Anda di halaman 1dari 52

PANDUAN EDUKASI

PENANGANAN NYERI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


KABUPATEN DOMPU
2017
BAB I
DEFINISI

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi
kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. Edukasi
adalah : Suatu kegiatan komunikasi unyuk mengedukasi pasien dan keluarganya atau
penanggung jawab pasien tentang perawatan yang diterima sejak masuk rumah sakit sampai
pulang yang diberikan oleh semua profesi yang terkait dalam perawatan pasien di rawat
inap dan rawat jalan.
Pasien Menurut [DEPDIKBUD] adalah sebagai berikut "Pasien adalah orang sakit
yang dirawat oleh seorang dokter" Jadi pasien adalah seseorang yang kondisi badannya
tidak pada semestinya atau kurang baik dimana orang tersebut dirawat oleh seorang dokter
Keluarga menurut Departemen Kesehatan RI (1988) dalam Ali (2010) adalah unit terkecil
dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta
tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling bergantung.
BAB II
RUANG LINGKUP PELAKSANAAN

1. Edukasi Manajemen nyeri diberikan kepada pasien dan keluarga saat baru
masuk rumah sakit, selama perawatan dan persiapan pasien pulang
2. Edukasi Manajemen nyeri diberikan di rawat inap, rawat jalan dan di
poliklinik
3. Edukasi nyeri diberikan oleh DPJP sesuai dengan SPO penatalaksanaan
nyeri
4. Edukasi tentang nyeri di berikan yaitu tentang penanganan nyeri dengan:
a. Farmakologi
b. Non Farmakologi

Lingkup Edukasi yang diberikan:


Semua orang dalam kehidupannya sudah pasti pemah mengalami
episode nyeri. Berjuta orang yang mempunyai keluhan nyeri tidak
mendapatkan penanganan yang adekuat. Sehingga dampak yang
ditimbulkannya ternyata sangat serius. Mulai dari dampak psikologis,
social, ekonorni sampai dengan mutu kehidupan sehari-hari. Apabila
nyeri sudah berambah parah rnaka pengelolaannya sudah semakin
kompleks dan hal ini menimbulkan pertambahan biaya yang tidak sedikit.

A. Efek Nyeri Terhadap Mutu Kehidupan


Nyeri yang hebat akan menyebabkan pasien sangat menderita,
tidak mampu bergerak, tidak mampu bernafas dan batuk dengan baik,
susah tidur, tidak enak makan /dan 'minum, cemas, gelisah, perasaan
tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan seperti ini sangat
menggangu kehidupan normal penderita sehari-hari, sehingga
kehidupannya menjadi tidak berrnutu baik bagi dirinya sendiri,
keluarganya maupun masyarakat.
B. Pengertian
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan
jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu
keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.

C. Etiologi
Etiologi nyeri sangat beraneka ragam dengan lokasi nyeri yang
juga bisa terjadi di semua sistem organ tubuh, dimana nyeri bisa akibat
suatu penyakit medis, trauma, pasca operasi, nyeri akibat tumor, kanker
atau metastase kanker, nyeri persalinan, dsb. Secara garis besar, etiologi
nyeri dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Nyeri fisiologis
Pada nyeri fisiologis, stimulus nyeri berlangsung singkat dan tidak
menimbulkan kerusakan jaringan. Ketika stimulus nyeri hilang,
proses di nosiseptor juga ikut hilang sehingga tidak menimbulkan
kerusakan jaringan dan proses yang berkepanjangan. Nyeri fisiologis
ini penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup setiap
makhluk sebab sangat diperiukan dalam mengaktivasi refleks
menghindari rangsangan nyeri dan meningkatkan kewaspadaan.
2. Nyeri inflamasi / nosiseptif
Merupakan nyeri yang disebabkan suatu proses inflamasi dan
kerusakan jaringan selain jaringan saraf. Bila jaringan mengalami
inflamasi atau kerusakan, maka akan dikeluarkan berbagai macam
mediator inflamasi seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin,
histamin, dsb. Mediator-mediator tersebut tersebut dapat
mengaktivasi dan mensensitisasi nosiseptor secara langsung dan
tidak langsung yang akan merubah stimulus nyeri dalam bentuk aksi
potensial yang akan diteruskan dari perifer ke sentral.
3. Nyeri neuropathic
Merupakan nyeri yang didahului oleh disfungsi atau lesi primer pada
sistem saraf, baik saraf perifer maupun saraf sentral. Nyeri
neuropathic antara lain : nyeri neuropati diabetika, trigeminal
neuralgia, post herpetika neuralgia, dll. Tanda dari nyeri neuropatik
antara lain terjadi hiperalgesia, alodynia dan nyeri spontan tiba-tiba,
dengan rasa nyeri seperti terbakar, tertusuk. Mekanisme terjadinya
nyeri neuropatic sangat kompleks dan sampai sekarang belum
dipahami sepenuhnya.

D. Klasifikasi
Nyeri dapat diklasifikasi dalam berbagai cara, antara lain :
1. Menurut sumber terjadinya nyeri nosiseptif :
a. Nyeri somatik, terjadi akibat adanya eksitasi dan sensitisasi
nosiseptor di kulit dan jaringan seperti, tulang, jaringan lunak
periartikuler, sendi dan otot. Nyeri somatik ini sifatnya
terlokalisir, intermiten atau terus menerus. Nyeri somatik ditandai
dengan rasa nyeri yang tajam, sakit berdenyut atau seperti ditekan
(Bloomstone & Borsook , 2002).
b. Nyeri viseral, berawal dari nosiseptor-nosiseptor yang terdapat
pada jaringan viseral, seperti jaringan kardiovaskuler, jaringan
respirasi, jaringan gastrointestinal, dan jaringan genitourinaria.
Nosiseptor visera, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak
dirancang sebagai reseptor nyeri tunggal karena organ visera
jarang terpapar dengan kerusakan yang berat. Berbagai stimuli
yang merusak (pemotongan, terbakar, clamping) tidak
menghasilkan nyeri saat diberikan pada struktur visera. Namun,
inflamasi, iskemia, peregangan mesenterikus, dilatasi atau
spasme organ berongga mungkin menghasilkan spasme yang
berat. Stimuli ini biasanya berkaitan dengan proses patologis dan
nyeri yang dihasilkan mungkin berperan sebagai pertahanan
dengan menimbulkan immobilisasi. Berbeda dengan nyeri
somatik, nyeri ini tidak terlokalisasi secara topografik, nyeri ini
difus, bersifat intermiten atau konstan, ditandai dengan rasa
perih dan kram
2. Menurut penyebabnya :
a. nyeri onkologik / nyeri kanker
b. nyeri non-onkologik
3. Menurut asal embriologis jaringan :
a. referred pain : nyeri alih dari suatu organ yang dirasakan nyeri di
tempat lain, misalnya nyeri akibat infark miokard dirasakan juga
menjalar pada lengan dan jari tangan kiri
b. phantom pain : nyeri yang terjadi pada jaringan yang memiliki
asal embriologis yang sama, misalnya akibat amputasi kaki atau
tangan yang akan tetap dirasakan sebagai nyeri.
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang, dan berat
5. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronik
a. Nyeri akut : penyebabnya biasanya diketahui, dapat terjadi
pada pascaoperasi, trauma, proses penyakit sebelumnya
dengan durasi relatif pendek, dan bila penyebabnya
dihilangkan maka nyeri juga akan sembuh sendirinya, dan
nyeri ini lebih dikenal dengan sebutan simtomatik.
b. Nyeri kronik: penyebabnya sering sulit diketahui, biasanya
disertai oleh penyakit sebelumnya atau injury misalnya rematoid
artritis, osteoartritis, nyeri tulang belakang, nyeri bahu, kanker,
nyeri tetap terjadi meskipun telah terjadi penyembuhan jaringan
dalam waktu > 3 bulan, durasi panjang, dan nyeri ini lebih
dikenal dengan "penyakit". Tujuan penanganan nyeri pada nyeri
kronik adalah mengontrol nyeri, bukan menyembuhkan nyeri.
Components of chronic pain:
1) Persistent pain pain that lasts 12 or more hours each day
2) Breakthrough pain flare of pain that "breaks through" the
medicine taken around-the-clock, which typically peaks in as
2.3
little as 3 minutes and may last up to 30 minutes
Klasifikasi berdasarkan nyeri akut dan nyeri kronik saat ini paling sering
digunakan pada praktek klinis sehari-hari.

E. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala klinis dari pasien dengan nyeri adalah keluhan nyeri
itu sendiri. Karena nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional
yang bersifat subyektif, maka setiap pasien yang mengeluh nyeri berarti
memang benar-benar dalam keadaan nyeri. Jangan pernah sekalipun
meragukan keluhan nyeri yang disampaikan pasien . Gejala klinis akibat
nyeri yang dialami pasien dapat berupa respon simpatis atau
parasimpatis.Pemeriksaan fisik dan gejala klinis lainnya hanya merupakan
penunjang diagnosa nyeri yang dialami pasien, dan tidak bisa dijadikan
sebagai patokan utama diagnosa nyeri.
Respon simpatis akibat nyeri antara lain:
1. Peningkatan tekanan darah
2. Takikardi
3. Pucat
4. Peningkatan frekuensi nafas
5. Spasme otot
6. Berkeringat banyak

Respon parasimpatis antara lain :


1. Penurunan tekanan darah
2. Bradikardi
3. Mual-muntah
4. Terasa lemas
5. Pucat
6. Kehilangan kesadaran

F. Patofisiologi Nyeri
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan (sebagai
sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu proses
elektro- fisiologik, yang disebut sebagai nosisepsi ("nociception").
Ada 4 (empat) proses yang jelas yang terjadi mengikuti suatu proses
elektro- fisiologik nosisepsi, yakni:
1. Transduksi ("transduction"), merupakan proses stimuli nyeri ("naxious
stimuli') yang diterjemahkan atau diubah menjadi suatu aktifitas listrik
pada ujung-ujung saraf.
2. Transmisi ("transmission"), merupakan proses penyaluran impuls melalui
saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan
oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama dari
perifer ke medulla spinalis.
3. Modulasi ("modulation"), adalah proses interaksi antara sistem
analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior
medula spinalis. Sistem analgesik endogen meliputi, enkefalin,
endorfin, serotonin dan noradrenalin yang mempunyai efek menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
4. Persepsi ("perseption"), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang
kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi dan
modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang
subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri

Gambar 1. Pejalanan signal nyeri dari perifer menuju sentral


Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik,
artinya terjadi pelepasan hormon katabolik, sebaliknya terjadi penekanan
sekresi hormon anabolik. Hormon katabolik akan menyebabkan
hiperglikemia melalui mekanisme resistensi terhadap insulin dan proses
glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein dan lipolisis.
Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif. Aldosteron,
kortisol, ADH menyebabkan terjadinya retensi Na dan air. Katekolamin
merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah.
Pelepasan Katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi
Angiotensin II akan menimbulkan efek langsung pada miokardium atau
pembuluh darah dan meningkatkan retensi Na dan air. Angiotensin II
menimbulkan vasokonstriksi. Katekolamin menimbulkan takikardia,
meningkatkan kontraktilitas otot jantung dan resistensi vaskuler perifer,
sehingga terjadilah hipertensi.
Bertambahnya cairan ekstra seluier di paru-paru akan
menimbulkan kelainan ventilasi perfusi. Nyeri di daerah dada atau
abdomen akan menimbulkan peningkatan tonus otot di daerah tersebut
sehingga dapat muncul resiko hipoventilasi, kesulitan bernafas dalam
dan mengeluarkan sputum, sehingga penderita mudah mengalami
penyulit atelektasis dan hipoksemia.
Peningkatan aktifitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi
fungsi saluran cerna. Gangguan pasase usus, sering terjadi pada
penderita nyeri. Terhadap fungsi immunologik; nyeri akan
menimbulkan limfopenia, leukositosis, dan depresi RES. Akibatnya
resistensi terhadap kuman patogen menurun. Kemudian, terhadap fungsi
koagulasi; nyeri akan rnenimbulkan perubahan viskositas darah dan
fungsi platelet, sehingga adesivitas trombosit meningkat. Ditarnbah
dengan efek katekolamin , yang menimbulkan vasokonstriksi dan
immobilisasi akibat nyeri, maka akan mudah terjadi komplikasi
trombosis.
G. Pengkajian Nyeri
1. Aspek Klinis Nyeri Akut
Neurotransmiter utama yang berperan pada proses
nosiseptif adalah Glutamat. Pada kondisi nyeri akut, reseptor
utama yang berperan adalah AMPA (alpha-amino-3-hydroxy-5-
methylisoxazole-4-propionic-acid). Pada kondisi nyeri kronis, reseptor
utama yang berperan adalah NMDA (N-methyl-D-aspartate).
Reseptor NMDA pada kondisi fisiologik tidak akan terangsang,
kecuali ada pelepasan glutamat dalam jumlah besar atau menetap
(Brookoff, 2000). Aktivasi berualang reseptor AMPA akan
menyebabkan deplesi ion magnesium yang berperan sebagai
penghalang ion kalsium dan natrium pada kompleks reseptor NMDA.
Perubahan pada membran neuron ini merupakan bentuk awal
hipersensitisasi sentral, sebagai permulaan transisi nyeri akut
menjadi nyeri kronik (Brookoff, 2000).
Nyeri akut dibagi atas:
Pertama, nyeri yang muncul pada pasien, dimana sebelumnya tidak ada
nyeri kronik. Untuk pasien dengan nyeri akut tipe ini, pengobatan
ditujukan terhadap nyeri dan penyebabnya.
Kedua, nyeri yang datang tiba-tiba pada pasien yang sebelumnya
sudah menderita nyeri kronik akan tetapi nyeri akut tidak
berhubungan dengan nyeri kronik. Misalnya: pasien dengan nyeri
kanker yang diderita selama ini, kemudian menderita patah tulang
tanpa berhubungan dengan kankernya, dan mengalami nyeri.
Keadaan seperti ini selain pengobatan untuk nyeri yang lama, perlu
ditambahkan analgetik yang sesuai untuk patah tulang.
Ketiga, nyeri akut yang merupakan eksaserbasi nyeri kronik yang
selama ini diderita oleh pasien. Misalnya: seorang pasien dengan
nyeri kanker kronik dan mengalami nyeri patah tulang oleh karena
memberatnya penyakit. Oleh karena itu kecemasan sangat
mempengaruhi intensitas nyeri.Untuk kasus seperti ini, terapi
ditujukan untuk menurunkan kecemasan yang dapat berupa dukungan
emosional.
Nyeri merupakan suatu hal yang komplek, keadaan yang
multidimensional sebagai akibat dari kombinasi rangsang nyeri/
nociception dan kerusakan jaringan, pengalaman nyeri sebelumnya,
kepercayaan pasien, budaya dan kepribadian pasien. Rasa nyeri ini
bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus
diiakukan observasi serta penilaian secara rutin dengan menggunakan
alat bantu. Hai ini menjelaskan mengapa pasien dengan tingkat stimulus
nyeri dan kerusakan jaringan yang sama akan merasakan pengalaman
nyeri dengan sangat berbeda. Karena tidak terdapat suatu alat yang
dapat menilai langsung nyeri secara obyektif, kita harus mempercayai
laporan pasien tentang tingkat nyeri yang mereka alami (Ballantyne,
2008).
H. Instrumen Penilaian Nyeri
Menurut JCAHO pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan
tanda vital yang kelima yang berarti kita harus meningkatkan
kewaspadaan dan meningkatkan penilaian nyeri yang pada akhirnya
dapat meningkatkan penanganan nyeri akut. Penilaian nyeri yang teratur
dan berulang harus dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi
analgesia yang sedang berjalan. Frekuensi penilaian nyeri tergantung
dari durasi dan beratnya nyeri, kebutuhan dan respon pasien serta jenis
obat dan intervensi yang digunakan. Penilaian tersebut harus meliputi
komponen nyeri yang berbeda, sebagai contoh penilaian nyeri pada
pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada kondisi static (saat
istirahat, tidak bergerak) dan pada kondisi dynamic (saat bergerak,
duduk, batuk). Nyeri yang tidak terkontrol memerlukan penilaian
berulang serta evaluasi diagnosa dan mempertimbangkan kemungkinan
terjadinya suatu komplikasi atau terjadi nyeri neuropati. Secara garis
besar, penilaian nyeri dibagi menjadi 2, yaitu penilaian unidimensional
dan penilaian multidimensional. (Cousin, 2005)
1. Penilaian unidimensional
Terdapat beberapa skala untuk menilai intensitas nyeri
ataupun tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi
analgesia. Dalam menilai respon terhadap suatu terapi biasanya
dipakai skala penurunan nyeri dan bukan intensitas nyerinya,
(Cousin, 2005). Categorical scales menggunakan kata-kata untuk
mendeskripsikan intensitas nyeri atau derajat penurunan nyeri.
Verbal descriptive scale (VDS) biasanya menggunakan kata-kata
tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat atau sangat nyeri.
VDS pertama kali disampaikan oleh Keele pada tahun 1948 (Coll
dkk, 2004). VDS lebih sulit digunakan pada pasien pascaoperasi
dibandingkan dengan skala numerikal dan kurang sensitif untuk
menilai hasil terapi analgesia dibandingkan dengan visual analogue
scale (VAS) (Ballantyne, 2008). Categorical scales mempunyai
keuntungan karena sederhana, mudah dan cepat dilakukan, dan
berguna pada pasien-pasien tua atau pasien dengan gangguan
penglihatan. Akan tetapi terbatasnya pilihan kategori dibandingkan
dengan numerical scales membuat categorical scales lebih sulit
untuk mengetahui adanya perbedaan terhadap hasil terapi analgesia
yang diberikan (Cousin, 2005)
Numerical scale terdapat dalam bentuk 'sebagai kalimat
verbal ataupun tertulis. Skala numerikal dalam kalimat verbal
dikenal sebagai numerical rating scale (NRS), disampaikan oleh
Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta untuk menyatakan
tingkat nyerinya dalam skala numerikal, biasanya antara 0 10
dimana 0 sebagai tidak nyeri dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS
merupakan salah satu instrumen pengukur nyeri yang sering
digunakan dalam penelitian (Coll dkk, 2004). Skala numerikal
dalam bentuk tertulis dikenal sebagai visual analogue scale (VAS)
dan saat ini merupakan instrumen pengukur nyeri yang paling luas
digunakan dalam praktek klinis maupun dalam penelitian. VAS
berupa suatu garis lurus horizontal dengan panjang 100 mm, pada
ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada ujung
kanan ditandai dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk
memberi tanda pada garis tersebut yang kemudian akan diukur
jaraknya dari sebelah kiri. Jarak tersebut dihitung dalam satuan
milimeter (mm) dan mencerminkan tingkat nyeri yang dialami
pasien. Selain dalam posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan
vertikal dan hasilnya tetap valid (Coll dkk, 2004). Interpretasi niiai
VAS sangat bervariasi tergantung definisi yang digunakan, akan
tetapi interpretasi nilai VAS yang paling banyak digunakan yaitu
nilai < 30 mm sebagai nyeri ringan, 31-70 mm sebagai nyeri sedang,
dan >70 mm sebagai nyeri berat. Hasil dari penilaian VAS ini dapat
digunakan sebagai salah satu pedoman dalam menyesuaikan dosis
obat anti nyeri yang diberikan (Aubrun dkk, 2003 ; Bodian dkk,
2001). Skala ini mempunyai keuntungan oleh karena sederhana,
mudah dan cepat menggunakannya, memungkinkan pasien
menentukan sendiri tingkat nyerinya dalarn rentang yang cukup
lebar. Akan tetapi dalam rnenentukan skala ini diperiukan konsetrasi
dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat dipergunakan
pada anak-anak (Cousin, 2005). Perubahan nilai VAS juga
mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira
10 mm atau 15 % dikatakan sebagai nyeri sedikit menurun, penurunan
nilai 20-30 mm atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang
bermakna dari sudut pasien dan penurunan VAS hingga 66% dianggap
sebagai menghilangnya nyeri yang substansial (Jensen dkk, 2003).

Gambar 2. Penggaris Visual Analogue Scale ( VAS )


Gambar 3. Numerical rating scale

Gambar 4. Wong baker faces pain scale


2. Penilaian Multidimensional
Penilaian multidimensional tidak hanya menilai intensitas nyeri,
tapi juga menghasilkan informasi tentang karakteristik nyeri dan
dampaknya terhadap individu pasien. Salah satu penilauan
multidimensional yang sering dipakai adalah McGill Pain Questionare
(MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada tahun 1987 untuk
memperoleh penilaiati kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang dirasakan
oleh pasien. MPQ menghasilkan 2 nilai global, yaitu pain rating index
dan intensitas nyeri terkini. MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang
valid dan dapat dipercaya. Pain rating index diperoleh dari jumlah nilai
dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi
sensoris, afektif dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa skala
nyeri dari 0-5, dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak
nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 =
sangat tersiksa oleh nyeri (Katz dick, 2003).
Evaluasi psikis bermanfaat saat evaluasi medis gagal mengetahui
penyebab dari rasa nyeri, , atau pada saat intensitas dari nyeri tidak
sesuai dengan penyakit atau cideranya. Evaluasi jenis ini membantu
untuk menentukan peran psikologis atau faktor kebiasaan. Tes yang
umum digunakan adalah Minnesota Multiphasic Personality Inventory
(MMPI) dan Beck Depression Inventory.
MMPI terdiri dari 566 pertanyaan benar atau salah yang
berusaha untuk menentukan sifat dari pasien menjadi 10 skala klinik. Tiga
skala berlalcu untuk mengidentifikasi pasien yang dengan berusaha untuk
menyembunyikan sifat asli dan mengubah hasil. Harus di carat bahwa
perbedaan kebudayaan dapat mempengaruhi hasil. Lamanya tes dan
beberapa pertanyaan pada sebagian pasien dianggap suatu yang
memalukan. MMPI terutama digunakan untuk menegaskan impresi
klinik tentang peran dari faktor psikis; ini tidak dapat dipercaya untuk
membedakan antara nyeri organik atau fungsional. Depresi sering terjadi
pada pasien dengan nyeri kronik. Kadang sulit untuk rnenentukan
kontribusi dari depresi terhadap rasa menderita akibat nyeri. Beck
Depression Inventory adalah tes yang sangat bermanfaat untuk
mengindentifikasi pasien dengan depresi mayor.
Beberapa tes telah diciptakan untuk menilai keterbatasan
fungsional. Termasuk didalamnya Multidimensional Pain Inventory
(MPI), Pemeriksaan Hasil Medis 36-Jenis Formulir Singkat (Short
Form) (SF-36), Pain Disability Index (PDI), dan Oswestry Disability
Questionnaire. Tes ini lebih banyak menggambarkan persepsi pasien
terhadap ketidak mampuan.
Kelainan emosi sering dihubungkan dengan keluhan nyeri
kronik, dan nyeri kronik sering menyebabkan stress psikologi. Mana
penyebab utamanya kadang sulit untuk dibedakan. Pada kasus seperti
ini, nyeri dan stress emosionalnya harus diterapi.
Manajemen nyeri yang baik tentu saja memerlukan pula
kerjasama antara dokter dan pasien yang optimal.Untuk itu, dokter
perlu mengajukan beberapa pertanyaan sehubungan dengan nyeri
yang diderita pasien, agar dokter mendapatkan informasi yang jelas,
lengkap sehingga pelayanan nyeripun dapat dilaksanakan dengan
efektiff efisien dan holistik. Berikut terdapat beberapa pertanyaan
yang dapat kita berikan pada pasien dengan nyeri akut:
a. Lokasi nyeri
b. Apakah nyeri yang diderita merupakan keluhan utama atau penyerta dari
penyakit lain
c. Lokasi dari nyeri, dan penyebarannya
d. Onset dan situasi yang dapat menimbulkan nyeri
e. Intensitas atau skala nyeri, saat istirahat atau bergerak, dan perubahan
skala nyeri yang terjadi akibat aktivitas tertentu
f. Karakter nyeri, seperti apakah nyeri terasa menusuk tajam,
berdenyut, rasa terbakar. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan
sehubungan dengan adanya tanda-tanda nyeri neuropati seperti
rasa terbakar, tertusuk, alodinia (nyeri yang timbul hanya dengan
sentuhan normal)
g. Berapa lama nyeri berlangsung, apakah terus menerus atau hilang
timbul.
Selain pertanyaan tentang nyeri, beberapa hal lain yang harus
dievaluasi dari pasien sehubungan dengan kondisi medis dan psikisnya
antara lain:
a. Gejala yang berhubungan dengan nyeri seperti mual/muntah. Hal ini
dapat membantu kita mengetahui penyebab dari nyerinya dan
mengidentifikasi kebutuhan akan penanganan gejala tersebut
b. Efek dari nyeri terhadap aktivitas, seperti gangguan tidur dan kegiatan
sehari-hari
c. Terapi yang pernah di lakukan dan efek terapi tersebut terhadap nyeri
d. Riwayat penggunan obat-obatan
e. Riwayat keluarga
f. Pemeriksaan psikososial. Adanya kecemasan, mekanisme pembelaan
ego, atau okupasi
g. Pemeriksaan fisik
h. Evaluasi terhadap disabilitas akibat nyeri

Untuk pasien-pasien dengan nyeri kronis, diperlukan


anamnesa lain seperti:
1. Apakah onset nyeri berhubungan dengan trauma ataukah
tersembunyi?
2. Sudah berapa lama pasien merasakan nyeri?
3. Tanyakan kepada pasien bagaimana cedera yang berhubungan dengan
nyeri tersebut terjadi?
4. Dimanakah nyeri dirasakan? (apakah lebih dari satu lokasi?)
5. Apakah pasien merasakan nyeri alih?
6. Apakah nyeri tidak terasa pada kondisi tertentu?
7. Gerakan bagaimana yang membuat nyeri bertambah?
8. Apakah ada cuaca tertentu yang membuat nyeri bertambah?
9. Hal apa yang menyembuhkan nyeri?
10. Apakah level nyeri yang dideskripsikan oleh pasien menggunakan skala
penilaian?
11. Apakah ada suatu pola nyeri ketika pasien bangun pagi harinya? Apakah
nyeri bertambah dengan berlalunya hari? Ini mengindikasikan nyeri
bertambah dengan aktivitas
12. Bagaimana efek obat analgesik terhadap nyeri?
13. Apakah nyeri membangunkan pasien?
14. Apakah pasien berespon psiko-fisiologis terhadap nyeri berat, misalnya
letargi, muntah dan perubahan mood?
15. Mintalah pasien untuk mendeskripsikan nyerinya
16. Apakah ada mati rasa maupun hilangnya kekuatan motorik yang
berkaitan dengan nyeri?
17. Apakah stimuli normal membuat nyeri bertambah, seperti
misalnya sentuhan ringan, mandi shower?

PENILAIAN INTENSITAS NYERI HARUS RUTIN DILAKUKAN SETIAP


MEMERIKSA PASIEN DAN MERUPAKAN VITAL SIGN KELIMA

18. Apakah nyeri dapat ditolerir sehari-harinya?


19. Apakah pola nyeri tidak lazim?
20. Apakah nyeri bersifat intermittent?
21. Apakah nyerinya kronik?
22. Apakah nyeri hilang ketika pasien melakukan aktivitas sehari-hari?
23. Apakah nyeri tersebut memiliki komponen neuropatik atau elemen dari
`complex regional pain syndrome' ketika pasien mengeluh tentang rasa
nyeri terbakar yang kronik pada salah satu tungkai?
24. Apakah ada respon psiko-fisiologis terhadap nyeri?

I. Edukasi Pasien dan Keluarga


Edukasi pasien dan keFuarga merupakan bagian yang penting dalam
penatalaksanaan nyeri. Dalam praktek sehari-hari, manajemen nyeri
merupakan suatu hal yang harus dilakukan secara holistik, tidak hanya
mengobati nyeri secara farmakologis dan non-farmakologis, tetapi pasien dan
keluarga juga harus mengetahui terapi-terapi yang diberikan oleh tenaga
kesehatan. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa mitos dan,
kesalahan informasi yang dapat berkontribusi pada ketidak efektifan
manajemen nyeri. Beberapa mitos yang termasuk antara lain:
1. Penggunaan obat yang berlebihan dan terlalu sering dapat
menyebabkan penyalahgunaan obat dan kondisi adiksi yang mana
dapat menghasilkan depresi nafas atau kematian
2. Nyeri harus diterapi bukan dicegah
3. Pasien dengan rasa nyeri harus melaporkan tentang nyerinya kepada
petugas kesehatan
4. Pasien yang merasa nyeri atau menunjukkan adanya rasa nyeri dapat
dilihat dari perilakunya.
5. Level nyeri sering kali diekspresikan secara berlebihan oleh pasien
6. Pasien tidak dapat bebas dari rasa nyeri
7. Beberapa rangsang nyeri baik untuk pasien agar gejala suatu penyakit
tidak tertutupi
8. Bayi baru lahir tidak dapat merasakan nyeri
9. Umumnya manula memiliki rasa nyeri.

Oleh karena itu, diperlukan tenaga kesehatan berlisensi yang dapat


bertanggung jawab dan akuntabel untuk menjamin bahwa pasien menerima
pengobatan yang sesuai berbasis bukti pengkajian keperawatan dan
melakukan intervensisecara efektif dan memenuhi standar yang diakui
perawatan. Dalam rangka untuk mengadvokasi pasien, tenaga kesehatan
harus memiliki lisensi sebagai berikut:
1. Pengetahuan Diri
Praktek keperawatan mencakup pengetahuan tentang diri
seseorang melalui penilaian sikap, nilai, kepercayaan, dan latar
belakang budaya dan pengaruh yang telah terbentuk masing-masing
kita sebagai individu. Faktor-faktor ini mempengaruhi perawat ketika
menilai, mengevaluasi, dan menafsirkan pemyataan pasien, perilaku,
respon fisik, dan penampilan.
Hambatan terbesar untuk pasien mencapai manajemen nyeri yang
efektif antara lain:
a. Individu pengalaman dengan rasa sakit
b. Pasien dengan pengguna terapi non farmakologis dalam
penanganan nyerinya.
c. Pasien yang memiliki keluarga dengan sejarah penggunaan obat
anti nyeri.
Ketika tenaga kesehatan berlisensi dipengaruhi atau dibatasi oleh
faktor pribadi, maka ia tidak boleh menilai, mengevaluasi atau
berkomunikasi tingkat nyeri pasien secara efektif atau obyektif. Hal
ini dapat lebih diperburuk jika tenaga kesehatan tersebut tidak
memiliki pengetahuan yang memadai tentang manajemen nyeri dan,
sebagai hasilnya, tidak dapat mengenali kebutuhan untuk mencari
informasi tambahan untuk menilai dan mengelola nyeri pasien tepat.
2. Pengetahuan tentang Nyeri
Nyeri bersifat subyektif. Level nyeri bergantung pada
seberapa banyak yang dirasakan oleh pasien. Tenaga kesehatan
menggunakan proses keperawatan dalam manajemen nyeri.
Pengukuran yang memadai dan manajemen nyeri mencakup
pengetahuan dalam bidang berikut:
a. Penilaian nyeri:
1) Tenaga kesehatan melakukan penilaian sesuai dengan
tahapan perkembangan standar yang meliputi : alat
pengukur nyeri yang telah menunjukkan reliabilitas dan
validitas dan partisipasi pasien, yang penting dalam proses
penilaian. Bagi pasien yang tidak dapat ikut berpartisipasi
secara langsung, standar penilaian nyeri harus meliputi
pengamatan perilaku dengan atau tanpa tindakan fisiologis.
2) Tanda-tanda fisiologis seperti takikardia, diaphoresis,
hipertensi, dan pucat merupakan tanda non-spesifik untuk
nyeri. Untuk pasien sakit, tanda-tanda fisiologis dapat hadir
untuk jangka waktu yang singkat atau sama sekali.
3) Semata-mata mengandalkan tanda-tanda fisiologis untuk menilai
nyeri mungkin tidak sesuai.
4) Tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan tentang perbedaan
dalam kategori nyeri (yaitu akut, kronis, kanker)
5) Tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan mengenai potensi
sumber yang paling mungkin dari nyeri (misalnya saraf, otot,
tulang, viseral);
6) Tenaga kesehatan harus mampu menilai pola nyeri individu,
termasuk pengalaman nyeri pasien individu, metode
mengekspresikan rasa sakit, pengaruh budaya, dan bagaimana
individu mengelola rasa sakit mereka.
3. Intervensi Farmakologis dan non-farmakologis:
a. Tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan tentang intervensi
farmakologi opioid, non-opioid, dan terapi obat ajuvant (termasuk
dosis, efek samping, interaksi obat, dll) yang paling efektif untuk
sumber rasa sakit seorang pasien.
b. Pengetahuan bahwa plasebo tidak harus digunakan untuk menilai
apakah ada atau tidak obat anti nyeri untuk mengobati rasa sakit.
c. Pengetahuan tentang strategi nonfarmakologis untuk manajemen
nyeri (misalnya akupunktur, aplikasi panas dan dingin, pijat, teknik
pernapasan,
4. Standar dan pedoman manajemen nyeri.
5. Perbedaan antara toleransi, ketergantungan fisik dan psikologis, penarikan
dan pseudoaddiction.
6. Pengetahuan tentang Standar Perawatan
Standar perawatan yang efektif terhadap nyeri dengan penilaian
berkelanjutan. Yang termasuk antara lain:
a. Mengakui dan menerima rasa sakit pasien
b. Mengidentifikasi sumber yang paling mungkin dari nyeri pasien
c. Menilai nyeri secara berkala, dengan menuliskannya pada buku
laporan sehingga dapat diperkirakan kapan nyeri akan berulang
kembali.
d. Memahami hambatan untuk manajemen nyeri yang efektif, yang
mungkin termasuk hambatan pribadi, budaya dan Kelembagaan.
Sumber hambatan-hambatan ini dapat mencakup tetapi tidak
terbatas pada pasien, keluarga, orang penting lainnya, perawat
dokter, dan kendala institusional.
e. Mengembangkan rencana perawatan pasien yang meliputi rencana
interdisipliner untuk manajemen nyeri yang efektif melibatkan pasien,
keluarga dan bagian lainnya;
f. Menerapkan strategi manajemen nyeri dan intervensi keperawatan
ditunjukkan termasuk:
g. Pengobatan agresif terhadap efek samping (yaitu mual, muntah,
konstipasi, dll pruritus),
h. Mendidik pasien dan keluarga tentang:
1) Peran mereka dalam manajemen nyeri,
2) Efek merugikan dari nyeri tak henti-hentinya,
3) Mengatasi hambatan untuk manajemen nyeri yang efektif,
4) Manajemen nyeri merencanakan dan hasil yang diharapkan dari
rencana
i. Mengevaluasi efektivitas strategi dan intervensi keperawatan
j. Mendokumentasikan dan pelaporan dari intervensi nyeri, respon
pasien, dan hasil terapi
k. Advokasi untuk pasien dan keluarga untuk manajemen nyeri yang
efektif.

J. Terapi Farmakologis dan Non Farmakologis


Dalam penanganan nyeri, dapat dilakukan secara farmakologis dan
non farmakologis yang dapat dilakukan secara bersama-sama dengan
tujuan menghasilkan penanganan nyeri yang lebih baik. Penanganan nyeri
ini berdasarkan pada pathway nyeri.
self-regulation techniques
anxiolytiCS
antidepressants
Cortex education. explanation re-pain

Multimodal Pain &


descending modulation

serotonin (TCA'S) nog-


epinephrine enkephal ina Stress"Managemen
spinal cord stimulation

NSAIDs

hypotalamus thalamus

Systemic opiates Peridural local anesthetics


NSAIDs

PAINFUL
STIMULUS

Antihistamines
Glucocorticoids
NSAIDs
Local anesthetic infiltration
Symphathetic ganglion Substance P antagonist
blockade Serotonin antagonists
Vasodilators
viscera
blood vessels Renal dose dopamine

1. Terapi Non Farmakologis


Beberapa terapi non farmakologis dapat dilakukan untuk mengatasi
rasa nyeri. Terapi ini dapat dikombinasikan dengan terapi farmakologis
yang lain. Beberapa contoh terapi non farmakologis antara lain:
a. Intervensi Psikologis
Teknik ini paling efektif bila dikerjakan oleh psikolog atau
psikiater. Termasuk didalamnya terapi kognitif, terapi perilaku,
biofeedback dan teknik relaksasi, serta hipnosis. Intervensi
kognitif didasarkan pada asumsi bahwa sikap pasien terhadap
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Sikap maladaptif
berkontribusi terhadap nyeri berkepanjangan dan kecacatan. Pasien
diajarkan keterampilan untuk mengatasi rasa sakit baik secara
individual atau dalam terapi kelompok.
Teknik yang paling sering adalah pengalihan perhatian. Terapi
perilaku didasarkan pada pemikiran bahwa kebiasaan pada pasien
dengan nyeri kronis ditentukan oleh konsekuensi dari kebiasaan
tersebut. Penguatan positif (seperti perhatian dan pasangan) malah
cenderung memperburuk rasa sakit, sedangkan penguatan negatif
mengurangi perilaku nyeri. Terapis menyatakan perilaku nyeri
"tidak baik" dan mencoba untuk memanipulasi penguatan, interfensi
jenis ini membutuhkan kerjasama dan anggota keluarga dan tenaga
kesehatan.
Teknik relaksasi mengajarkan pasien untuk mengalihkan respon
yang timbul dan peningkatan tonus simpatik yang berhubungan
dengan nyeri. Teknik yang paling sering digunakan adalah latihan
relaksasi otot yang progresif. Biofeedback dan hipnosis adalah
intervensi erat yang terkait. Semua bentuk biofeedback didasarkan
pada prinsip bahwa pasien dapat diajarkan untuk mengontrol
parameter fisiologis. Setelah mahir daengan teknik ini, pasien
mungkin dapat mengendalikan faktor-faktor fisiologis yang
memperburuk nyeri (misalnya, ketegangan otot), dapat
menimbulkan respon relaksasi, dan dapat lebih efektif menerapkan
keterampilan koping. Parameter fisiologis yang paling umum
digunakan adalah kekakuan otot (biofeedback elektromiografi) dan
suhu (biofeedback termal). Efektivitas hipnosis berfariasi antara tiap
individu. Teknik hipnosis mengajarkan pasien untuk mengubah
persepsi nyeri dengan membuat mereka fokus pada sensasi lain,
melokalisasi nyeri ke tempat lain, dan menja -uhkan diri dari
pengalaman nyeri melalui pengalihan pikiran. Tehnik 'relaksasi
terlihat bermanfaat pada pasien dengan sakit kepala kronis dan
gangguan muskuloskeletal.
b. Terapi Fisik
Panas dan dingin dapat mengurangi rasa nyeri dengan
meredakan kekakuan otot. Selain itu, pangs menurun kekakuan
sendi dan meningkatkan aliran darah sementara dingin
menyebabkan vasokontriksi dan dapat mengurangi edema jaringan.
Kerja analgesik panas dan dingin juga sebagian dapat dijelaskan
dengan teori proses gerbang nyeri (di atas). Modalitas pemanasan
superfisial meliputi tehnik konduksi (paket panas, mandi parafin,
fluidotherapy), konveksi (hidroterapi), dan radiasi (inframerah).
Teknik untuk aplikasi panas yang mendalam meliputi ultrasound
seperti gelombang pendek dan diathermi gelombang mikro,
modalitas ini lebih efektif untuk nyeri sendi yang dalam dan otot.
Dingin paling efektif untuk nyeri yang berhubungan dengan cedera
akut dan edema. Bila diterapkan secara selektif, dingin juga dapat
meredakan kekakuan otot. Aplikasi dapat mengambil bentuk
kemasan dingin, pijat es, atau sernprotan vapocoolant (klorida etil
atau fluoromethane).
Olahraga harus menjadi bagian dari setiap program rehabilitasi
untuk nyeri kronis. Program olahraga yang bertahap mencegah
kekakuan sendi, atrofi otot, dan kontraktur, yang semuanya dapat
berkontribusi pada rasa nyeri pasien dan cacat fungsional.
c. Akupuntur
Akupuntur bisa membantu pada beberapa pasien dengan nyeri
kronis, terutama nyeri yang berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal kronis dan sakit kepala. Teknik ini berupa
penusukan jaruin ke titik anatomis tertentu yang sudah ditentukan,
disebat meridian. Stimulasi jarum setelah ditusukkan dengan
memutar-mutar jarum atau pemberian arus listrik ringan. Titik
penusukan jarum tampak tidak berhubungan dengan anatomi
sistem saraf konfensional. Meskipun literatur ilmiah mengenai
mekanisme akupunlctur aksi dan pecan dalam penanganan nyeri
adalah bertentangan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
akupunktur merangsang pelepasan opioid endogen, karena efeknya
bisa berlawanan dengan nalokson.
d. Stimulasi Listrik
Stimulasi listrik dari sistem saraf dapat menghasilkan analgesia
pada pasien dengan nyeri akut dan kronis. Saat ini dapat dilakukan
secara transcutaneous, epidural, atau dengan penanaman elektroda di
sistem saraf pusat.
e. Stimulasi Transkutan
Stimulasi listrik saraf transkutan (TENS) diperkirakan
menghasilkan analgesia dengan menstimulasi serabut aferen
besar. Mungkin dapat bermanfaat pada pasien dengan nyeri akut
ringan sampai sedang dan pasien dengan nyeri punggung kronis
rendah, arthritis dan nyeri neuropatik. Teori gerbang nyeri
menunjukkan bahwa input aferen dari serat epicritic besar bersaing
dengan serat nyeri yang lebih kecil. Sebuah teori alternatif
menyatakan bahwa pada stimulasi tinggi, TENS menyebabkan blok
konduksi serat kecil aferen nyeri. Dengan TENS konvensional,
elektroda ditempatkan pada titik nyeri dan distimulasi secara
berkala oleh arus searah (DC) dari pembangkit listrik (biasanya
selama 30 menit beberapa kali sehari). Arus 10-30 mA dengan tekanan
berkisar 50-80s diterapkan pada frekuensi 80-100 Hz. Beberapa
pasien yang sulit disembuhkan terhadap TENS konvensional
merespon dengan TENS frekuensi rendah (TENS seperti akupunktur),
yang menggunakan rangsangan dengan lebar pulsasi > 200 us pada
frekuensi <10 Hz (selama 5-15 menit). Tidak seperti TENS
konvensional, stimulasi frekuensi rendah sebagian dapat direverse
dengan nalokson, menunjukkan adanya kerja opioid endogen.
f. Spinal Cord Stimulation (SCS)' Stimulasi Medula Spinalis
Teknik ini juga disebut stimulasi kolumna dorsalis karena
diduga untuk menghasilkan analgesia langsung dengan
menstimulasi serat syaraf besar dalam kolumna dorsalis di tulang
belakang. Mekanisme yang diajukan meliputi aktivasi modulasi
sistem desenden dan inhibisi simpatik. Stimulasi saraf tulang
belakang paling efektif untuk nyeri neuropatik. Indikasinya untuk
nyeri simpatik dimediasi, lesi sumsum tulang belakang dengan nyeri
segmental lokal, nyeri tungkai, nyeri ekstremitas bawah iskemik
akibat penyakit pembuluh darah perifer, dan adhesive arachnoiditis.
Pasien dengan sindrom kembali karena operasi gagal (FBSS), yang
biasanya gangguan campuran nociceptive-neuropatik campuran,
juga tampalcnya juga bisa menggunakan SCS.
Elektroda sementara ditempatkan di daerah epidural dan
dihubungkan dengan pembangkit listrik eksternal untuk
mengevaluasi efikasi pada pasien yang diberikan selama 5 7 hari
percobaan. Jika respon yang baik diperoleh, sistem tanam
ditempatkan; elektroda epidural permanen biasanya ditempatkan
perkutan, tunnel, dan dihubungkan ke pembangkit subkutan.
Sayangnya, efektivitas teknik ini pada beberapa pasien berkurang
seiring dengan waktu. Komplikasi termasuk infeksi, pindahnya lead,
dan kerusakan lead.
g. Stimulasi intraserebral
Stimulasi otak dalam dapat digunakan untuk nyeri kanker
berat, dan jarang untuk nyeri neuropatik yang berat yang berasal
dari proses nonmalignansi. Elektroda yang ditanamkan secara
stereotactic ke dalam daerah abu-abu periaqueductal dan
periventrikular untuk nyeri nosiseptif (terutama kanker dan nyeri
punggung kronis); untuk nyeri neuropatik, elektroda yang
ditanamkan ke nukleus thalamicus spesifik sensorik. Komplikasi yang
paling serius adalah perdarahan intrakranial dan infeksi.
2. Terapi Farmakologis

NSA IL,

Btrz...1

S ed snq
For:,r:rt

R nu-an

Banyak hal dapat dilakukan untuk mengintervensi nyeri secara


farmakologis. Perkembangan penelitian di dunia kedokteran telah
mengembangkan berbagai pengobatan baik untuk nyeri akut maupun
untuk nyeri kronis.

a. Inhibitor siklooksigenase
Analgesik nonopioid oral termasuk salisilat, asetaminofen,
dan NSAID. Obat ini menghambat sintesa prostaglandin (COX)
dan memiliki berbagai variasi sifat analgesik, antipiretik, dan
antiinflamasi. Acetaminophen lebih sedikit memiliki aktivitas
antiinflamasi. Analgesia karena kerja blok sintesa prostaglandin,
yang mensensitisisasi dan memperkuat rangsangan nociceptive.
Beberapa jenis nyeri, terutama nyeri yang akibat operasi ortopedi
dan ginekologi, merespon sangat baik terhadap obat ini,
menunjukkan peran penting pada prostaglandin. COX inhibitor
tampaknya memiliki kerja penting pada sistem syaraf perifer dan
sistem saraf pusat. Kerja analgesianya dibatasi oleh efek samping
dan toksisitas pada dosis yang lebih tinggi. Setidaknya dua jenis
COX diketahui. COX-1 adalah konstitutif dan tersebar luas di
seluruh tubuh, tapi COX-2 terlihat terutama pada peradangan.
Selektif COX-2 inhibitor, seperti celecoxib, tampaknya memiliki
toksisitas rendah, terutama efek sampingnya pada gastrointestinal.
Selain itu. COX-2 inhibitor tidak memp,engaruhi agregasi platelet.
Sayangnya, beberapa COX-2 inhibitor (rofecoxib dan mungkin
yang lain) tampaknya meningkatkan resiko komplikasi
kardiovaskular.
Semua obat diserap dengan baik secara enteral. Makanan
menunda penyerapannya namun tidak berpengaruh pada
bioavailabilitas. Karena kebanyakan obat ini sangat terikat dengan
protein (> 80%), obat-obat ini dapat menggantikan obat yang
sangat terikat lainnya seperti warfarin. Semua mengalami
metabolisme di hati dan diekskresi melalui ginjal. Karenanya
dosis harus dikurangi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
atau hati.
Tabel. Nonopioid Analgesik Oral

Analgesic Waktu Onset Dosis Jarak Dosis


Paruh (jam) (mg) Pemberian Harian
(jam) (jam) Maksimal
(mg)
Salicylates
Acetylsalicylic acid 2-3 0.5-1.0 500-1000 4 3600-6000
(aspirin)
Diflunisal (Dolobid) 8-12 1-2 500-1000 8-12 1500

Choline magnesium 8-12 1-2 500-1000 12 2000-3000


trisalicylate (Trilisate)

p-Aminophenols
Acetaminophen
(Tylenol, lainnya) 1-4 0.5 500-1000 4 1200-4000
Proprionic acids
Ibuprofen (Motrin, 1.8-2.5 400 4-6 3200
others)
Naproxen (Naprosyn) 12 - 15 1 250-500 12 1500

Naproxen sodium 13 1-2 275-550 68 1375


(Anaprox)
Indoles
Indomethacin 4 0.5 25-50 8-12 150-200
(Indocin)
Ketorolac (Toradol) 4-6 0.5-1 10 4-6 40

COX-2 Inhibitors
Celecoxib 11 3 100-200 12 400
(Celebrex)

Acetaminophen memiliki efek samping yang paling sedikit


tetapi sangat hepatotoxic pada dosis yang sangat tinggi. Isoniazid,
zidovudine, dan barbiturat dapat mempotensiasi toksisitas
asetaminofen. Aspirin dan NSAID yang paling sering menyebabkan
permasalahan abdomen, rasa terbakar pada saluran cerna, mulas,
mual, dan dispepsia; pada beberapa pasien mengalami ulserasi dari
mukosa lambung, yang tampaknya disebabkan oleh penghambatan
prostaglandin dimediasi produksi mukus dan sekresi bikarbonat. Efek
samping lain seperti puling, sakit kepala, dan mengantuk. Kecuali
asetaminofen dan COX-2 inhibitor, semua COX inhibitor lainnya
menginduksi disfungsi trombosit. Aspirin mengacetylat platelet
ireversibel, menghambat adhesi platelet selama 1-2 minggu,
sedangkan efek antiplatelet dari NSAID lain adalah reversibel dan
berlangsung sekitar lima eliminasi waktu paruh (24-96 jam). Efek
antiplatelet ini tidak tamoak meningkatkan kejadian perdarahan pasca
operasi pada sebagian besar pasien rawat jalan. ASA dan NSAID
dapat membangkitkan bronkospasme pada pasien dengan tiga
serangkai polip hidung, rinitis, dan asma. ASA tidak boleh digunakan
pada anak dengan varicella atau infeksi influenza karena dapat
menimbulkan sindrom Reye. Terakhir, NSAID dapat menyebabkan
insufisiensi ginjal akut dan nekrosis papiler ginjal, terutama pada
pasien dengan disfungsi ginjal yang mendasarinya.

b. Opioid
1) Pemberian Oral
Nyeri pasca operasi menengah harus ditangani dengan opioid
oral baik diberikan saat dibutuhkan atau dengan jadwal tetap.
Biasanya dikombinasikan dengan oral inhibitor COX; terapi
kombinasi meningkatkan kerja analgesia dan mengurangi efek
samping. Obat yang paling umum digunakan adalah kodein,
oxycodone, dan hydrocodone. Obat ini diserap dengan baik,
metabolisme pertama melalui hati membatasi pelepasan
sistemiknya. Seperti opioid lainnya, mereka mengalami
biotransformasi dan konjugasi hepatik sebelum eliminasi di
ginjal. Codeine diubah oleh hati menjadi morlin. Efek samping
opioid oral serupa dengan opioid sistemik ; bila diresepkan pada
jadwal tetap, pelunak feses atau pencahar mungkin dibutuhkan.
Tramadol adalah sintetik opioid oral yang juga memblok
reuptake dari norepinefrin dan serotonin. Obat ini
tampaknya memiliki khasiat yang sama dengan kombinasi
dari kodein dan asetaminofen tetapi, tidak seperti yang
lainnya, obat ini sedikit sekali menyebabkan depresi
pernapasan dan sedikit efek pada pengosongan lambung.
Tabel. Opioid Oral

Waktu Dosis Jarak


Onset Durasi Potensi
Opioid Paruh awal Pemberian
(jam) (jam) Relatif
(jam) (mg) (jam)
Codeine 3 0.25-1.0 3-4 20 30-60 4
Hydromorphone 2-3 0.3-0.5 2-3 0.6 2-4 4
(Dilaudid)
Hydrocodone1 1-3 0.5-1.0 3-6 3 5-7.5 46
(Oxycontin)
Oxycodone2 2-3 0.5 3-6 3 5-10 6
Levorphanol (Levo- 12-16 1-2 6-8 0.4 4 6-8
Dromoran)
Methadone 15-30 0.5-1.0 4-6 1 20 6-8
(Dolophine)
Propoxyphene 6-12 1-2 3-6 30 100 6
(Darvon)3
Tramadol (Ultram) 6-7 1-2 3-6 30 50 4-6
Morphine solution4 2-4 0.5-1 4 1 10 3-4
(Roxanol)
Morphine 2-4 1 8-12 1 15 8-12
controlled-release4
(MS Contin)

Analgesi oleh opioid pada tiap orang dicapai level tertentu


dalam darah pada intensitas nyeri tertentu. Pasien dengan nyeri berat
biasanya diminta untuk terus melaporkan rasa nyeri sampai tingkat
analgesik darah mencapai konsentrasi tertentu dan pasien mulai
mengalami analgesia dan rasa nyeri mulai berkurang. Titik itu
disebut sebagai konsentrasi minimum analgesik yang efektif
(MEAC). Peningkatan sedikit di atas titik ini meningkatkan efek
analgesia yang besar.
2) Suntikan subkutan & intramuscular
Kedua rute ini paling jarang digunakan karena
menyakitkan dan menghasilkan level darah tak terduga karena
penyerapannya tidak menentu. Ketidakpuasan pasien biasanya
karena penundaan dalam pemberian obat dan dosis yang salah.
Siklus sedasi, analgesia, dan analgesia yang tidak kuat sering
terjadi.
3) Pemberian Intravena
Pemberian intraver a mengatasi tidak dapat diprediksinya
penyerapan obat namun belum tentu ketepatan dosis pada tiap
indiviau. Keseimbangan optimal antara analgesia yang
memadai, sedasi, dan depresi pernapasan dapat dicapai dengan
pemberian yang sering, inteimiten dari dosis kecil opioid
(contohnya, morfin 1-2 mg). Terlepas dari obat yang dipilih,
karena redistribusi obat, durasi kerja yang singkat diamati
sampai beberapa dosis diberjkan; level pada darah yang cukup
dapat dipertahankan dengan infus kontinu. Sayangnya, teknik
ini sangat rumit dan membutuhkan pemantauan ketat untuk
depresi pernapasan. Karena itu harus terbatas pada pemulihan
postanesthesia, perawatan intensif, dan unit onkologi khusus.

c. Antidepresan
Obat ini menunjukkan efek analgesik pada dosis lebih kecil
dari dosis yang dibutuhkan untuk menimbulkan antidepresan.
Kedua kerja ini disebabkan karena blokade presynaptic reuptake
serotonin, norepinefrin, atau keduanya (lihat Bab 27). Agen
trisiklik terdahulu tampaknya lebih efektif menunjukan kerja
analgesik daripada selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI).
Sebaliknya, SSRI tampak lebih efektif sebagai antidepresan.
Antidepresan umumnya lebih berguna pada pasien dengan nyeri
neuropati, misalnya, dari neuralgia postherpetik dan neuropati
diabetes. Obat ini mempotensiasi aksi opioid dan sering
menormalkan pola tidur.
Tiap obat yang ada berbeda efek sampingnya, yang mencakup efek
antimuscarinic, mulut kering (xerostomia), penurunan akomodasi
penglihatan, retensi urin, dan konstipasi; efek antihistamin (H1 dan
H2), sedasi dan meningkatnya pH lambung; blok a-adrenergik
mengakibatkan hipotensi ortostatik, dan efek seperti quinidine pada
penggunaan amitriptilin.

d. Antikonvulsan
Antikonvulsan sangat bermanfaat pada pasien dengan nyeri
neuropatik, neuralgia trigeminal particular dan neuropati diabetes.
Obat ini memblok gerbang natrium channels dan dapat menekan
discharge spontan saraf yang memainkan peran utama dalam
gangguan ini. Gabapentin memiliki efek menguntungkan yang unik.
Juga menunjukkan sebagai obat tambahan untuk nyeri pasca operasi
yang efektif. Obat yang sering digunakan adalah fenitoin,
carbaniazepine, asam valproat, clonazepam, dan gabapentin.
Lamotrigin dan topirarnate juga efektif. Semua sangat terikat
protein dan relatif memiliki waktu paruh yang panjang.
Carbamazepine memiliki daya serap lambat dan tak terduga, yang
membutuhkan pemantauan kadar dalam darah untuk mendapatkan
keberhasilan yang optimal.
Tabel. Antidepresan Terpilih
Obat Norepineph Serotonin Efek Aktifitas Hipotensi Waktu Dosis
rine Reuptake Sedasi Antimus Orthostat Paruh Sehari
Reuptake Inhibition carinic is (jam) (mg)
Inhibition

Amitriptylin e (Elavil) ++ ++++ Tinggi Tinggi Menengah 30-10 25-300

Bupropion (Wellbutrin) + + Rendah Rendah Rendah 11-14 300-450

Citalopram (Celexa) 0 +++ Rendah Rendah Rendah 35 20 40

Clomiprami ne +++ +++ Tinggi Menenga Menengah 20-80 75-300


(Ana framil) h
Desipramin. +++ 0 Rendah Rendah Rendah 12-50 50-300
(Norpramin
Doxepine (Sinequan) + ++ Tinggi Tinggi Menengah 8-24 75-400

Escitalopra 0 +++ Rendah Rendah Rendah 27-32 10-20

Fluoxetine (Prozac) 0 +++ Rendah Rendah Rendah 160- 20-80


200
Im ipramine (Tofrani I) ++ +++ Menenga h Menenga Tinggi 6-20 75-400
h
Nefazodone (Serzone) 0 + Rendah Rendah Rendah 2-4 300-600

Nortriptylin (Pamelor) ++ +++ Menenga Menenga Rendah 15-90 40-150


h h
Paroxeline (Paxi I) 0 +++ Rendah Rendah Rendah 31 20 - 40
Sertraline (Zoloft) 0 +++ Rendah Rendah Rendah 26 50-200

Trazodone (Desyrel) 0 ++ Tinggi Rendah Menengah 3-9 150-400

Venlafaxine (Effexor) + +++ Rendah Rendah Rendah 5-11 75-375

Tabel. Antikonvulsan yang mungkin berguna dalam manajemen nyeri


Waktu Paruh Level Terapii
Anticonvulsant Dosis Sehari (mg)
(jam) (Itg/mL)
Carbarnazepine 10-20 200-1200 4-12
(Tegratol)
Clonazepam 18-30 1-18 0.01-0.08
(Clonopin)
Gabapentin 5-7 900-1800 >2
(Neurontin)
Lamotrigine 24 25-400 2-20
(Lamictal)
Phenytoin 22 200-600 10-20
(Dilantin)
Topiramate 20-30 25-200 Tidak diketahui
(Topamax)
Valproic acid 6-16 750-1250 50-100
(Depakene)

e. Neuroleptik
Beberapa dokter menemukan obat neuroleptik berguna pada pasien
dengan nyeri neuropati berulang. Neuroleptik mungkin yang paling
berguna pada pasien dengan agitasi atau gejala psikotik. Obat yang
paling umum digunakan adalah fluphenazine, haloperidol,
klorpromazin, dan perphenazine. Efek terapi tampaknya
disebabkan oleh blok reseptor dopaminergik di mesolimbic.
Sayangnya, efek kerja yang sama di jalur nigrostriatal dapat
menghasilkan efek samping ekstrapiramidal yang tidak diinginkan,
contohnya wajah topeng, festinating gait, kekakuan cogwheel,
dan bradykinesia. Beberapa pasien juga terlihat memiliki reaksi
distonik akut seperti krisis oculogyric dan tortikolis. Efek samping
jangka panjang adalah akatisia (kegelisahan ekstrim) dan tardive
dyskinesia (gerakan choreoathetoid lidah, lipsmacking, ketidak
stabilan trunkal). Seperti obat antidepresan, banyak dari obat ini
juga memiliki efek antihistaminic, antmuscarinic, dan blok a
adrenergik.
f. Kortikosteroid
Glukokortikoid secara luas digunakan dalam penatalaksanaan
nyeri sebagai antiinflamasi dan kemungkinan kerja analgesiknya.
Dapat diberi secara topikal, oral, atau parenteral (intravena,
subkutan, intrabursal, intraarticular, epidural). Dosis yang besar
dan pemberian jangka panjang menyebabkan efek samping yang
lebih jelas. Kelebihan glukokortikoid dapat menyebabkan
hipertensi. hiperglikemia, peningkatan kerentanan terhadap
infeksi, tukak lambung, osteoporosis, nekrosis aseptik dari caput
femur, miopati proksimal, katarak, dan, kadang psikosis. Pasien juga
dapat menunjukan gejala fisik sindrom Cushing. Berlebihnya kerja
mineralokortikoid menyebabkan retensi natrium dan hipokalemia, dan
dapat memicu gagal jantung kongestif.

Tabel. Corticosteroids Terpilih


Equiva
Routes Glucocorti
Ineralocortic lent Half - Life
Drug Given coid
oid Activity Dose (h)
Activity
(mg)
Hydrocortisone O, I, T 1 1 20 8 - 12

Prednisone O 4 0.8 5 12-36

Prednisolone O, I, T 4 0.8 5 12 - 36

Methylprednisolo ne O, I, T 5 0.5 4 12 - 36
(Depo-Medrol, Solu-
Medrol)
Triamcinolone
O, I, T 5 0 4 12 - 36
(Aristocort)
Betamethasone
O, I, T 25 0 0.75 36 -72
(Celestone)
Dexamethasone
O, I, T 25 0 0.75 36 -72
(Decadron)

g. 2-adrenergic Agonis
Efek utama dari 2-adrenergik agonis adalah pengaktifan jalur
inhibitor desending di dorsal horn. Epidural dan intratekal 2-
adrenergik agonis sangat efektif dalam toleransi nyeri neuropatik
dan opioid.Beberapa obat yang dapat digunakan antara lain
lonidin dan Dexmedetomidine.
h. Clonidin
Klonidin (kataples dan duraklon) adalah turunan dari
imidazolin dengan aktifitas yang Iebih dominan sebagai agonis a 2
adrenazid.Klonidin sanagt larut dalam lemak dan dapat menembus
sawar darah otak dan plasenta. Beberapa studi menunjukkan bahwa
ikatan klonidin kadar resektor adalah paling tinngi di rostral
enterulateral medulla dibatang otak dimana dia akan mengaktifkan
neuron-neuron in hibitor. Efek secara keseluruhan adalah
menurunkan aktifitas simpatetik, meningkatkan tonus
parasimpatetik dan mengurangi sirkulasi katekolamin. Berikut
terdapat bukti efek anti hipertensi dari klonodin terjadi melalui
ikatan pada reseptor non adrenaljik (imidazolin) berbeda dengan
analgesiknya, terutama pada kordaspinalis, adalah melalui reseptor
predankos sinaptik 2-adrenergik yang akan memnghambat
transmisi rangsang nyeri.
Klonidin biasanya digunakan sebagai anti hipertensi, tetapi
dalam anestesi digunakan sebagai penunjang dalam penanganan
nyeri melalui epidural impus. Klonidin sangat bermanfaat untuk
penanganan - penderita dengan nyeri neoropatik yang resisten
terhadap pemberian opioid melalui ipidural impus.Epek anti nyeri
klonidin adalah segmental jika diberikan secara epidural
tergantung lokasi tempat injeksinya. Jika digunakan untuk
penanganan hipertensi akut atau kronik, akan menurunkan tonus
simpatetik yang akan menurunkan tahanan paskules sistemik,
denyut nadi dan tekanan darah. Penggunaan klonidin yang tidak
tercatat adalah sebagai obat premidikasi, mengontrol sindrom with
drawal ( nikotin, opioid, alcohol dan gejala-gejala vasomotor dari
menopause), dan penobatan glaucoma dan beberapa gangguan
spikiatrik.
Pemberian klonidin secara epidural biasanya dimulai pada
30 Rg/h dicampur dengan opioid dan / anastetik local.
Pemberian klonidin secara oral akan segera diabsropsi dengan
konsep kerja 30-60 menit dan sekurang kurangnya 6-12 jam.
Pada pengobatan pada hipertensi akut, 0,1 mg dapat diberikan
secara oral tiap jam hingga tekanan darah terkontrol, dosis
dapat ditingkatkan maksimal 0,6 mg; dosis maintenense 0,1-0,3
mg 2xsehari. Sediaan klonidin transdermal juga dapat digunakan
untuk terapi meintenense. Tersedia 0,1,0,2 dan 0,3 mg/hari. Patch
harus diganti tiap 7 hari. Klonidin dimetabolisme oleh hati dan diekresi
oleh ginjal.Dosis harus dikurangi oleh penderita dengan insupiensi
ginjal.
i. Dexmedetomidine
Dexmedetomidine (precedex) termasuk golongan agonis ct2
selektif dengan sedative.Dexmedetomidine bekerja lebih selektif
pada reseptor a2 dibandingkan dengan clonidine. Pada dosis yang
lebih tinggi dexmedetomidine akan merangsang reseptor a2
adrenergik.Dexmedetomidine, tergantung besar dosis yang
diberikan, dapat menyebabkan sedasi, menghilangkan kecemasan
dan rasa nyeri juga menurunkan respon sympathetic terhadap
pembedahan dan stress lainnya. Dexmedetomidine menimbulkan
efek yang bertentangan dengan opioid yaitu tidak mendepresi fungsi
pernapasan; sedasi yan berlebihan, akan tetapi dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas. Obat ini digunakan dalam jangka pendek
sebagai sedasi melalui intravena pada penderita yang menggunakan
ventilator mekanik. Obat ini jika dihentikan secara mendadak
setelah penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan fenomena
withdrawal yang serupa dengan clonidine. Dexmedetomidine dapat
juga digunakan sebagai sedasi intra operatif untuk menunjang
anestesi umum. Efek camping utamanya adalah bradikardi, blok
jantung dan hipotensi. Obat ini juga dapat menimbulkan rasa mual.
Dosis inisial yang direkomendasikan adalah 11.tg/kg intra vena
dalam 10 menit, lau dilanjutkan dengan dosis maintenance 0,2-0,7
pg/kg/jam.Dexmedetomidine memiliki onset kerja yang cepat dan
waktu paruh 2 jam. Obat ini dimetabolisme di hati dan
metabolitnya dikeluarkan lewat urin. Dosis harus dikurangi pada
penderita dengan renal insuffisiensi dan gangguan fungsi hati.
j. Toksin Botulinum
Suntikan botulinum toksin semakin sering digunakan pada
terapi nyeri yang berhubungan dengan otot rangka. Penelitian
mendukung penggunaan toksin botulinum dalam pengobatan
kondisi yang berhubungan dengan kontraksi otot tak sadar
(misalnya, focal distonia dan spastic). Beberapa dokter telah
menggunakan obat dalam pengelolaan sakit kepala dan sindrom
myofascial. Toksin botulinum memblok pelepasan asetilkolin pada
sinaps di ujung saraf motorik tetapi tidak pada serabut saraf
sensorik. Kemungkinan mekanisme analgesianya meliputi
peningkatan aliran darah lokal, menghilangkan spasme otot, dan
melepaskan kompresi otot terhadap serabut saraf.
k. Pasien-Controlled Analgesia
Kemajuan dalam teknologi komputer membawa perkembangan
pasiencontrolled analgesia (PCA). Dengan menekan sebuah tombol,
pasien dapat mengelola sendii dosis yang tepat pemberian opioid
intravena (atau intraspinal) atau secara PRN (jika diperlukan).
Program dari dokter pada pompa infus untuk memberikan dosis
tertentu, interval minimum antara dosis (periode penguncian), dan
jumlah maksimum opioid yang dapat diberikan dalam suatu periode
tertentu (biasanya 1 atau 4 jam); infus basal juga bisa diberikankan
secara bersamaan. Ketika PCA pertama digunakan, dosis awal
opioid harus diberikan oleh paramedis yang ada, atau tergantung
pada pengaturan, pasien mungkin dapat memuat dirinya sendiri
pada jam pertama. Ketika morfm intravena dengan PCA digunakan
setelah operasi besar, kebanyakan pasien dewasa memerlukan 2-3
mg/jam dalam 24-48 jam pertama dan berikutnya 1-2 mg/jam dalam
36-72.
Penelitian menunjukkan bahwa PCA adalah teknik dengan biaya
yang efektif yang menghasilkan analgesia baik dan dengan tingkat
kepuasan pasien sangat tinggi. Selain itu total konsumsi obat lebih
sedikit dibandingkan dengan pemberian intramuskular. Sebagai
tambahan pasien lebih senang dapat mengontrol yang diberikan
kepada diri mereka sendiri, mereka mampu menyesuaikan
kebutuhan analgesia sesuai dengan tingkat nyeri mereka yang
bervariasi tergantung aktivitas dan waktu.. Oleh karena itu
penggunaan PCA memerlukan pemahaman dan kerjasama dan
pasien, hal ini yang membatasi penggunaannya pada pasien usia
muda (anak-anak) atau pasien yang tidak mengerti penggunaannnya.
Selain sistem keamanan pemberian obat yang sudah
terkomputerisasi, sistem keamanan PCA berdasarkan pada prinsip
bahwa jika pasien tertidur, is tidak akan dapat menekan tombol yang
mengatur pemberian opioid. Yang lain (seperti anggota keluarga
atau perawat) tidak boleh menekan tombol untuk pasien.
Penggunaan rutin infus basal masih kontroversial. Dokter yang
menganjurkan infus basal mengatakan bahwa ini mencegah
menurunnya level analgesik ketika pasien tertidur; dimana pasien
cenderung tidak suka terbangun karena nyerinya. Dokter lain
membantah bahwa karena perbedaan farmakokinetik yang sangat
berfariasi pada setiap pasien dan kadang-kadang penurunan dengan
cepat kebutuhan analgesiknya membutuhkan pengamatan pada
pasien pasca operasi, dimana infus basal lebih memungkin untuk
menyebabkan terjadinya depresi pernapasan. Memang faktor yang
berhubungan dengan depresi pemapasan berat yang membutuhkan
pemberian nalokson selama penggunaan PCA adalah infus basal,
usia lanjut, dan hipovolemia. Pasien yang mendapatkan manfaat
dari, penggunaan infus kontinyu basal adalah mereka membutuhkan
jumlah besar dari opioid. Dari konsumsi 24-jam, 30-50% dapat
diberikan dengan infus basal. Jadi, pasien yang menggunakan 60 mg
morfin per hari dapat diberikan infus basal 1-1,5 mg / jam dengan
aman.
Efek samping opioid yang paling sering terjadi adalah mual,
muntah, gatal, dan ileus. Hampir semua overdosis opioid yang
berhubungan dengan PCA disebabkan karena kesalahan
pemograman parameter. Mcngalimya opioid dalam jumlah besar
ke infus intravena pasien (karena terbukanya sistem pengiriman)
pada sistem alat yang lam jarang terjadi namun dapat terjadi dan
berpotensi serius; dalam sistem alat baru perubahan dalam desain
pemasangan dan katup antihisap telah mencegah terjadinya
masalah ini. Kerusakan mekanis dari perangkat PCA pernah
dilaporkan, tetapi sangat jarang.

Tabel. Pedoman umum pasien-controlled analgesia (PCA) untuk dewasa rata-rata

Opioid Dosis Bolus Lockout (menit) Infusion Rate'


Morphine 1-3 mg 10-20 0-1 mg/h
Meperidine (Demerol) 10-15 mg 5-15 0-20 mg/h
Fentanyl (Sublimaze) 15-25 g 10-20 0-50 g/h
Hydromorphone (Dilaudid) 0.1-0.3 mg 10-20 0.0.5 mg/h

l. Blok Syaraf
Blok syaraf dengan menggunakan anestesi lokal dapat
digunakan untuk memetakan mekanisme nyeri, tetapi lebih
penting perannya sebagai penanganan utama mengatasi nyeri akut
maupun kronik. Peran dari sistem simptis dan jalur jarasnya dapat
dipelajari. Berkurangnya nyeri akibat dignostik blok neural kadang
membawa impilikasi prognosa yang menguntungkan sebagai terapi
blok serial. Meskipun penggunaan blok syaraf untuk membedakan
mekanisme somatis dan simpatetis masih dipertanyakan, tehnik ini
dapat membedakan pasien dengan respon plasebo dan mereka yang
dengan mekanisme psikogenik. Pada pasien tertentu blokade syaraf
permanent dapat digunakan.
Efektifitas dari blok syaraf terpengaruh dari aktifitas nosiseptif
afferent. Merupakan tambahan atau kombinasi dengan aktifitas
reflek abnormal dari afferen maupun efferen ekstriitas bawah
(sympatetik dan otot rangka). Penghilang nyeri sering durasinya
lebih lama beberapa jam (bahkan mingguan) dari durasi yang
diketahui secara farmakologi. Pemilihan jenis dari blok tergantung
dari lokasi nyeri, tergantung mekanisme dan keahlian dari dokter
yang merawatnya. Anestesi lokal anesthetic dapat diberikan lokal
(infiltrasi), atau pada syaraf tepi, pelksus somatik, ganglia
simpatik, atau akar syaraf.

m. Blokade Central Neuraxial & Opioid Intraspinal


Pemberian campuran anestesi lokal dan opioid diberikan
secara neuraxial (terutama epidural) adalah teknik yang sangat
baik untuk mengelola nyeri pasca operasi pada operasi abdomen,
pelvia, dada, atau tindakan ortopedi ekstremitas bawah. Pasien
mendapatkan pemeliharaan fungsi paru yang lebih baik, pulih lebih
dini, dan keuntungan dari terapi fisik lebih awal. Selain itu, pasien
beresiko lebih kecil untuk mengalami trombosis vena
pascaoperasi.

Pemberian dosis tunggai suntikan neuraxial (subarachnoid


atau epidural) dari anestesi lokal, opioid, atau kombinasi keduanya
dapat digunakan untuk analgesia preemptif dan analgesia pada saat
operasi. Bagaimanapun teknik ini paling efelctif jika kateter
dibiarkan untuk pemberian intermiten atau infus kontinu. Kateter
epidural paling sering digunakan karena ada laporan terjadinya
sindrom cauda equina pada penggunaan kateter subaraknoid.
Morfin 0,2-0,4 intratekal dapat memberikan analgesia yang
sangat baik selama, 4-24 jam. Morfin 3-5 mg epidural sama efektif
dan lebih sering digunakan. Formulasi morfin pelepasan lambat
liposomal (DepoDur) dapat memberikan analgesia hingga 48 jam.
Telah disetujui hanya untuk pemberian epidural lumbal pada
tindakan artroplasti pinggul (15 mg), operasi perut bagian bawah
(10-15 mg), dan seksio sesaria (10 mg). Baik diberikan secara
epidural atau intrathecal, penetrasi opiat ke dalam sumsum tulang
belakang tergantung dari waktu dan konsentrasinya. Pemberian
secara epidural obat yang bersifat hidrofilik (seperti morfin)
menghasilkan kadar analgesia pada darah yang jauh lebih rendah
dari agen lipofilik (seperti fentanyl). Yang terakhir ini dapat
menghasilkan efek segmental dan karena itu harus digunakan hanya
ketika Ujung kateter dekat dengan level dermatom yang diincisi.
Kadar sistemik fentanyl pada darah selama infus epidural hampir
setara dengan pemberian intravena. Efektivitas pemberian alfentanil
epidural dan sufentanil tampak hampir diserap semua dikarenakan
penyerapan sistemik.
Agen hidrofilik menyebar seiring dengan waktu, dengan demikian
penyuntikan morfin lumbal rendah dapat memberikan analgesia yang
baik (walaupun tertunda) untuk tindakan pada daerah abdomen atas
dan dada. Faktor penting yang mempengaruhi kebutuhan dosis seperti
lokasi ujung icateter relatif terhadap incisi dan usia pasien. Semakin
dekat ujung kateter pada claerah dermatom

Tabel. Opioid epidural.

Opioid Kelarutan Dosis Onset Punc ak Dura Infusion Dosis PCA


Dalam (menit l (menit) si Rate PCA1 Lockout
Lemak (jam) (menit)
Morphine 1 2-5 mg 15-30 60-90 4-24 0.3-0.9 0.2- 30
mg/h 0.3 mg
Fentanyl 600 50 - 100 5-10 10-20 1-3 25-50 g/h 20-30 g 15
g
Hydromorph one 1.5 0.75 - 1.5 10- 20-30 6-18 0.1-0.2 0.15 g 30
mg 15 mg/h

yang diincisi, semakin sedikit opioid dibutuhkan. Pasien yang lebih


tua umumnya memerlukan opioid yang lebih sedikit. Ketika morfin
epidural digunakan sebagai analgesik tunggal dengan infus kontinu
(0,1 mg / mL), dosis awal 3-5 mg bolus diberikan, diikuti dengan
infus 0,1 - 0,7 mg/jam. Teknik bolus intermiten dapat digunakan,
tetapi infus kontinu dapat menurunkan efek samping seperti retensi
urin dan gatal.
Fentanyl adalah obat lipofilik yang paling sering digunakan dan
diberikan sebagai solusi 3-10 g / ml pada 5-10 mL / jam.
n. Transdermal Opioid
Fentanyl transdermal merupakan alternatif yang sangat baik
sebagai sediaan morfin lepas lambat, terutama ketika pengobatan
secara oral tidak memungkinkan. Patch yang tersedia saat ini dibuat
sebagai penyimpan obat dimana dipisahkan dari kulit dengan
membran mikrroprus yang membatasi aliran obat dan polimer
perekat. Fentanyl dalam jumlah besar (10 mg) memberikan kekuatan
besar untuk difusi transdermal. Hambatan utama untuk penyerapan
adalah stratum corneum. Jalur transdermal tidak melewati
metabolisme pertama di hepar. Transdermal patch fentanil tersedia
dalam sediaan 25, 50, 75, dan 100 lig/jam yang memberikan terapi
selama 2-3 hari. Patch terbesar adalah setara dengan morfin
intravena 60 mg/hari.
Kerugian utama dari rute ini adalah onset yang lambat dan
ketidakmampuan untuk mengubah dosis obat dengan cepat dalam
menanggapi perubahan kebutuhan opioid. Kadar fentanil meningkat
dan mencapai puncak stabil dalam 12-18 jam, memberikan
konsentrasi rata-rata 1, 1,5, dan 2 lig / mL pada sedian patch
masing-masing 50, 75, dan 100. Perbedaan variabel yang besar pada
tiap pasien pada pemberian yang sebenarnya, berkisar antara 50
sampai 200 pg/jam. Dermis bertindak sebagai tempat penyimpanan
sekunder bahkan setelah patch dilepas, sepertinya penyerapan
fentanil terus berlangsung selama beberapa jam.

o. Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal sendiri dapat memberikan analgesia yang
sangat baik tetapi menyebabkan blok simpatik dan motorik. Gejala
yang tampak adalah hipotensi dan terbatasnya pergerakan.
Pengenceran obat anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia yang
sangat baik dengan sedikit blok motorik (lihat Bab 14). Obat yang
paling sering digunakan adalah bupivakain dan ropivacaine 0,125-
0,25%. Jumlah pemberian obat pada tiap pasien berbeda tergantung
individu masing-masing, namun umumnya tergantung pada
ketinggian dari ujung kateter relatif terhadap sayatan pada area
dermatomnya. Dengan kateter yang diletakkan secara optimal,
pemberian infus 5-10 ml / jam umumnya menghasilkan analgesia
yang memuaskan.

p. Sistemik Anestesi Lokal


Anestesi lokal kadang-kadang digunakan secara sistemik pada
pasien dengan nyeri neuropati. Pemberian ini menghasilkan sedasi
dan analgesia pusat; efek analgesianya sering lebih lama dari riwayat
farmakokinetik dan anestesi lokal dan memutus "siklus nyeri".
Lidokain, prokain, dan chloroprocaine adalah obat yang paling
sering digunakan. Mereka diberikan baik secara bolus lambat atau
infus kontinu. Lidokain diberikan dengan infus selama 5-30 menit
dengan dosis total 1-5 mg/kg. Prokain 200-400 mg dapat diberikan
intravena selama 1-2 jam, sedangkan chloroprocaine (larutan 1%)
diberikan i.v dengan dosis 1 mg/kg/menit dengan total 10-20 mg/kg.
Monitoring harus mencakup elektrokardiogram (EKG), tekanan
darah, respirasi, dan status mental, peralatan resusitasi penuh juga
harus segera tersedia. Tanda-tanda toksisitas seperti tinnitus,
slurring, sedasi berlebihan, atau nistagmus membutuhkan tindakan
memperlambat atau menghentikan pemberian.
Pasien yang tidak merespon antikonvulsan tetapi merespon
anestesi lokal intravena dapat mengambil manfaat dari terapi
antiarrhythmic oral jangka panjang. Mexiletine (150-300 mg tiap 6-
8 jam) adalah obat yang paling sering digunakan dan umumnya
ditoleransi dengan baik.

q. Infiltrasi Anestesi Lokal


Infiltrasi langsung pada daerah suatu irisan atau blok lapangan
dengan anestesi lokal adalah metode yang mudah dan aman untuk
mencapai bebas nyeri pasca operasi yang baik. Blok saraf
Ilioinguinal dan femoralis dapat digunakan untuk operasi hernia
dan tindakan daerah skrotum, dan blok penis dapat dimanfaatkan
pada tindakan circumsisi. Anestesi lokal seperti bupivakain dapat
digunakan. Efek analgesia sering lebih panjang dari durasi
farmakokinetik anestesi lokalnya. Lebih baik diberikan anestesi
lokal sebelum dilakukan operasi untuk menghasilkan efek
analgesik preemptive.
Suntikan anestesi lokal intraarticular, opioid, atau kombinasi
keduanya tampak efektif bagi banyak pasien yang dilakukan tindakan
arthroscopic.

r. Blok Syaraf Perifer


Blok interkostal, interpleural, pleksus brakialis, dan blok
saraf femoralis dapat memberikan analgesia pascaoperasi yang
sangat baik. Teknik kateter memungkinkan pemberian anestesi lokal
(bupivacain 0,125% atau ropivacaine 0,125%) secara intermitenatau
infus kontinu memungkinkan, yang dapat memberikan analgesia
selama 3-5 hari pasca operasi.

s. Campuran Lokal Anestesi & Opioid


Meskipun opioid intraspinal saja dapat menghasilkan analgesia
yang sangat baik, banyak pasien mengalami efek samping yang
signifikan tergantung dari dosis pemberian, terutama dengan opioid
yang larut lemak. Ketika pengenceran anestesi lokal
dikombinasikan dengan opioid, efek sinergi yang signifikan
diamati. Bupivakain 0,0625-0,125% (atau ropivacaine 0,1 - 0,2%)
dikombinasikan dengan morfin 0,1 mg/mL (atau fentanil 5/mL)
memberikan analgesia yang sangat baik dengan kebutuhan dosis obat
yang lebih kecil dan efek samping yang lebih sedikit. Bahkan
penambahan dosis kecil dari epinefrin (2 pg/mL) meningkatkan dan
memperpanjang analgesia epidural dan dapat mengurangi penyerapan
sistemik opioid lipofilik (misalnya, fentanyl). Penambahan dosis kecil
clonidine juga meningkatkan dan memperpanjang efek analgesia
tetapi juga secara signifikan meningkatkan terjadinya hipotensi dan
bradikardi.

3. Kontraindikasi
Kontraindikasinya adalah jika pasien menolak tindakan,
koagulopati, atau kelainan trombosit, dan adanya infeksi atau tumor di
tempat tusukan. Infeksi sistemik hanya kontraindikasi relatif kecuali
telah dinyatakan adanya bakteriemia. Pemasangan kateter intraspinal
pada pasien yang akan dilakukan heparinisasi intraoperatif masih
kontroversial karena kemungkinan hematoma epidural. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa risiko sangat kecil ketika kateter ditempatkan
tanpa trauma sebelum heparinisasi dan dilepas setelah faktor koagulasi
normal.

4. Agen Lainnya
Butorphanol epidural juga dapat memberikan analgesia yang baik
(durasinya 2-3 jam) dengan sedikit efek pruritus, tetapi efek
sampingnya dapat berupa sedasi yang berlebihan. Epidural clonidine
telah terbukti sebagai analgesic yang efektif, tetapi dapat menyebabkan
hipotensi dan bradikardia. a2-adrenergik agonis selektif, seperti
dexmedetomidine, terbukti memiliki efek samping yang lebih sedikit.

TUJUAN PENANGANAN NYERI ADALAH MENURUNKAN INTENSITAS


NYERI BERAT ATAU SEDANG MENJADI NYERI RINGAN YANG DAPAT
DITOLERIR PASIEN DAN TIDAK MENGGANGGU PASIEN, BILA
MEMUNGKINKAN PASIEN BEBAS RASA NYERI SAMA SEKALI
BAB III
TATALAKSANA EDUKASI NYERI

A. Kebijakan
1. Terkait dengan pelayanan yang diberikan, yaitu pasien dan keivati tentang
Manajemen Nyeri

B. Prosedur Pelaksanaan Edukasi Nyeri:


1. Lakukan pengkajian yang komprehensif tentang nyeri, termasuk
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau
beratnya nyeri dan faktor presipitasi
2. Amati perlakuan non verbal yang menunjukkan ketidaknyamanan,
khususnya ketidalcmampuan komunikasi efektif
3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik yang dapat diterima tentang
pengalaman nyeri dan merasa menerima respon pasien terhadap nyeri
4. Lakukan penilaian nyeri secara berkala, dengan menuliskannya pada
buku laporan sehingga dapat diperkirakan kapan nyeri akan berulang
kembali
5. Pahami hambatan untuk manajemen nyeri yang efektif, yang mungkin
termasuk hambatan pribadi, budaya dan Kelembagaan. Sumber
hambatanhambatan ini dapat mencakup tetapi tidak terbatas pada pasien,
keluarga, orang penting lainnya, perawat dokter, dan kendala institusional
6. Bersama keluarga mengidentifikasi kebutuhan untuk mengkaji
kenyamanan pasien dan merencanakan monitoring tindakan
7. Beri informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama
berakhir, antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
8. Kembangkan rencana perawatan pasien yang meliputi rencara
interdisipliner untuk manajemen nyeri yang efektif melibatkan pasien,
keluarga dan bagian lainnya
9. Ajarkan kepada pasien untuk mengontrol faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien mengalami -ketidaknyamanan (misal:
temperature ruangan, cahaya, kebisingan)
10. Mengajarkan pada pasien bagaimana mengurangi atau menghilangkan
faktor yang menjadi presipitasi atau meningkatkan pengalaman nyeri
(misal: ketakutan, kelemahan, monoton, dan rendahnya pengetahuan)
11. Ajarkan teknik penggunaan nonfarmakologi (misal: relaksasi, guided
imagery, terapi musik, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas,
acupressure, terapi dinginlpanas, dan pijatan)
12. Jelaskan tentang penggunaan analgetik (farmakoiogi) untuk penurun
nyeri yang optimal
13. Terapkan strategi manajemen nyeri dan intervensi keperawatan
termasuk:
a. Pengobatan agresif terhadap efek samping (yaitu mual, muntah,
konstipasi, dll pruritus)
b. Mendidik pasien dan keluarga tentang :
1) Peran mereka dalam manajemen nyeri,
2) Efek merugikan dari nyeri tak henti-hentinya,
3) Mengatasi hambatan untuk manajemen nyeri yang efektif,
4) Manajemen nyeri merencanakan dan basil yang diharapkan dari
rencana
14. Evaluasi efektivitas strategi dan intervensi keperawatan
15. Dokumentasikan dan laporkanhasil dari intervensi nyeri, respon pasien,
dan hasil terapi
16. Berikan advokasi untuk pasien dan keluarga untuk manajemen nyeri
yang efektif.
BAB IV
DOKUMENTASI

1. Edukasi Nyeri dibuat pada form edukasi terintegrasi B untuk pasien di


rawat jalan
2. Edukasi Nyeri di rawat inap di tulis pada form edukasi terintegrasi A dan bi la
dibutuhkan edukasi lanjutan di tulis pada form edukasi terintegrasi B
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Perliggranaar Ooooc


dalam Penatalaksanaan Nyeri, 1999.

2. Latief S A, Suryadi K A, Dahlan M R. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Ecis i.e 20 -74


83

3. Stoelting RK. Pharmakology and Physiology in Anesthetic Practice, 3 e::


Raven, Philadhelphia, 1999, 247-258

4. Rushman GB, Davies NM, Cashman JN. Lee's Synopsis of Anaesthesia,


2000, 23232350

5. Meliala A. Pemeriksaan Nyeri, Neuro Sains, Suplemen BNS Vol 4 No 2, 2003,


33-37

6. Edward, Morgan Jr. et al. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th edition. Hal 359-413

7. Wood, Sharon. 2008. Assessment of Pain. httib://www.nursingtimes.net/nursing-


practice/clinical-specialisms/pain-management/assessment-of pain/1861174.article.
Diakses pada tanggal 28 Desember 2011

8. Ashburn, M.A. 2004. Practice Guidelines for Acute Pain Management in the
Perioperative Setting : An . Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Acute Pain Management. Anesthesiology,
100:1573-81

9. Aubrun, F., et al. 2003. Relationships Between Measurement of Pain Using


Visual Analog Score and Morphine Requirements During Postoperative
Intravenous Morphine Titration. Anesth, 98:1309-12.

10. Ballantyne, J.C. 2008. Management of Acute Postoperative Pain. In :


Longnecker, D. E., Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol W.M., editors.
Anesthesiology. New York: McGraw Hill. p. 1716-1736.
11. Cousins, M.J. 2005. Acute Pain Management : Scientific Evidence, e d Ed.
Melbourne. p. 20-24 ; p.44-50

12. Kehlet, H., Dahl, J. 1993. The Value of "Multimodal" or "Balanced


Analgesia" in Postoperative Pain Treatment. Anesth Analg, 77: 1048-56

13. Lubenow, T.R., dkk. 2006. Management of Acute Postoperative Pain. In :


Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., editors. Clinical Anesthesia. 5th Ed.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. p. 1405-1434

14. Merskey, H. 1986. Pain Terms: a List With Definitions and Notes on Usage.
Pain 6:249-252

15. Tanra, A.H. 2005. Postopereative Pain and The Mancaement. Anestesia &
Critical Care, 23(2): 152-58

Anda mungkin juga menyukai