Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien
dan keluarga dalam menghadapi masalah yang terkakit dengan penyakit yang
mengancam jiwa, melalui pencegahan dan penderitaan melalui identifikasi awal,
pengkajian secara menyeluruh dan pengobatan nyeri serta masalah fisik, psikososial, dan
spiritual (WHO, 2002). Perawatan paliatif dilakukan oleh tim multidisiplin yang
melibatkan banyak tenaga kesehatan untuk tujuan yang sama (Aitken, 2009). Menurut
Kemenkes (2007) yang merupakan penyakit terminal adalah penyakit kanker, penyakit
degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, parkinson, gagal
jantungm penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS. Setiap tahunnya
dilaporkan adanya peningkatan mengenai penyakit tersebeut yang diderita oleh usia
dewasa dan anak-anak. Menurut World Health Organization (WHO 2007) bahwa
penyakit yang membutuhkan perawatan paliatif melalui studi Delphi pada orang dewasa
adalah alzheimer, demensia, kanker, penyakit kardiovaskuler, sirosis hari, penyakit paru
obstruktif kronis, diabetes, HIV/AIDS, gagal ginjal, multiple sclerosis, penyakit
parkinson, rheumatoid arthritis dan tuberkulosis (TB) yang resisten terhadap obat.
Adapun jenis penyakit pada anak-anak adalah kanker, kardiovaskuler, sirosis hari,
kelainan bawaan, kelainan darah dan kekebalan tubuh, HIV/AIDS, meningitis, penyakit
ginjal, gangguan saraf dan kondisi neonatal (WHO, 2014). World Health Organization
(2011) menyatakan bahwa pada tahin 2011, lebih dari 29 juta orang (29.063.194)
meninggal dunia akibat penyakit terminal. Perkiraan jumlah orang yang membutuhkan
perawatan paliatif sebesar 20.4 juta orang. Proporsi terbesar 94% pada orang
dewasa sedangkan 6% pada anak-anak. Apabila dilihat dari penyebaran penyakit
yang membutuhkan perawatan paliatif adalah penyakit jantung (38,5%) dan kanker
(34%) kemudian diikuti oleh gangguan pernapasan kronik (10,3%), HIV/AIDS (5,7%)
dan diabetes (4,5%). Sedangkan masalah keperawatan yang muncul pada pasien paliatif
adalah nyeri 56, % , nutrisi Pola eliminasi. Nyeri merupakan masalah keperawatan yang

1
sering muncul pada pasien paliatif. Pada makalah ini kami membahas beberapa teknik
manajemen nyeri Pada pasien paliatif dengan non farmakologi dan non farmakologi.

2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nyeri ?
2. Bagaimana etiologi nyeri ?
3. Apa saja klasifikasi nyeri ?
4. Bagaimana penanganan nyeri yang dapat dilakukan ?

3. Tujuan
1. Menjelaskan tentang pengertian nyeri
2. Menyebutkan etiologi nyeri
3. Menjelaskan klasifikasi nyeri
4. Menjelaskan penanganan nyeri yang dapat dilakukan.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai an unpleasant sensory and emotional experience which we primarily associate
with tissue damage or describe in terms of such damage, or both. Definisi ini menyatakan
bahwa nyeri merupakan phenomena kombinasi dari aspek sensory, emosional, dan kognitif
dan eksistensi dari keadaan pathology fisik tidaklah mutlak muncul pada pasien yang
sedang mengalami nyeri. (The IASP, dalam Parrot, 2002).
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan
emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

2. Etiologi Nyeri

Penyebab nyeri dapat diklasifikasi kedalam dua golongan yaitu penyebab yang
berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara fisik misalnya,
penyebab adalah trauma (mekanik, thermal, kimiawi maupun elektrik), neoplasma,
peradangan, gangguan sirkulasi darah dan lain-lain.

a. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami


kerusakan akibat benturan, gesekan ataupun luka.

b. Trauma thermal menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat


rangsangan akibat panas atau dingin.

c. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat.

3
d. Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang
kuat mengenai reseptor rasa nyeri.

e. Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau kerusakan jaringan


yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan, jepitan atau metastase.

f. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat
adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa nyeri yang disebabkan oleh faktor fisik berkaitan dengan terganggunya serabut
saraf reseptor nyeri.

g. Nyeri yang disebabkan oleh factor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan
bukan karena penyebab organic, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya
terhadap fisik. Nyeri karena factor ini disebut pula psychogenic pain.

3. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat,


sifat, berat ringannya nyeri dan waktu lamanya serangan.

a. Nyeri berdasarkan tempatnya :

1) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada
mukosa, kulit.

2) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau
pada organ-organ tubuh visceral.

3) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur
dalam tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh didaerah yang berbeda, bukan
daerah asal nyeri.

4
4) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada system saraf
pusat, spinal cord, batang otak, thalamus dan lain-lain.

b. Nyeri berdasarkan sifatnya :

1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.

2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu
yang lama.

3) Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali.
Nyeri tersebut biasanya menetap sekitar 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian
timbul lagi.

c. Nyeri berdasarkan berat-ringannya :

1) Nyeri rendah , yaitu nyeri dengan intensitas rendah


2) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.
3) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan :

1) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir
kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri
mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi, ataupun pada suatu penyakit
arteriosclerosis pada arteri koroner.
2) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri kronis ini
polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

4. Patofisiologi Nyeri
Berdasarkan karakteristik klinis yang muncul, timbul banyak opini mengenai jenis-
jenis mekanisme terjadinya nyeri. Sebuah klasifikasi berdasarkan patofisiologi, membagi
secara luas sindrom nyeri, yaitu nociceptive, neuropathic, psychogenic, campuran atau

5
idiopathic. Sedangkan dalam diktat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai patofisiologi
nyeri nociceptive.
Nociceptive Pain
Secara klinis, sensasi nyeri dikatakan nociceptive jika nyeri tersebut secara langsung
berkaitan dengan derajat kerusakan jaringan. Nyeri nociceptive yang terjadi diasumsikan
sebagai hasil dari aktivasi normal system nociceptive oleh noxious stimuli. Nociception
terdiri dari empat proses : transduction, transmission, modulation dan perception.
Somatosensory secara normal memproses kerusakan jaringan yang didalam prosesnya
terjadi interaksi antara system saraf afferent dan inflamasi yang menyertai. Nociceptors
(serabut delta A dan C) termasuk didalam System afferent primer, adalah saraf efferent
dengan diameter kecil dan merespon kepada noxious stimuli dan dapat ditemukan dikulit,
otot, sendi dan jaringan visceral tubuh. Noxious stimuli yang dimaksud adalah Bradikinin,
Prostaglandin dan substansi/zat P.
Bradikinin
Merupakan vasodilator kuat yang meningkatkan permeabilitas kapiler dan mengkonstriksi
otot halus. Zat ini mempunyai peran penting dalam proses kimia dari nyeri, baik ditempat
sebuah luka terjadi bahkan sebelum impuls yang dikirim sampai keotak. Zat ini merangsang
pelepasan Histamin dan bersamaan dengan histamine menyebabkan kemerahan, bengkak
dan nyeri biasanya akan lebih diperhatikan bila timbul peradangan.
Prostaglandin
Merupakan zat yang menyerupai hormone yang mengirim stimuli nyeri tambahan ke system
saraf pusat.
Substansi/zat P
Merupakan zat yang dipercaya bertindak sebagai stimulant dilokasi reseptor nyeri dan
mungkin juga terlibat dalam respon inflamasi (peradangan) di jaringan local (Fuller &
Schaller-Ayers,1990 dalam Taylor, 1993)
Proses nociceptive dimulai dengan aktivasi receptor-receptor spesifik ini, yang
mengarah ke transduksi; sebuah proses yang menyebabkan terjadinya depolarisasi saraf
peripheral akibat terpajannya saraf dengan stimulus yang tepat.
Setelah depolarisasi terjadi, transmisi dari informasi berlanjut ke akson disepanjang
medulla spinalis menuju otak. Kemudian terjadilah proses perubahan bentuk sinyal

6
(modulasi) terhadap input disetiap tingkatan neuroaksis. Perubahan ini melibatkan aktiivitas
saraf afferent dan efferent, dan terjadi di bagian dorsal horn dari medulla spinalis. Informasi
yang sampai dihipothalamus dan struktur otak lain kemudian dikenali sebagai rasa nyeri.
Proses ini disebut perception.

5. Respon Nyeri
a. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi
atau arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi,
pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya .

b. Respon fisiologis terhadap nyeri


1) Stimulasi Simpatik : (nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
7
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik : (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan

c. Respon tingkah laku terhadap nyeri


Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup :
1) Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur)
2) Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir)
3) Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &
tangan
4) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari
kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan
nyeri)

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:


1. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima).
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang
nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka
tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga
akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri
dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu

8
menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah
sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. Keberadaan enkefalin dan
endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri
dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin
tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri
lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang
digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat
harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya,
karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri.
Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan
klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri
berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.
Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa
takut akan kemungkinan nyeri berulang.

6. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri


a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami,
karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka
takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan
dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo
laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
c. Kultur

9
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap
nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat
yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh
jika ada nyeri.
d. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan
bagaimana mengatasinya.
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik
untuk mengatasi nyeri.
f. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
g. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya
seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
h. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
i. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
j. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan
nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda
oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti
tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

10
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri
tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau
parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu
informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif.
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri
dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang
garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien
memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical
rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala
untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu
garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada
setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka
(Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan
memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja
dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien.
Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

7. Penanganan Nyeri
11
a. Penanganan Nyeri Farmakologis
Beberapa agens farmakologi digunakan untuk menangani nyeri. Semua agen
tersebut memerlukan resep dokter. Keputusan perawat, dalam penggunaan obat-obatan
dan penatalaksanaan klien yang menerima terapi farmakologi, membantu dalam upaya
memastikan penanganan nyeri yang mungkin dilakukan.
1) Analgesik
Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Walaupun
analgesic dapat mengatasi nyeri dengan efektif, perawat dan dokter masih
cenderung tidak melakukan upaya analgesikdalam penanganan nyeri, karena
informasi obat yang tidak benar, karena adanya kekhawatiran klien akan mengalami
ketagihan obat, cemas akan melakukan kesalahan jika melakukan pengabatan
analgesik narkotik, dan pemberian obat yang kurang dari yang diresepkan. Perawat
harus mengetahui obat-obat yang tersedia untuk menghilangkan nyeri dan efek obat
farmakologi tersebut.
Jenis Analgesik :
a) Non-Narkotik
NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang,
seperti nyeri yang terkait dengan artritis reumatoid, prosedur pengobatan gigi
dan prosedur bedah minor, episiotomi, dan masalah pada punggung bagian
bawah. Satu pengecualian yaitu ketorolak (Toradol), merupakan agens
analgesik utama yang diinjeksikan yang kemanjurannya dapat di bandingkan
dengan morfin.
b) Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
Terapi pada nyeri pascaoperasi ringan sampai sedang harus dimulai dengan
menggunakan NSAID, kecuali kontradiksi. Walaupun mekalisme kerja NSAID
tidak diketahui, NSAID diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin,
dan menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAID bekerja
pada reseptor syaraf periferuntuk menguranggi transmisi dan resepsi stimulus
nyeri. Berikut obat-obat NSAID :
Ibuprofen : Dismenore
Naproksen : Nyeri kepala vaskular

12
Indometasin : Artritis reumatoid
Tolmetin : Cedera atletik jaringan lunak
Piroksikam : Gout
Ketorolak : Nyeri pasca operasi dan nyeri traumatik berat

c) Analgesik narkotik atau opiat


Analgesik opiat atau narkotik umumnya diresepkan untuk nyeri yang sedang
sampai berat, seperti nyeri pasca operasi dan nyeri maligne. Ini bekerja pada
sistem saraf pusat untuk menghasilkan kombinasi efek yang mendepresi dan
menstimulasi. Analgesik narkotika, apabila diberikan secara oral atau injeksi,
bekerja paada pusat otak yang paling tinggidan medulla spinalis melalui
ikataan daan reseptor opiat untuk memodifikasi persepsi nyeri dan reaksi
terhadap nyeri. Morfin sulfat merupakan derivat opium dan memiliki
karakteristik efek analgesik sebagai berikut :
1. Meningkatkan ambang nyeri, sehingga menurunkan presepsi nyeri.
2. Mengurangi kecemasan dan ketakutan, yang merupakan komponen
reaksi terhadap nyeri.
3. Menyebabkan orang tertidur walaupun sedang mengalami nyeri
berat.
Bahaya morfin sulfat dan analgesik narkotik adalah berpotensi mendepresi
fungsi sistem saraf dan vital. Opiat menyebabkan depresi pernapasan melalui
depresi pusat pernapasan di dalam batang otak. Klien juga mengalami efek
samping , seperti mual, muntah, konstipasi, dan perubahan proses mental.
Karakteristik analgesik yang ideal meliputi :
1. Awitannya yang cepat.
2. Keefektifannya yang lama.
3. Efektif digunakan pada semua usia.
4. Penggunaan melalui parenteral dan oral.
5. Tidak ada efek samping yang berat.
6. Sifat yang membuat klien tidak tergantung analgesik.
7. Tidak mahal.

13
d) Obat tambahan (Adjuvan)
Adjuvan, seperti sedatif, anticemas, dan relaksan otot meningkatkan kontrol
nyeri atau menghilangkan gejala lain selain nyeri yang terkait dengan nyeri,
seperti depresi dan mual. Agens tersebut diberikan dalam bentuk tunggal atau
disertai analgesik. Sedatif seringkali di resepkan untuk penderita nyeri kronik.
Obat-obaatan ini seringkali menimbulkan rasa kantuk dan kerusakaan
koordinasi, keputusan daan kewaspaadaan mental. Penyalahgunaan sedatif dan
agens anticemas merupakan masalah kesehatan yang serius yang menyebabkan
gangguan perilaku.
b. Penanganan Non-farmakologi
1) Distraksi
Teknik distraksi adalah teknik yang dilakukan untuk mengalihkan perhatian
klien dari nyeri. Teknik distraksi yang dapat dilakukan adalah :
a) Melakukan hal yang sangat disukai, seperti membaca buku, melukis,
menggambar dan sebagainya, dengan tidak meningkatkan stimuli pada bagian
tubuh yang dirasa nyeri.
b) Melakukan kompres hangat pada bagian tubuh yang dirasakan nyeri.
c) Bernapas lembut dan berirama secara teratur.
d) Menyanyi berirama dan menghitung ketukannya.
2) Terapi musik
Therapy musik adalah proses interpersonal yang digunakan untuk
mempengaruhi keadaan fisik, emosional, mental, estetik dan spiritual, untuk
membantu klien meningkatkan atau mempertahankan kesehatannya. Therapy
musik digunakan oleh individu dari bermacam rentang usia dan dengan beragam
kondisi; gangguan kejiwaan, masalah kesehatan, kecacatan fisik, kerusakan
sensorik, gangguan perkembangan, penyalahgunaan zat, masalah interpersonal dan
penuaan. Therapy ini juga digunakan untuk mendukung proses pembelajaran,
membangun rasa percaya diri, mengurangi stress, mendukung latihan fisik dan
memfasilitasi berbagai macam aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan.
3) Massage atau pijatan
Merupakan manipulasi yang dilakukan pada jaringan lunak yang bertujuan
untuk mengatasi masalah fisik, fungsional atau terkadang psikologi. Pijatan
dilakukan dengan penekanan terhadap jaringan lunak baik secara terstruktur

14
ataupun tidak, gerakan-gerakan atau getaran, dilakukan menggunakan bantuan
media ataupun tidak.
Beberapa teknik massage yang dapat dilakukan untuk distraksi adalah sebagai
berikut;
a) Remasan. Usap otot bahu dan remas secara bersamaan.
b) Selang-seling tangan. Memijat punggung dengan tekanan pendek, cepat
dan bergantian tangan.
c) Gesekan. Memijat punggung dengan ibu jari, gerakannya memutar
sepanjang tulang punggung dari sacrum ke bahu.
d) Eflurasi. Memijat punggung dengan kedua tangan, tekanan lebih halus
dengan gerakan ke atas untuk membantu aliran balik vena.
e) Petriasi. Menekan punggung secara horizontal. Pindah tangan anda dengan
arah yang berlawanan, menggunakan gerakan meremas.
f) Tekanan menyikat. Secara halus, tekan punggung dengan ujung-ujung jari
untuk mengakhiri pijatan.
4) Guided Imaginary
Yaitu upaya yang dilakukan untuk mengalihkan persepsi rasa nyeri dengan
mendorong pasien untuk mengkhayal dengan bimbingan. Tekniknya sebagai
berikut :
a) Atur posisi yang nyaman pada klien.
b) Dengan suara yang lembut, mintakan klien untuk memikirkan hal-hal yang
menyenangkan atau pengalaman yang membantu penggunaan semua indra.
c) Mintakan klien untuk tetap berfokus pada bayangan yang menyenangkan
sambil merelaksasikan tubuhnya.
d) Bila klien tampak relaks, perawat tidak perlu bicara lagi.
e) Jika klien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak nyaman,
perawat harus menghentikan latihan dan memulainya lagi ketika klien siap.
5) Relaksasi
Teknik relaksasi didasarkan kepada keyakinan bahwa tubuh berespon pada
ansietas yang merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi penyakitnya. Teknik
relaksasi dapat menurunkan ketegangan fisiologis. Teknik ini dapat dilakukan
dengan kepala ditopang dalam posisi berbaring atau duduk dikursi. Hal utama
yang dibutuhkan dalam pelaksanaan teknik relaksasi adalah klien dengan posisi
yang nyaman, klien dengan pikiran yang beristirahat, dan lingkungan yang
tenang. Teknik relaksasi banyak jenisnya, salah satunya adalah relaksasi
autogenic. Relaksasi ini mudah dilakukan dan tidak berisiko.

15
Ketika melakukan relaksasi autogenic, seseorang membayangkan dirinya
berada didalam keadaan damai dan tenang, berfokus pada pengaturan napas dan
detakan jantung. Langkah-langkah latihan relaksasi autogenic adalah sebagai
berikut :
a) Persiapan sebelum memulai latihan
1. Tubuh berbaring, kepala disanggah dengan bantal, dan mata
terpejam.
2. Atur napas hingga napas menjadi lebih teratur.
3. Tarik napas sekuat-kuatnya lalu buang secara perlahan-lahan
sambil katakan dalam hati saya damai dan tenang.
b) Langkah 1 : merasakan berat
1. Fokuskan perhatian pada lengan dan bayangkan kedua lengan
terasa berat. Selanjutnya, secara perlahan-lahan bayangkan kedua lengan
terasa kendur, ringan, sehingga terasa sangat ringan sekali sambil
katakana saya merasa damai dan tenang sepenuhnya.
2. Lakukan hal yang sama pada bahu, punggung, leher dan kaki.
c) Langkah 2 : merasakan kehangatan
1. Bayangkan darah mengalir keseluruh tubuh dan rasakan hawa
hangatnya aliran darah, seperti merasakan minuman yang hangat, sambil
mengatakan dalam diri saya merasa senang dan hangat.
2. Ulangi enam kali.
3. Katakan dalam hati saya merasa damai, tenang.
d) Langkah 3 : merasakan denyut jantung
1. Tempelkan tangan kanan pada dada kiri dan tangan kiri pada perut.
2. Bayangkan dan rasakan jantung berdenyut dengan teratur dan
tenang. Sambil katakana jantungnya berdenyut dengan teratur dan
tenang.
3. Ulangi enam kali.
4. Katakan dalam hati saya merasa damai dan tenang.
e) Langkah 4 : latihan pernapasan
1. Posisi kedua tangan tidak berubah.
2. Katakan dalam diri napasku longgar dan tenang
3. Ulangi enam kali.
4. Katakan dalam hati saya merasa damai dan tenang.
f) Langkah 5 : latihan abdomen
1. Posisi kedua tangan tidak berubah. Rasakan pembuluh darah dalam
perut mengalir dengan teratur dan terasa hangat.
2. Katakan dalam diri darah yang mengalir dalam perutku terasa
hangat.

16
3. Ulangi enam kali.
4. Katakan dalam hati saya merasa damai dan tenang.
g) Langkah 6 : latihan kepala
1. Kedua tangan kembali pada posisi awal.
2. Katakan dalam hati kepala saya terasa benar-benar dingin
3. Ulangi enam kali.
4. Katakan dalam hati saya merasa damai dan tenang.
h) Langkah 7 : akhir latihan
Mengakhiri latihan relaksasi autogenik dengan melekatkan (mengepalkan)
lengan bersamaan dengan napas dalam, lalu buang napas pelan-pelan sambil
membuka mata.

6) Akupuntur

Akupuntur adalah tehnik pengobatan tradisional yang berasal dari Cina


untuk memblok chi dengan menggunakan jarum dan menusukkannya ke titik-titik
tubuh tertentu yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan yin dan yang.

8. Teori Pengontrolan Nyeri (Gate control theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor


dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba
menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap
paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri
dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat.
Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan
impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut
merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari
otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C
melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain
itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang

17
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan
ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan
yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal
dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien
mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat
kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan
opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari
tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan
substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endorfin (Potter, 2005)

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa nyeri adalah sensori subyektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri dibagi
18
menjadi 3 fase yaitu fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima), fase sensasi (terjadi saat
nyeri terasa) dan fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti). Penanganan nyeri
dibagi menjadi penanganan farmakologis yang terdiri dari pemberian analgetik. Analgetik
sendiri terdiri dari beberapa jenis yaitu non-narkotik, obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID), analgesik narkotik atau opiate, obat tambahan (Adjuvan). Selanjutnya ada
penanganan nyeri non farmakologis yang terdiri dari distraksi, terapi music, massage atau
pijitan, guided imaginary, relaksasi, akupuntur.
2. Saran
Sebagai seorang perawat sangat penting untuk memahami teori tentang nyeri, selain
itu juga harus menguasai penanganan nyeri baik itu penanganan secara farmakologis
maupun non farmakologis. Penguasaan penanganan nyeri akan sangat bermanfaat dalam
merawat klien paliatif.

Daftar Pustaka

Perry Potter. (1999). Fundamental Keperawatan. Mosby : EGC


Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC
Kozier,et.al.2004. Fundamentals of nursing ; concepts, process and practice Seventh edition.
United States: Pearson Prentice Hall

19
Parrott T.2002. Pain Management in Primary-Care Medical Practice. In: Tollison CD,
Satterthwaithe JR, Tollison JW, eds. Practical Pain Management. 3rd ed. Philadelphia,
PA: Lippincott Williams & Wilkins
___. 2011. Nyeri dan Penanganan Secara Farmakologi. Diakses pada tanggal di
windyasih.wordpress.com

20

Anda mungkin juga menyukai