Pembimbing :
dr. Ihyan Amri, Sp. B
Oleh :
Siti Sulaihah 2016.04.2.0160
Stefani 2016.04.2.0162
Syafika Biscay Jayanti 2016.04.2.0167
SURABAYA
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan. Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya
kerusakan atau penyakit di dalam tubuh.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri
pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya, nyeri
yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut
menderita radang usus buntu. Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan,
mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda bahwa proses
persalinan sudah dimulai.
2
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke
berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang dirasakanya tidak lagi
berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau diagnostik, tetapi akan menambah
penderitaannya semakin berat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP,
1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan
dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui
bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai.
Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur
dan jenis kelamin.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri
yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan
sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
4
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada
pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman
dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko
tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska
pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu
sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua
sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat
timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti:
5
Gambar 2.1-1. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut
akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan atau trauma
6
2.2 MEKANISME NYERI
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai
oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla
spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan,
maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak.
7
Gambar 2.2-1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral.
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses
ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam
beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif
kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis
menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri.
8
2.3 NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian,
viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran
stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal.
Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi
yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah
perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan
saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang
otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa
beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut
bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan.
Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena
iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada
saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit
bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C
tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang
lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta
mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat–serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan
untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi
inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena
sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai
reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak.
Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan
nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan
mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini
biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk
mempertahankan fungsi.
9
2.4 Neurotransmiter
Neurotransmiter merupakan zat kimia yang disintesis didalam neuron dan berfungsi untuk
meneruskan informasi elektrik dari sebuah neuron ke neuron lain dalam sel saraf.
Sifat neurotransmiter adalah sebagai berikut :
Disintesis di neuron presinaps,
Disimpan di vesikel dalam neuron presinaps,
Dilepaskan dari neuron di bawah kondisi fisiologis,
Segera dipindahkan dari sinaps melalui uptake atau degradasi,
Berikatan dengan reseptor menghasilkan respon biologis.
10
2. Inhibisi, antara lain :
GABA
Glycine
a. Asetilkolin
Fungsi utama asetilkolin adalah mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan
pemusatan perhatian. Berperan pula pada proses penyimpanan dan pemanggilan
kembali ingatan, atensi dan respon individu, mengatur atensi, memori, rasa haus,
pengaturan mood, memfasilitasi perilaku seksual dan tonus otot.
Di otak, asetilkolin ditemukan pada cerebral cortex, hippocampus (terlibat dalam
fungsi ingatan), basal ganglia (terlibat dalam fungsi motoris), dan cerebrum
(koordinasi bicara dan motoris). Ach merupakan neurotransmitter yang tidak
diproduksi didalam neuron. Ia
ditransportasikan ke otak dan ditemukan pada seluruh bagaian otak. Asetilkolin
memiliki
konsentrasi tinggi di basal ganglia dan cortex motorik.
Kekurangan asetilkolin : kurangnya inhibisi, berkurangnya fungsi memori,
antisosial, penurunan fungsi bicara.
Kelebihan asetilkolin : over-inhibisi, ansietas, depresi dan keluhan somatik.
b. Dopamin
Dopamin di produksi pada inti-inti sel yang terletak dekat dengan sistem
aktivasi retikuler. Dopamin dibentuk dari asam amino tirosin, yang berfungsi
membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan dan meningkatkan
kewaspadaan mental. Walaupun dopamin diproduksi oleh otak, individu tetap
membutuhkan asupan tirosin yang cukup guna memproduksi dopamin. Tirosin di
temukan pada makanan berprotein seperti daging, produk-produk susu (seperti keju),
ikan , kacang panjang, kacang-kacangan dan produk kedelai. Dengan 3-4 ons protein
sehari, energi kita akan lebih terjaga.
c. Fungsi Dopamin sebagai neururotransmiter kerja cepat disekresikan oleh neuron-
neuron yang berasal dari substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir
pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya sebagai inhibisi
d. Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area tapi juga eksitasi pada beberapa
area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi menyebar ke setiap area otak,
11
sementara serotonin dan dopamin terutama ke regio ganglia basalis dan sistem
serotonin ke struktur garis tengah (midline)
e. Ada empat jaras dopamin di otak, yaitu tuberoinfundobulair, nigrostriatal,
mesolimbik, mesokorteks-mesolimbik. Sistem ini berfungsi untuk mengatur
motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas yang bertujuan, terarah dan kompleks,
serta tugas-tugas fungsi eksekutif. Penurunan aktivitas dopamin pada sistem ini
dikaitkan dengan gangguan kognitif, motorik, dan anhedonia yang merupakan
manifestasi simptom depresi.
f. Histamin
g. Norepinefrin
h. Norepinephrine memiliki konsentrasi tinggi di dalam locus ceruleus serta dalam
konsentrasi sekunder dalam hippocampus, amygdala, dan kortex cerebral. Selain
itu ditemukan juga dalam konsentrasi tinggi di saraf simpatis.
i. Norepinephrine dipindahkan dari celah synaptic dan kembali ke penyimpanan
melalui proses reuptake aktif.
j. Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi;
mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan memory.
k. Gejala Defisit : Ketumpulan. Kurang energi (Fatique), Depresi
l. Gejala Berlebihan : Anxietas. kesiagaan berlebih. Penurunan rasa awas, Paranoia,
Kurang napsu makan. dan Paranoid
m. Badan sel neuron adrenergik yang menghasilkan norepinefrin terletak di locus
ceruleus(LC) batang otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal
ganglia, hipotalamus dan talamus. Ia berperan dalam mulai dan mempertahankan
keterjagaan (proyeksi ke limbiks dan korteks). Proyeksi noradrenergik ke
hipokampus terlibat dalam sensitisasi perilaku terhadap stressor dan pemanjangan
aktivasi locus ceruleus dan juga berkontribusi terhadap rasa ketidakberdayaan
yang dipelajari. Locus ceruleus juga tempat neuron-neuron yang berproyeksi ke
medula adrenal dan sumber utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah
perifer.
n. Stresor akut dapat meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi aktivasi fungsi LC,
fungsi vegetatif seperti makan dan tidur menurun. Persepsi terhadap stressor
ditangkap oleh korteks yang sesuai dan melalui talamus diteruskan ke LC,
selanjutnya ke komponen simpatoadrenalsebagai respon terhadap stressor akut
12
tsb. Porses kognitif dapat memperbesar atau memperkecil respon simpatoadrenal
terhadap stressor akut tersebut.
o. Rangsangan terhadap bundel forebrain (jaras norepinefrin penting di otak)
meningkat pada perilaku yang mencari rasa senang dan perilaku yang bertujuan.
Stressor yang menetap dapat menurunkan kadar norepinefrin di forbrain medial.
Penurunan ini dapat menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada
depresi.
p. Hasil metabolisme norepinefrin adalah 3-methoxy-4-
hydroxyphenilglycol (MHPG). Penurunan aktivitas norepinefrin sentral dapat
dilihat berdasarkan penurunan ekskresi MHPG. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa MHPG mengalami defisiensi pada penderita depresi. Kadar MHPG yang
keluar di urin meningkat kadarnya pada penderita depresi yang di ECT (terapi
kejang listrik).
q. Epinefrin
r. Glutamat
s. Asam amino glutamat dan glisisn merupakan neurotransmiter utama di SSP, yang
terdistribusi hampir di seluruh otak. Ada 5 reseptor glutamat, yaitu NMDA,
kainat, L-AP4, dan ACPD. Bila berlebihan, glutamat bisa menyebabkan
neurotoksik. Obat-obat yang antagonis terhadap NMDA mempunyai efek
antidepresan.
t. Glutamat merupakan neurotransmitter excitatory utama pada otak dimana hampir
tiap area otak berisi glutamate. Glutamat memiliki konsentrasi tinggi di
corticostriatal dan di dalam sel cerebellar. Gangguan pada neurotrasmitter ini akan
berakibat gangguan atau penyakit bipolar afektif dan epilepsi.
u. Fungsi Utama Glutamat adalah pengaturan kemampuan memori dan memelihara
ufngsi automatic.
v. Gejala Defisit : Gangguan memori, Low energy, Distractibilitas. Schizophrenia
w. Gejala Berlebihan : Kindling, Seizures dan Bipolar affective disorder.
x. Serotonin
Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke korteks
serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan hipokampus. Proyeksi ke
tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya dalam gangguan-gangguan psikiatrik.
13
Ada sekitar 14 reseptor serotonin, 5-HT1A dst yang terletak di lokasi yang berbeda di
susunan syaraf pusat.
Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido. Sistem serotonin
yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi mengatur ritmik
sirkadian (siklus tidur-bangun, temperatur tubuh, dan fungsi axis HPA). Serotonin
bersama-sama dengan norepinefrin dan dopamin memfasilitasi gerak motorik yang
terarah dan bertujuan. Serotonin menghambat perilaku agresif pada mamalia dan
reptilia.
Kelainan Serotonin (5HT) berimplikasi terhadap beberapa jenis gangguan jiwa yang
mencakup ansietas, depresi, psikosis, migren, gangguan fungsi seksual, tidur, kognitif,
dan gangguan makan.
Banyak tindakan dalam perawatan gangguan jiwa adalah dengan jalan mempengaruhi
sistem serotonin tersebut.
Fungsi Utama dari Serotonin (5HT) adalah dalam pengaturan tidur, persepsi nyeri,
mengatur status mood dan temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi
atau marah dan libido.
Gejala Defisit : Irritabilitas & Agresif, Depresi & Ansietas, Psikosis, Migren,
Gangguan fungsi seksual, Gangguan tidur & Gangguan kognitif, Gangguan makan.
Obsessive compulsive disorder (OCD)
Gejala Berlebihan : Sedasi, Penurunan sifat dan fungsi aggresi Pada kasus yang
jarang: halusinasi
Neurotransmiter serotonin terganggu pada depresi. Dari penelitian dengan alat
pencitraan otak terdapat penurunan jumlah reseptor pos-sinap 5-HT1A dan 5-HT2A
pada pasien dengan depresi berat. Adanya gangguan serotonin dapat menjadi tanda
kerentanan terhadap kekambuhan depresi.
Dari penelitian lain dilaporkan bahwa respon serotonin menurun di daerah prefrontal
dan temporoparietal pada penderita depresi yang tidak mendapat pengobatan. Kadar
serotonin rendah pada penderita depresi yang agresif dan bunuh diri.
Triptofan merupakan prekursor serotonin. Triptofan juga menurun pada pasien
depresi. Penurunan kadar triptofan juga dapat menurunkan mood pada pasien depresi
yang remisi dan individu yang mempunyai riwayat keluarga menderita depresi.
Memori, atensi, dan fungsi eksekutif juga dipengaruhi oleh kekurangan triptofan.
Neurotisisme dikaitkan dengan gangguan mood, tapi tidak melalui serotonin. Ia
dikaitkan dengan fungsi kognitif yang terjadi sekunder akibat berkurangnya triptofan.
14
Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA (hidroxyindolaceticacid). Terdapat
penurunan 5-HIAA di cairan serebrospinal pada penderita depresi. Penurunan ini
sering terjadi pada penderita depresi dengan usaha-usaha bunuh diri.
Penurunan serotonin pada depresi juga dilihat dari penelitian EEG tidur dan HPA
aksis. Hipofontalitas aliran darah otak dan penurunan metabolisme glukosa otak
sesuai dengan penurunan serotonin. Pada penderita depresi mayor didapatkan
penumpulan respon serotonin prefrontal dan temporoparietal. Ini menunjukkan bahw
adanya gangguan serotonin pada depresi.
Pada penderita bulimia nervosa (BN), dan terkait pesta-purge sindrom, faktor
serotonin pusat (5-hydroxytryptamine, 5-HT) berkontribusi tidak hanya untuk
disregulasi appetitive tetapi juga untuk manifestasi temperamental dan kepribadian.
Pada temuan dari studi neurobiologis, molekul-genetik, dan otak-pencitraan, telah
diungkapkan model integratif peran 5-HT fungsi dalam sindrom bulimia.
ff. Glisin
15
2.5 PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu
stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas
listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena
trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin,
dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor
nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi
melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls
tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus
dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa
rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri
yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini
mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.
Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan
dirasakan sebagai persepsi nyeri.
16
2.5.3 Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis
dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh
tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan
proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin,
serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat
subjektif pada setiap orang.
2.5.4 Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan
modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi
dari sensorik.
17
2.6 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK
Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan
obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas
enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik
opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis
sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi.
Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika cedera
fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan, depresi dan
kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat
18
sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu
pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi
(akut, kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,
kanker).
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah
nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat. Nyeri akut ini dialami segera
setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai
malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik
malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting
disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik
kemungkinan mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan
(nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis
yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada
spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem
saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat
nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia.
Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada
atau tidaknya nyeri.
19
menangis dan mengerang, cemas - Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon
- Tingkah laku menggosok bagian yang terhadap nyeri
nyeri - Respon terhadap analgesik : sering
- Respon terhadap analgesik : kurang meredakan nyeri
meredakan nyeri secara efektif
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif
adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang
menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung
jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap
analgesik opioid atau non opioid.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada
saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan
perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami
nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid.
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari
tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri
viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering
bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi,
dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot
lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada
peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering
digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri
tajam bila organ padat terkena.
20
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos,
distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi pada
organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi
pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan.
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar
melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana rangsang
dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari
struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls
nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical,
ganglion stellate, dan bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem
simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab
impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim
otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat
sensitif pada nyeri.
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi
dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot
skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau
iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang
menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding
parietal menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi
pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri
sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada
daerah yang rusak.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri dari
viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri
berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke
rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus
dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri
21
berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen,
rangsangan ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri
menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan
bawah.
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska
pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk
menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat
berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan
gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada
pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.
22
2. Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ;
tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien
ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 –
10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri
yang hebat.
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan
skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis
(10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk
23
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan
lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS
telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga
secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah,
hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan.
Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik
kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data
dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah
dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri
sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat
analgesic penyelamat (rescue analgetic).
24
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan
pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi
(multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik
dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).
2.9.1 Farmakologis
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur
dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk
penanganan nyeri paska pembedahan.
25
Tabel 2.8-1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri
Tabel 2.8-2. Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenis operasi
26
Pedoman terapi pemberian analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan
berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan penderita yang direkomendasikan oleh WHO
dan WFSA. Dimana terapi analgesia yang diberikan pada intensitas nyeri yang lebih rendah,
dapat digunakan sebagai tambahan analgesia pada tingkat nyeri yang lebih tinggi.
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder.
Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat
opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu :
Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa
dijumpainya peningkatan efek samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu
obat saja. Dimana analgesi multimodal melakukan intervensi nyeri secara berkelanjutan
pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni:
27
untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang mengalami nyeri paska
pembedahan ditingkat sedang sampai berat. Analgesia multimodal selain harus diberikan
secepatnya (early analgesia), juga harus disertai dengan inforced mobilization (early
ambulation) disertai dengan pemberian nutrisi nutrisi oral secepatnya (early alimentation).
Pasien dikontrol nyerinya dengan memberikan obat analgesik itu sendiri dengan
memakai alat (pump), dosis diberikan sesuai dengan tingkatan nyeri yang dirasakan. PCA
bisa diberikan dengan cara Intravenous Patient Control Analgesia (IVPCA) atau Patient
Control Epidural Analgesia (PCEA), namun dengan cara ini memerlukan biaya yang mahal
baik peralatan maupun tindakannya.
2.9.1.4 Parasetamol
28
pembedahan dan terapi paliatif pada pasien-pasien penderita kanker. Onset analgesia dari
parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena, efek puncak tercapai dalam 30 – 45 menit
dan durasi analgesia 4 – 6 jam serta waktu pemberian intravena 2 – 15 menit. Parasetamol
termasuk dalam kelas “aniline analgesics” dan termasuk dalam golongan obat antiinflamasi
non steroid (masih ada perbedaan pendapat). Parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang
sedikit dibandingkan dengan obat AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja dengan
mekanisme yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat sintesa prostaglandin).
Parasetamol juga lebih baik ditoleransi dibandingkan aspirin dan obat AINS lainnya pada
pasien-pasien dengan sekresi asam lambung yang berlebihan atau pasien dengan masa
perdarahan yang memanjang.
Dosis pada orang dewasa sebesar 500 – 1000 mg, dengan dosis maksimum
direkomendasi 4000 mg perhari. Pada dosis ini parasetamol aman digunakan untuk anak-anak
dan orang dewasa.
Parasetamol menghambat kerja COX dengan dua jalur, yang pertama bekerja dengan
cara menghambat COX-3 (variant dari COX-1). Enzim COX-3 ini hampir sama dengan
enzim COX lainnya dengan menghasilkan kimiawi pro-inflammatory dan penghambat
selektif oleh parasetamol. Jalur kedua bekerja seperti aspirin dengan memblok
29
siklooksigenase, dimana didalam lingkungan inflamasi dengan konsentrasi peroksida yang
tinggi dan melindungi aksi kerja parasetamol dalam keadaan oksidasi tinggi. Ini berarti
bahwa parasetamol tidak memiliki efek langsung pada tempat inflamasi, akan tetapi bereaksi
di SSP dimana keadaan lingkungan tidak teroksidasi. Namun mekanisme kerja pasti dari
parasetamol di COX-3 masih diperdebatkan.
2.9.1.5 Ketorolak
Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti inflamasi non
steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic acid dimana secara
struktur kimia berhubungan dengan indometasin. Ketorolak menunjukkan efek analgesia
yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang sedang bila diberikan secara
intramuskular atau intravena.
Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat tunggal
maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi nosiseptif dari
opioid.
30
Gambar 2.8-2. Rumus Bangun Ketorolak
1. Secara umum
Bronkospasme yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit nasal poliposis,
asma dan sensitif terhadap aspirin. Dapat juga terjadi edema laring, anafilaksis, edema lidah,
demam dan flushing.
31
2. Fungsi platelet dan hemostatik
3. Gastrointestinal
4. Kardiovaskuler
5. Dermatologi
6. Neurologi
7. Pernafasan
8. Urogenital
32
2.9.2 Non-Farmakologis
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan
dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait
keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik
untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku.
Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau
digunakan sebagai adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat,
stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas atau dingin, olahraga).
Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk
“menutup gerbang” bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga
nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh
mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah pemijatan
atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi
terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan
meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila
dilakukan oleh individu yang penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang
positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari suatu alat
yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang
33
diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan bagian
yang nyeri. TENS digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri
pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis
rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai
titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasif lain untuk
merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang
disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk
melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan
kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui sebagai
metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat disalurkan melalui
konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi
(whirpool, sitz bath, berendam air panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat
memar, spasme otot, dan artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh
darah dan meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera traumatik
saat masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas mungkin
meredekan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin,
histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi dingin efektif
untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat, terkilir). Dingin dapat
disalurkan dalam bentuk berendam atau komponen air dingin, kantung es, aquamatic K pads,
dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema
serta perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan
memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih
sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan
mengurangi persepsi nyeri.
34
2. Strategi kognitif-perilaku
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan bernafas dalam,
meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan
mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus
nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan fasilator yang
mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan pemandangan atau sensasi yang
menyenangkan untuk mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Tehnik ini sering
dikombinasikan dengan relaksasi.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan untuk
memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada pasien sehingga
pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot,
kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak.
35
BAB III
KESIMPULAN
36
DAFTAR PUSTAKA
37