Anda di halaman 1dari 21

I.

DEFINISI KASUS
1. Konsep Aman Nyaman dan Konsep Nyeri
Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan
oleh manusia dalam mempertahankan baik keseimbangan fisiologis
maupun psikologis salah satunya adalah kebutuhan rasa aman dan
nyaman. Potter dan Perry (2006) mengungkapkan kenyamanan/rasa
nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia
yaitu kebutuhan akan ketenteraman (suatu kepuasan yang meningkatkan
penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah terpenuhi), dan
transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah dan nyeri).
Kenyamanan mesti dipandang secara holistik yang mencakup empat aspek
yaitu fisik berhubungan dengan sensasi tubuh, sosial berhubungan dengan
hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial. Psikospiritual berhubungan
dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri yang meliputi harga diri,
seksualitas, dan makna kehidupan. Lingkungan, berhubungan dengan latar
belakang pengalaman eksternal manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur,
warna, dan unsur alamiah lainnya. Meningkatkan kebutuhan rasa nyaman
diartikan perawat telah memberikan kekuatan, harapan, hiburan,
dukungan, dorongan, dan bantuan. Secara umum, dalam aplikasi
pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa nyaman bebas
dari rasa nyeri dan hipotermia/hipertermia. Hal ini disebabkan karena
kondisi nyeri dan hipotermia/hipertermia merupakan kondisi yang
memengaruhi perasaan tidak nyaman klien yang ditunjukkan dengan
timbulnya gejala dan tanda pada klien (Mubarak et al., 2015). Nyeri adalah
perasaan yang tidak nyaman yang sangat subjektif dan hanya orang yang
mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan
tersebut. Secara umum nyeri dapat didefinisikan sebagai perasaan tidak
nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri dapat diklasifikasikan
berdasarkan karakteristik nyeri menurut tempatnya, sifatnya, intensitas
rasa sakit, dan waktu serangan nyeri. Berdasarkan waktu serangan nyeri
dikategorikan menjadi 2 yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut
biasanya berlangsung tidak lebih dari 6 bulan dan gejalanya mendadak
sedangkan nyeri kronis berlangsung lebih dari 6 bulan, nyeri cenderung
hilang timbul dan biasanya tidak dapat disembuhkan
(Mubarak et al., 2015).
2. Respon Terhadap Nyeri Menurut Mubarak et al., (2015)
a) Respon Fisiologis
Pada saat implus nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang
otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai
bagian dari respon stress. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang
dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi flight atau fight, yang
merupakan sindrome adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis
pada system saraf otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila
nyeri berlangsung terus menerus secara tipikal akan melibatkan organ-
organ viseral, system saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi.
Respon fisiologis terhadap nyeri sangat membahayakan individu.
Kecuali pada kasus- kasus nyeri berat yang menyebabkan individu
mengalami syok, kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi, yaitu
tanda-tanda fisik kembali normal. Dengan demikian, klien yang
mengalami nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik.
(1) Stimulasi simpatik (nyeri ringan, moderat, dan superfisial) berupa
dilatasi saluran bronkial dan peningkatan tingkat respirasi,
peningkatan detak jantung, vasokontriksi perifer, peningkatan
tekanan darah, peningkatan nilai gula darah, diaforesis, peningkatan
kekuatan otot, dilatasi pupil, dan penurunan motilitas
gastrointestinal.
(2) Stimulus parasimpatik (nyeri berat dan dalam) berupa : muka pucat,
otot mengeras, penurunan detak jantung dan tekanan darah, napas
cepat dan tidak teratur, nausea dan vomitus, serta
kelelahan dan keletihan.
b) Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien
terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Pemahaman dan
pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan,
persepsi, pengalaman masa lalu, dan faktor sosial budaya.
c) Respon Perilaku
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Gerakan tubuh yang
khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri dapat ditunjukkan
oleh klien sebagai respon perilaku terhadap nyeri. Respon tersebut
seperti mengerutkan dahi, gelisah,memalingkan wajah ketika diajak
bicara. Pada respon perilaku dapat diamati dari hal berikut :
(1) Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak napas, mendengkur)
(2) Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir)
d) Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari dan tangan).
e) Kontak dengan orang lain/interaksi social (menghindari percakapan,
menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, focus pada
aktivitas menghilangkan nyeri). Individu yang mengalami nyeri dengan
awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang
berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat
menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk
merintih atau menangis. Klien dapat tidur bahkan dengan nyeri hebat.
Klien dapat tampak relaks dan terlihat dalam aktivitas karena menjadi
mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

3. Klasifikasi Nyeri
Dibawah ini diuraikan tentang beberapa karakteristik nyeri menurut
tempatnya, sifatnya, intensitas rasa sakit, dan waktu serangan nyeri.
a) Menurut Tempat
(1) Periferal pain, nyeri permukaan (superficial pain), nyeri dalam
(deep pain), nyeri alihan (reffered pain), nyeri yang dirasakan pada
area yang bukan merupakan sumber nyerinya.
(2) Central pain, terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat,
medula spinalis, batang otak, dan lain-lain.
(3) Psychogenic pain, nyeri dirasakan tanpa penyebab organik, tetapi
akibat dari trauma psikologis.
(4) Phantom pain, merupakan perasaan pada bagian tubuh yang sudah
tak ada lagi. Contohnya pada amputasi, phantom pain timbul akibat
dari stimulasi dendrit yang berat dibandingkan dengan stimulasi
reseptor biasanya. Oleh karena itu, orang tersebut akan merasa nyeri
pada area yang telah diangkat.
(5) Radiating pain, nyeri yang dirasakan pada sumbernya yang meluas
ke jaringan sekitar.
(6) Nyeri somatis dan nyeri viseral, kedua nyeri ini umumnya
bersumber dari kulit dan jaringan dibawah kulit (superfisial) pada
otot dan tulang.
b) Menurut Sifat
(1) Insidentil : timbul sewaktu-waktu dan kemudian menghilang
(2) Steady : nyeri timbul menetap dan dirasakan dalam waktu lama.
(3) Paroxysmal : nyeri dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali
serta biasanya menetap 10-15 menit, lalu menghilang dn kemudian
timbul kembali.
(4) Intractable pain : nyeri yang resistan dengan diobati atau dikurangi.
Contoh pada artritis, pemberian analgetik narkotik merupakan
kontraindikasi akibat dari lamanya penyakit yang dapat
mengakibatkan kecanduan.
c) Menurut Intensitas Rasa Nyeri
(1) Nyeri ringan : dalam intensitas rendah
(2) Nyeri sedang : menimbulkan suatu reaksi fisiologis dan psikologis
(3) Nyeri berat : dalam intensitas tinggi
d) Menurut Waktu Serangan Nyeri
(1) Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit
atau intervensi bedah, dan memiliki awitan yang cepat, dengan
intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) serta berlangsung
singkat (kurang dari enam bulan) dan menghilang dengan atau
tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Nyeri
akut biasanya berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur.
Klien yang mengalami nyeri akut biasanya menunjukkan gejala
perspirasi meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat,
serta pallor.
(2) Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri yang disebabkan oleh adanya
kausa keganasan seperti kanker yang tidak terkontrol atau
nonkeganasan. Nyeri kronis berlangsung lama (lebih dari enam
bulan) dan akan berlanjut walaupun klien diberi pengobatan atau
penyakit tampak sembuh. Karakteristik nyeri kronis adalah area
nyeri tidak mudah diidentifikasi, intensitas nyeri sukar untuk
diturunkan, rasa nyeri biasanya meningkat, sifat nyeri kurang jelas,
dan kemungkinan kecil untuk sembuh atau hilang. Nyeri kronis
nonmaligna biasanya dikaitkan dengan nyeri akibat kerusakan
jaringan yang nonprogresif atau telah mengalami penyembuhan
II. PATOFISIOLOGI
A. SKEMA

Etiologi : trauma, peradangan, gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah,
gangguan jaringan tubuh (misal karena edema), tumor, iskemi pada jaringan, spasme otot.
Adapun etiologi Nyeri akut menurut SDKI yaitu Agen pencedera fisiologi (misalnya
inflamansi, iskemia, neoplasma), Agen pencedera kimiawi (missal terbakar, bahan kimia
iritan), Agen pencedera fisik (misalnya abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat
berat, prosedur operasi, trauma, Latihan fisik berlebihan

Stimulus nyeri : biologis, zat kimia, panas, listrik


serta mekanik

Stimulus nyeri menstimulasi nosiseptor


diperifer

Implus nyeri diteruskan oleh serat afferent (A-delta & C)


ke medulla spinalis melalui dorsal horn

Implus bersinapsis di subtansia gelatinosa


(lamina II dan lamina III)

Implus melewati tractus spinothalamus


s

Implus masuk ke Implus langsung


formatio retikularis masuk ke thalamus

Sistem limbik
Fast pain

Slow pain
B. URAIAN
Etiologi : trauma, peradangan, gangguan sirkulasi darah dan kelainan
pembuluh darah, gangguan jaringan tubuh (misal karena edema), tumor, iskemi
pada jaringan, spasme otot. Adapun etiologi Nyeri akut menurut SDKI yaitu
Agen pencedera fisiologi (misalnya inflamansi, iskemia, neoplasma), Agen
pencedera kimiawi (missal terbakar, bahan kimia iritan), Agen pencedera fisik
(misalnya abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur
operasi, trauma, Latihan fisik berlebih. Rangkaian proses terjadinya nyeri
diawali dengan tahap transduksi, di mana hal ini terjadi ketika nosiseptor yang
terletak pada bagian perifer tubuh distimulasi oleh berbagai stimulus, seperti
faktor biologis, mekanis, listrik, thermal, radiasi dan lain- lain. Serabut saraf
tertentu bereaksi atas stimulus tertentu, sebagaimana juga telah disebutkan
dalam klasifikasi reseptor sebelumnya. Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe
mekanis atau thermal (yaitu serabut saraf A-Delta), sedangkan slow pain (nyeri
lambat) biasanya dicetuskan oleh serabut saraf C). Serabut saraf A-delta
mempunyai karakteristik menghantarkan nyeri dengan cepat serta bermielinasi,
dan serabut saraf C yang tidak bermielinasi, berukuran sangat kecil dan
bersifat lambat dalam menghantarkan nyeri. Serabut A mengirim sensasi yang
tajam, terlokalisasi, dan jelas dalam melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi
intensitas nyeri. Serabut C menyampaikan impuls yang tidak terlokalisasi
(bersifat difusi), viseral dan terus- menerus. Sebagai contoh mekanisme
kerja serabut A-delta dan serabut C dalam suatu trauma adalah ketika
seseorang menginjak paku, sesaat setelah kejadian orang tersebut dalam
waktu kurang dari 1 detik akan merasakan nyeri yang terlokalisasi dan tajam,
yang merupakan transmisi dari serabut A. Dalam beberapa detik selanjutnya,
nyeri menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena persarafan serabut C.
Tahap selanjutnya adalah transmisi, di mana impuls nyeri kemudian
ditransmisikan serat afferen (A-delta dan C) ke medulla spinalis melalui dorsal
horn, di mana disini impuls akan bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina
II dan III). Impuls kemudian menyeberang keatas melewati traktus
spinothalamus anterior dan lateral. Beberapa impuls yang melewati traktus
spinothalamus lateral diteruskan langsung ke thalamus tanpa singgah di
formatio retikularis membawa impuls fast pain. Di bagian thalamus dan
korteks serebri inilah individu kemudian dapat mempersepsikan,
menggambarkan, melokalisasi, menginterpretasikan dan mulai berespon
terhadap nyeri. Beberapa impuls nyeri ditransmisikan melalui traktus
paleospinothalamus pada bagian tengah medulla spinalis. Impuls ini
memasuki formatio retikularis dan sistem limbik yang mengatur perilaku emosi
dan kognitif, serta integrasi dari sistem saraf otonom. Slow pain yang terjadi
akan membangkitkan emosi, sehingga timbul respon terkejut, marah, cemas,
tekanan darah meningkat, keluar keringat dingin dan jantung berdebar-debar
(Prasetyo, 2010).

III. ETIOLOGI
1. Etiologi nyeri menurut Mubarak et al., (2015) dapat dikelompokkan
menjadi beberapa sebab yaitu sebagai berikut :
a) Trauma
(1) Mekanik, yaitu rasa nyeri timbul akibat ujung-ujung saraf bebas
mengalami kerusakan. Misalnya akibat benturan, gesekan, luka, dan
lain- lain.
(2) Termal, yaitu nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat
rangsangan akibat panas dan dingin. Misal karena api dan air.
(3) Kimia, yaitu timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat
asam atau basa kuat.
(4) Elektrik, yaitu timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat
mengenai reseptor rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan
luka bakar.
b) Peradangan, yakni nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor
akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan, misalnya abses.
c) Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah.
d) Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya
penekanan pada reseptor nyeri.
e) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
f) Iskemi pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteri koronaria yang
menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.
g) Ilmu Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik

2. Etiologi nyeri menurut SDKI (2016) ada 2 menurut jenisnya yaitu :


a) Nyeri akut
(1) Agen pencedera fisiologis (misalnya inflamasi, iskemia, neoplasma)
(2) Agen pencedera kimiawi (misalnya terbakar, bahan kimia iritan)
(3) Agen pencedera fisik (misalnya abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)

b) Nyeri kronis
(1) Kondisi muskuloskeletal kronis
(2) Kerusakan sistem saraf
(3) Penekanan saraf
(4) Infiltrasi tumor
(5) Ketidakseimbangan neurotransmiter, neuromodulator dan reseptor
(6) Gangguan imunitas (mis. neuropati terkait HIV, virus varicella-zoster)
(7) Gangguan fungsi metabolik
(8) Riwayat posisi kerja statis
(9) Peningkatan indeks massa tubuh
(10) Kondisi pasca trauma
(11) Tekanan emosional
(12) Riwayat penganiayaan (mis. fisik, psikologis, seksual)
(13) Riwayat penyalahgunaan obat/zat

IV. MANIFESTASI KLINIS


1. Manifestasi klinis/tanda dan gejala nyeri akut menurut PPNI,
SDKI (2016) :
a) Gejala dan tanda mayor
(1) Subyektif : mengeluh nyeri
(2) Obyektif :
(a) Tampak meringis
(b) Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri)
(c) Gelisah
(d) Frekuensi nadi meningkat
(e) Sulit tidur

b) Gejala dan tanda minor


(1) Subjektif : -
(2) Objektif :
(a) Tekanan darah mrningkat
(b) Pola napas berubah
(c) Nafsu makan berubah
(d) Diaforesis

2. Manifestasi klinis/tanda dan gejala nyeri kronis menurut PPNI,


SDKI (2016) :
a) Gejala dan tanda mayor

(1) Subyektif :

(a) Mengeluh nyeri


(b) Merasa depresi (tertekan

(2) Obyektif :
(a) Tampak meringis
(b) Gelisa
(c) Tidak mampu menuntaskan aktivitas

b) Gejala dan tanda minor


(1) Subyektif : merasa takut mengalami cedera berulang

(2) Obyektif :
(a) Bersikap protektif (misalnya posisi menghindari nyeri)
(b) Waspada
(c) Pola tidur berubah
(d) Anoreksia
(e) Fokus menyempit
(f) Berfokus pada diri sendiri

V. PENGKAJIAN FOKUS
Pengkajian fokus pada klien dengan masalah nyeri menurut Mubarak et al., (2015)
yaitu :
1) Keluhan utama/alasan masuk rumah sakit
Yaitu keluhan utama klien saat MRS dan saat dikaji. Klien
mengeluh nyeri, dilanjutkan dengan riwayat kesehatan
sekarang, dan kesehatan sebelum.
2) Kebutuhan rasa nyaman (nyeri)
a) Data didapatkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesin
untuk mengkaji karakteristik nyeri yang diungkapkan oleh klien
dengan pendekatan PQRST.
(1) P (Provokatif) : Faktor yang mempengaruhi gawat dan ringannya nyeri.
(2) Q (quality) : seperti apa nyeri tersebut (tajam, tumpul, tersayat)
(3) R (region) : daerah penjalaran nyeri
(4) S (severity/skala nyeri) : keperahan/intensitas nyeri
(5) T (time) : lama/waktu serangan/frekuensi nyeri

b) Cara mengukur intensitas nyeri terdapat berbagai macam skala yang


dapat digunakan, diantaranya adalah :
(1) Skala nyeri menurut Hayward

Skala Keterangan

Skala 0 Tidak Nyeri

Skala 1- Nyeri Ringan


3

Skala 4- Nyeri Sedang


6

Skala 7- Sangat nyeri tapi masih bisa


9
dikontrol oleh pasien dengan aktivitas yang biasa
dilakukan

Skala Sangat Nyeri dan Tidak


10
Terkontrol

c) Skala nyeri Mcgill (Mcgill Scale) mengukur intensitas nyeri


dengan menggunakan lima angka, yaitu, 0 : tidak nyeri, 2 : nyeri
sedang, 3 : nyeri berat, 4: nyeri sangat berat, dan 5 : nyeri hebat.

(3) Skala wajah yakni Wong-Baker FACES Rating Scale yang


ditujukan untuk klien yang tidak mampu menyatakan intensitas
nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak yang tidak
mampu berkomunikasi secara verbal dan lansia yang mengalami
gangguan kognisi dan komunikasi.
3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendapatkan perubahan klinis
oleh nyeri yang dirasakan oleh klien. Data yang didapatkan
mencerminkan respons klien terhadap nyeri yang meliputi
respons fisiologis, respons perilaku, dan respons psikologis.
4) Riwayat Nyeri
Saat mengkaji riwayat nyeri, perawat sebaiknya memberi
klien kesempatan untuk mengungkapkan cara pandang mereka
terhadap nyeri dan situasi tersebut dengan kata-kata mereka
sendiri. Langkah ini akan membantu perawat memahami makna
nyeri bagi klien dan bagaimana koping terhadap situasi tersebut.
Secara umum, pengkajian riwayat nyeri meliputi beberapa aspek,
antara lain sebagai berikut.
a) Lokasi. Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik,
minta klien menunjukkan area nyerinya. Pengkajian ini bisa
dilakukan dengan bantuan gambar tubuh. Klien bisa
menandai bagian tubuh yang mengalami nyeri. Ini sangat
bermanfaat, terutama untuk klien yang memiliki lebih dari
satu sumber nyeri.
b) Intensitas nyeri. Penggunaan skala intensitas nyeri adalah
metode yang mudah dan terpercaya untuk menentukan
intensitas nyeri klien. Skala nyeri yang paling sering
digunakan adalah rentang 0-5 atau 0-
10. Angka "0" menandakan tidak nyeri sama sekali dan
angka tertinggi menandakan nyeri "terhebat" yang dirasakan
klien.
c) Kualitas nyeri. Terkadang nyeri bisa terasa seperti
"dipukul-pukul" atau "ditusuk-tusuk". Perawat perlu
mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk
menggambarkan nyerinya sebab informasi yang akurat dapat
berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta
pilihan tindakan diambil.
d) Pola. Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan
kekambuhan atau interval nyeri. Oleh karenanya, perawat perlu
mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri berlangsung,
apakah nyeri berulang, dan kapan nyeri terakhir kali muncul.
e) Faktor presipitasi. Terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu
munculnya nyeri. Sebagai contoh, aktivitas fisik yang berat
dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor lingkungan
(lingkungan yang sangat dingin atau sangat panas), serta
stresor fisik dan emosional juga dapat memicu munculnya
nyeri.
f) Gejala yang menyertai. Gejala ini meliputi mual, muntah,
pusing, dan diare. Gejala tersebut bisa disebabkan oleh
awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.
g) Pengaruh pada aktivitas sehari-hari. Dengan mengetahui sejauh
mana nyeri memengaruhi aktivitas harian klien akan
membantu perawat memahami perspektif klien tentang nyeri.
Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri
adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan
interpersonal, hubungan pernikahan, aktivitas di rumah,
aktivitas di waktu senggang, serta status emosional
h) Sumber koping. Setiap individu memiliki strategi koping
yang berbeda dalam menghadapi nyeri tergantung pengalaman
nyeri sebelumbya dan juga pengaruh social budaya atau
agama.
i) Respons afektif. Respons afektif klien terhadap nyeri
bervariasi, bergantung pada situasi, derajat dan durasi nyeri,
interpretasi tentang nyeri, serta banyak faktor lainnya. Perawat
perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah,
depresi, atau perasaan gagal pada diri klien.
5) Observasi Respon Perilaku, Fisiologis, dan Psikologis
a) Respon nonverbal
Banyak respons nonverbal yang bisa dijadikan indikator
nyeri. Salah satu yang paling utama adalah ekspresi wajah.
Perilaku seperti menutup mata rapat-rapat atau membukanya
lebar-lebar, menggigit bibir bawah, dan seringai wajah dapat
mengindikasikan nyeri. Selain ekspresi wajah, respons
perilaku lain yang dapat menandakan nyeri adalah vokalisasi
(misalnya, erangan, menangis, berteriak), imobilisasi bagian
tubuh yang mengalami nyeri, gerakan tubuh tanpa tujuan
(misalnya, menendang-nendang, membolak-balikkan tubuh di
atas kasur), dan lain-lain.

b) Respon fisiologis
Respons fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada
sumber dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons
fisiologis dapat meliputi peningkatan tekanan darah, nadi dan
pernapasan, diaforesis, serta dilatasi pupil akibat terstimulasinya
sistem saraf simpatis. Akan tetapi, jika nyeri berlangsung lama
dan saraf simpatis telah beradaptasi, maka respons fisiologis
tersebut mungkin akan berkurang atau bahkan tidak ada. Oleh
karenanya, penting bagi perawat untuk mengkaji lebih
dari satu respons fisiologis sebab bisa jadi respons tersebut
merupakan indikator yang buruk untuk nyeri.

c) Respons psikologis
Respons psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman
klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain adalah
bahaya atau merusak, komplikasi seperti infeksi, penyakit
yang berulang, penyakit baru, penyakit yang fatal,
peningkatan ketidakmampuan, dan kehilangan mobilitas.
VI. MASALAH KEPERAWATAN
a) Gangguan Rasa Nyaman Nyeri

VII. MASALAH KOLABORATIF


-

VIII. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


-

IX. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Nyeri akut

1) Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan
(SDKI, 2016).

2) Penyebab
a) Agen pencedera fisiologis (misalnya inflamasi, iskemia, neoplasma)
b) Agen pencedera kimiawi (misalnya terbakar, bahan kimia iritan)
c) Agen pencedera fisik (misalnya abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan
fisik berlebihan)

3) Tanda dan gejala yang muncul


a) Gejala dan Tanda Mayor
(1) Subjektif : Mengeluh nyeri

(2) Objektif :
(a) Tampak meringis
(b) Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri)
(c) Gelisah
(d) Frekuensi nadi meningkat
(e) Sulit tidur

b) Gejala dan Tanda Minor


(1) Subjektif : -
(2) Objektif:
(a) Tekanan darah meningkat
(b) Polanapas berubah
(c) Nafsu makan berubah
(d) Proses berfikir terganggu
(e) Menarik diri
(f) Berfokus pada diri sendiri
(g) Diaforesis

X. INTERVENSI KEPERAWATAN
Nyeri akut
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
intesitas nyeri berkurang
Kriteria hasil :
1) Keluhan nyeri menurun
2) Meringis menurun
3) Gelisah menurun
4) Kesulitan tidur berkurang
5) Pola napas membaik
6) Frekuensi nadi membaik
7) Nafsu makan membaik
8) Tekanan darah membaik
9) Kemampuan menuntaskan aktivitas membaik
Intervensi : Manajemen nyeri
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Idenfitikasi respon nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS,
hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
Teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat
- Ajarkan Teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Mubarak, wahit iqbal indrawati, lilis susanto, J. (2015). BUKU AJAR ILMU
KEPERAWATAN DASAR EDISI 2. Ke-2. Jakarta: Salemba Medika.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Prasetyo, Sigit. (2010). Konsep dan Proses Perawatan Nyeri. Surakarta : Graha

Anda mungkin juga menyukai