PENANGANAN NYERI
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi
kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. Edukasi
adalah : Suatu kegiatan komunikasi unyuk mengedukasi pasien dan keluarganya atau
penanggung jawab pasien tentang perawatan yang diterima sejak masuk rumah sakit sampai
pulang yang diberikan oleh semua profesi yang terkait dalam perawatan pasien di rawat
inap dan rawat jalan.
Pasien Menurut [DEPDIKBUD] adalah sebagai berikut "Pasien adalah orang sakit
yang dirawat oleh seorang dokter" Jadi pasien adalah seseorang yang kondisi badannya
tidak pada semestinya atau kurang baik dimana orang tersebut dirawat oleh seorang dokter
Keluarga menurut Departemen Kesehatan RI (1988) dalam Ali (2010) adalah unit terkecil
dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta
tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling bergantung.
BAB II
RUANG LINGKUP PELAKSANAAN
1. Edukasi Manajemen nyeri diberikan kepada pasien dan keluarga saat baru
masuk rumah sakit, selama perawatan dan persiapan pasien pulang
2. Edukasi Manajemen nyeri diberikan di rawat inap, rawat jalan dan di
poliklinik
3. Edukasi nyeri diberikan oleh DPJP sesuai dengan SPO penatalaksanaan
nyeri
4. Edukasi tentang nyeri di berikan yaitu tentang penanganan nyeri dengan:
a. Farmakologi
b. Non Farmakologi
C. Etiologi
Etiologi nyeri sangat beraneka ragam dengan lokasi nyeri yang
juga bisa terjadi di semua sistem organ tubuh, dimana nyeri bisa akibat
suatu penyakit medis, trauma, pasca operasi, nyeri akibat tumor, kanker
atau metastase kanker, nyeri persalinan, dsb. Secara garis besar, etiologi
nyeri dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Nyeri fisiologis
Pada nyeri fisiologis, stimulus nyeri berlangsung singkat dan tidak
menimbulkan kerusakan jaringan. Ketika stimulus nyeri hilang,
proses di nosiseptor juga ikut hilang sehingga tidak menimbulkan
kerusakan jaringan dan proses yang berkepanjangan. Nyeri fisiologis
ini penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup setiap
makhluk sebab sangat diperiukan dalam mengaktivasi refleks
menghindari rangsangan nyeri dan meningkatkan kewaspadaan.
2. Nyeri inflamasi / nosiseptif
Merupakan nyeri yang disebabkan suatu proses inflamasi dan
kerusakan jaringan selain jaringan saraf. Bila jaringan mengalami
inflamasi atau kerusakan, maka akan dikeluarkan berbagai macam
mediator inflamasi seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin,
histamin, dsb. Mediator-mediator tersebut tersebut dapat
mengaktivasi dan mensensitisasi nosiseptor secara langsung dan
tidak langsung yang akan merubah stimulus nyeri dalam bentuk aksi
potensial yang akan diteruskan dari perifer ke sentral.
3. Nyeri neuropathic
Merupakan nyeri yang didahului oleh disfungsi atau lesi primer pada
sistem saraf, baik saraf perifer maupun saraf sentral. Nyeri
neuropathic antara lain : nyeri neuropati diabetika, trigeminal
neuralgia, post herpetika neuralgia, dll. Tanda dari nyeri neuropatik
antara lain terjadi hiperalgesia, alodynia dan nyeri spontan tiba-tiba,
dengan rasa nyeri seperti terbakar, tertusuk. Mekanisme terjadinya
nyeri neuropatic sangat kompleks dan sampai sekarang belum
dipahami sepenuhnya.
D. Klasifikasi
Nyeri dapat diklasifikasi dalam berbagai cara, antara lain :
1. Menurut sumber terjadinya nyeri nosiseptif :
a. Nyeri somatik, terjadi akibat adanya eksitasi dan sensitisasi
nosiseptor di kulit dan jaringan seperti, tulang, jaringan lunak
periartikuler, sendi dan otot. Nyeri somatik ini sifatnya
terlokalisir, intermiten atau terus menerus. Nyeri somatik ditandai
dengan rasa nyeri yang tajam, sakit berdenyut atau seperti ditekan
(Bloomstone & Borsook , 2002).
b. Nyeri viseral, berawal dari nosiseptor-nosiseptor yang terdapat
pada jaringan viseral, seperti jaringan kardiovaskuler, jaringan
respirasi, jaringan gastrointestinal, dan jaringan genitourinaria.
Nosiseptor visera, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak
dirancang sebagai reseptor nyeri tunggal karena organ visera
jarang terpapar dengan kerusakan yang berat. Berbagai stimuli
yang merusak (pemotongan, terbakar, clamping) tidak
menghasilkan nyeri saat diberikan pada struktur visera. Namun,
inflamasi, iskemia, peregangan mesenterikus, dilatasi atau
spasme organ berongga mungkin menghasilkan spasme yang
berat. Stimuli ini biasanya berkaitan dengan proses patologis dan
nyeri yang dihasilkan mungkin berperan sebagai pertahanan
dengan menimbulkan immobilisasi. Berbeda dengan nyeri
somatik, nyeri ini tidak terlokalisasi secara topografik, nyeri ini
difus, bersifat intermiten atau konstan, ditandai dengan rasa
perih dan kram
2. Menurut penyebabnya :
a. nyeri onkologik / nyeri kanker
b. nyeri non-onkologik
3. Menurut asal embriologis jaringan :
a. referred pain : nyeri alih dari suatu organ yang dirasakan nyeri di
tempat lain, misalnya nyeri akibat infark miokard dirasakan juga
menjalar pada lengan dan jari tangan kiri
b. phantom pain : nyeri yang terjadi pada jaringan yang memiliki
asal embriologis yang sama, misalnya akibat amputasi kaki atau
tangan yang akan tetap dirasakan sebagai nyeri.
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang, dan berat
5. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronik
a. Nyeri akut : penyebabnya biasanya diketahui, dapat terjadi
pada pascaoperasi, trauma, proses penyakit sebelumnya
dengan durasi relatif pendek, dan bila penyebabnya
dihilangkan maka nyeri juga akan sembuh sendirinya, dan
nyeri ini lebih dikenal dengan sebutan simtomatik.
b. Nyeri kronik: penyebabnya sering sulit diketahui, biasanya
disertai oleh penyakit sebelumnya atau injury misalnya rematoid
artritis, osteoartritis, nyeri tulang belakang, nyeri bahu, kanker,
nyeri tetap terjadi meskipun telah terjadi penyembuhan jaringan
dalam waktu > 3 bulan, durasi panjang, dan nyeri ini lebih
dikenal dengan "penyakit". Tujuan penanganan nyeri pada nyeri
kronik adalah mengontrol nyeri, bukan menyembuhkan nyeri.
Components of chronic pain:
1) Persistent pain pain that lasts 12 or more hours each day
2) Breakthrough pain flare of pain that "breaks through" the
medicine taken around-the-clock, which typically peaks in as
2.3
little as 3 minutes and may last up to 30 minutes
Klasifikasi berdasarkan nyeri akut dan nyeri kronik saat ini paling sering
digunakan pada praktek klinis sehari-hari.
F. Patofisiologi Nyeri
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan (sebagai
sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu proses
elektro- fisiologik, yang disebut sebagai nosisepsi ("nociception").
Ada 4 (empat) proses yang jelas yang terjadi mengikuti suatu proses
elektro- fisiologik nosisepsi, yakni:
1. Transduksi ("transduction"), merupakan proses stimuli nyeri ("naxious
stimuli') yang diterjemahkan atau diubah menjadi suatu aktifitas listrik
pada ujung-ujung saraf.
2. Transmisi ("transmission"), merupakan proses penyaluran impuls melalui
saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan
oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama dari
perifer ke medulla spinalis.
3. Modulasi ("modulation"), adalah proses interaksi antara sistem
analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior
medula spinalis. Sistem analgesik endogen meliputi, enkefalin,
endorfin, serotonin dan noradrenalin yang mempunyai efek menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
4. Persepsi ("perseption"), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang
kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi dan
modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang
subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri
NSAIDs
hypotalamus thalamus
PAINFUL
STIMULUS
Antihistamines
Glucocorticoids
NSAIDs
Local anesthetic infiltration
Symphathetic ganglion Substance P antagonist
blockade Serotonin antagonists
Vasodilators
viscera
blood vessels Renal dose dopamine
NSA IL,
Btrz...1
S ed snq
For:,r:rt
R nu-an
a. Inhibitor siklooksigenase
Analgesik nonopioid oral termasuk salisilat, asetaminofen,
dan NSAID. Obat ini menghambat sintesa prostaglandin (COX)
dan memiliki berbagai variasi sifat analgesik, antipiretik, dan
antiinflamasi. Acetaminophen lebih sedikit memiliki aktivitas
antiinflamasi. Analgesia karena kerja blok sintesa prostaglandin,
yang mensensitisisasi dan memperkuat rangsangan nociceptive.
Beberapa jenis nyeri, terutama nyeri yang akibat operasi ortopedi
dan ginekologi, merespon sangat baik terhadap obat ini,
menunjukkan peran penting pada prostaglandin. COX inhibitor
tampaknya memiliki kerja penting pada sistem syaraf perifer dan
sistem saraf pusat. Kerja analgesianya dibatasi oleh efek samping
dan toksisitas pada dosis yang lebih tinggi. Setidaknya dua jenis
COX diketahui. COX-1 adalah konstitutif dan tersebar luas di
seluruh tubuh, tapi COX-2 terlihat terutama pada peradangan.
Selektif COX-2 inhibitor, seperti celecoxib, tampaknya memiliki
toksisitas rendah, terutama efek sampingnya pada gastrointestinal.
Selain itu. COX-2 inhibitor tidak memp,engaruhi agregasi platelet.
Sayangnya, beberapa COX-2 inhibitor (rofecoxib dan mungkin
yang lain) tampaknya meningkatkan resiko komplikasi
kardiovaskular.
Semua obat diserap dengan baik secara enteral. Makanan
menunda penyerapannya namun tidak berpengaruh pada
bioavailabilitas. Karena kebanyakan obat ini sangat terikat dengan
protein (> 80%), obat-obat ini dapat menggantikan obat yang
sangat terikat lainnya seperti warfarin. Semua mengalami
metabolisme di hati dan diekskresi melalui ginjal. Karenanya
dosis harus dikurangi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
atau hati.
Tabel. Nonopioid Analgesik Oral
p-Aminophenols
Acetaminophen
(Tylenol, lainnya) 1-4 0.5 500-1000 4 1200-4000
Proprionic acids
Ibuprofen (Motrin, 1.8-2.5 400 4-6 3200
others)
Naproxen (Naprosyn) 12 - 15 1 250-500 12 1500
COX-2 Inhibitors
Celecoxib 11 3 100-200 12 400
(Celebrex)
b. Opioid
1) Pemberian Oral
Nyeri pasca operasi menengah harus ditangani dengan opioid
oral baik diberikan saat dibutuhkan atau dengan jadwal tetap.
Biasanya dikombinasikan dengan oral inhibitor COX; terapi
kombinasi meningkatkan kerja analgesia dan mengurangi efek
samping. Obat yang paling umum digunakan adalah kodein,
oxycodone, dan hydrocodone. Obat ini diserap dengan baik,
metabolisme pertama melalui hati membatasi pelepasan
sistemiknya. Seperti opioid lainnya, mereka mengalami
biotransformasi dan konjugasi hepatik sebelum eliminasi di
ginjal. Codeine diubah oleh hati menjadi morlin. Efek samping
opioid oral serupa dengan opioid sistemik ; bila diresepkan pada
jadwal tetap, pelunak feses atau pencahar mungkin dibutuhkan.
Tramadol adalah sintetik opioid oral yang juga memblok
reuptake dari norepinefrin dan serotonin. Obat ini
tampaknya memiliki khasiat yang sama dengan kombinasi
dari kodein dan asetaminofen tetapi, tidak seperti yang
lainnya, obat ini sedikit sekali menyebabkan depresi
pernapasan dan sedikit efek pada pengosongan lambung.
Tabel. Opioid Oral
c. Antidepresan
Obat ini menunjukkan efek analgesik pada dosis lebih kecil
dari dosis yang dibutuhkan untuk menimbulkan antidepresan.
Kedua kerja ini disebabkan karena blokade presynaptic reuptake
serotonin, norepinefrin, atau keduanya (lihat Bab 27). Agen
trisiklik terdahulu tampaknya lebih efektif menunjukan kerja
analgesik daripada selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI).
Sebaliknya, SSRI tampak lebih efektif sebagai antidepresan.
Antidepresan umumnya lebih berguna pada pasien dengan nyeri
neuropati, misalnya, dari neuralgia postherpetik dan neuropati
diabetes. Obat ini mempotensiasi aksi opioid dan sering
menormalkan pola tidur.
Tiap obat yang ada berbeda efek sampingnya, yang mencakup efek
antimuscarinic, mulut kering (xerostomia), penurunan akomodasi
penglihatan, retensi urin, dan konstipasi; efek antihistamin (H1 dan
H2), sedasi dan meningkatnya pH lambung; blok a-adrenergik
mengakibatkan hipotensi ortostatik, dan efek seperti quinidine pada
penggunaan amitriptilin.
d. Antikonvulsan
Antikonvulsan sangat bermanfaat pada pasien dengan nyeri
neuropatik, neuralgia trigeminal particular dan neuropati diabetes.
Obat ini memblok gerbang natrium channels dan dapat menekan
discharge spontan saraf yang memainkan peran utama dalam
gangguan ini. Gabapentin memiliki efek menguntungkan yang unik.
Juga menunjukkan sebagai obat tambahan untuk nyeri pasca operasi
yang efektif. Obat yang sering digunakan adalah fenitoin,
carbaniazepine, asam valproat, clonazepam, dan gabapentin.
Lamotrigin dan topirarnate juga efektif. Semua sangat terikat
protein dan relatif memiliki waktu paruh yang panjang.
Carbamazepine memiliki daya serap lambat dan tak terduga, yang
membutuhkan pemantauan kadar dalam darah untuk mendapatkan
keberhasilan yang optimal.
Tabel. Antidepresan Terpilih
Obat Norepineph Serotonin Efek Aktifitas Hipotensi Waktu Dosis
rine Reuptake Sedasi Antimus Orthostat Paruh Sehari
Reuptake Inhibition carinic is (jam) (mg)
Inhibition
e. Neuroleptik
Beberapa dokter menemukan obat neuroleptik berguna pada pasien
dengan nyeri neuropati berulang. Neuroleptik mungkin yang paling
berguna pada pasien dengan agitasi atau gejala psikotik. Obat yang
paling umum digunakan adalah fluphenazine, haloperidol,
klorpromazin, dan perphenazine. Efek terapi tampaknya
disebabkan oleh blok reseptor dopaminergik di mesolimbic.
Sayangnya, efek kerja yang sama di jalur nigrostriatal dapat
menghasilkan efek samping ekstrapiramidal yang tidak diinginkan,
contohnya wajah topeng, festinating gait, kekakuan cogwheel,
dan bradykinesia. Beberapa pasien juga terlihat memiliki reaksi
distonik akut seperti krisis oculogyric dan tortikolis. Efek samping
jangka panjang adalah akatisia (kegelisahan ekstrim) dan tardive
dyskinesia (gerakan choreoathetoid lidah, lipsmacking, ketidak
stabilan trunkal). Seperti obat antidepresan, banyak dari obat ini
juga memiliki efek antihistaminic, antmuscarinic, dan blok a
adrenergik.
f. Kortikosteroid
Glukokortikoid secara luas digunakan dalam penatalaksanaan
nyeri sebagai antiinflamasi dan kemungkinan kerja analgesiknya.
Dapat diberi secara topikal, oral, atau parenteral (intravena,
subkutan, intrabursal, intraarticular, epidural). Dosis yang besar
dan pemberian jangka panjang menyebabkan efek samping yang
lebih jelas. Kelebihan glukokortikoid dapat menyebabkan
hipertensi. hiperglikemia, peningkatan kerentanan terhadap
infeksi, tukak lambung, osteoporosis, nekrosis aseptik dari caput
femur, miopati proksimal, katarak, dan, kadang psikosis. Pasien juga
dapat menunjukan gejala fisik sindrom Cushing. Berlebihnya kerja
mineralokortikoid menyebabkan retensi natrium dan hipokalemia, dan
dapat memicu gagal jantung kongestif.
Prednisolone O, I, T 4 0.8 5 12 - 36
Methylprednisolo ne O, I, T 5 0.5 4 12 - 36
(Depo-Medrol, Solu-
Medrol)
Triamcinolone
O, I, T 5 0 4 12 - 36
(Aristocort)
Betamethasone
O, I, T 25 0 0.75 36 -72
(Celestone)
Dexamethasone
O, I, T 25 0 0.75 36 -72
(Decadron)
g. 2-adrenergic Agonis
Efek utama dari 2-adrenergik agonis adalah pengaktifan jalur
inhibitor desending di dorsal horn. Epidural dan intratekal 2-
adrenergik agonis sangat efektif dalam toleransi nyeri neuropatik
dan opioid.Beberapa obat yang dapat digunakan antara lain
lonidin dan Dexmedetomidine.
h. Clonidin
Klonidin (kataples dan duraklon) adalah turunan dari
imidazolin dengan aktifitas yang Iebih dominan sebagai agonis a 2
adrenazid.Klonidin sanagt larut dalam lemak dan dapat menembus
sawar darah otak dan plasenta. Beberapa studi menunjukkan bahwa
ikatan klonidin kadar resektor adalah paling tinngi di rostral
enterulateral medulla dibatang otak dimana dia akan mengaktifkan
neuron-neuron in hibitor. Efek secara keseluruhan adalah
menurunkan aktifitas simpatetik, meningkatkan tonus
parasimpatetik dan mengurangi sirkulasi katekolamin. Berikut
terdapat bukti efek anti hipertensi dari klonodin terjadi melalui
ikatan pada reseptor non adrenaljik (imidazolin) berbeda dengan
analgesiknya, terutama pada kordaspinalis, adalah melalui reseptor
predankos sinaptik 2-adrenergik yang akan memnghambat
transmisi rangsang nyeri.
Klonidin biasanya digunakan sebagai anti hipertensi, tetapi
dalam anestesi digunakan sebagai penunjang dalam penanganan
nyeri melalui epidural impus. Klonidin sangat bermanfaat untuk
penanganan - penderita dengan nyeri neoropatik yang resisten
terhadap pemberian opioid melalui ipidural impus.Epek anti nyeri
klonidin adalah segmental jika diberikan secara epidural
tergantung lokasi tempat injeksinya. Jika digunakan untuk
penanganan hipertensi akut atau kronik, akan menurunkan tonus
simpatetik yang akan menurunkan tahanan paskules sistemik,
denyut nadi dan tekanan darah. Penggunaan klonidin yang tidak
tercatat adalah sebagai obat premidikasi, mengontrol sindrom with
drawal ( nikotin, opioid, alcohol dan gejala-gejala vasomotor dari
menopause), dan penobatan glaucoma dan beberapa gangguan
spikiatrik.
Pemberian klonidin secara epidural biasanya dimulai pada
30 Rg/h dicampur dengan opioid dan / anastetik local.
Pemberian klonidin secara oral akan segera diabsropsi dengan
konsep kerja 30-60 menit dan sekurang kurangnya 6-12 jam.
Pada pengobatan pada hipertensi akut, 0,1 mg dapat diberikan
secara oral tiap jam hingga tekanan darah terkontrol, dosis
dapat ditingkatkan maksimal 0,6 mg; dosis maintenense 0,1-0,3
mg 2xsehari. Sediaan klonidin transdermal juga dapat digunakan
untuk terapi meintenense. Tersedia 0,1,0,2 dan 0,3 mg/hari. Patch
harus diganti tiap 7 hari. Klonidin dimetabolisme oleh hati dan diekresi
oleh ginjal.Dosis harus dikurangi oleh penderita dengan insupiensi
ginjal.
i. Dexmedetomidine
Dexmedetomidine (precedex) termasuk golongan agonis ct2
selektif dengan sedative.Dexmedetomidine bekerja lebih selektif
pada reseptor a2 dibandingkan dengan clonidine. Pada dosis yang
lebih tinggi dexmedetomidine akan merangsang reseptor a2
adrenergik.Dexmedetomidine, tergantung besar dosis yang
diberikan, dapat menyebabkan sedasi, menghilangkan kecemasan
dan rasa nyeri juga menurunkan respon sympathetic terhadap
pembedahan dan stress lainnya. Dexmedetomidine menimbulkan
efek yang bertentangan dengan opioid yaitu tidak mendepresi fungsi
pernapasan; sedasi yan berlebihan, akan tetapi dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas. Obat ini digunakan dalam jangka pendek
sebagai sedasi melalui intravena pada penderita yang menggunakan
ventilator mekanik. Obat ini jika dihentikan secara mendadak
setelah penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan fenomena
withdrawal yang serupa dengan clonidine. Dexmedetomidine dapat
juga digunakan sebagai sedasi intra operatif untuk menunjang
anestesi umum. Efek camping utamanya adalah bradikardi, blok
jantung dan hipotensi. Obat ini juga dapat menimbulkan rasa mual.
Dosis inisial yang direkomendasikan adalah 11.tg/kg intra vena
dalam 10 menit, lau dilanjutkan dengan dosis maintenance 0,2-0,7
pg/kg/jam.Dexmedetomidine memiliki onset kerja yang cepat dan
waktu paruh 2 jam. Obat ini dimetabolisme di hati dan
metabolitnya dikeluarkan lewat urin. Dosis harus dikurangi pada
penderita dengan renal insuffisiensi dan gangguan fungsi hati.
j. Toksin Botulinum
Suntikan botulinum toksin semakin sering digunakan pada
terapi nyeri yang berhubungan dengan otot rangka. Penelitian
mendukung penggunaan toksin botulinum dalam pengobatan
kondisi yang berhubungan dengan kontraksi otot tak sadar
(misalnya, focal distonia dan spastic). Beberapa dokter telah
menggunakan obat dalam pengelolaan sakit kepala dan sindrom
myofascial. Toksin botulinum memblok pelepasan asetilkolin pada
sinaps di ujung saraf motorik tetapi tidak pada serabut saraf
sensorik. Kemungkinan mekanisme analgesianya meliputi
peningkatan aliran darah lokal, menghilangkan spasme otot, dan
melepaskan kompresi otot terhadap serabut saraf.
k. Pasien-Controlled Analgesia
Kemajuan dalam teknologi komputer membawa perkembangan
pasiencontrolled analgesia (PCA). Dengan menekan sebuah tombol,
pasien dapat mengelola sendii dosis yang tepat pemberian opioid
intravena (atau intraspinal) atau secara PRN (jika diperlukan).
Program dari dokter pada pompa infus untuk memberikan dosis
tertentu, interval minimum antara dosis (periode penguncian), dan
jumlah maksimum opioid yang dapat diberikan dalam suatu periode
tertentu (biasanya 1 atau 4 jam); infus basal juga bisa diberikankan
secara bersamaan. Ketika PCA pertama digunakan, dosis awal
opioid harus diberikan oleh paramedis yang ada, atau tergantung
pada pengaturan, pasien mungkin dapat memuat dirinya sendiri
pada jam pertama. Ketika morfm intravena dengan PCA digunakan
setelah operasi besar, kebanyakan pasien dewasa memerlukan 2-3
mg/jam dalam 24-48 jam pertama dan berikutnya 1-2 mg/jam dalam
36-72.
Penelitian menunjukkan bahwa PCA adalah teknik dengan biaya
yang efektif yang menghasilkan analgesia baik dan dengan tingkat
kepuasan pasien sangat tinggi. Selain itu total konsumsi obat lebih
sedikit dibandingkan dengan pemberian intramuskular. Sebagai
tambahan pasien lebih senang dapat mengontrol yang diberikan
kepada diri mereka sendiri, mereka mampu menyesuaikan
kebutuhan analgesia sesuai dengan tingkat nyeri mereka yang
bervariasi tergantung aktivitas dan waktu.. Oleh karena itu
penggunaan PCA memerlukan pemahaman dan kerjasama dan
pasien, hal ini yang membatasi penggunaannya pada pasien usia
muda (anak-anak) atau pasien yang tidak mengerti penggunaannnya.
Selain sistem keamanan pemberian obat yang sudah
terkomputerisasi, sistem keamanan PCA berdasarkan pada prinsip
bahwa jika pasien tertidur, is tidak akan dapat menekan tombol yang
mengatur pemberian opioid. Yang lain (seperti anggota keluarga
atau perawat) tidak boleh menekan tombol untuk pasien.
Penggunaan rutin infus basal masih kontroversial. Dokter yang
menganjurkan infus basal mengatakan bahwa ini mencegah
menurunnya level analgesik ketika pasien tertidur; dimana pasien
cenderung tidak suka terbangun karena nyerinya. Dokter lain
membantah bahwa karena perbedaan farmakokinetik yang sangat
berfariasi pada setiap pasien dan kadang-kadang penurunan dengan
cepat kebutuhan analgesiknya membutuhkan pengamatan pada
pasien pasca operasi, dimana infus basal lebih memungkin untuk
menyebabkan terjadinya depresi pernapasan. Memang faktor yang
berhubungan dengan depresi pemapasan berat yang membutuhkan
pemberian nalokson selama penggunaan PCA adalah infus basal,
usia lanjut, dan hipovolemia. Pasien yang mendapatkan manfaat
dari, penggunaan infus kontinyu basal adalah mereka membutuhkan
jumlah besar dari opioid. Dari konsumsi 24-jam, 30-50% dapat
diberikan dengan infus basal. Jadi, pasien yang menggunakan 60 mg
morfin per hari dapat diberikan infus basal 1-1,5 mg / jam dengan
aman.
Efek samping opioid yang paling sering terjadi adalah mual,
muntah, gatal, dan ileus. Hampir semua overdosis opioid yang
berhubungan dengan PCA disebabkan karena kesalahan
pemograman parameter. Mcngalimya opioid dalam jumlah besar
ke infus intravena pasien (karena terbukanya sistem pengiriman)
pada sistem alat yang lam jarang terjadi namun dapat terjadi dan
berpotensi serius; dalam sistem alat baru perubahan dalam desain
pemasangan dan katup antihisap telah mencegah terjadinya
masalah ini. Kerusakan mekanis dari perangkat PCA pernah
dilaporkan, tetapi sangat jarang.
l. Blok Syaraf
Blok syaraf dengan menggunakan anestesi lokal dapat
digunakan untuk memetakan mekanisme nyeri, tetapi lebih
penting perannya sebagai penanganan utama mengatasi nyeri akut
maupun kronik. Peran dari sistem simptis dan jalur jarasnya dapat
dipelajari. Berkurangnya nyeri akibat dignostik blok neural kadang
membawa impilikasi prognosa yang menguntungkan sebagai terapi
blok serial. Meskipun penggunaan blok syaraf untuk membedakan
mekanisme somatis dan simpatetis masih dipertanyakan, tehnik ini
dapat membedakan pasien dengan respon plasebo dan mereka yang
dengan mekanisme psikogenik. Pada pasien tertentu blokade syaraf
permanent dapat digunakan.
Efektifitas dari blok syaraf terpengaruh dari aktifitas nosiseptif
afferent. Merupakan tambahan atau kombinasi dengan aktifitas
reflek abnormal dari afferen maupun efferen ekstriitas bawah
(sympatetik dan otot rangka). Penghilang nyeri sering durasinya
lebih lama beberapa jam (bahkan mingguan) dari durasi yang
diketahui secara farmakologi. Pemilihan jenis dari blok tergantung
dari lokasi nyeri, tergantung mekanisme dan keahlian dari dokter
yang merawatnya. Anestesi lokal anesthetic dapat diberikan lokal
(infiltrasi), atau pada syaraf tepi, pelksus somatik, ganglia
simpatik, atau akar syaraf.
o. Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal sendiri dapat memberikan analgesia yang
sangat baik tetapi menyebabkan blok simpatik dan motorik. Gejala
yang tampak adalah hipotensi dan terbatasnya pergerakan.
Pengenceran obat anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia yang
sangat baik dengan sedikit blok motorik (lihat Bab 14). Obat yang
paling sering digunakan adalah bupivakain dan ropivacaine 0,125-
0,25%. Jumlah pemberian obat pada tiap pasien berbeda tergantung
individu masing-masing, namun umumnya tergantung pada
ketinggian dari ujung kateter relatif terhadap sayatan pada area
dermatomnya. Dengan kateter yang diletakkan secara optimal,
pemberian infus 5-10 ml / jam umumnya menghasilkan analgesia
yang memuaskan.
3. Kontraindikasi
Kontraindikasinya adalah jika pasien menolak tindakan,
koagulopati, atau kelainan trombosit, dan adanya infeksi atau tumor di
tempat tusukan. Infeksi sistemik hanya kontraindikasi relatif kecuali
telah dinyatakan adanya bakteriemia. Pemasangan kateter intraspinal
pada pasien yang akan dilakukan heparinisasi intraoperatif masih
kontroversial karena kemungkinan hematoma epidural. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa risiko sangat kecil ketika kateter ditempatkan
tanpa trauma sebelum heparinisasi dan dilepas setelah faktor koagulasi
normal.
4. Agen Lainnya
Butorphanol epidural juga dapat memberikan analgesia yang baik
(durasinya 2-3 jam) dengan sedikit efek pruritus, tetapi efek
sampingnya dapat berupa sedasi yang berlebihan. Epidural clonidine
telah terbukti sebagai analgesic yang efektif, tetapi dapat menyebabkan
hipotensi dan bradikardia. a2-adrenergik agonis selektif, seperti
dexmedetomidine, terbukti memiliki efek samping yang lebih sedikit.
A. Kebijakan
1. Terkait dengan pelayanan yang diberikan, yaitu pasien dan keivati tentang
Manajemen Nyeri
6. Edward, Morgan Jr. et al. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th edition. Hal 359-413
8. Ashburn, M.A. 2004. Practice Guidelines for Acute Pain Management in the
Perioperative Setting : An . Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Acute Pain Management. Anesthesiology,
100:1573-81
14. Merskey, H. 1986. Pain Terms: a List With Definitions and Notes on Usage.
Pain 6:249-252
15. Tanra, A.H. 2005. Postopereative Pain and The Mancaement. Anestesia &
Critical Care, 23(2): 152-58