berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan
sebagai metode yang paling efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi
meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi
pasien.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of Societies


of Anaesthesiologists http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm
2. Conn D, Murdoch J. Manajemen Nyeri Akut. In : Kedokteran Perioperatif.
Oxford University Press ; 2000. p.57-69.
3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral
catheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior
cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.
4. Guyton, A C & Hall, J E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, editor Bahasa
Indonesia : Irawati Setiawan Edisi 9. Jakarta: EGC. 1997
5. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute
postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds.
Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book;
1992:253-68
6. Jensen MP, Martin SA, Cheung R. The meaning of pain relief in a clinical
trial. The Journal of Pain. 2005 ; 6 (6) : 400-6.
7. Jensen MP, Chen C, Brugger AM. Interpretation of visual analog scale ratings
and change scores : a reanalysis of two clinical trial of postoperative pain. The
Journal of Pain. 2003 ; 4(7) : 401-7.
8. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill
Livingstone. 2006
9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pain Managament. In : Morgan GE,
editor. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange Medical Books/McGraw-Hill ;
2006. p. 359-412.
10. Tanra AH. Pengelolaan Nyeri Paska Bedah. Pertemuan Ilmiah Berkala (PIB)
IX IDSAI. Medan ; 2002 : 413.
11. Wikipedia. Paracetamol. The Free Encyclopedia. Available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Paracetamol.
12. Wikipedia. Ketorolak. The Free Encyclopedia. Available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Ketorolak.

37

Anda mungkin juga menyukai